Thursday, October 23, 2025
Wednesday, October 22, 2025
Mitos Efisiensi: Kenapa Project Tanpa Buffer Selalu Berujung Chaos
Di dunia manajemen proyek, “efisiensi” sering jadi mantra sakral. Semua orang ingin cepat, lean-resourced, dan produktif. Tapi ada garis tipis antara efisiensi dan nekat. Dan garis itu biasanya terlihat jelas setelah semuanya berantakan.
Ketika project planning disusun dengan resource yang terlalu mepet; Di atas kertas, semuanya kelihatan ideal—timeline ketat tapi “masih masuk”, headcount pas-pasan tapi “bisa lah kalau kompak”.
Lalu realita datang: satu orang sakit. Satu stakeholder terlambat kasih approval. Dan tiba-tiba, seluruh progress berhenti total.
Proyek yang tadinya kelihatan seperti mesin presisi, mendadak macet gara-gara satu baut longgar.
Masalahnya bukan di siapa yang sakit atau siapa yang telat, tapi di mindset saat planning. Kita sering lupa bahwa di dunia nyata, variabel manusia itu unpredictable. Ada faktor kesehatan, burnout, dependency antar tim, atau sekadar Murphy’s Law klasik: “Anything that can go wrong, will go wrong.”
Tapi kenyataannya, resource buffer bukanlah pemborosan — itu asuransi terhadap chaos.
Gue suka pakai analogi sederhana: project planning tanpa buffer itu kayak naik motor tanpa helm.
Memang, 90% waktu lo bakal baik-baik aja tanpa helm. Lo bisa ngerasain angin, lebih ringan, bahkan terlihat “efisien”. Tapi ketika kecelakaan kecil terjadi—batu kecil, jalan licin, atau pengendara lain yang ngawur—yang nyelamatin hidup lo bukan kecepatan, tapi helm yang standby itu.
Buffer juga begitu. Mungkin kelihatannya “nggak kepake”, tapi begitu hal-hal tak terduga muncul, di situlah nyawa proyek diselamatkan.
Di perusahaan yang dikejar efisiensi berlebihan, sering muncul fantasi optimisme:
Semua orang sehat, semua dependency on time, semua approval instan.
Padahal, real world selalu punya gesekan. Dan justru di situlah manajer proyek sejati diuji—bukan dengan menekan tim sampai meledak, tapi dengan merancang sistem yang tetap bisa jalan meskipun satu-dua roda copot.
Kalau lo mau ngebut, pastikan tim punya helm yang layak.
Kalau lo mau hemat, hematlah di tempat yang benar—bukan di margin of error yang bikin semuanya rentan.
Efisiensi sejati bukan tentang meniadakan ruang, tapi tentang memanfaatkan ruang dengan bijak. Karena dalam jangka panjang, proyek yang punya buffer justru lebih cepat selesai, karena nggak perlu berhenti setiap kali tabrakan kecil terjadi.
Jangan terjebak dalam mitos efisiensi semu. Rencanakan ruang bernapas. Buat buffer bukan karena lo pesimis, tapi karena lo cukup realistis untuk tahu — masa depan nggak pernah sepenuhnya bisa ditebak.
Karena pada akhirnya, yang bikin lo selamat di jalan proyek bukan seberapa cepat lo ngebut, tapi seberapa siap lo ketika jalanan berubah arah.
Labels:
Work Matters
Wednesday, October 8, 2025
Bringing Your Whole Self to Work: Why Authenticity Drives Wellbeing and Performance
(Copied from email newsletter from Susan David - https://www.susandavid.com/)
Hi All,
Many of us make a sharp distinction between our “work self” and our “real self.” Perhaps that work self is "all business"—stoic, efficient, and focused on the bottom line. Our so-called real self, by contrast, contains all the parts of us that can’t easily be measured or cataloged—our values, our dreams, and our emotions. The reality, though, is that when people feel able to bring their whole selves to work, it’s healthier for them as individuals as well as for the organizations they create.
Since the Industrial Revolution, there has been an unspoken cultural expectation that employees should operate like machines. Steam engines, of course, never feel overlooked by the boss or resent having to work weekends, and neither should a “good” worker—or so the logic goes.
But people are decidedly not machines, and expecting them to act like they are is a recipe for a number of ailments, such as:
- disengagement
- high turnover rates
- low wellbeing
- an increase in stress and burnout
As humans, we are driven by our values, so when your daily tasks are disconnected from those values, it takes a toll. Simply going through the motions and pretending that you feel differently than you actually do is called surface acting, and it can only go on for so long before it begins to impact your wellbeing and the quality of your work.
Compare this mindset to a workplace that encourages a more integrated approach, where individuals are invited to show up to work feeling however they feel. This can be as simple as acknowledging and articulating our emotional truths without trying to change or fix them.
When individuals don't feel like they have to check important parts of themselves at the door, it creates a better environment for all. People who are wholehearted in their work aren’t just happier—they’re more engaged, more committed, and less likely to experience alienation or burnout. The office climate improves, which increases retention. Clients and customers notice the care that employees bring to their work, which promotes brand loyalty. It’s a situation that everyone can benefit from.
Of course, bringing one’s whole self to work doesn’t give you license to openly berate an annoying coworker or snidely dismiss an idea you disagree with. Authenticity doesn’t mean we abandon appropriate behavior and respect for others. Our feelings are data that carry important messages, not directives to act on impulse. They’re also not an aspect of your personality than you can choose to turn off. Our emotions are part of us, and responsibly making space for them isn’t unprofessional—it’s indispensable.
With courage, curiosity, and compassion,
Susan David
Labels:
Article,
Work Matters
Saturday, October 4, 2025
Kisah yang Tenggelam di Perjalanan
"We were young, wild, and free — until the day we realized the world is ruled by money, that even love can be sold for its price."
Sepuluh tahun setelah kelulusan, kita reuni kecil. Tempatnya mirip masa SMA dulu—kursi kayu, lampu temaram, aroma sate yang samar. Tapi suasananya sudah berubah. Obrolan bukan lagi soal mimpi, tapi soal cicilan rumah, target KPI, dan harga sekolah anak.
Rangga tiba-tiba nyeletuk:
“Eh, inget nggak dulu kita pernah janji kalau udah kerja, kita patungan bikin studio band? Sekarang sih duitnya ada. Tapi kapan terakhir kita nyanyi bareng?”
Hening. Kita saling pandang, ngetawain dengan getir.
Sinta bilang pelan:
“Kita dulu muda, liar, bebas. Sekarang, welcome to the real life...”
Perasaan gue jadi aneh: antara hangat karena ketemu mereka lagi, tapi juga sedih karena sadar kita semua kalah oleh sistem.
Di masa SMA dulu, hidup terasa sederhana. Sabtu sore berarti nongkrong di warung kopi pojokan sekolah, gitar butut bergilir di tangan, dan lagu-lagu Iwan Fals atau Sheila on 7 jadi soundtrack. Kita—gue, Rangga, Dimas, dan Sinta—ngerasa dunia cuma sejauh lapangan basket, kantin, dan mimpi-mimpi besar yang waktu itu rasanya nggak mustahil.
“Bro, someday kita bikin band beneran. Main di pensi bukan cuma jadi opener, tapi jadi bintang tamu!” seru Rangga, vokalis dengan suara serak-serak romantis. Kita ngakak, tapi dalam hati percaya.
Dulu, hidup nggak pernah ribet. Kita pacaran dengan polos, putus pun sambil makan mie instan rame-rame. Punya 20 ribu di kantong udah cukup buat beli rokok, bensin, sama gorengan.
Dan semua mulai berubah.
Sinta, cewek paling idealis di geng, kuliah hukum. Dia pernah bersumpah: “Gue bakal jadi pengacara buat orang kecil. Gue benci liat orang miskin diinjak.” Tapi pas gue ketemu lagi lima tahun kemudian, dia udah jadi corporate lawyer dengan gaji puluhan juta. “Nanti aja deh gue bantu orang kecil, kalau tabungan udah aman,” katanya sambil menyeruput latte di kafe elit. Ada lelah di matanya, tapi ada juga kilau perhiasan di tangannya.
Rangga, si vokalis, kerja di agensi iklan. Katanya seni itu ekspresi, tapi klien maunya bikin iklan mie instan dengan slogan bodoh. Lama-lama dia kompromi. “Namanya juga hidup, bro. Passion itu hobi, duit itu kewajiban.” Suaranya masih serak, tapi nyanyiannya sekarang cuma jadi hiburan kantor pas karaoke.
Tapi yang paling tragis, Dimas. Dia anak paling jago hitung-hitungan, masuk ke dunia perbankan. Awalnya semangat, tapi godaan besar bikin dia terjerat kasus suap kecil-kecilan. “Cuma 20 juta, siapa juga yang tahu,” begitu pikirnya. Sampai suatu hari, berita tentang “pegawai bank ditangkap KPK” muncul, dan wajahnya terpampang di TV.
Dan gue? Gue juga nggak lebih baik. Dulu pengen jadi penulis. Tapi realita bikin gue kerja kantoran, nulis laporan proyek yang nggak pernah ada orang baca. Malam-malam gue buka draft novel lama, tapi jari-jari nggak pernah sanggup ngetik lagi.
Meski begitu, ada satu hal kecil yang masih bikin gue percaya kita nggak sepenuhnya hilang. Malam itu, Rangga tiba-tiba keluarin gitar butut yang masih dia simpan. Kita nyanyi bareng, suara fals bercampur tawa. Untuk sesaat, waktu mundur ke masa SMA.
Besoknya kita kembali ke dunia nyata. Tapi di hati, gue tahu: seberapa pun dunia menelan, selalu ada secuil kenangan—secuil idealisme—yang nggak bisa dirampas uang.
Labels:
Story
Sunday, September 28, 2025
A Beautiful World
Gue inget kutipan itu dari puisi "Desiserata", karangan Max Ehrmann. Gue nggak pernah mikir kalimat kayak gitu punya makna, sampai gue ketemu Pak Arman.
Gue kenal beliau waktu SMA. Gue anak yang males, tukang bolos, sering ngerasa dunia ini nggak adil. Bokap-nyokap sibuk berantem, rumah kayak kapal pecah. Sekolah cuma tempat gue numpang tidur.
Suatu hari, gue ketahuan tidur di perpustakaan. Harusnya gue langsung diusir, tapi ada satu guru tua duduk di depan gue. Pakai kemeja putih lusuh, kacamatanya agak tebal, rambutnya udah banyak uban. Dia ngeliatin gue lama banget, sampai gue risih.
“Nak, tidur boleh, tapi jangan lupa mimpi. Orang yang nggak punya mimpi cuma kayak bangkai yang bisa jalan,” katanya.
Gue langsung manyun. “Pak, saya capek aja. Emang nggak boleh tidur?”
Dia nyengir, matanya bercahaya kayak abis nemu hal lucu.
“Tidur boleh. Tapi coba sekali-sekali bangun buat ngeliat dunia. Siapa tahu nggak seburuk yang kamu pikir.”
Itu pertama kali gue ngerasa ada guru yang nggak nyalahin gue mentah-mentah. Anehnya, tatapan dia bikin gue ngerasa dilihat. Bukan sebagai murid bermasalah, tapi sebagai manusia.
Dari situ, gue makin sering ngobrol sama dia. Namanya Pak Arman. Dia ngajar sejarah, tapi cara dia cerita nggak pernah kayak text book. Kalau ngomong soal perang dunia, dia selalu nyelipin kisah kecil: prajurit yang kangen rumah, surat cinta yang nggak pernah sampai.
“Orang suka mikir sejarah itu angka dan tahun. Padahal isinya manusia. Dan manusia itu rapuh, tapi juga kuat,” katanya suatu kali.
Gue suka bengong tiap denger dia ngomong. Ada sesuatu di matanya—tenang, teduh, tapi dalam. Seakan-akan dia bisa liat sisi baik semua orang, bahkan di anak sebandel gue.
Pernah gue nanya, “Pak, kok bapak nggak pernah marah sama saya? Padahal jelas-jelas saya bego.”
Dia ngakak, suara ketawanya serak.
“Kamu nggak bego nak. Kamu cuma nyimpen energi buat hal yang lebih penting. Tugas bapak adalah bikin kamu inget kalau hidup nggak harus di bawa sendirian. Dunia ini bisa dilihat dengan cara lain. Coba kamu lihat dunia ini seperti bapak melihatnya...”
Itu kalimat gokil banget buat anak SMA kayak gue. Dari situ, setiap gue bingung atau putus asa, gue inget cara pandang dia.
Waktu berlalu, gue lulus. Kuliah, kerja. Sesekali gue masih sempet balik ke sekolah cuma buat nyapa. Pak Arman makin tua, tapi senyumnya nggak pernah berubah. Sampai satu hari, gue dapet kabar: beliau sakit keras.
Gue langsung ke rumah sakit. Di ranjang, tubuhnya udah kurus, tapi matanya masih sama. Tenang, seperti langit malam.
“Kamu udah jadi orang besar sekarang, ya?” katanya pelan.
Gue duduk di sampingnya, berusaha nyembunyiin air mata. “Nggak ada yang besar, Pak. Saya masih suka nyasar. Masih suka ngerasa sendirian.”
Dia narik napas panjang, lalu bilang:
“Kalau kamu nyasar, inget, lihatlah dunia seperti bapak melihatnya... Dunia ini kejam, iya, tapi jangan lupa dia juga baik. Orang baik banyak, kamu juga bisa jadi salah satunya. Jangan biarkan hidup bikin kamu lupa caranya jadi manusia...”
Itu obrolan terakhir kami. Seminggu kemudian, beliau meninggal.
Sekarang, tiap kali gue harus bikin keputusan besar—entah di kerjaan, entah dalam hubungan, bahkan hal sepele kayak cara gue ngomong ke orang lain—gue selalu inget Pak Arman.
Misalnya, pas gue mau marah ke bawahan gue karena proyek kacau, tiba-tiba gue inget tatapannya Pak Arman dulu. Gue tarik napas, terus ganti nada. Gue bilang, “Santai, kita cari cara bareng.” Gue tau, itu bukan gue yang asli. Itu warisan dari beliau.
Malam-malam tertentu, gue suka duduk sendiri sambil ngeliat langit. Gue inget lagi obrolan pertama kami di perpustakaan: “Tidur boleh, tapi jangan lupa mimpi.”
Dan gue sadar, walaupun beliau udah nggak ada, gue masih bisa pinjem matanya kapan pun gue butuh. Tatapan itu nggak pernah hilang, cuma pindah rumah—sekarang tinggal di hati gue. Kehilangan fisiknya emang sakit, tapi warisannya bikin gue tetep bisa jalan.
“With all its sham, drudgery and broken dreams, it is still a beautiful world...”
Dan sampai hari ini, dunia masih keliatan lebih baik karena gue pernah liat dunia lewat mata Pak Arman.
This world is not beautiful, therefore... it is...
Kino ~ Kino no Tabi
Labels:
Story
Saturday, September 27, 2025
Kupu-Kupu Cacat
Aku masih ingat hari ketika rambut kita jatuh bersamaan di lantai salon kecil dekat sekolah. Kamu tertawa waktu aku bilang bentuk poniku jadi kayak cermin yang retak. Entah kenapa, momen itu menempel di kepalaku seperti aroma hujan yang susah hilang.
Sejak hari itu, hujan seperti tidak pernah berhenti mengikutiku. Di lorong sekolah, suara sepatu bergaung—kadang milikku, kadang milikmu. Kadang aku pikir itu gema dari sesuatu yang sudah lewat, tapi semakin aku berjalan, semakin jelas: ada bayangan kita berdua, terus menempel di belakang.
Aku tidak pernah tahu kenapa kupu-kupu yang terbang terbalik itu terus datang dalam mimpiku. Sayapnya berkilau, tapi arahnya aneh, selalu menantang cahaya dari sisi lain. Mungkin itu aku. Mungkin itu kamu. Atau mungkin kita berdua yang tidak pernah belajar terbang lurus, hanya tahu melawan arah angin.
Pesan singkat kita waktu itu sederhana. “Udah makan?” “Jangan lupa bawa payung.” Tidak ada yang puitis, tidak ada yang besar. Tapi entah kenapa, di antara kalimat-kalimat tanpa makna itu, aku menemukan sesuatu yang mengikat. Seperti melodi tanpa lirik yang tiba-tiba membuatku menangis tanpa alasan jelas.
Hari ini hujan lagi. Sama seperti hari itu, sama seperti ratusan hari setelahnya. Aku berdiri di balik jendela, menatap langit kelabu, sambil berharap bisa menyambungkan sesuatu—antara dulu dan sekarang, antara aku dan kamu.
Kamu yang memberi hidup pada serpihan diriku yang hampir hilang di tengah kegilaan ini. Kamu yang membuatku percaya kalau tiap orang membawa bentuknya sendiri-sendiri: cahaya, suara, luka, dan janji.
Aku sering bertanya-tanya, bisakah kenangan kita bertahan? Bisakah satu perasaan sederhana, yang pernah menyelamatkan kita di lorong sekolah basah itu, tetap utuh meski waktu menelannya perlahan?
Ada hal-hal yang tidak bisa dijangkau tangan manusia, tempat-tempat di dalam hati yang bahkan kata-kata pun takut mendekat. Aku tahu itu. Tapi aku juga tahu—aku menyukai bagian-bagian bisu itu, karena justru di sana kita paling jujur.
Kupu-kupu dengan sayap cacat berputar di langit abu-abu. Aku tidak tahu apakah dia akhirnya akan menemukan cahaya, atau hancur di tengah badai. Tapi setiap kali aku melihatnya, aku teringat: pernah ada seseorang yang membuatku percaya bahwa dalam segala kegilaan ini, ada bentuk kecil yang pantas dijaga.
Kamu.
Dan mungkin itu cukup.
Labels:
Story
All or Nothing
When I love, I love with all of my heart.
When I hate, I hate to the blood and bones.
When I nurture, I nurture with all of my life.
When I destroy, I destroy completely up to the root...
Aku tidak pernah tahu cara yang setengah-setengah.
Kalau aku mencintai, jantungku sendiri jadi persembahan. Aku beri semuanya—waktu, tenaga, hidupku sendiri kalau perlu. Orang-orang bilang hangatku membuat mereka bertahan, seolah aku matahari kecil yang muncul hanya untuk mereka. Dan aku percaya itu, karena saat cinta tumbuh, aku rela mati untuk menjaganya.
Tapi kalau aku membenci, darahku mendidih. Aku tidak sekadar menolak atau menjauh. Aku merobek, aku cabut sampai ke sumsum tulang. Aku ingin luka itu hilang, akar busuk itu musnah, sampai tak tersisa. Orang mungkin takut, mungkin benci balik padaku. Tapi di kepalaku hanya ada satu suara: “Kalau harus dihancurkan, maka hancurkan sampai habis.”
Kadang aku benci diriku sendiri karenanya. Aku berdiri di depan cermin, melihat dua wajah. Satu bercahaya, menatap penuh kasih. Satu lagi hitam, retak, berapi-api. Dua wajah itu sama-sama milikku.
Aku ingat suatu malam aku duduk di bawah pohon tua. Separuh batangnya hijau rimbun, separuhnya hangus disambar petir. Aku mengusap akarnya yang terbuka, dan aku tertawa pahit. “Beginilah aku,” kataku. Setengah menumbuhkan, setengah menghancurkan.
Dan setiap hari aku harus memilih: tangan mana yang akan kuangkat lebih dulu—tangan yang memberi kehidupan, atau tangan yang meratakan segalanya sampai debu.
Subscribe to:
Comments (Atom)