Konfusianisme sering kali disalahpahami sebagai ajaran yang mengharuskan anak untuk tunduk total kepada orang tua. Dalam budaya Tionghoa tradisional, ada anggapan bahwa kesalehan anak (filial piety atau "xiao") berarti patuh tanpa syarat. Namun, kalau kita gali lebih dalam ajaran asli Konfusius dan tafsiran para filsuf besar seperti Mencius, Zhu Xi, dan Cheng Yi, realitanya jauh lebih kompleks dan bahkan progresif.
1. Konfusius dan Prinsip Remonstrasi: Berani Menasihati dengan Hormat
Dari Analects 4:18, Konfusius berkata:
「事父母幾议,見志不从,又敬不道,劳而不怨。」
"Dalam melayani orang tua, seorang anak boleh menasihati mereka dengan lembut. Jika orang tua tidak menerima, tetaplah hormat dan tidak melawan, teruslah berbakti tanpa mengeluh."
Ini adalah konsep gentle remonstration (jian), yaitu bahwa anak justru punya kewajiban moral untuk menasihati orang tua jika mereka salah, selama dilakukan dengan penuh hormat. Jadi bukan berarti anak harus diam atau pasrah jika orang tua keliru.
2. Mencius: Integritas Moral Mengalahkan Ketaatan Buta
Mencius, filsuf besar penerus Konfusius, menekankan bahwa manusia punya potensi moral bawaan (ren yi). Dalam teks Mencius 4A:26, dia menegaskan pentingnya menolak perintah yang salah, bahkan jika datang dari atasan atau orang tua:
"Orang yang benar tidak akan tunduk pada kekuasaan atau tekanan jika hal itu melanggar kebenaran."
Mencius percaya bahwa menjaga integritas moral pribadi jauh lebih penting daripada ketaatan membabi buta. Anak yang berbakti justru harus menjadi cermin moral bagi orang tuanya.
3. Zhu Xi: Konsistensi dan Ketulusan sebagai Kekuatan Transformasi
Zhu Xi (1130-1200), salah satu intelektual terbesar dalam sejarah Konfusianisme, memperkuat ide bahwa remonstrasi adalah bagian dari filial piety. Dia menekankan bahwa anak harus terus menyuarakan kebenaran dengan tulus dan sabar. Ia percaya ketulusan hati (cheng \u8aa0) dan praktik kebajikan yang konsisten bisa meluluhkan kekerasan hati orang tua.
4. Cheng Yi: Moral Lebih Tinggi daripada Relasi Keluarga
Cheng Yi dari Dinasti Song menekankan pentingnya "li" (\u79ae) atau prinsip moral sebagai pedoman utama. Bila orang tua memerintahkan sesuatu yang melanggar prinsip ini, anak punya hak untuk menolak dengan sopan:
"Filial piety tidak berarti mengikuti kesalahan."
Dalam tafsirannya, Cheng Yi menunjukkan bahwa hubungan keluarga harus tunduk pada hukum moral universal. Anak tidak boleh terlibat dalam kesalahan hanya karena tekanan keluarga.
5. Strategi Konfusius: Diplomasi Moral dan Mediasi Sosial
Konfusianisme juga memberikan solusi praktis. Jika nasihat langsung tidak mempan, anak bisa menunda, mencari solusi alternatif, atau bahkan meminta bantuan figur lain (kerabat, tetangga, guru) untuk jadi mediator. Dalam Book of Rites (\u79ae\u8a00), dinyatakan bahwa menjaga keharmonisan sosial adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya urusan internal keluarga.
6. Batas Konfusianisme: Saat Kekerasan Muncul, Etika Modern Harus Ambil Alih
Namun, ajaran Konfusius dan para penerusnya dibentuk dalam konteks zaman kuno. Dalam kasus di mana terjadi kekerasan fisik, pelecehan emosional, atau eksploitasi, maka pendekatan etika modern harus mengambil alih. Hak individu untuk aman secara fisik dan mental harus lebih utama daripada norma budaya atau tuntutan tradisional.
Kesimpulan
Konfusianisme yang autentik tidak mengajarkan tunduk membabi buta, tapi mendorong dialog, keteladanan moral, dan pendekatan etis yang bijaksana. Anak punya hak dan tanggung jawab untuk menegur orang tua dengan penuh hormat ketika mereka keliru. Justru, menjadi anak yang benar adalah menjadi kompas moral dalam keluarga. Dalam kata lain: bukan pemberontak, tapi pembawa terang.
No comments:
Post a Comment