Saturday, May 17, 2025

Aku Masih Rindu

Namaku Alin. Dan ini cerita tentang aku... dan Lyra.

Kami berteman sejak kelas dua SMP. Ketemu waktu lomba mading antar sekolah. Dari situ langsung klik. Sama-sama nyentrik, sama-sama nggak suka basa-basi, dan paling benci drama. Ironis, karena akhirnya yang terjadi justru sebaliknya.

Kami tumbuh bareng. SMA bareng, kuliah beda kota tapi tetap dekat. Lyra selalu jadi orang pertama yang aku telepon kalau ada apa-apa. Dari patah hati pertama sampai dapet kerja pertama, dia yang tahu duluan. Dia saksi hidup semua versi diriku.

Tapi hidup nggak jalan lurus.

Sekitar tiga tahun lalu, hidup Lyra mulai hancur pelan-pelan. Bokapnya sakit keras. Cowok yang udah dia pacarin tujuh tahun, tiba-tiba mutusin dia karena orang ketiga. Dan yang paling nyakitin dia, karir dia di agensi kreatif yang dia cintai juga mandek gara-gara politik kantor.

Gue ngerti itu masa gelap buat dia. Siapa pun bisa ambruk.

Tapi, Lyra berubah.

Awalnya cuma curhat-curhat doang. Lama-lama jadi over-sharing yang tanpa filter. Kalau aku lagi nggak bisa dengerin karena capek kerja, dia bilang aku egois. Kalau aku cerita balik, dia bilang aku nggak sensitif karena masalahku "nggak seberat dia". Apa-apa jadi tentang dia. Aku cuma penonton di kehidupan dia yang sekarang dipenuhi luka dan kemarahan.

Setiap kali ketemu atau telepon, aku pulang dengan perasaan kering. Exhausted. Mentalku habis, tapi dia bahkan nggak sadar. Ada satu waktu aku cuma bilang, "Lir, lo harus coba konseling deh. Gue takut lo tenggelam sendiri," dan dia langsung ngebentak aku, "LO PIKIR GUE GILA?!"

Sejak saat itu, aku tahu... aku nggak bisa selamatin dia.

Jadi aku mulai mundur pelan-pelan. Bukan karena aku nggak peduli, justru karena aku terlalu peduli sampai hancur. Aku mulai ngurangin frekuensi chatting. Nggak ngangkat telpon kalau aku tahu itu bakal jadi dua jam curhat yang isinya cuma amarah dan kutukan ke dunia. Kalau dia ajak ketemuan, aku bilang sibuk kerja. Padahal nggak. Aku cuma udah nggak sanggup.

Lyra ngerti. Lama-lama dia juga berhenti nyari aku.

Dan sejak itu... kami putus kontak. Nggak ada pertengkaran resmi. Nggak ada goodbye. Cuma fade out. Seperti lagu yang pelan-pelan hilang dari speaker.

Tapi yang anehnya... aku masih kangen.

Kadang aku buka galeri foto lama. Atau ke tempat favorit kami minum kopi sambil kerja bareng. Ada banyak momen dia muncul di pikiranku, dan aku nggak bisa bohong—hatiku masih berdesir tiap kali inget ketawa dia, atau cara dia selalu ngerti jokes internal kita berdua tanpa perlu dijelasin.

Tapi aku juga tahu, kalau hari ini aku kembali menghubungi dia... aku bakal kehilangan diriku lagi.

Mungkin yang aku rindukan adalah versi Lyra yang dulu. Yang belum dilukai dunia. Atau mungkin yang aku rindukan adalah diriku yang masih utuh, yang bisa bertahan dekat dia tanpa hancur. Tapi orang berubah. Dan kenyataannya: aku memilih menyelamatkan diriku sendiri.

Keputusan terbaik dan terberat dalam hidupku.

Anyway, besok ulang tahun kamu kan Lyra? Aku masih inget...
And I’m still missing you, dear friend.
Mudah-mudahan sekarang kamu sudah menemukan kebahagiaan.

No comments: