Dulu, kami berlima seperti satelit yang mengelilingi planet yang sama. Satu lingkaran, satu frekuensi. Gue, Fajar, Irfan, Elsa, sama Kartika — satu geng dari awal kuliah. Beda jurusan, beda minat, tapi entah kenapa klop aja. Dari nongkrong di warung kopi deket kampus sampai ngerencanain trip mendadak ke Jogja cuma gara-gara lihat tiket kereta promo, semua kita lakonin bareng. Kami hidup dari impulsif ke impulsif, dan gue pikir, itu bakal selamanya.
Tapi lalu dia datang — Cindy.
Gue pacaran. Awalnya geng gue dukung banget. Mereka suka becandain, "Wih, si Jefri akhirnya taken juga,” tapi seiring waktu, frekuensi gue ketemu mereka menurun drastis. Awalnya cuma sekali-dua kali gue nggak nongkrong karena "lagi quality time" Lama-lama, gue jadi ghosting mereka. Nggak ikut nongkrong. Nggak ikut nonton. Grup chat cuma gue baca doang, udah kayak silent reader.
Gue pikir, geng gue bakal ngerti. Gue pikir, ini cuma fase. Tapi ternyata enggak sesimpel itu.
Tiga tahun gue pacaran, dan selama itu, gue kayak hidup di dunia paralel. Dunia yang isinya cuma Cindy dan rencana-rencana berdua. Dan ketika dunia itu akhirnya runtuh — saat gue dan Cindy putus — gue balik nyari tempat yang dulu gue anggap rumah.
Tapi rumah itu udah berubah.
Gue datang ke tongkrongan lama, tempat kita biasa kumpul, dan rasanya kayak duduk bareng orang asing yang kebetulan pake wajah yang familiar. Candaan mereka udah beda. Bahasa mereka punya inside joke yang nggak gue ngerti lagi. Mereka ngomongin pengalaman yang nggak gue alami, cerita yang nggak gue punya.
Gue nyoba nyelip di tengah-tengah, tapi rasanya kayak jadi tamu tak diundang di pesta mantan. Mereka nggak jahat, nggak mengusir, tapi juga nggak bisa menyembunyikan jarak yang udah keburu tumbuh.
Dan waktu itu gue sadar: lo bisa kehilangan orang bukan karena pertengkaran besar, tapi karena lo pelan-pelan berhenti hadir dalam hidup mereka.
No comments:
Post a Comment