Showing posts with label Lesson of Live. Show all posts
Showing posts with label Lesson of Live. Show all posts

Sunday, August 31, 2025

Authentic, Munafik, Jaga Perasaan: Sebuah Batasan


Belakangan ini, kata “authentic” sering banget dipake orang. Banyak yang bangga bilang, “Gue tuh orangnya authentic, ngomong apa adanya, gak bisa munafik.” Biasanya ujung-ujungnya mereka jadi tipe orang yang mulutnya gak ada filter—semua yang dipikir langsung keluar.

Pertanyaannya: emang gitu ya cara jadi authentic? Dan kalau kita milih buat gak ngomong semua isi hati, otomatis kita jadi munafik?

Authentic Itu Apa Sih?


Authentic itu intinya lo hidup selaras sama apa yang lo rasain, lo pikir, dan lo lakuin. Gak pura-pura jadi orang lain, gak bohong sama diri sendiri.

Tapi authentic itu bukan berarti semua isi hati harus dilontarin mentah-mentah. Kalau lo bete terus langsung marah-marah tanpa mikirin efeknya ke orang lain, itu bukan “authentic”—itu ga ada filter.

Authentic itu tentang jujur, tapi juga sadar konteks sosial. Lo tetap jadi diri sendiri, tapi lo pilih cara nyampeinnya biar lebih relate ke orang lain.

Munafik Bukan Cuma Soal Menyembunyikan Perasaan


Banyak orang suka salah kaprah. Katanya kalau kita nahan omongan berarti kita munafik. Padahal, munafik itu lebih ke lo ngomong atau ngelakuin sesuatu yang bertentangan total sama isi hati lo. Biasanya demi keuntungan pribadi atau sekadar pencitraan.

Contoh gampang: lo kesel banget sama bos lo, tapi depan dia lo muji-muji kayak fangirl. Itu baru munafik.

Kalau lo cuma nyaring cara ngomong biar gak nyakitin orang lain, itu bukan munafik. Itu namanya kedewasaan dalam komunikasi.

Menjaga Perasaan Itu Skill


Menjaga perasaan orang bukan berarti lo palsu. Justru itu skill sosial yang penting. Lo sadar orang lain juga punya emosi, jadi lo atur cara ngomong biar pesannya nyampe tanpa bikin luka yang gak perlu.

Analoginya kayak nyuapin anak kecil. Lo gak mungkin kasih dia cabe rawit bulat-bulat, kan? Lo pilih makanan yang bisa dia cerna. Sama juga pas ngomong—lo tetap jujur, tapi dikemas biar orang lain bisa nerima.

Contoh Real: Temen yang Sering Telat
  • Blak-blakan mentah: “Lo ngeselin banget sih, telat mulu. Gue ilfil sama lo.” → Authentic, tapi nyakitin.
  • Pura-pura santai: “Santai aja kok, gue seneng nungguin lo,” padahal lo gondok. → Nah ini baru munafik.
  • Balance: “Bro, gue agak keganggu kalau sering nungguin. Bisa coba lebih on time gak next time?” → Authentic, considerate, gak munafik.

Authentic + Considerate = Kedewasaan

Jadi intinya lo bisa banget kok jadi authentic, considerate, dan gak munafik di saat yang sama. Lo tetap jujur sama diri sendiri, tapi lo juga mikir cara terbaik buat nyampein ke orang lain.

Ini yang namanya kedewasaan emosional. Lo bukan cuma ngomong “gue jujur apa adanya,” tapi juga “gue jujur dengan cara yang orang lain bisa terima.”

Penutup

Nyaring omongan itu bukan berarti lo palsu. Jaga perasaan juga bukan tanda lo munafik. Malah, di situlah seni hidup bareng orang lain—nemuin titik tengah antara jujur sama diri sendiri, empati sama orang lain, dan konsistensi sama prinsip.

Authentic itu ibarat kopi hitam asli. Tapi cara nyajiinnya bisa beda-beda: panas, dingin, pakai gula, atau gak. Selama rasanya tetap kopi, lo masih authentic.

Reframing Result Oriented Definition


Ada satu kata yang sering banget nongol di dunia kerja: Result Oriented. Kata ini biasanya dipakai buat muji orang yang dianggap keren karena bisa mencapai target. Kedengarannya bagus, kan? Tapi jujur aja, buat sebagian orang—including gue—kata ini bisa jadi agak triggering. Bukan karena hasil itu jelek, tapi karena gue sering lihat kata ini dipakai buat membenarkan perilaku yang nggak etis.

Coba bayangin: ada orang yang performancenya bagus banget, hasilnya selalu meledak, tapi cara dia dapetinnya? Nggak peduli sama orang lain, tabrak aturan, bahkan kadang halalin segala cara. Dan yang lebih bikin miris, perusahaan nggak berani nge-sanksi orang kayak gini. Kenapa? Karena dia “best performer”. Akhirnya, kata Result Oriented jadi punya aura toxic: kayak simbol dari budaya “yang penting hasil, bodo amat proses”.


Padahal, kalau dipikir jernih, kata itu sebenarnya netral. Sama kayak pisau: bisa dipakai buat motong sayur, bisa juga buat nusuk orang. Yang bikin kacau bukan orientasi ke result-nya, tapi kalau jadi result at all cost. Itu beda banget.


Jadi, gimana caranya mereframe biar kita nggak alergi sama kata ini?

1. Bedain Orientasi dan Obsesi

Result Oriented harusnya berarti “arah kita menuju hasil”. Arah, bukan obsesi. Kalau obsesi, semua hal selain hasil jadi nggak penting. Kalau orientasi, hasil tetap tujuan, tapi cara menuju ke sana juga dihitung.

2. Tambahin Embel-embel Positif

Kenapa nggak kita tambahin sendiri maknanya? Misalnya: Result Oriented with Integrity. Jadi jelas: hasil penting, tapi cara dapetinnya harus bener. Atau kalau mau lebih fancy: Sustainable Result Oriented.

3. Ingat Balanced Scorecard

Di perusahaan yang sehat, ukuran result itu bukan cuma revenue atau angka output. Ada juga ukuran proses, teamwork, dan sustainability. Jadi orientasi ke hasil bukan berarti ngorbanin nilai lain. Malah justru hasil yang bagus itu yang tercapai dengan cara yang fair, sehat, dan bisa diulang.


4. Jadi Leader yang Redefinisi

Kalau lo jadi pemimpin tim, lo bisa define ulang kata ini. Jangan cuma bilang ke tim: “Pokoknya hasil!” Tapi bilang: “Kita fokus hasil, tapi dengan cara yang bener. Supaya hasilnya bukan cuma instan, tapi tahan lama, dan bisa bikin bangga semua orang.”


Akhirnya, Result Oriented nggak harus jadi kata yang bikin perut mual tiap kali dengar. Lo bisa bikin versi lo sendiri. Misalnya: Impact Oriented, Integrity-driven Result, atau bahkan Human-Centered Achievement. Apapun istilahnya, yang penting hasil itu datang barengan sama cara yang sehat. Karena jujur aja, hasil doang tanpa integritas itu kayak kembang api: meledak keren, tapi cepat hilang dan nyisain asap doang.

It is what it is...


Kadang kita diajarin buat selalu peka sama keadaan sekitar, katanya biar punya inisiatif.
Tapi kalau nggak dijaga, kepekaan itu bisa berubah jadi overthinking.
Kita jadi sibuk nyari makna di balik sesuatu, padahal kadang yah... it is what it is.
Nggak semua hal punya pesan tersembunyi.
Kadang lebih sehat kalau kita belajar memaknai sesuatu sebagaimana adanya saja.

Saturday, August 30, 2025

Inugami: Dari Anjing Ritual ke Anak Manusia


Kalau kita buka lembaran cerita tradisional Jepang, ada satu kisah gelap yang namanya Inugami. Kedengarannya keren, ya? Tapi jangan salah, prosesnya bikin bulu kuduk berdiri. Singkatnya, Inugami adalah semacam "roh peliharaan" yang lahir dari ritual sadis terhadap seekor anjing. Tujuannya? Supaya majikan punya roh pendendam yang bisa dipakai untuk melindungi, menyerang musuh, atau sekadar jadi alat balas dendam.

Prosesnya serem. Anjing dikubur hidup-hidup, cuma lehernya nongol. Lalu dibuat kelaparan, dikasih makanan di depan mata tapi nggak boleh disentuh. Di titik paling menyakitkan, tuannya bisikin kalimat yang intinya: "Penderitaanmu nggak ada apa-apanya dibanding penderitaanku." Lalu si anjing dipenggal, kepalanya ditanam di perempatan biar diinjak orang, biar makin penuh dendam, dan makin kuat rohnya. Setelah ritual selesai, si majikan bisa membersihkan tulangnya, manggil roh anjing itu, lalu menjadikannya Inugami.


Hasilnya? Roh penuh amarah yang tunduk pada majikannya. Tapi ada catatan penting: Inugami sering lepas kendali, dan kalau majikannya lalai, roh itu bisa balik menyerang majikannya sendiri.

Dari Folklore ke Dunia Modern


Sekarang mari kita tarik ke dunia modern. Kita mungkin udah nggak lagi ngubur anjing di perempatan. Tapi praktik menciptakan "Inugami" nggak hilang. Bedanya, objeknya bukan lagi hewan, melainkan… anak manusia.

Pernah dengar orang dewasa ngomong gini ke anak kecil?

"Kamu itu baru diginiin aja udah ngeluh. Udah berontak. Dulu hidup kami itu lebih susah!"

Nah, kalimat-kalimat kayak gini sebenarnya mirip dengan bisikan ke telinga anjing dalam ritual Inugami. Pesannya sama: "Penderitaanmu lebih kecil dibanding penderitaanku." Anak jadi merasa hidupnya bukan miliknya, tapi semacam proyek perpanjangan ambisi orang dewasa.

Inilah yang disebut psikologi modern sebagai trauma transgenerasional. Luka batin yang nggak selesai di satu generasi, diterusin ke generasi berikutnya. Pola asuh penuh tekanan, perbandingan, dan penyangkalan emosi membuat anak tumbuh dengan rasa takut, amarah, atau dendam—emosi yang bahkan bukan hasil pengalaman mereka sendiri, melainkan warisan.


Kalau Inugami dulu dikubur di perempatan jalan biar diinjak orang, anak-anak modern juga tumbuh dengan "terinjak" oleh standar sosial. Nilai sekolah, ekspektasi masyarakat, omongan tetangga—semuanya bikin mereka merasa nggak pernah cukup. Dan seperti Inugami, makin diinjak, makin besar dendamnya.

Efeknya Sama, Medium yang Berbeda

Bedanya cuma medium: dulu pake ritual, sekarang pake kata-kata. Dulu pake anjing, sekarang pake anak manusia. Tapi polanya sama: penderitaan diolah, dikurung, lalu dipakai sebagai energi untuk tujuan tertentu.

Yang lebih menakutkan, sama seperti Inugami yang bisa balik menyerang tuannya, anak-anak yang dipaksa jadi Inugami juga bisa memberontak. Ada yang memutus hubungan dengan keluarga, ada yang depresi berat, ada juga yang menyalurkan kemarahannya ke dunia sekitar. Dan ironisnya, orang dewasa sering nggak sadar bahwa mereka sendiri yang menanam bibit itu.

Cara Keluar dari Lingkaran Inugami


Untungnya, kita nggak harus terjebak selamanya dalam pola ini. Kalau di folklore Inugami itu roh yang susah dikendalikan, di dunia nyata kita bisa break the cycle. Caranya? Dengan berhenti melanjutkan trauma ke generasi berikutnya. Mengakui bahwa penderitaan tiap orang valid, tanpa harus dibanding-bandingkan. Memberi ruang pada anak (atau diri sendiri) untuk punya hidupnya sendiri, bukan sekadar melanjutkan proyek generasi sebelumnya.

Kalau dulu ritual Inugami berakhir dengan penguburan kepala anjing, mungkin ritual baru kita harus berupa "penguburan luka lama". Nggak perlu ngelupain, tapi sadar dan merelakan supaya nggak nular ke generasi berikutnya.

Penutup


Folklore itu sering kali lebih dari sekadar cerita seram. Kadang ia adalah cermin. Inugami bukan cuma kisah tentang roh anjing pendendam, tapi juga metafora bagaimana manusia memelihara trauma dan mewariskannya.

Dulu Inugami dipakai buat balas dendam ke musuh. Sekarang, Inugami itu muncul di ruang tamu, meja makan, lingkungan kerja, bahkan di dalam kepala kita sendiri. Pertanyaannya: mau terus hidup sebagai anak Inugami, atau berani putuskan rantai dan bikin cerita baru?

Sunday, August 24, 2025

Curhat VS Menjelekkan

Apa bedanya ngejelek jelekin sama mengungkapkan uneg uneg?

Ngejelek-jelekin
  • Fokusnya: menyerang atau merendahkan orang/sesuatu.
  • Biasanya pakai kata-kata yang judgemental, kasar, atau penuh asumsi negatif.
  • Tujuannya: lebih ke pelampiasan emosi (marah, iri, dendam), bukan mencari solusi.
  • Efek ke orang lain: bisa bikin sakit hati, menimbulkan konflik, atau bikin suasana makin panas.
Mengungkapkan uneg-uneg
  • Fokusnya: menyampaikan apa yang dirasakan/dianggap mengganggu secara jujur.
  • Pakai bahasa yang lebih “aku” (misalnya: “Aku merasa kecewa karena …”), bukan menuding (“Kamu emang selalu begini!”).
  • Tujuannya: meringankan beban batin, mencari pengertian, atau membuka jalan komunikasi.
  • Efek ke orang lain: lebih mungkin dipahami, malah bisa memperbaiki hubungan.
Jadi bedanya tipis tapi penting:
  • Ngejelek-jelekin = emosi mentah, nyerang.
  • Curhat/uneg-uneg = emosi yang diproses, fokus ke perasaan diri dan situasi.

Wednesday, August 6, 2025

CBT Journaling


CBT journaling (jurnal dengan pendekatan Cognitive Behavioral Therapy) powerful banget buat bantu kita mengenali pola pikir negatif, ngecek apakah pikiran kita realistis, dan ngeganti pikiran yang gak helpful jadi lebih sehat dan konstruktif. Cocok buat yang lagi dalam proses self-healing.

Gue akan bantu dengan tutorial journaling CBT step-by-step, lengkap dengan contoh.

Framework Dasar CBT:
  • CBT bekerja dengan 3 komponen utama:
  • Situasi → Pikiran → Perasaan → Perilaku

Kita coba jurnaling dengan menggali keempat aspek ini secara sadar.

Tutorial CBT Journaling: 6 Langkah Mudah

1. Situasi (What happened?)

Tulis kejadian yang bikin lo kepikiran, stress, cemas, atau sedih. Fokus ke fakta, bukan interpretasi.

Contoh:
Hari ini gue dapat notifikasi penolakan dari perusahaan yang gue apply.

2. Pikiran Otomatis (Automatic Thoughts)

Tulis pikiran pertama yang muncul di kepala lo. Gak usah disaring. Biasanya bentuknya pesimis, mutlak, atau menyalahkan diri sendiri.

Contoh:
  • “Aku memang gak cukup bagus.”
  • “Pasti gue akan gagal terus.”
  • “Gue beban buat keluarga.”

3. Perasaan (Emotions)

Identifikasi perasaan yang muncul. Bisa lebih dari satu. Skor intensitasnya 0–100 supaya bisa dilacak progresnya.

Contoh:
  • Sedih (80)
  • Malu (60)
  • Takut (70)

4. Distorsi Kognitif (Cognitive Distortion)

Lihat apakah pikiran lo mengandung bias berpikir yang umum dalam CBT. Ini beberapa jenisnya:
  • All-or-Nothing Thinking – semuanya hitam putih
  • Overgeneralization – sekali gagal, akan gagal terus
  • Mind Reading – yakin orang lain mikir negatif tentang lo
  • Catastrophizing – membayangkan skenario terburuk

Contoh (dari pikiran tadi):
  • “Gue gak cukup bagus” → Labeling / All-or-Nothing
  • “Pasti gagal terus” → Overgeneralization

5. Tantang Pikiran (Challenge the Thoughts)

Tanyakan:
  • Apa bukti bahwa ini benar?
  • Apa bukti sebaliknya?
  • Apa yang bisa gue katakan ke sahabat kalau dia yang merasa begini?
  • Adakah cara melihat situasi ini secara lebih seimbang?

Contoh:
  • Gue pernah diterima kerja sebelumnya → berarti gue mungkin cukup bagus.
  • Banyak faktor dalam rekrutmen, bukan hanya soal kemampuan.
  • Penolakan bukan berarti gue gagal selamanya.

6. Ganti dengan Pikiran Sehat (Alternative Thought)

Setelah lo tantang pikiran tadi, bikin versi yang lebih realistis dan suportif.

Contoh:
“Aku sedang dalam proses berkembang. Ditolak itu menyakitkan, tapi bukan berarti gue gak layak. Gue bisa terus belajar dan coba lagi.”

Lalu lo bisa re-rate emosinya setelah refleksi. Misalnya:
  • Sedih (dari 80 jadi 50)
  • Takut (dari 70 jadi 40)

Tips Tambahan:

Gunakan bahasa sehari-hari, jangan merasa harus “rapi”. CBT journaling itu buat lo sendiri.
Lakuin pas lo lagi overthinking atau sebelum tidur.
Setelah beberapa minggu, lo bisa lihat pola pikiran negatif yang sering muncul — ini bisa jadi insight besar buat healing dan pengembangan diri.


Saturday, July 12, 2025

Soal 3D, 4D, dan 5D Consciousness

Konsep 3D, 4D, dan 5D consciousness itu memang populer banget di spiritualitas modern dan sering banget muncul di pembahasan tentang kebangkitan kesadaran, perjalanan jiwa, atau bahkan ascension (kenaikan spiritual).

Tapi sebenarnya ini bukan dimensi dalam arti fisika seperti dalam matematika atau sains ya—ini lebih metaforis, menggambarkan tingkatan atau frekuensi kesadaran manusia.

3D Consciousness (Kesadaran 3 Dimensi)


Ini adalah tingkat kesadaran yang paling “mendasar” dan paling umum dialami kebanyakan orang.

Ciri-ciri 3D:
  • Fokus pada materialisme, status sosial, uang, kekuasaan.
  • Pandangan hidup sangat dualistik: benar vs salah, baik vs jahat, menang vs kalah.
  • Dipenuhi ego: rasa takut, cemas, merasa terpisah dari orang lain dan dari alam semesta.
  • Sering merasa jadi korban keadaan (“Kenapa ini terjadi padaku?”).
  • Segalanya dilihat dari sudut pandang logika, fisik, dan terbatas oleh waktu linear (masa lalu, sekarang, masa depan).

Contoh pola pikir:
“Aku harus kerja keras dan bersaing supaya sukses. Kalau tidak punya uang, aku gagal.”

4D Consciousness (Kesadaran 4 Dimensi)


Ini dianggap sebagai “jembatan” dari 3D ke 5D. Mulai ada kebangkitan spiritual, mulai mempertanyakan realitas, dan mencari makna lebih dalam.

Ciri-ciri 4D:
  • Mulai menyadari bahwa ada energi, frekuensi, vibrasi, dan bahwa kita bisa menciptakan realitas kita sendiri.
  • Muncul ketertarikan pada meditasi, yoga, law of attraction, astrologi, dll.
  • Mulai menyadari bahwa hidup itu lebih dari sekadar dunia fisik.
  • Ego masih ada, tapi mulai dikenali dan dikelola.
  • Lebih intuitif dan reflektif, namun kadang juga bisa "nyangkut" di spiritual ego—merasa lebih "tinggi" dari yang belum bangkit.

Contoh pola pikir:
“Ada alasan kenapa aku mengalami ini semua. Semesta sedang mengajarkanku sesuatu.”

5D Consciousness (Kesadaran 5 Dimensi)


Nah, ini yang sering dianggap sebagai kesadaran tingkat tinggi, tempat di mana kita hidup dengan cinta tanpa syarat, tanpa ego, dan merasakan kesatuan dengan semua yang ada.

Ciri-ciri 5D:
  • Tidak ada dualitas – semua dipandang sebagai satu kesatuan.
  • Hidup dari hati, bukan pikiran. Segalanya dilakukan dengan cinta.
  • Waktu tidak lagi linear – hidup lebih mengalir dan sinkronisitas sering terjadi.
  • Tidak lagi merasa takut, karena sadar bahwa kita adalah bagian dari sumber yang lebih besar (semesta, Tuhan, Source, dll.).
  • Penuh kedamaian, welas asih, dan kehadiran penuh (presence).

Contoh pola pikir:
“Kita semua saling terhubung. Aku tidak terpisah dari orang lain, dari alam, atau dari semesta.”

Jadi, apakah ini beneran “naik dimensi” kayak di film sci-fi?

Bukan. Ini lebih ke perjalanan batin, perubahan cara pandang, dan peningkatan frekuensi energi pribadi. Orang yang berada di 5D tetap hidup di dunia fisik, tapi cara mereka melihat dan merespon hidup itu jauh lebih sadar dan penuh kasih.

Masalahnya banyak orang juga ngerasa istilah kayak "gue udah di 5D", "lo masih 3D sih, makanya belum ngerti", itu malah jadi alat untuk ngerasa superior. Ironis banget ya, padahal kalau beneran udah di 5D, ya seharusnya rendah hati dan penuh welas asih, bukan nyinyir apalagi main gaslight orang pake spiritualitas.

Fenomena “Spiritual Ego” — Palsu Tapi Merasa Tinggi

Yang seperti itu sebenarnya masuk ke fenomena yang banyak dibahas juga di dunia spiritualitas modern: spiritual ego.


Spiritual ego itu apa?

Itu ketika seseorang menggunakan pengetahuan atau pengalaman spiritual untuk membangun identitas diri baru yang “lebih tinggi”, tapi sebenarnya mereka cuma mindahin egonya ke bentuk baru.

Contohnya:
  • “Aku udah vibrasi tinggi, jadi wajar kalau aku nggak mau bergaul sama orang toxic kayak kamu.”
  • “Kamu masih terjebak di dualitas. Aku udah melampaui itu.” → Tapi ngucapinnya sambil nyindir

Padahal, 5D itu bukan status sosial baru, tapi state of being. Dan state-nya itu seharusnya mencerminkan:
  • Empati
  • Kesadaran tanpa penghakiman
  • Kasih tanpa syarat
  • Kedamaian batin

Jadi kalau ada orang ngaku 5D tapi mulutnya pedas dan hatinya judgemental? Hmm… ya mungkin dia masih di 3D tapi lagi numpang Wi-Fi ke 5D bentar pas meditasi

Apakah 4D/5D berarti harus ninggalin logika?


Nah ini penting banget dan sering disalahpahami juga.

Intuisi dan logika itu bukan musuh bebuyutan.

Di level kesadaran lebih tinggi (4D/5D), yang terjadi adalah: logika dan intuisi jadi selaras. Bukan dibuang.
  • 3D: dominan logika, tapi sering dikendalikan oleh ego dan rasa takut.
  • 4D: mulai terbuka ke intuisi, tapi masih naik-turun, suka galau karena logika lama mulai digeser.
  • 5D: logika dan intuisi bekerja bersama, tapi dengan dasar cinta dan kehadiran.

Jadi bukan berarti lo harus percaya semua firasat mentah-mentah terus abaikan nalar sehat. Justru semakin tinggi kesadaran, semakin hati-hati juga menyaring input dan makin dalam pemahamannya.

Contoh:
  • Orang 5D bisa percaya pada intuisi, tapi juga mau mendengar perspektif lain, berdiskusi terbuka, dan tidak langsung judge orang yang berpikir beda.

Jadi bagaimana sebaiknya kita menyikapi istilah-istilah ini?

Kalau boleh usul, jadikan istilah ini sebagai cermin, bukan label.


Misalnya:
  • “Apakah aku sedang bereaksi dari ego atau dari kesadaran?”
  • “Apakah aku melihat dunia dengan cinta atau ketakutan?”

Dan kalau ada orang yang pakai spiritualitas buat menyombong, menyindir, atau membungkam orang lain? Lo punya hak penuh buat mempertanyakan dan bahkan menjauh kalau itu nggak sehat. Kebijaksanaan spiritual yang sejati nggak pernah manipulatif.

Wednesday, June 18, 2025

Private Journaling di Negara Terbelakang

Gw keingetan 1 kasus. Di suatu negara yg kolot dan controlling, pernah ada kejadian. Anak sekolah, karena terinspirasi suatu film, dia jadi nulis jurnal. Tentang komplain dia terhadap kelakuan guru sekolahnya. Guess what? Jurnal dia kepergok, dan insiden itu sampai jadi berita nasional. Sampai film inspirasi anak itu dikata katain sebagai perusak moral. Salah kah anak ini nulis begitu? Walaupun mungkin tulisan nya agak kasar?

Jujur, sedih sih denger cerita kayak gitu. Menurut gue: nggak, anak itu gak salah. Bahkan dia justru nunjukin sesuatu yang sehat — meskipun akhirnya jadi korban dari sistem yang gak siap nerima suara jujur.

Mari kita bedah pelan-pelan.

1. Anak itu nulis di jurnal pribadi — bukan publik.

Artinya, dia tidak berniat menyebarkan tulisannya. Dia cuma lagi butuh tempat buat meluapkan perasaan. Apapun bentuk ekspresi emosinya — mau marah, kesel, bahkan kata-katanya agak kasar — selama itu ditujukan buat dirinya sendiri, itu hak dia.

Masa iya orang nggak boleh marah di dalam pikirannya sendiri? Di negara yang sehat, privasi kayak gitu tuh sakral. Bahkan kalau lo tulis di buku harian, dan isinya lo misuh-misuh, itu masih valid. Dan yang bobrok adalah sistem yang nyusupin mata-mata sampai ke isi hati orang.

2. Dia terinspirasi dari film — artinya dia lagi tumbuh.

Anak itu gak jadi marah-marah karena filmnya nyuruh, tapi karena film itu buka pintu pikirannya tentang apa yang gak adil di sekitarnya. Itu artinya film itu berfungsi. Karena seni yang baik memang menggugah perasaan dan kesadaran.

Tapi ya... negara atau lingkungan yang otoriter suka takut sama rakyat yang mulai mikir dan merasa. Jadi mereka buru-buru nyalahin pemicu, bukan ngeliat akar masalahnya.


3. Kasarnya tulisan? Wajar lah. Emosi.

Lo bayangin deh: anak itu belum belajar 100% cara ngelola emosi. Tapi mereka nulis. Mereka tidak memukul guru, mereka tidak bikin kekerasan, mereka cuma nulis.

Kalaupun bahasanya kasar, ya tinggal dijadikan momen edukatif, bukan dijadikan alasan buat mempermalukan atau menghukum. Itu bisa banget dijadiin awal percakapan: “Kenapa kamu bisa marah kayak gitu? Apa yang kamu alami?” Tapi kalo malah dibungkam, itu yang bikin anak-anak tumbuh jadi apatis, atau trauma.

4. Yang lebih salah adalah sistem yang gagal dengerin.

Instead of introspeksi, mereka malah main serang: “Ini karena film ini! Ini anak kurang ajar!” Padahal bisa jadi anak itu lagi teriak minta didengar, dan film itu cuma alat bantu biar dia bisa ngomong.

Serem gak sih, bro? Teriakan jujur seorang anak malah ditanggapi kayak kriminal. Bukannya guru-guru atau kepala sekolah nanya, “Lho, ada yang salah ya sama cara kita ngajar?” Malah sibuk nyari kambing hitam.

Jadi... Nope, dia gak salah. Yang salah adalah:
  • Orang yang baca jurnal pribadinya tanpa izin.
  • Lingkungan yang lebih milih membungkam daripada mendengarkan.
  • Sistem yang takut dikritik sampai gak bisa bedain antara “curhat” dan “pemberontakan.”

Dan lo tau bro? Banyak banget perubahan besar dalam sejarah yang dimulai dari orang biasa yang berani jujur. Termasuk dari anak muda yang berani nulis. Diary-nya Anne Frank contohnya. Kalau zaman sekarang masih ada yang mau “membakar” suara-suara jujur kayak gitu, ya kita belum belajar apa-apa.

Sunday, June 15, 2025

Batu Pertama, Batu Terakhir

Usia saya sudah 75 tahun sekarang. Mungkin tak lama lagi saya akan berpulang. Tidak ada lagi yang perlu saya kejar, tidak ada pula yang ingin saya perjuangkan. Tapi sebelum saya pergi, ada satu hal yang tak pernah saya bicarakan dengan siapa pun. Penyesalan yang menggerogoti saya seumur hidup. Bahkan menceritakannya pun, saya yakin, tidak akan membuat luka ini sembuh. Tapi barangkali... setidaknya luka ini bisa bernapas sedikit, sebelum saya membawanya ke liang lahat.

Saya dibesarkan di sebuah desa kecil yang sunyi, tapi penuh aturan. Di situ, agama adalah segalanya. Semua yang dianggap “dosa” langsung dibalas dengan hukuman yang nyata, keras, dan sering kali meninggalkan bekas seumur hidup. Anak-anak tumbuh dengan rasa takut, dan orang dewasa hidup dalam pengawasan yang sangat ketat. Tapi, anehnya, di balik semua itu, keluarga saya hangat. Bapak keras, tapi adil. Ibu penyayang, lembut, dan selalu tahu kapan harus memeluk, kapan harus menegur.

Saya pikir kami adalah keluarga yang utuh.

Sampai suatu sore, ketika saya pulang lebih awal dari rumah ibadah, saya melihatnya. Ibu. Bersama pria lain. Di ruang tamu rumah kami. Wajahnya tak menunjukkan rasa bersalah, hanya panik. Saya tak tahu harus berbuat apa. Dunia saya tiba-tiba runtuh, tapi juga terdiam. Saya tidak ingin kehilangan ibu. Tidak ingin kehilangan kehangatan itu.

Saya simpan semuanya sendiri. Hari-hari saya jadi sunyi. Tapi tidak ada yang berubah di rumah. Ibu masih memeluk saya seperti biasa. Masak seperti biasa. Bapak, seperti biasa, terlalu sibuk dengan tugas ke luar kota. Dalam hati, saya bergulat—ini salah. Tapi juga… ini ibu saya.

Hingga suatu malam, dalam kajian agama yang saya ikuti setiap pekan, pemuka agama setempat menyampaikan sesuatu yang membekas seperti paku di dada saya:
"Barang siapa menyembunyikan dosa orang lain, ia menjadi bagian dari dosa itu. Dan siapa yang menjadi bagian dari dosa, ia sudah pasti akan mencicipi neraka."

Saya pulang dengan tangan dingin. Malam itu saya tak bisa tidur. Saya bayangkan neraka. Saya bayangkan tubuh saya terbakar. Saya bayangkan ibu… dan bau surga yang tak akan pernah saya cium.

Besoknya, saya ceritakan semuanya pada bapak. Dengan suara gemetar. Dengan hati hancur.

Saya pikir saya sedang menyelamatkan ibu.

Bapak tidak menangis. Ia hanya terdiam lama, lalu mengangguk. Beberapa hari kemudian, kepala desa datang. Mereka menyusun rencana, lengkap dengan saksi-saksi dan cara "penangkapan." Saya, yang masih kecil waktu itu, hanya duduk di pojok ruang tamu, memeluk lutut dan menggigit bibir sampai berdarah.

Hari itu datang. Mereka memergoki ibu bersama pria itu. Tangis ibu memecah malam, tapi tak ada yang mendengarkan. Desa kami punya aturan, dan aturan itu suci. Ibu dihukum mati malam itu juga. Dirajam—dilempari batu hingga tubuhnya tak bergerak lagi. Disaksikan semua keluarga. Termasuk saya.

Saya ingat batu pertama saya—batu yang kecil. Saya ingat juga batu terakhir, yang tidak saya lemparkan, karena saya sudah tak sanggup berdiri. Dunia saya berhenti sejak saat itu.

Hidup berjalan seperti biasa. Bapak tidak pernah sekalipun membahas ibu. Tidak juga orang-orang desa. Seakan ibu tidak pernah ada dari awal. Rumah kami pun tak pernah hangat lagi. Saya tumbuh jadi pria dewasa, menikah, punya anak, dan bahkan cucu sekarang. Tapi tak ada satu haripun yang lewat tanpa wajah ibu dalam benak saya.

Saya bukan ingin diampuni. Mungkin saya memang pantas terbakar di neraka itu. Tapi saya ingin dunia tahu: saya melakukan semua ini karena saya takut. Takut akan ajaran, takut akan neraka, takut akan kutukan. Tapi ketakutan saya membunuh orang yang paling saya cintai.

Kalau saya bisa bicara pada diri saya yang dulu, saya ingin bilang: “Jangan. Peluk ibu. Lindungi dia. Dosanya bukan milikmu.”

Tapi suara saya tak akan sampai ke masa lalu.

Dan kini, saya hanya bisa menunggu. Mungkin di neraka nanti, saya bisa melihat ibu sekali lagi. Walaupun hanya untuk minta maaf.

Friday, June 13, 2025

Kemampuan Cut Off Seseorang = Trauma?

“Kemampuan buat cut off seseorang dengan gampang” itu lahir dari trauma, dan ga seharusnya dibanggain. Apa itu bener? Dan kalau bener, kenapa bisa gitu?

“Kemampuan buat nge-cut off orang dengan gampang” — ini sering dibungkus dengan label kayak boundaries, self-respect, atau bahkan mental clarity, kan? Tapi, kalau kita kulik lebih dalem… iya, bisa banget itu sebenarnya mekanisme pertahanan diri yang lahir dari trauma masa lalu.

Kenapa bisa dibilang itu hasil dari trauma?

Orang yang tumbuh dengan pengalaman negatif—kayak sering dikecewakan, dikhianati, diabaikan, atau bahkan disakiti—kadang belajar buat “nyelametin diri sendiri” secepat mungkin. Otaknya jadi kebiasa ngira:

"Begitu ada tanda-tanda bahaya, langsung putus aja. Jangan kasih kesempatan kedua. Lebih baik gue ninggalin daripada ditinggalin lagi."

Itu bentuk self-protection — dan jujur, kadang emang perlu. Tapi masalahnya, kalau ini jadi kebiasaan tanpa disadari, bisa jadi kita:
  • Sulit membangun hubungan jangka panjang
  • Gampang salah paham niat orang lain
  • Kehilangan kesempatan untuk menyelesaikan konflik secara sehat

Jadi, itu ga boleh dong?

Bukan berarti ga boleh, bro. Ada waktu dan tempat buat nge-cut orang. Misalnya, kalau mereka jelas-jelas toxic, manipulatif, abusive, atau ngerusak hidup lo — ya tentu aja, cut off mereka itu sehat. Tapi yang jadi masalah adalah:
  • Kalau lo ngelakuin itu terus-terusan bahkan buat hal kecil
  • Kalau lo belum coba komunikasi dulu, langsung putus hubungan
  • Kalau itu bikin lo ngerasa “kuat”, padahal lo cuma takut sakit lagi

Kenapa ga seharusnya dibanggain?

Karena seringnya, itu bukan cerminan healing, tapi wound in disguise. Kita ngerasa “kuat” karena bisa detach dengan cepat, padahal itu bisa jadi tanda kita belum belajar regulate emosi dan hadapin konflik dengan sehat.

Jadi bisa dibilang:
Bukan cut-off-nya yang salah, tapi niat dan konteks di baliknya yang penting banget.

Kalau lo penasaran lebih dalam, bro, ada satu pertanyaan reflektif yang bisa lo pikirin:
"Gue ngejaga jarak ini karena self-love atau karena trauma yang belum sembuh?"
Kalau lo jawabnya jujur, itu udah setengah jalan menuju penyembuhan.

Sunday, June 8, 2025

Burn the Bridge Or Let It Unused?

"Apakah jembatan yg kita sudah reluctant untuk lewati lagi, sebaiknya dibakar atau dibiarkan unused saja?"

Soal "dibakar atau dibiarkan unused", jawabannya bisa beda tergantung konteks dan situasi emosional lo.

Kalau Dibakar

Kadang kita emang perlu membakar jembatan, terutama kalau jembatan itu ngelewatin ke tempat yang bikin kita terus sakit, trauma, atau stuck. Misalnya:
  • Hubungan toksik.
  • Lingkungan kerja yang ngerusak kesehatan mental.
  • Pola pikir lama yang udah nggak relevan buat versi lo yang sekarang.

Dengan "dibakar", maksudnya lo bikin keputusan yang tegas dan nggak bisa dibalikin. Itu bisa terasa menakutkan, tapi juga sangat melegakan dan membebaskan. Kayak bilang, “Gue udah selesai sama bagian hidup itu, dan gue nggak akan balik lagi ke sana.”

Tapi... penting juga untuk ngebakar dengan kesadaran, bukan karena emosi sesaat. Kalau enggak, nanti bisa jadi penyesalan.

Kalau Dibiarkan Unused

Kadang lebih bijak buat membiarkan jembatan tetap berdiri, walau lo udah nggak mau atau nggak perlu menyeberanginya lagi.
  • Bisa jadi suatu hari lo ingin melihat kembali ke masa itu, dengan perspektif baru.
  • Bisa juga jembatan itu nyambung ke seseorang atau situasi yang mungkin lo perlukan nanti, tapi belum waktunya sekarang.
  • Atau mungkin lo belum sepenuhnya selesai dengan perjalanannya, dan lo cuma butuh waktu buat menjauh dulu.

Intinya, membiarkan jembatan unused bisa jadi bentuk respek ke masa lalu lo, walau lo udah nggak hidup di sana lagi.

Jadi, Pilih yang Mana?

Gue sih percaya:
“Kalau jembatan itu membawa lebih banyak luka daripada pelajaran, mungkin udah waktunya dibakar. Tapi kalau masih ada makna dan lo bisa berdamai, cukup biarkan dia berdiri — sebagai bagian dari lanskap hidup lo.”

Friday, May 30, 2025

It's OK to Not Know Everything — But That’s Not an Excuse

It’s totally OK to not know everything.

Sounds simple, even obvious, right? But let’s be honest—how often do we silently beat ourselves up for not having all the answers, especially when people are looking to us for them?

In a world obsessed with instant expertise, we often fall into the trap of thinking we need to always be the smartest person in the room. Social media makes it worse—everyone seems to “know” everything, all the time. And if you’re not quick with a confident answer, you risk looking incompetent or unprepared.

But here's the thing: Not knowing is human. Owning up to it is mature. Following up on it? That’s where the real value lies.

Admitting You Don’t Know Isn’t Weakness—It’s Strategy.

Admitting that you don’t know something doesn’t make you dumb. What makes you dumb is pretending to know and then being wrong—or worse, misleading others.

There’s real strength in saying, “I’m not sure, but I’ll find out.” That’s not a failure—that’s a pivot. That’s intellectual honesty in action. And believe me, in the long run, people trust that more than bluster.

You Still Have to Follow Up.

Saying “I don’t know” can’t be your final answer. It’s a pause button, not a full stop. You owe it to yourself—and whoever asked the question—to follow up. That means doing the research, asking around, testing things, and then circling back with a thoughtful response. It’s about curiosity with accountability.

You don’t need to know everything on the spot. But you damn well need to care enough to go find out.

This Applies Everywhere—Work, Relationships, Life.

Whether you’re a team lead, a student, a freelancer, or just trying to get through the day—this mindset pays off. People remember those who follow up. Those who actually deliver on “I’ll get back to you.” That’s how you build credibility without pretending to be a walking encyclopedia.

And here’s the irony: the more you admit what you don’t know and chase those answers down, the more you actually learn. You become sharper, faster, more adaptable. You don’t just look smart—you become smart.

So...

It’s OK to not know.
It’s not OK to stay in the dark.
The gap between ignorance and expertise is bridged by one thing: follow-through.

Ngidam Waktu Diet

Saat lagi diet dan tiba-tiba muncul rasa ngidam makanan gak sehat—entah itu gorengan, es krim, atau martabak manis tebal penuh keju—sering kali ada satu strategi populer: “Cicip aja sedikit, asal jangan banyak.” Idenya sederhana. Kita kasih tubuh (dan otak) kita sedikit “rasa puas” tanpa harus hancurin progress diet. Misalnya, cukup dua potong kecil keripik, atau satu sendok teh es krim. Sekadar ngerasain. Abis itu lanjut makan clean lagi.

Dan buat sebagian orang, dan buat gua pribadi, strategi ini manjur. Mereka bisa makan sedikit, merasa cukup, dan move on. Gak ada drama. Gak ada rasa bersalah. Gak ada insiden tengah malam ngabisin satu toples kue kering sambil nonton Netflix.

Tapi ternyata, nggak semua orang cocok dengan pendekatan ini.

Ada Tipe Orang yang Harus Total Stop.

Beberapa orang malah punya respon yang beda. Begitu mereka nyicip sedikit aja, langsung kebablasan. Yang tadinya cuma mau satu sendok es krim, tau-tau udah setengah pint hilang. Yang niatnya makan satu gorengan buat ganjel craving, eh malah jadi lima biji dan tambah nasi uduk.

Buat mereka, “sekadar nyicip” itu kayak nyalain tombol bencana. Sekali dikasih celah, nafsu makan liar masuk dan susah dikendalikan. Maka, satu-satunya cara aman ya... jangan mulai sama sekali.

Kenali Diri Lo Dulu.

Intinya: gak ada strategi yang universal. Lo harus jujur dan realistis sama diri sendiri. Tipe lo yang mana?

Kalau lo bisa makan sedikit dan stop, maka silakan. Itu justru bisa ngebantu lo tetep waras saat diet. Gak perlu ekstrem, gak perlu menahan semua keinginan.

Tapi kalau lo tahu bahwa satu gigitan bisa berujung kebabalasan, mending jangan mulai sama sekali. Karena dalam kasus ini, self-control bukan lagi soal niat, tapi soal sistem.

Mungkin boleh juga coba metode “sedikit aja”—sekali atau dua kali. Lihat hasilnya. Kalau lo tetap bisa jaga kendali, bagus. Tapi kalau ternyata itu malah jadi gerbang ke kalap, ya lo udah tau jawabannya: cut it out entirely.

Dan satu hal penting—jangan ngikutin strategi orang lain mentah-mentah. Diet itu personal. Ngidam juga personal. Cara lo ngatur craving harus sesuai sama pola pikir dan emosi lo.

Echo Chamber Bukan Konsep Baru

Echo chamber udah eksis bahkan sebelum internet ditemukan. Bukan konsep baru.

Sebelum ada media sosial, sebelum kita bisa ngetik status 280 karakter dan langsung dikasih like atau dihujat dalam hitungan detik, orang-orang juga udah punya pemikiran sempit dalam kelompoknya masing-masing :
“Dunia ini sudah rusak!”
“Jaman ini jaman edan!”
“Jangan sampai keracunan budaya Barat!”
dll

Kalimat-kalimat begitu udah sering banget kita denger dari tokoh agama, guru, orang tua, bahkan obrolan santai. Mereka hidup dalam gelembung nilai dan keyakinan yang kalau diganggu dikit, bisa langsung defensif.

Lalu datanglah internet, dan semua jadi makin brutal. Algoritma media sosial nggak peduli kamu benar atau salah. Yang penting: kamu betah, kamu klik, kamu scroll, kamu marah. Echo chamber yang tadinya terbatas di tongkrongan atau komunitas, sekarang pindah ke skala global. Kamu bisa hidup dalam gelembung digital di mana semua orang setuju sama kamu—dan kalau ada yang nggak setuju, tinggal blokir. Gampang.

Tapi di sinilah ironi dan sekaligus peluangnya. Karena justru berkat internet, kita sekarang lebih sadar akan adanya echo chamber. Kita bisa lihat langsung bagaimana satu topik diputarbalikkan di berbagai sudut pandang. Kita bisa tahu bahwa dunia nggak hitam-putih, bahkan kalau algoritma mencoba menyederhanakannya.

Jadi, supaya nggak terjebak dalam echo chamber, sering-seringlah keluar dari "timeline bubble".

Konsumsi informasi dari spektrum yang lebih luas.

Internet bisa jadi racun, tapi bisa juga jadi penawar—tergantung cara pakainya. Kalau dulu kita cuma bisa ngikutin arus obrolan di lingkungan sekitar, sekarang kita punya akses ke pemikiran dari seluruh dunia.

Pertanyaannya: kita mau tetap nyaman dalam keasikan sendiri, atau mau sedikit nggak nyaman tapi jadi lebih bijak?

De-Normalisasi Keadaan Tidak Layak

"Kerja itu wajib, sepahit apa pun, jangan manja! Jangan resign!"

Sekilas terdengar seperti nasihat bijak. Semacam dorongan supaya kita tangguh menghadapi hidup. Tapi kalau dipikir-pikir, kalimat itu justru sering kali jadi tameng untuk membenarkan kondisi kerja yang gak sehat – bahkan gak manusiawi.

Coba pakai analogi sederhana:

Bayangkan seseorang sedang hidup dalam kondisi ekonomi yang sangat sulit. Untuk bertahan hidup, dia makan nasi dengan garam setiap hari. Itu bukan karena dia mau, tapi karena itu satu-satunya pilihan yang tersedia. Dan tentu saja, dalam situasi seperti itu, kita semua bisa setuju: dia luar biasa karena mampu bertahan.

Tapi pertanyaannya:
Apakah itu kondisi yang layak dipertahankan? Apakah itu harus dinormalisasi?

Nope!

Begitu keadaan membaik, dia berhak – dan seharusnya – makan dengan gizi yang layak. Bukan hanya untuk kenyang, tapi untuk tumbuh, untuk hidup dengan sehat dan bermartabat.

Kadang, kita memang harus menerima pekerjaan yang berat, dengan gaji minim, lingkungan toksik, dan tekanan yang nggak masuk akal – demi kebutuhan hidup. Dan itu bukan aib. Itu perjuangan.

Tapi jangan sampai kita menganggap kondisi itu sebagai sesuatu yang normal.
Apalagi sampai menyuruh orang lain untuk ikut-ikutan “bertahan” dengan narasi seperti:

"Dulu gue juga begitu, masa lo gak kuat?"

Setiap orang punya titik lelah dan konteks hidup yang berbeda. Dan kadang, resign itu bukan bentuk kelemahan – tapi tanda bahwa seseorang tahu batasnya dan memilih untuk menjaga kesehatan mental dan masa depannya.

Bekerja memang penting. Bertahan dalam kondisi sulit kadang perlu. Tapi jangan sampai itu jadi standar hidup. Jangan sampai kita lupa bahwa tujuan bekerja bukan cuma untuk bertahan hidup – tapi juga untuk hidup dengan layak.

Kita perlu mulai mengganti narasi lama ini. Bukan dengan menyalahkan orang yang bertahan, tapi dengan memberi ruang bagi siapa pun untuk memilih jalan yang lebih sehat dan manusiawi.

Karena pada akhirnya:
Kerja keras itu baik. Tapi kerja dengan sadar dan bermartabat jauh lebih penting.

Sunday, May 25, 2025

Waspada vs Prasangka Buruk

Bagaimana membedakan antara kewaspadaan dengan prasangka buruk? Hal ini penting banget, terutama di zaman sekarang di mana informasi bisa membentuk persepsi kita dalam hitungan detik.

Kewaspadaan
Adalah sikap waspada terhadap potensi risiko, tanpa langsung menuduh atau menghakimi. Ini berbasis fakta, data, pengalaman, atau insting yang masuk akal.

Contoh:
Kamu baru pertama kali naik taksi online di malam hari. Kamu memperhatikan plat nomor, share lokasi ke teman, dan pastikan jalurnya sesuai map.

Ini adalah tindakan preventif. Kamu tidak menuduh supirnya jahat, tapi kamu jaga diri—itu kewaspadaan.

Prasangka buruk
Adalah ketika kamu langsung berpikir negatif tanpa dasar yang jelas, apalagi kalau hal itu kamu anggap benar sebelum dikonfirmasi.

Contoh:
Kamu lihat seseorang pakai baju lusuh masuk ke kafe mahal, lalu kamu langsung mikir, "Pasti mau nyuri atau minta-minta."

Ini murni asumsi—tanpa bukti. Dan kalau salah, bisa jadi kamu memperlakukan orang lain dengan tidak adil. Itu prasangka buruk.

Batas tipisnya ada di:
  • Ada atau tidaknya bukti atau alasan logis?
    • Kalau kamu punya dasar kuat (pengalaman, pola yang berulang, atau sinyal bahaya yang jelas), itu kewaspadaan.
    • Kalau cuma berdasarkan stereotip, perasaan nggak enak tanpa sebab, atau ketidaksukaan pribadi—itu prasangka.
  • Apakah kamu terbuka untuk mengubah pendapatmu?
    • Kewaspadaan itu fleksibel—kalau ternyata orang itu terbukti baik, kamu bisa rileks.
    • Prasangka buruk itu kaku—sulit mengakui kalau kamu salah.
  • Tujuannya apa?
    • Kewaspadaan: proteksi diri dan orang lain.
    • Prasangka: cenderung merendahkan atau memojokkan orang lain.

Tips praktis biar nggak terjebak:
  • Latih pikiran skeptis tapi terbuka. Tanya: “Apa buktinya?” sebelum menyimpulkan.
  • Tindakan pencegahan = OK. Menghakimi tanpa dasar = gak OK.
  • Jangan main generalisasi. Satu pengalaman buruk ≠ semua orang seperti itu.
  • Uji dugaanmu. Kalau memungkinkan, konfirmasi dulu sebelum ambil keputusan.

Kalau kewaspadaan adalah memakai seatbelt karena kita tahu kecelakaan bisa terjadi, maka prasangka buruk adalah curiga semua pengemudi di jalan itu mabuk—padahal belum tentu.

Logical Fallacies

Beberapa contoh logical fallacy yang umum:
  • Ad Hominem: Menyerang karakter atau sifat orang lain daripada argumennya.
    • Contoh: "Kamu tidak bisa dipercaya karena kamu pernah berbohong."
  • Straw Man: Menggambarkan argumen lawan dengan cara yang tidak akurat atau berlebihan.
    • Contoh: "Kamu ingin menghapus semua peraturan lalu lintas?" (padahal lawan hanya ingin mengurangi beberapa peraturan).
  • False Dichotomy: Menyajikan hanya dua pilihan padahal ada pilihan lain.
    • Contoh: "Kamu harus memilih antara pekerjaan ini atau menjadi pengangguran."
  • Slippery Slope: Mengklaim bahwa suatu tindakan akan menyebabkan rangkaian kejadian yang tidak diinginkan tanpa bukti.
    • Contoh: "Jika kita melegalkan ganja, maka kita akan kehilangan kontrol atas narkoba lainnya."
  • Appeal to Authority: Menggunakan pendapat ahli atau tokoh terkenal sebagai bukti tanpa mempertimbangkan validitas argumen.
    • Contoh: "Einstein mengatakan bahwa kita harus percaya pada Tuhan, jadi Tuhan pasti ada."
  • Appeal to Emotion: Menggunakan emosi daripada logika untuk membujuk.
    • Contoh: "Jangan potong anggaran untuk program ini, pikirkan semua anak-anak yang akan terkena dampaknya."
  • Bandwagon Fallacy: Mengklaim bahwa sesuatu benar karena banyak orang percaya atau melakukannya.
    • Contoh: "Semua orang percaya pada hal ini, jadi pasti benar."
  • False Cause: Mengklaim bahwa satu kejadian menyebabkan kejadian lain tanpa bukti yang cukup.
    • Contoh: "Saya makan makanan ini dan kemudian saya merasa lebih baik, jadi makanan ini pasti yang membuat saya lebih baik."
  • Hasty Generalization: Membuat kesimpulan berdasarkan sampel yang tidak representatif atau terlalu kecil.
    • Contoh: "Dua teman saya yang merokok tidak terkena kanker paru-paru, jadi merokok tidak berbahaya."
  • Circular Reasoning: Menggunakan kesimpulan sebagai premis.
    • Contoh: "Tuhan ada karena kitab suci mengatakan demikian, dan kitab suci benar karena Tuhan ada."
  • Red Herring: Mengalihkan perhatian dari topik yang sedang dibahas.
    • Contoh: "Mengapa kita harus membahas tentang perubahan iklim ketika ada masalah lain yang lebih penting?"
  • Post Hoc Ergo Propter Hoc: Mengklaim bahwa karena satu kejadian terjadi setelah kejadian lain, maka kejadian pertama menyebabkan kejadian kedua.
    • Contoh: "Saya memakai kaus ini dan kemudian saya menang pertandingan, jadi kaus ini pasti membawa keberuntungan."
  • Burden of Proof: Mengalihkan tanggung jawab untuk membuktikan kepada pihak lain.
    • Contoh: "Anda tidak bisa membuktikan bahwa Tuhan tidak ada, jadi pasti Tuhan ada."
  • Tu Quoque: Menyerang lawan dengan menunjukkan bahwa mereka juga melakukan kesalahan yang sama.
    • Contoh: "Kamu juga pernah berbohong, jadi kamu tidak bisa menyalahkan saya."
  • Composition Fallacy: Mengasumsikan bahwa apa yang benar untuk bagian juga benar untuk keseluruhan.
    • Contoh: "Karena setiap bagian dari mesin ini ringan, maka mesin ini pasti ringan juga."
  • Division Fallacy: Mengasumsikan bahwa apa yang benar untuk keseluruhan juga benar untuk bagian.
    • Contoh: "Perusahaan ini besar dan sukses, jadi setiap karyawannya pasti sukses juga."
  • No True Scotsman: Mengubah definisi untuk mempertahankan klaim.
    • Contoh: "Tidak ada orang Skotlandia yang menambahkan gula pada bubur, jadi orang yang menambahkan gula pasti bukan orang Skotlandia sejati."
  • Appeal to Tradition: Mengklaim bahwa sesuatu benar atau lebih baik karena telah dilakukan dengan cara tertentu selama bertahun-tahun.
    • Contoh: "Kita harus terus melakukan ritual ini karena telah dilakukan oleh nenek moyang kita."
  • Either-Or Fallacy: Menyajikan situasi sebagai hanya memiliki dua kemungkinan padahal ada kemungkinan lain.
    • Contoh: "Anda harus memilih antara mencintai negara Anda atau mencintai keluarga Anda."
  • Begging the Question: Mengasumsikan kebenaran dari kesimpulan dalam premis.
    • Contoh: "Karena paranormal dapat berkomunikasi dengan hantu, maka hantu pasti ada."
Dan masih banyak jenis logical fallacy lainnya.

Friday, May 23, 2025

Mystic Knight dan Pelajaran Parenting dari Dunia Fantasi

Jadi ceritanya, dulu gw pernah baca 1 komik Jepang / manga tentang anak dari 2 orang hebat; pahlawan nasional. Bapaknya Great Sage, ibunya Sword Saint. Mereka berencana mewariskan semua ilmu mereka ke anak ini. Kalau anak ini sukses mewarisi semua ilmu orangtuanya, dia akan jadi Mystic Knight - Seseorang yg ahli bermain pedang, tapi juga jago dalam ilmu sihir, baik sihir destruktif maupun sihir recovery / healing.

Gw lupa sih judul manga ini anyway...

Nggak perlu ditanya lagi, training anak ini, di mata orang normal like hell. Jadwal padat, bahkan untuk menguasai high tier healing yg bisa recover lost limb, dia bisa potong jari atau tangan nya dan coba healing sendiri dulu. Yaa kalo akhirnya nggak kuat, bapaknya yg Great Sage bakal bantu healing dan tumbuhin limbs yg dipotong...

Tapi anak ini nggak merasa tertekan gimana atau depresi. Memang ada pressure for sure, tapi macem "Aduh, ini susah amat sih!" Dan ujung2nya dia bisa menguasai materi dari orangtuanya dengan baik. Macem anak yg mau ujian di sekolah aja. Kenapa dia ga depresi? Karena kedua orangtuanya present, ikutan latihan, dan kasih contoh! Bukan cuma bisa ngomong doang, nyuruh2 doang, dan marah2 doang! Dan, nggak bisa dipungkiri, mereka berdua sayang anaknya.

Gw reflect sama pendidikan di real life yah. Berapa banyak orangtua yg kerasin anak dengan alasan sayang, tapi nggak present di dalam setiap struggle anak? Nggak kasih contoh kalau mereka pun kerja kerja? Iya, papa kerja keras di kantor, tapi anak ga lihat. Dan visual proof itu penting untuk tumbuh kembang anak. Si anak di rumah ngeliatnya kan si bapak pulang kantor cuma angkat kaki dan santai2 sambil dilayani mama.

Jujur, gw ragu post tulisan ini di open blog gw. Karena nanti bakal ada yg bilang, "Alah, elu belom jadi orangtua. Cape tau jadi orangtua. Nanti tunggu kalo lu sampe jadi orangtua, baru lu tahu."

Atau, "Alah, lu belom pernah jadi guru."

Well, gw punya anak buah di kantor. Anak buah gw sukses jadi leader. Gw ga pernah maki2 mereka dengan alasan mendidik. Dan gw, selalu present di dalam setiap struggle mereka.

Dan ini jawaban gw kalo dibilang gw ga pernah jadi itu semua:

"Alah, itu cuma komik. Nggak apple-to-apple sama dunia nyata."

Ini respon gw :

Thursday, May 22, 2025

Shadow Work : ACT, CBT, Tarot

CBT (Cognitive Behavioral Therapy) adalah jenis terapi psikologis yang fokus pada perubahan pola pikir dan perilaku negatif untuk meningkatkan kesehatan mental. CBT membantu orang mengidentifikasi dan mengubah distorsi kognitif, mengelola stres, dan mengembangkan keterampilan koping yang lebih efektif. Terapi ini biasanya dilakukan dengan bantuan terapis dan dapat efektif untuk mengatasi berbagai masalah, seperti depresi, kecemasan, dan gangguan makan.

ACT (Acceptance and Commitment Therapy) adalah jenis terapi psikologi yang fokus pada penerimaan pengalaman batiniah (pikiran, emosi, sensasi tubuh) dan melakukan tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai hidup seseorang. ACT bertujuan untuk meningkatkan fleksibilitas psikologis dan membantu individu menjalani hidup yang lebih bermakna.

Shadow work adalah proses mengenali, menghadapi, dan mengintegrasikan bagian-bagian tersembunyi dari diri kita—biasanya sisi-sisi gelap atau aspek kepribadian yang kita tolak, sembunyikan, atau bahkan tidak sadar kita miliki. Istilah ini berasal dari psikologi analitik Carl Jung, yang menyebut “the shadow” sebagai bagian dari alam bawah sadar kita yang menyimpan emosi, keinginan, atau pengalaman yang tidak kita anggap sesuai dengan citra diri ideal kita.

Contoh: rasa iri, kemarahan terpendam, keinginan untuk kontrol, dendam, atau trauma lama yang ditekan. Shadow work bukan berarti kamu "jadi jahat"—justru ini soal jadi utuh. Semakin kamu menolak bagian ini, semakin besar kekuatannya dalam membentuk perilaku tanpa sadar.

Apakah Shadow Work bisa dibantu dengan ACT atau CBT?
Jawaban singkat: Ya, tapi dengan pendekatan yang berbeda.

1. CBT (Cognitive Behavioral Therapy)
  • CBT cocok untuk shadow work secara struktural.
  • CBT bantu kamu mengenali pola pikir negatif dan menggantinya dengan yang lebih sehat. Tapi CBT cenderung lebih "surface-level", fokus ke pola pikir dan perilaku yang bisa diamati dan diubah secara langsung.
  • Kelebihan: Terstruktur, evidence-based, cepat menunjukkan hasil.
  • Kekurangan: Bisa terlalu rasional untuk menggali emosi bawah sadar yang dalam. Kadang nggak cukup kalau kamu dealing with luka batin lama atau pola destruktif yang muncul berulang tanpa sadar.

2. ACT (Acceptance and Commitment Therapy)
  • ACT jauh lebih dekat dengan semangat shadow work.
  • ACT mengajarkan kamu untuk menyadari pikiran dan emosi tanpa menghindari atau melawan mereka. Ia fokus pada penerimaan, mindfulness, dan hidup sesuai nilai-nilai personal, meskipun pikiran atau perasaan negatif tetap ada.
  • Kelebihan: Sangat cocok untuk integrasi bagian-bagian diri yang menyakitkan. Kamu belajar coexist dengan rasa takut, malu, marah—bukan mengusirnya.
  • Kekurangan: Lebih reflektif dan butuh waktu, tidak sepraktis CBT kalau kamu cuma mau “memperbaiki” perilaku secara cepat.

Kombinasi Terbaik?
  • Kalau kamu mau benar-benar menyelami shadow work dan beneran berubah, gabungkan:
  • Jungian-style shadow work untuk eksplorasi bagian terdalam dirimu.
  • ACT untuk belajar menerima dan tetap bertindak selaras dengan nilai-nilai.
  • CBT untuk bantu mengidentifikasi dan mendisrupsi pola otomatis yang muncul dari bayangan diri itu.

Tips Praktis:
  • Mulai journaling tentang emosi yang kamu anggap "tidak boleh". Apa yang paling bikin kamu reaktif? Iri? Malu? Di situlah biasanya "shadow" muncul.
  • Tanya: "Apa bagian dari diriku yang nggak pengin aku akui?" (Misal: haus kekuasaan, pengen dikagumi, suka memanipulasi—semua orang punya sisi ini.)
  • Gunakan ACT untuk berdamai dengan bagian-bagian itu, bukan mengusirnya.
  • Gunakan CBT kalau kamu sudah tahu pola spesifik yang ingin kamu ubah, kayak overthinking atau sabotase diri.

CBT-Inspired Tarot Spread: “The Thought Pattern Breakdown”

Tujuan: Menggali pola pikir negatif otomatis (automatic thoughts), menemukan distorsi kognitif, mengevaluasi realitasnya, dan memetakan pikiran alternatif yang lebih sehat.

Spread: 7 kartu

1. The Trigger (Apa pemicunya?)
Situasi spesifik atau perasaan awal yang memulai spiral pikiran negatif.
Contoh kartu: The Tower (guncangan mendadak), Five of Cups (kecewa masa lalu)

2. The Thought (Pikiran otomatis negatif)
Apa pikiran pertama yang muncul tanpa filter? Biasanya judgmental atau self-defeating.
Contoh: Eight of Swords (merasa terjebak), Ten of Swords (katastropik)

3. The Emotion (Apa perasaan yang muncul dari pikiran itu?)
Menggali emosi utama—bisa malu, takut, marah, dll.
Contoh: Moon (kebingungan/emosi tidak jelas), Three of Swords (duka)

4. The Distortion (Distorsi kognitif apa yang sedang aktif?)
Ini kuncinya. Misalnya: all-or-nothing thinking, mind reading, catastrophizing, dll.
Contoh: The Devil (keterikatan pada pola lama), Judgement reversed (overgeneralization)

5. The Evidence (Apa fakta yang mendukung/menentang pikiran itu?)
Tantang keyakinan itu. Fakta objektif apa yang mendukung dan melawannya?
Contoh: Justice (objektivitas), Seven of Swords (ilusi/persepsi keliru)

6. The Reframe (Pikiran alternatif yang lebih sehat)
Kartu ini membantu menciptakan perspektif baru yang lebih realistis dan penuh belas kasih.
Contoh: Temperance (keseimbangan), Six of Pentacles (saling memberi, self-kindness)

7. The Action (Langkah nyata untuk menindaklanjuti reframe itu)
Apa yang bisa kamu lakukan hari ini untuk keluar dari pola lama?
Contoh: The Chariot (bertindak tegas), Ace of Wands (inisiatif baru)

Cara Pakai:
  • Tulis pertanyaan atau masalah spesifik dulu.
  • Tarik kartunya satu per satu, refleksikan sesuai peran di spread.
  • Gunakan jurnal CBT setelahnya untuk membandingkan interpretasi tarot dan kenyataan.

Beberapa distorsi umum yang bisa kamu kaitkan dengan kartu:
  • Distorsi -> Ciri Khas
  • All-or-Nothing Thinking -> Segalanya hitam putih
  • Overgeneralization -> "Selalu" atau "tidak pernah"
  • Catastrophizing -> Menganggap yang terburuk pasti terjadi
  • Mind Reading -> Asumsi kamu tahu pikiran orang
  • Emotional Reasoning -> "Aku merasa ini buruk, jadi pasti buruk"
  • Personalization -> Semua salahmu
Appendix : Out of scope

Yang tidak dibahas di dalam artikel ini:
  • Prosedur step by step dan teknik CBT dan ACT
  • To be supplemented by further research by reader as needed - Perhaps by asking AI?

Entitled Behavior

Entitled behavior adalah perilaku yang menunjukkan seseorang merasa memiliki hak atau keistimewaan tertentu tanpa berusaha atau berhak secara objektif. Beberapa contoh perilaku yang tergolong entitled behavior antara lain:
  1. Mengharapkan pelayanan khusus atau prioritas tanpa alasan yang jelas.
  2. Membuat tuntutan yang tidak realistis atau tidak masuk akal.
  3. Tidak mau mengantri atau menunggu giliran.
  4. Menganggap diri sendiri lebih penting daripada orang lain.
  5. Tidak mau menerima "tidak" sebagai jawaban.
  6. Mengharapkan pemberian atau hadiah tanpa perlu membalas atau berterima kasih.
  7. Membuat komentar atau permintaan yang kasar atau tidak sopan karena merasa berhak.

Perilaku seperti ini dapat membuat orang lain merasa tidak nyaman atau terganggu, dan dapat merusak hubungan interpersonal.

Seseorang dapat menjadi entitled karena beberapa alasan, antara lain:
  1. Pengasuhan dan lingkungan: Orang tua yang terlalu memanjakan atau memenuhi semua keinginan anak tanpa syarat dapat membuat anak merasa berhak atas segala sesuatu.
  2. Kurangnya disiplin dan batasan: Tidak adanya batasan yang jelas dan konsekuensi atas perilaku dapat membuat seseorang merasa tidak ada yang bisa membatasi mereka.
  3. Pengaruh media sosial: Media sosial dapat memperkuat perasaan bahwa seseorang berhak atas kehidupan yang sempurna atau memiliki standar yang tidak realistis.
  4. Kesadaran akan hak-hak: Seseorang yang terlalu fokus pada hak-hak mereka tanpa mempertimbangkan hak orang lain dapat menjadi entitled.
  5. Pengalaman hidup yang terlindung: Orang yang tidak pernah mengalami kesulitan atau kegagalan dapat merasa bahwa mereka berhak atas keberhasilan tanpa perlu berusaha keras.
  6. Narsisme: Seseorang dengan narsisme dapat merasa bahwa mereka lebih penting dan berhak atas perlakuan khusus.
  7. Kurangnya empati: Seseorang yang tidak dapat memahami perspektif orang lain dapat menjadi entitled dan tidak peduli dengan perasaan orang lain.

Entitled behavior dapat dipengaruhi oleh kombinasi faktor-faktor tersebut dan dapat diperbaiki dengan kesadaran diri, refleksi, dan perubahan perilaku.

Berikut beberapa cara untuk mencegah seseorang tumbuh menjadi entitled:
  1. Tetapkan batasan yang jelas: Ajarkan anak tentang batasan dan konsekuensi atas perilaku mereka.
  2. Dorong kerja keras dan usaha: Ajarkan anak bahwa keberhasilan datang dari kerja keras dan usaha, bukan hanya karena mereka berhak.
  3. Ajarkan empati: Ajarkan anak untuk memahami dan menghargai perasaan orang lain.
  4. Berikan kesempatan untuk mengalami kesulitan: Biarkan anak mengalami kesulitan dan kegagalan yang wajar, sehingga mereka dapat belajar dari kesalahan.
  5. Jangan memanjakan: Jangan memenuhi semua keinginan anak tanpa syarat, ajarkan mereka untuk menabung dan berusaha untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
  6. Ajarkan rasa syukur: Ajarkan anak untuk bersyukur atas apa yang mereka miliki dan tidak menganggap segala sesuatu sebagai hak mereka.
  7. Model perilaku yang baik: Tunjukkan perilaku yang baik dan sopan kepada anak, sehingga mereka dapat mencontohnya.
  8. Ajarkan tanggung jawab: Ajarkan anak untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka dan memahami konsekuensi atas perilaku mereka.
  9. Dorong kemandirian: Dorong anak untuk mandiri dan membuat keputusan sendiri, sehingga mereka dapat belajar dari pengalaman.
  10. Komunikasi yang efektif: Berkomunikasi dengan anak secara efektif dan terbuka, sehingga mereka dapat memahami harapan dan batasan.

Dengan menerapkan cara-cara tersebut, Anda dapat membantu mencegah seseorang tumbuh menjadi entitled dan membentuk karakter yang lebih seimbang dan bertanggung jawab.

Dan berikut adalah beberapa tips untuk memperlakukan orang yang entitled:
  1. Tetapkan batasan yang jelas: Pastikan Anda menetapkan batasan yang jelas dan konsisten dalam berinteraksi dengan orang yang entitled.
  2. Jangan memanjakan: Jangan memenuhi semua keinginan mereka tanpa syarat, karena ini dapat memperkuat perilaku entitled mereka.
  3. Komunikasi yang efektif: Berkomunikasi dengan jelas dan efektif, pastikan Anda menyampaikan harapan dan batasan dengan jelas.
  4. Jangan terlalu reaktif: Jangan terlalu reaktif terhadap perilaku entitled mereka, karena ini dapat memperkuat perilaku negatif mereka.
  5. Fokus pada perilaku, bukan orangnya: Fokus pada perilaku yang tidak diinginkan, bukan menyerang orangnya secara langsung.
  6. Tunjukkan empati: Tunjukkan empati dan pemahaman, tetapi jangan membiarkan mereka memanfaatkan Anda.
  7. Jangan merasa bersalah: Jangan merasa bersalah atau bertanggung jawab atas perilaku mereka, karena ini dapat memperkuat perilaku entitled mereka.
  8. Tetapkan konsekuensi: Tetapkan konsekuensi yang jelas jika mereka tidak mematuhi batasan yang telah ditetapkan.
  9. Jangan berharap perubahan besar: Jangan berharap perubahan besar dalam perilaku mereka dalam waktu singkat, karena perubahan perilaku memerlukan waktu dan usaha.
  10. Prioritaskan diri sendiri: Prioritaskan kebutuhan dan perasaan Anda sendiri, jangan membiarkan perilaku entitled mereka menguras energi Anda.

Dengan menerapkan tips tersebut, Anda dapat memperlakukan orang yang entitled dengan lebih efektif dan meminimalkan dampak negatif dari perilaku mereka.