Di benua Eldareth, sihir bukanlah sekadar legenda atau warisan tua—ia adalah denyut nadi dunia. Dari desa termiskin hingga menara para archmage, setiap orang mengenal kekuatan magis. Tapi lebih dari itu, kehidupan di Eldareth diatur oleh satu kekuatan: Ordo Lux Noctis—"Ordo Cahaya dan Kegelapan".
Mereka menyembah dua dewa yang katanya satu: Luxius dan Nokthar, yang dalam kitab suci disebut “Dua wajah dari Kebenaran yang Sama”. Ajarannya rumit. Tidak semua mengerti, apalagi percaya. Tapi ajaran ini menjadi landasan ordo tertinggi yang memimpin moral dan sihir keagamaan di seluruh benua.
Di dalam ordo, ada sosok langka yang disebut Saint—seseorang yang dipilih langsung oleh langit. Mereka bisa menyembuhkan, berbicara dalam bahasa ilahi, dan jadi perantara antara manusia dan dewa. Tapi yang lebih langka lagi adalah Dark Saint, representasi dari sisi gelap Nokthar. Mereka tidak muncul tiap generasi. Bahkan dalam sejarah, jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Namaku Alarion. Aku dibesarkan di bawah langit Eldareth, di tengah menara-menara doa dan lorong-lorong bisu biara. Sejak kecil, semua orang menatapku dengan harap dan takut yang sama. Mereka bilang aku “dipilih oleh langit”. Bahwa aku adalah Saint yang digambarkan dalam kitab kuno itu.
Aku diajari bahasa suci sebelum aku tahu bahasa ibuku. Aku diminta untuk menyembuhkan, untuk memberkati, untuk tersenyum—bahkan ketika aku ingin menangis. Setiap air mata yang kutahan adalah harga dari mukjizat yang mereka jual dengan emas.
Aku melihat banyak keajaiban. Aku juga melihat kemunafikan yang menyusup di balik jubah suci.
Mereka bilang bahwa cahaya dan kegelapan adalah satu. Aku mendengar itu tiap malam dalam doa, tapi tak ada yang menjelaskan artinya. Bahkan aku pun tak tahu. Aku hanya mengulanginya seperti burung yang diajari berkicau.
Yang aku tahu, aku lelah. Lelah jadi alat. Lelah melihat si miskin ditolak karena tak mampu bayar "derma suci". Lelah melihat kepala ordo menjual doaku demi politik.
Sampai suatu ketika, aku mulai kehilangan kekuatan itu secara perlahan.
Awalnya cuma keganjilan kecil—luka yang biasanya sembuh dalam sekejap kini butuh waktu. Doaku terasa hampa, seperti gema yang tak dijawab langit. Aku coba menepisnya. Kucoba berdoa lebih lama, berpuasa lebih keras, menyendiri lebih sering.
Tapi tak ada yang berubah.
Tiap hari rasanya seperti mencubit langit dengan jari patah.
Aku pikir itu hanya kelelahan. Atau ujian iman. Tapi lama-kelamaan, rasa dingin itu menetap di ujung jariku. Aku tahu... aku kehilangan kemampuan menyembuhkan. Dan tidak ada yang bisa menjelaskan kenapa.
Sampai aku menyadari: jiwaku sendiri sedang sakit. Bukan tubuhku. Tapi hatiku—yang terlalu lama dipaksa tunduk, terlalu lama diperas. Aku rasa hanya hati yang bahagia dan penuh welas asih yang bisa memberkati dan menyembuhkan.
Dan saat nasib sial benar-benar mengetuk pintu, ia datang dalam bentuk pria gemuk bernama Lord Edram Halvencrest. Salah satu donatur emas ordo. Raja tambang mithril. Istrinya sakit—penyakit langka yang membuat darahnya membeku perlahan.
Aku dipanggil secara pribadi. “Penyembuhan ini penting,” kata Marvolas, “dan kau tidak boleh gagal.”
Aku mencoba dengan sepenuh hati.
Aku berdoa sepenuh hati. Aku menempelkan tanganku ke dahi wanita itu. Aku merapal mantra suci sampai tenggorokanku kering. Tapi saat semuanya selesai...
Dia hanya sembuh separuh. Ia masih hidup. Tapi tak bisa bicara. Tak bisa bangun. Tubuhnya terjaga, jiwanya entah di mana.
Edram marah. Tapi bukan padaku—pada Marvolas.
Dan Marvolas? Dia langsung berbalik memaki aku.
“Kau mempermalukan ordo di depan para bangsawan!”
“Apa kau ingin seluruh benua menganggap kita lemah?”
“Kau merusak reputasi kita, Alarion!”
Malam itu, aku dipanggil ke ruang audiensi. Hanya kami berdua—aku dan Marvolas. Tidak ada doa, tidak ada saksi.
Dia bicara seolah aku ini anak kecil yang nakal. Bahwa aku harus “taat tanpa tanya”. Bahwa aku tidak paham "realitas kekuasaan".
Lalu dia berdiri. Mengangkat tangannya. Matanya penuh api. “Kalau kau tidak bisa menyembuhkan, maka aku akan buatmu belajar menghargai penderitaan!”
Itu bukan metafora. Dia benar-benar menghajarku.
Dan di detik itulah semuanya meledak.
Aku tidak lagi bisa menahan racun yang selama ini kutahan di dalam hatiku. Semua kekecewaan. Semua luka yang tidak pernah disembuhkan.
Aku tidak mengucapkan kutuk. Aku hanya membiarkan emosiku keluar.
Dan ketika emosiku itu menyentuh udara, jubahku menghitam, ungu tua merambat seperti tinta di kain. Suara doaku berubah—dalam, gaung, dan membawa rasa dingin ke tulang.
Aku menjadi Dark Saint.
Bukan karena aku ingin. Tapi karena dunia memaksaku.
Biara Elaris—tempat semua kebusukan ordo berkumpul—menjadi titik ledakan pertama.
Aku tidak mengutuk dengan sengaja. Aku hanya melepaskan emosiku. Dan emosiku itu menyala seperti api purgatori. Mereka yang berdosa—dan hanya mereka yang berdosa—terbakar. Tidak mati. Tidak bisa mati. Mereka terus merasakan nyala siksaan yang tak membakar tubuh, hanya jiwa.
Marvolas berteriak paling nyaring. Suaranya terdengar bahkan dari menara kuil utama.
Beberapa mencoba kabur. Tapi hanya mereka yang berhati bersih yang bisa lolos dari api.
Orang menyebutnya kutukan. Tapi bagiku... itu pembebasan. Aku tak lagi harus berpura-pura bahwa sistem ini suci. Bahwa cahaya itu bersih. Aku melihat dengan mata yang baru—mata yang terbuka oleh kegelapan.
Dan akhirnya, aku mengerti. Cahaya tidak pernah menolak bayangannya. Kegelapan bukan musuh, tapi sisi lain dari jiwa. Ajaran Lux Noctis selama ini benar, tapi dijalankan oleh mereka yang tidak mengerti kedalaman maknanya.
Ordo pusat datang dengan wajah pucat dan langkah hati-hati. Mereka pikir aku akan menghancurkan semuanya.
Tapi aku tak ingin kehancuran. Aku hanya ingin mereka melihat—melihat apa yang mereka jadikan dariku. Dari ajaran kita. Dari dunia.
Mereka mendengarkan. Mereka ketakutan. Mereka bertanya padaku apa yang harus dilakukan.
Hierarki dibongkar, dosa dipertanggungjawabkan. Yang terkutuk dipenjara di dalam kuil bawah tanah, sambil terus melantunkan nyanyian purgatori.
Dan sebagaimana ajaran Lux Noctis, seorang Dark Saint pun harus tetap dihormati, bahkan melebihi Saint biasa. Mereka mempercayaiku. Mereka memintaku memimpin pemilihan kepala ordo yang baru. Sebuah kepercayaan yang ironis—bahwa mereka mempercayakan arah masa depan ordo kepada representasi kegelapan.
Aku tidak menolak. Tapi aku tidak bangga. Aku hanya... menjalankan peranku. Seperti biasa.
Tapi kali ini, dengan mata terbuka.
Epilog: Racun yang Menyembuhkan
Bertahun-tahun setelah itu, seorang pria tua datang ke biara dengan anak di pelukannya. Anak itu sakit keras. Nafasnya putus-putus. Tubuhnya seperti kain basah yang diangkat paksa.
Dia bersujud, mencium lantai batu tempat aku berdiri. “Tuan... aku tahu Anda bukan lagi Saint. Tapi aku tak tahu ke mana lagi harus pergi.”
Aku menatap tanganku sendiri. Sudah lama sejak aku menyentuh sesuatu tanpa menghancurkannya. Air yang kuberkahi berubah jadi racun. Sentuhanku membuat bunga layu. Bahkan burung enggan hinggap di dekatku. Seorang Dark Saint tidak bisa kembali menjadi Saint.
Aku berkata, “Aku tidak bisa menyembuhkan. Doaku membawa kutukan.”
Tapi Sister Marienne, salah satu dari sedikit yang berani berdekatan denganku, berkata, “Penyakit anak ini... bisa disembuhkan. Tapi justru hanya oleh racun—Werewolf’s Bane. Tapi sangat sulit menemukan tanaman itu di musim ini...”
Aku ragu. Tapi aku mau berusaha.
Aku menuangkan air ke dalam cangkir kayu. Kusentuh, dan kubiarkan kutukan mengalir seperti tinta ke dalamnya. Racun murni. Lebih mematikan dari bisa ular, identik dengan racun Werewolf's Bane.
Tapi Marienne tahu apa yang ia lakukan. Ia mengencerkannya. Menakar. Menghitung. Dan ketika cairan itu diberikan ke anak itu, tubuhnya berhenti gemetar. Napasnya kembali. Mata kecil itu terbuka perlahan.
Petani itu menangis. Tapi aku... aku hanya menunduk.
Bukan karena aku bahagia.
Tapi karena akhirnya aku mengerti:
Aku memang bukan penyembuh lagi. Tapi aku masih bisa menyelamatkan orang dengan racunku.
Di tanah Eldareth, doa masih dilantunkan. Tapi kini, mereka tahu: bukan cahaya yang menyelamatkan dunia.
Tapi keseimbangan.
Namaku Alarion. Dan aku adalah Dark Saint.
***
Hymn to Nokhtar
Bayang-bayang dari Sang Cahaya, wajah sunyi dari Sang Cahaya,
Yang melihat dosa bukan dengan murka, tapi dengan mata terbuka.
Nokthar, yang berdiam di dalam hati Luxius,
Suaramu adalah gema kebijaksanaan yang tidak dibisikkan oleh terang.
Bungkuslah dunia ini bukan dengan harapan kosong, tapi dengan kebenaran.
Terang yang tak mengenal bayangan, adalah terang yang membutakan.
Jadilah kelopak yang menutup mata kami agar melihat ke dalam.
Engkau yang menatap kami dari cermin luka,
dan tetap mengasihi—tanpa senyum, tanpa dusta.
Datanglah, bukan dengan nyala amarah, tapi dengan pengertian.
No comments:
Post a Comment