Sunday, May 11, 2025

The Boy Who Stayed a Boy

(Cerita pendek berdasarkan puisi “Dream of Childhood”)

Di sebuah kampung kecil yang dikelilingi ladang dan pohon-pohon tinggi, hiduplah seorang anak laki-laki yang seolah tak pernah berubah. Namanya Dira. Ia masih memakai celana pendek, masih menyukai permainan petak umpet, dan masih menyapa burung-burung pagi dengan senyuman cerah. Wajahnya selalu ceria, seolah dunia belum pernah menyakitinya.

Dulu, ia punya banyak teman. Setiap sore, lapangan kecil di belakang rumahnya penuh tawa. Mereka berlari, tertawa, jatuh, lalu tertawa lagi. Persahabatan di masa itu terasa suci, tak tergantikan. Dira menyayangi mereka seperti keluarga—bahkan lebih.

Namun, waktu tidak pernah diam. Satu per satu, teman-temannya mulai berubah. Ada yang mulai sibuk sekolah, ada yang pindah kota, ada pula yang tak lagi tertarik bermain. "Ayo main!" ajak Dira suatu hari, pada teman yang dulu paling dekat dengannya.

"Aku sibuk, Dir. Banyak tugas," jawabnya tanpa menoleh.

Dira tersenyum, seperti biasa. Tapi matanya kehilangan cahaya kecil yang dulu selalu ada.

Hari-hari berlalu, dan lapangan kecil itu menjadi sunyi. Sepatu Dira yang dulu selalu berjejak di tanah kini hanya meninggalkan garis-garis sepi. Ia tetap datang, setiap sore, duduk di bangku kayu yang mulai lapuk, menanti sesuatu yang tak lagi datang.

Kadang, ia melihat teman lamanya lewat, menggandeng seseorang, tertawa, atau berbicara tentang mimpi-mimpi besar. Mereka tak lagi memandang ke arah lapangan itu.

"Aku masih di sini," bisik Dira pada dirinya sendiri. "Aku masih anak yang dulu."

Tapi ia tidak bodoh. Ia tahu ia sudah tumbuh. Tangannya lebih besar. Suaranya mulai berat. Tapi jiwanya tertinggal. Ia tidak ingin dewasa, karena dewasa berarti kehilangan. Ia tidak ingin belajar mengejar masa depan, kalau artinya harus meninggalkan masa lalu.

Suatu malam, hujan turun dengan lembut. Dira berjalan ke lapangan kecil itu lagi, sekarang sudah dipenuhi ilalang dan tiang basket yang berkarat. Ia duduk di bangku kayu yang masih bertahan, meski mulai rapuh. Ia menatap langit yang kelabu, lalu menunduk.

“Aku masih di sini,” bisiknya. “Tapi kalian semua pergi.”

Angin berhembus, membawa suara yang tak pernah ada. Tangisnya tertahan, kemudian lepas tanpa suara.

Tak ada yang menjawab.

Tahun-tahun berlalu. Anak-anak baru bermain di lapangan itu. Tak ada yang mengenalnya. Tak ada yang bertanya siapa dia. Ia hanya "orang asing" yang duduk diam di bangku tua, tersenyum ketika melihat anak-anak berlari, seolah ia sedang menonton masa kecilnya sendiri, sekali lagi… dari kejauhan.

No comments: