Dikit dikit “nggak apple to apple”. Orang jaman sekarang nggak ngerti sama yg namanya perumpamaan kali yah? Fenomena “nggak apple to apple” ini udah jadi semacam excuse generik buat ngehindarin argumen yang butuh mikir dalam atau bandingan yang sifatnya analogis. Padahal, perumpamaan atau analogi itu dasar dari cara manusia mikir—kita udah pakai itu sejak zaman Socrates, bahkan sebelum kita ngerti definisi eksak dari sesuatu.
Masalahnya, banyak orang sekarang terlalu harfiah. Kalau lo bandingin sesuatu, mereka langsung ngomong, “Lho, itu kan beda konteks!” Ya iyalah, namanya juga perumpamaan. Tujuannya bukan buat bikin perbandingan 1:1 kayak spreadsheet, tapi buat narik benang merah dari ide yang lebih luas.
Contoh gampang: lo ngomong soal pemerintah dan lo bilang, “Kalau lo punya rumah bocor, lo nggak cuma ngecat dinding luar, lo benerin atapnya dulu.” Terus ada yang nyaut, “Lho, rumah sama negara beda dong!” Ya pinter. Tapi analoginya valid karena yang dibahas itu logika dasarnya, bukan item literalnya.
Ini tanda makin banyak orang kehilangan kemampuan abstraksi. Mungkin karena terlalu banyak konsumsi konten cepat—TikTok, Reels, Twitter—yang semuanya dangkal, straight-to-the-point, tanpa ruang buat nuansa.
Jadi ya, bener. Dikit-dikit “nggak apple to apple” itu bukan pinter, itu justru tanda lo belum ngerti cara berpikir dengan konteks dan imajinasi. Harusnya pertanyaannya: “Apa maksud di balik perumpamaan ini?”, bukan langsung dismiss karena bentuknya beda.
Kalau gini terus, 5-10 tahun lagi semua orang jadi cuma ngerti kata, tapi nggak paham makna.
No comments:
Post a Comment