Gue Daniel. Sekarang gue sudah bekerja di sebuah perusahaan, hidup mandiri, cukup stabil, dan... terlihat biasa-biasa aja kalau lo cuma lihat dari luar. Tapi, orang yang sekarang lo lihat ini adalah hasil dari proses panjang dan berliku. Masa remaja gue, terutama waktu SMP, adalah fase yang gue pendam dalam-dalam, kayak luka lama yang nggak mau gue buka lagi.
Gue anak dari keluarga yang kacau. Bokap-nyokap selalu ribut, lempar piring, lempar kata-kata kasar, dan akhirnya lempar tanggung jawab satu sama lain. Gue tumbuh di tengah badai itu. Jadi wajar, mungkin, kalau gue tumbuh jadi remaja dengan kepribadian yg gelap. Gue pendiam, pemurung, dan defensif. Nggak banyak orang yang tahan sama gue. Di sekolah, gue dijauhi. Temen-temen kayak menghindar, seolah gue itu penyakit menular.
Tapi ada satu orang yang beda. Caleb. Gue nggak tahu kenapa dia nempel sama gue. Dia ngajak gue ngobrol, ngajak main, ngajak nongkrong. Bahkan ngajak foto bareng—padahal lo tahu, semua foto itu isinya ekspresi gue yang cemberut, kaya patung batu.
Caleb tuh aneh. Dalam arti yang baik. Dia nggak pernah nanya hal-hal yang nggak nyaman. Kayak waktu gue digebukin sama geng sekolah—semua anak tahu, tapi dia satu-satunya yang pura-pura nggak tahu. Besoknya, dia duduk di sebelah gue, nyodorin bekal, dan nanya soal tugas Matematika. Bukan karena dia nggak peduli, tapi dia tahu, gue butuh ruang. Dan itu cara dia buat bilang, "Gue di sini, Bro."
Bahkan waktu gue nyolot sama dia—gue tahu gue nyakitin dia. Dia pindah duduk, menjauh. Tapi keesokan harinya? Dia yang minta maaf duluan. Caleb minta maaf... ke gue. Padahal jelas-jelas gue yang salah. Dan gue? Cuma bilang 'iya ga pa pa' waktu itu, masih dengan ekspresi datar.
Sampai akhirnya, hari kelulusan itu datang. Perceraian orang tua gue resmi. Gue ikut nyokap, pindah keluar kota. Hari-hari menjelang perpindahan, Caleb masih sempat nelepon. Sekali lagi. Satu obrolan terakhir. Gue masih jadi Daniel yang sama—dingin, ketus, tanpa empati. Dan itulah terakhir kali gue denger suaranya.
Tahun-tahun berlalu. Gue belajar berubah. Perlahan. Gue belajar berdamai dengan masa lalu. Gue mulai bisa tertawa, bisa cerita, bisa... jadi manusia.
Sampai suatu hari, saat gue lagi beres-beres arsip lama, gue nemu album foto dari zaman SMP. Banyak banget foto gue sama Caleb. Dan itu kayak... petir kecil yang nyambar batin gue. Di setiap foto itu, dia senyum, dia rangkul gue. Gue cemberut. Di setiap kenangan itu, dia hadir. Gue abaikan.
Dan tiba-tiba rasa bersalah itu datang, telat bertahun-tahun.
Gue nyari dia. Facebook—nggak ketemu. Instagram? Nggak ada. Mungkin dia pakai nickname. Mungkin dia memilih private life. Tapi gue mau bilang ini, setidaknya di dalam hati:
Caleb, makasih. Lo udah jadi temen yang gue nggak layak dapetin saat itu. Lo ngerti cara hadir tanpa bikin orang lain merasa kecil. Lo ngerti cara nyembuhin luka tanpa harus bilang "sabar ya."
Kalau semesta kasih kita kesempatan buat ketemu lagi, gue janji—kali ini, gue bakal traktir semua makanan enak yang lo suka, dan kita foto-foto lagi. Bedanya, sekarang gue udah bisa senyum.
Dan lo tahu, Caleb? Senyum itu, sebagian karena lo.
No comments:
Post a Comment