Friday, May 30, 2025

Echo Chamber Bukan Konsep Baru

Echo chamber udah eksis bahkan sebelum internet ditemukan. Bukan konsep baru.

Sebelum ada media sosial, sebelum kita bisa ngetik status 280 karakter dan langsung dikasih like atau dihujat dalam hitungan detik, orang-orang juga udah punya pemikiran sempit dalam kelompoknya masing-masing :
“Dunia ini sudah rusak!”
“Jaman ini jaman edan!”
“Jangan sampai keracunan budaya Barat!”
dll

Kalimat-kalimat begitu udah sering banget kita denger dari tokoh agama, guru, orang tua, bahkan obrolan santai. Mereka hidup dalam gelembung nilai dan keyakinan yang kalau diganggu dikit, bisa langsung defensif.

Lalu datanglah internet, dan semua jadi makin brutal. Algoritma media sosial nggak peduli kamu benar atau salah. Yang penting: kamu betah, kamu klik, kamu scroll, kamu marah. Echo chamber yang tadinya terbatas di tongkrongan atau komunitas, sekarang pindah ke skala global. Kamu bisa hidup dalam gelembung digital di mana semua orang setuju sama kamu—dan kalau ada yang nggak setuju, tinggal blokir. Gampang.

Tapi di sinilah ironi dan sekaligus peluangnya. Karena justru berkat internet, kita sekarang lebih sadar akan adanya echo chamber. Kita bisa lihat langsung bagaimana satu topik diputarbalikkan di berbagai sudut pandang. Kita bisa tahu bahwa dunia nggak hitam-putih, bahkan kalau algoritma mencoba menyederhanakannya.

Jadi, supaya nggak terjebak dalam echo chamber, sering-seringlah keluar dari "timeline bubble".

Konsumsi informasi dari spektrum yang lebih luas.

Internet bisa jadi racun, tapi bisa juga jadi penawar—tergantung cara pakainya. Kalau dulu kita cuma bisa ngikutin arus obrolan di lingkungan sekitar, sekarang kita punya akses ke pemikiran dari seluruh dunia.

Pertanyaannya: kita mau tetap nyaman dalam keasikan sendiri, atau mau sedikit nggak nyaman tapi jadi lebih bijak?

No comments: