Halo bro GPT, gw cuma mau tahu pendapat loe aja nih soal kejadian di bawah ini.
Ada seorang public figure atau aktivis yg mengkritik soal konsep "mental health", maupun para praktisi atau aktivis mental health lainnya, inclusind simpatisan, maupun psikolog dan psikiater.
Menurut orang ini, peng-gembar-gemboran soal mental health itu bikin orang justru jadi bermental tempe. Dan praktisi mental health itu sebenarnya nggak berkontribusi apa-apa untuk perkembangan masyarakat, bahkan meracuni masyarakat supaya bermental lemah / tempe.
Ketika para praktisi mental health buka suara soal kelakuan orang ini pun, satu-satu di stich dan dikata-katain macam:
"Ternyata praktisi mental health bisa kena mental juga yah!"
"Gua ga butuh apresiasi lu semua!"
"Ga guna lu orang" (Dengan berbagai varian nya)
Dan juga men-tackle semua kritik atas dirinya dengan menjadikan kekayaan dan kebajikan yg dia bikin sebagai tameng:
"Lu udah punya mobil mewah belom? Bisa-bisanya kritik gua! Gua dari umut sekian2 udah bisa beli ini-itu sendiri!"
"Gua punya anak asuh banyak! Gua sekolahin banyak anak terlantar! Lu udah bikin apa buat orang lain!"
Pendapat loe bro, soal orang ini gimana?
***
Halo juga bro Barry! Makasih udah share cerita ini, menarik banget buat dibahas.
Pendapat gw soal orang seperti ini — bluntly aja ya — dia adalah contoh klasik dari toxic superiority complex yang dibungkus dalam retorika "gue sukses, lo semua lemah". Mari kita pecah satu-satu:
1. Kritik terhadap mental health sebagai konsep bikin orang “bermental tempe”
Ini salah kaprah yang cukup sering muncul, terutama dari orang yang merasa kuat karena pernah survive tanpa bantuan psikolog/psikiater. Tapi analoginya kayak gini:
“Gue selamat dari kecelakaan karena gak pakai seatbelt. Berarti seatbelt itu gak penting dan bikin orang manja.”
Padahal seatbelt ada untuk mencegah luka parah, bukan karena orang yang pakai itu lemah. Sama halnya dengan dukungan kesehatan mental — dia bukan untuk melemahkan, tapi untuk mencegah kerusakan lebih besar yang kadang gak kelihatan dari luar.
2. Mengecilkan peran praktisi mental health
Ini meremehkan profesi yang jelas-jelas punya kontribusi signifikan. Lo bisa lihat data WHO, misalnya, bahwa penanganan masalah kesehatan mental yang baik punya dampak langsung ke kualitas hidup, produktivitas kerja, bahkan ekonomi nasional.
Kalau dia bilang praktisi mental health gak berguna, itu kayak bilang:
“Dokter gak penting, gue sembuh dari flu sendiri kok.”
Padahal realitanya: gak semua orang bisa "sembuh sendiri". Dan bukan cuma soal sembuh, tapi soal mencegah hal lebih buruk — bunuh diri, gangguan relasi, disfungsi sosial, dan lainnya.
3. Respons terhadap kritik dengan nyinyiran
Kalimat kayak "Ternyata praktisi mental health bisa kena mental juga ya!" itu bentuk logical fallacy (tu quoque fallacy), yaitu menyerang orang yang bicara, bukan ide yang disampaikan.
Padahal justru, praktisi kesehatan mental juga manusia. Mereka bisa marah, sedih, capek, frustrasi — dan itu gak membatalkan validitas dari profesinya. Sama kayak dokter bisa sakit, polisi bisa kena kejahatan, guru bisa salah ucap.
4. Ngeles pakai pencapaian pribadi (mobil, kekayaan, amal)
Ini juga ciri-ciri defensiveness narsistik. Pencapaian pribadi atau kontribusi sosial tidak otomatis membuat opini dia kebal kritik. Lu bisa jadi orang kaya dan dermawan tapi tetap salah dalam ngomong.
Dia pakai kekayaannya buat membungkam kritik, bukan berdiskusi. Ini bentuk lain dari argumentum ad hominem terbalik — yaitu: “Karena gue hebat, maka lo gak boleh kritik gue.”
Orang ini tampaknya:
- Punya ego besar.
- Merasa superior karena pengalaman dan pencapaian.
- Ngerasa “kebal” dari kritik karena kontribusinya.
- Punya pemahaman yang sempit dan keliru soal kesehatan mental.
- Tidak siap berdialog secara sehat, karena langsung menyerang balik secara personal.
Sukses, amal, dan pengaruh sosial itu bagus — tapi bukan tameng buat sembarangan mendiskreditkan profesi orang lain, apalagi yang berdampak ke banyak nyawa.
Kalau lo nanya gw: orang kayak gini perlu dikasih cermin, bukan panggung.
Berikut beberapa data dan studi yang menunjukkan bahwa investasi dalam kesehatan mental bukan hanya penting untuk kesejahteraan individu, tetapi juga berdampak signifikan terhadap perekonomian nasional:
Dampak Ekonomi dari Investasi Kesehatan Mental
Studi WHO & World Bank (2016)
Setiap investasi sebesar US$1 dalam penanganan depresi dan kecemasan menghasilkan US$4 dalam bentuk peningkatan kesehatan dan produktivitas kerja. Studi ini menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas tenaga kerja sebesar 5% dapat menghasilkan keuntungan ekonomi sebesar US$399 miliar, ditambah US$310 miliar dari peningkatan kesehatan secara umum.
OECD (2022)
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memperkirakan bahwa gangguan kesehatan mental dapat menyebabkan kerugian ekonomi hingga 4,2% dari PDB suatu negara, dengan lebih dari sepertiga kerugian tersebut disebabkan oleh rendahnya tingkat partisipasi kerja dan produktivitas.
Kasus Filipina (2021)
Di Filipina, gangguan kesehatan mental menyebabkan kerugian ekonomi sebesar PHP 68,9 miliar (sekitar US$1,37 miliar) per tahun, yang setara dengan 0,4% dari PDB negara tersebut. Sebanyak 96% dari kerugian ini berasal dari penurunan produktivitas. Investasi dalam intervensi kesehatan mental yang efektif diperkirakan dapat menghasilkan manfaat ekonomi sebesar PHP 217 miliar (sekitar US$4,3 miliar) dalam 10 tahun ke depan.
Kasus Inggris (2024)
Di Inggris, biaya sosial dan ekonomi dari masalah kesehatan mental mencapai £300 miliar per tahun. Dari jumlah tersebut, £110 miliar berasal dari kerugian ekonomi seperti absensi kerja, produktivitas rendah, dan pengangguran. Biaya ini setara dengan dua kali lipat anggaran NHS Inggris pada tahun 2022.
Situasi di Indonesia
Meskipun belum ada data resmi mengenai kerugian ekonomi akibat masalah kesehatan mental di Indonesia, Kementerian Kesehatan memperkirakan bahwa pada tahun 2021, sekitar 20% populasi Indonesia berisiko mengalami gangguan kesehatan mental. Namun, hanya 9% dari mereka yang mengalami depresi mendapatkan akses ke perawatan yang sesuai. Kondisi ini berpotensi menghambat produktivitas nasional, terutama mengingat Indonesia memiliki populasi muda yang besar.
Kesimpulan
Data di atas menunjukkan bahwa investasi dalam kesehatan mental bukan hanya meningkatkan kesejahteraan individu, tetapi juga memberikan dampak positif yang signifikan terhadap perekonomian nasional. Mengabaikan kesehatan mental dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang besar, sementara investasi dalam layanan kesehatan mental yang efektif dapat menghasilkan pengembalian yang jauh melebihi biaya yang dikeluarkan.
Referensi
- https://theconversation.com/mental-health-plays-a-big-role-in-advancing-the-economy-we-need-a-measure-beyond-gdp-203101
- https://www.who.int/news/item/13-04-2016-investing-in-treatment-for-depression-and-anxiety-leads-to-fourfold-return
- https://www.who.int/philippines/news/detail/22-11-2021-investing-in-mental-health-benefits-people-and-the-economy
- https://wol.iza.org/articles/economics-of-mental-health/long
- https://www.oecd.org/en/topics/sub-issues/mental-health.html
- https://www.oecd.org/en/publications/a-new-benchmark-for-mental-health-systems_4ed890f6-en.html
- https://theconversation.com/mental-health-plays-a-big-role-in-advancing-the-economy-we-need-a-measure-beyond-gdp-203101
- https://www.gov.uk/government/speeches/the-moral-and-economic-case-for-improving-mental-health-care
- https://www.medscape.org/viewarticle/862452
- https://www.centreformentalhealth.org.uk/news/item/mental-ill-health-costs-society-300-billion-every-year-according-to-new-centre-for-mental-health-economic-analysis/
- https://www.centreformentalhealth.org.uk/publications/the-economic-and-social-costs-of-mental-ill-health/
- https://ceoroundtable.heart.org/mentalhealth/executive-summary/
- https://sbi.sydney.edu.au/mental-health-plays-a-big-role-in-advancing-the-economy-we-need-a-measure-beyond-gdp/
No comments:
Post a Comment