Monday, May 19, 2025

Nggak Selalu Kandang Macan

Sebelum aku mulai kerja pertama kali, ada satu hal yang paling sering aku denger dari orang-orang:

"Dunia kerja itu keras."
"Jangan gampang percaya sama siapa pun."
"Orang kantor cuma keliatannya baik, tapi sebenernya saling sikut."

Nasihat-nasihat itu datang dari segala arah—keluarga, teman, bahkan grup-grup internet. Dan, entah kenapa, kata-kata itu nempel di kepala aku lebih kuat dari semua motivasi yang pernah aku denger.

Jadilah aku masuk ke tempat kerja pertama aku dengan perisai setebal baja. Aku siap buat jungkir balik kerja, tapi nggak siap buat deket sama siapa pun. Buat aku waktu itu, bersosialisasi cuma buang-buang energi dan risiko. Risiko dibohongi, dimanfaatin, dikhianati.

Awalnya semua orang di kantor ramah. Ada yang ngajak ngobrol di pantry, ada yang ngebantuin aku waktu aku masih adaptasi sama sistem, bahkan ada yang ngajakin ngopi sepulang kerja. Tapi aku... pasang mode dingin. Senyum, iya. Tapi cuma sekadar sopan. Obrolan nggak aku lanjutkan. Ajakan nongkrong selalu aku tolak dengan alasan klasik: "Lagi banyak kerjaan," "Ada urusan," atau kadang ya... aku pura-pura sibuk aja.

Aku pikir, dengan jaga jarak, aku bisa lebih fokus dan lebih aman. Nggak ada yang bisa nusuk lo dari belakang kalau nggak ada yang cukup deket buat berdiri di belakang, kan?

Tapi yang aku gak sadar waktu itu: hubungan itu tumbuh dari hal-hal kecil. Dari makan siang bareng. Dari ngobrol soal drama Korea yang nggak aku ngerti. Dari bantuin geser meja buat rapat. Dari ketawa bareng pas nonton video absurd di HP.

Dan karena aku selalu memilih diam, semua itu lewat begitu aja. Bukan karena mereka gak mau deket, tapi karena aku sendiri yang nutup pintu.

Lambat laun, mereka berhenti ngajak. Bukan karena mereka berubah, tapi karena mereka ngerti: mungkin aku gak tertarik. Mereka tetap baik, tetap sopan, tapi jaraknya makin jelas. Dan aku? Aku tetap di pojok itu—jadi orang yang selalu "sibuk," tapi makin kesepian.

Sampai satu hari, Dita—anak finance yang paling duluan ngajak aku ngobrol waktu awal masuk—resign. Tiba-tiba aja, sebulan setelah aku akhirnya mulai berani ikut makan bareng.

Di farewell-nya, suasananya haru. Semua orang kayak punya cerita personal tentang dia. Ada yang ngasih surat tulisan tangan, ada yang bawa kue buatan sendiri. Bahkan bos kami, yang biasanya kaku, peluk dia sambil bilang terima kasih.

Dan aku? Aku berdiri di pojok ruangan, senyum datar, ngerasa kayak tamu di rumah orang. Aku nggak tau harus bilang apa. Nggak punya cerita spesial, nggak punya momen yang bisa aku kenang bareng dia. Aku cuma... telat.

Itu momen yang bikin dada aku sesak.
Karena di situ aku sadar—kesempatan buat jadi bagian dari mereka udah hilang. Bukan karena mereka jahat. Tapi karena aku terlalu sibuk percaya dunia ini kejam, sampai lupa bahwa beberapa tempat justru penuh kebaikan.

Aku pikir aku sedang melindungi diri. Tapi ternyata aku cuma lagi nyiksa diri pelan-pelan. Aku pikir aku kuat karena mandiri. Tapi ternyata aku cuma takut buat percaya.

Sekarang, kalau ada yang baru masuk dunia kerja dan nanya ke aku, "Tempat kerja itu beneran kandang macan ya?"

Aku bakal bilang:
Kadang iya. Tapi kadang, justru di tempat kerja lo ketemu keluarga baru. Asal lo cukup berani buat buka diri sebelum pintunya ketutup selamanya.

No comments: