Thursday, May 22, 2025

Pagi Yang Sunyi : Reflection


Hari itu bukan pagi biasa.
Jam setengah enam aku sudah tiba di sekolah—terlalu pagi bahkan untuk petugas kebersihan. Tak ada guru, tak ada murid lain, bahkan lampu-lampu pun belum menyala. Sekolah seperti bangunan mati; sunyi, dingin, dan kosong.

Tapi aku malah merasa lebih hidup di situ.

Aku masuk ke kelas, duduk di bangku tempat biasa aku belajar. Tidak kupencet saklar lampu. Biarlah tetap gelap.
Di rumah, aku tidak pernah bisa duduk diam. Selalu ada sesuatu yang harus dilakukan, selalu ada yang salah. Kalau aku diam, aku disangka menyimpan sesuatu. Kalau aku bicara, salah bicara. Kalau aku sakit, malah disalahkan. Katanya itu bagian dari kasih sayang. Tapi tidak ada yang terasa seperti sayang.
Cuma rutinitas, teriakan, dan kelelahan yang tidak pernah habis.

Di kelas yang gelap itu, aku menundukkan kepala di atas meja.
Tak berniat tidur—aku hanya ingin diam. Tidak berpikir. Tidak merasa.
Bahkan detik terasa lebih pelan di pagi seperti ini.
Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, aku bisa bernapas tanpa ketakutan.

Aku tahu aku seharusnya bahagia—setidaknya bersyukur. Aku masih diberi makan. Masih dikasih uang jajan, walau katanya itu hasil ngutang. Aku masih punya tempat tidur, bahkan selimut tebal karena katanya aku gampang kedinginan.
Tapi mengapa semua itu terasa seperti hutang yang harus terus aku bayar dengan ketakutan dan tuntutan?
Kenapa setiap hari rasanya seperti ujian yang tidak bisa aku luluskan?

Kadang aku berpikir... mungkin semua ini salahku.
Mungkin aku memang kurang rajin, kurang kuat, terlalu lembek. Tapi aku sudah berusaha.
Aku lari pagi, belajar malam, tidur kurang, rangking turun—dan tetap saja, selalu ada yang salah.
Aku capek.
Aku cuma pengen istirahat.

Dan satu-satunya tempat yang terasa aman untuk itu adalah di sini.
Di kelas kosong. Dalam gelap.
Tanpa bentakan. Tanpa tuduhan. Tanpa suara.

Air mata turun diam-diam. Aku biarkan.
Di sini, tidak ada yang melihat.
Di sini, aku tidak harus menjelaskan apapun.

Tiba-tiba pintu kelas terbuka. Suara langkah.
Beberapa anak perempuan datang. Mereka menyalakan lampu—refleks aku langsung mengusap wajah.
Mereka melihatku, diam sejenak, lalu saling pandang.
Mungkin mereka bingung kenapa aku di sini sendirian dalam gelap. Tapi tidak ada yang bertanya.

Baguslah. Aku juga tidak tahu harus jawab apa.

Kalau aku bilang sebenarnya aku lagi istirahat dari hidup yang rasanya seperti perang, mereka pasti gak ngerti.
Kalau aku bilang aku takut pulang, mungkin mereka akan tertawa.
Kalau aku bilang aku lelah jadi anak yang dianggap selalu salah... siapa yang mau percaya?

Jadi aku hanya diam tanpa kata, dan berpura-pura semuanya biasa saja.

Hari akan dimulai seperti biasa.
Pelajaran akan dimulai. Guru akan datang.
Dan aku harus kembali menjadi versi diriku yang mereka harapkan.
Tapi aku akan selalu ingat pagi itu.

Pagi yang sunyi.
Pagi ketika aku akhirnya bisa mendengar diriku sendiri...
Dan menangis tanpa rasa malu.

No comments: