Halo bro, ayo kita ngobrol... Dimulai dari konteks ini :
Background :
- As a Product manager, gw baru belajar framework "5 whys"
What annoys dan trigger gw :
- Gw pernah ngeliat keluarga yg dididik secara konservatif, dimana komunikasi itu hanya searah dari atas-bawah, orangtua-anak, dan pertanyaan "kenapa" itu dianggap "kurang ajar"
- Menurut orang-orang ini, mereka yg "di bawah" nggak akan pernah bisa mengerti pemikiran mereka yg "di atas", dan cukup jalanin aja apa yg mereka suruh tanpa banyak nanya
- Jangankan "kenapa", bahkan sekedar pertanyaan "gimana" aja bisa dibales "goblok, tolol, bego"...
*****
Gue bisa ngerasain gimana framework "5 Whys" bisa jadi bukan cuma alat kerja, tapi juga semacam alat refleksi pribadi buat lo. Yuk kita kupas satu-satu dari sini...
🔍 Refleksi dari Latar Belakang
Framework "5 Whys" itu intinya mendorong rasa ingin tahu dan pemahaman mendalam, kan? Tapi lo tumbuh atau pernah bersinggungan dengan budaya yang justru mematikan rasa ingin tahu, terutama lewat komunikasi satu arah dan hierarki ekstrem. Kebayang banget betapa triggering rasanya waktu lo mulai belajar “kenapa ini begini?”, tapi lo keinget betapa pertanyaan kayak gitu dulu dianggap kurang ajar atau malah dihukum secara verbal.
😤 Kenapa Ini Bisa Jadi Gangguan Emosional?
Beberapa hal yang mungkin bikin ini "ngilu":
- Internal conflict – Dulu lo diajarin (atau melihat) bahwa bertanya itu salah. Sekarang, lo justru diajak membangun budaya bertanya. Jadi, di satu sisi lo tahu bertanya itu sehat, tapi ada sisa luka masa lalu yang bilang: “Eh, jangan tanya-tanya, nanti dimarahin.”
- Rasa marah terhadap ketidakadilan – Lo mungkin bukan cuma kesel karena pernah dikerasin, tapi juga sedih dan marah liat orang lain yang tumbuh di sistem kayak gitu, di mana potensi mereka ditekan cuma karena mereka “di bawah”.
- Nilai yang bentrok – Sebagai PM, lo sekarang hidup di dunia yang idealnya kolaboratif, penuh empati, dan bertumbuh lewat eksplorasi. Tapi dunia masa lalu (atau beberapa lingkungan) malah kebalikannya: otoriter, menekan, dan meremehkan nalar.
🔁 5 Whys Dibanding Budaya Hierarkis
Misalnya lo nanya : Kenapa kita nggak boleh tanya ‘kenapa’?
- Karena dianggap tidak sopan.
- Karena dianggap meragukan otoritas.
- Karena otoritas merasa perlu mempertahankan kontrol mutlak.
- Karena mereka sendiri nggak nyaman di-challenge—mungkin karena nggak punya jawaban.
- Karena mereka dulu juga diperlakukan begitu, dan meneruskan pola itu.
Jadi, dengan 5 Whys aja, kita bisa gali kenapa pola ini nyakitin tapi juga repeatable. Dan ini powerful banget buat healing dan desain sistem kerja yang lebih sehat.
🤝 Hubungannya ke Peran Lo Sekarang
Lo sekarang lagi membangun produk dan sistem. Nah, sistem juga bisa memperkuat budaya. Dengan mindset 5 Whys, lo bisa:
- Bangun tim yang aman buat nanya “kenapa?”
- Ubah budaya dari takut salah → pengen tahu
- Bantu tim lo lihat bahwa menantang asumsi = bentuk rasa tanggung jawab
*****
Gimana berdamai sama luka masa lalu yang bikin kita merasa triggered waktu ngeliat budaya otoriter?
*****
Oke, bro. Ini topik berat tapi penting banget. Gue bakal breakdown jadi 3 bagian:
- Pahami luka dan trigger-nya
- Beri tempat buat emosi yang muncul
- Bangun ulang relasi lo dengan masa lalu
1. Pahami Luka dan Trigger-nya
Pertama-tama, yang lo alami bukan hal sepele. Budaya otoriter itu bisa ninggalin luka psikologis serius, terutama kalau dari kecil lo lihat:
- Bertanya dianggap salah → rasa ingin tahu lo ditekan
- Lo belajar diem = selamat, nanya = diserang
- Pertanyaan lo bukan dilihat sebagai sinyal kepedulian, tapi tantangan ke ego orang “di atas”
Dan sekarang, setiap kali lo lihat hal serupa, sistem saraf lo bisa bereaksi kayak: "Gue pernah liat ini. Ini nggak adil. Ini nyakitin."
Itu bukan overreacting, itu trauma response. Lo kayak punya radar terhadap pola dominasi karena lo tahu gimana rasanya jadi korban (atau saksi) pola itu.
2. Beri Tempat Buat Emosi yang Muncul
Yang banyak orang (termasuk gue dulu) coba lakukan adalah "jadi rasional" buat ngelawan perasaan nggak nyaman. Tapi sayangnya luka emosional nggak sembuh cuma pakai logika.
Coba reframe pendekatannya:
- Pas lo merasa triggered, jangan buru-buru nolak perasaan itu
- Coba bilang ke diri lo: “Oh, ini bukan cuma soal momen ini. Ini luka lama yang kebetulan keinget lagi.”
- Emosi itu kayak anak kecil yang teriak: “Perhatiin aku!” Kalau lo terima, dia tenang. Kalau lo usir, dia makin kenceng teriak.
Jadi bukan tentang menghapus trigger, tapi ngelatih diri buat duduk bareng perasaan itu tanpa takut.
3. Bangun Ulang Relasi Lo dengan Masa Lalu
Ini bagian paling transformative: Luka lo bukan kelemahan — itu bisa jadi kompas nilai.
Lo sekarang marah liat sistem otoriter?
Mungkin karena lo sekarang tahu bahwa kolaborasi, empati, dan komunikasi terbuka itu jauh lebih sehat.
Jadi gini:
- Lo bisa pilih untuk gak ngulang pola itu
- Lo bisa bikin ruang di mana orang bebas nanya “kenapa?”
- Dan itu bukan cuma soal jadi PM yang baik — itu lo sedang nyembuhin diri kamu sendiri yang dulu gak dikasih ruang buat nanya
Pelan-pelan, luka lo bisa berubah jadi kekuatan moral.
Dari "gue gak mau ngalamin itu lagi" → jadi "gue mau bikin tempat di mana gak ada yang ngalamin itu lagi".
✨ Latihan Kecil (Kalau Lo Mau Coba)
Saat lo ke-trigger lagi, coba tulis 3 hal:
- Apa kejadian atau kalimat yang bikin lo kesal?
- Apa kenangan lama yang kebayang?
- Apa nilai atau prinsip yang lo perjuangkan dari situ?
Dengan latihan ini, lo gak cuma bereaksi — lo tumbuh, perlahan-lahan, sadar bahwa:
“Dulu gue gak bisa milih. Sekarang, gue bisa bikin ruang yang beda.”
No comments:
Post a Comment