Sunday, May 18, 2025

Legacy

* Inspired from "Social Media"

Sepuluh tahun.

Itu waktu yang cukup buat gigi berlubang jadi ompong, buat bayi jadi anak SD, dan buat dua orang yang dulu nggak bisa pisah... jadi asing.

Namaku Arga. Dan ini cerita tentang aku dan Rey.

Kami ketemu di kampus. Anak baru, tapi cepat banget nyambung. Dari obrolan pertama, gue tahu dia bukan orang biasa. Punya otak, punya api. Satu dari sedikit orang yang kalau dia bilang "let’s build something," lo percaya beneran bakal jadi sesuatu.

Dan kita beneran bikin sesuatu.

Sebuah startup kecil, sederhana, tapi idealis. Waktu itu belum ada istilah "startup" ngehits kayak sekarang. Yang kita tahu: kita pengen bikin solusi. Pengen bangun sesuatu dari nol.

Kita kerja dari kafe pinggiran, pakai laptop pinjaman. Tidur dua jam sehari. Pitch ke investor sambil deg-degan kayak mau lamar anak orang.

Dan semua itu worth it.

Lalu masuklah Dani.
Co-founder ketiga.

Rey yang ajak. Katanya Dani jago di sisi growth & marketing. Gue awalnya skeptis—karena jujur, chemistry kita nggak selevel. Tapi demi profesionalitas dan mimpi lebih besar, gue terima.

Dan semuanya berubah sejak saat itu.

Awalnya halus.
Meeting-meeting kecil yang tadinya selalu bertiga, mulai sering cuma berdua—Rey dan Dani. Mereka bilang, "Tadi dadakan, bro. Lo lagi ngajar."
Oke.
Lalu keputusan-keputusan kecil mulai dibahas di grup mereka berdua dulu, baru dilempar ke forum bersama.
Oke lagi.

Sampai suatu hari, gue datang ke kantor—dan sadar bahwa desain pitch deck baru yang kami kirim ke calon investor... dibuat tanpa sepengetahuan gue.
Nama gue ada, tapi suara gue nggak.

Gue tanya ke Rey. Dia jawab ringan, "Ya lo kan belakangan sibuk. Kita kejar deadline aja dulu."

Dan di situlah... gue merasa bukan lagi partner. Gue cuma ornamen.

Gue tahan berbulan-bulan. Nunggu ada momen duduk bertiga dan ngobrol dewasa. Tapi nggak pernah terjadi. Dani makin dominan. Rey makin nyaman. Gue makin asing.

Masalahnya bukan di ide. Bukan di skill. Masalahnya di ego—dan ketidakjelasan siapa yang pegang kemudi. Rey dan Dani pengen agresif. Gue pengen hati-hati. Rey dan Dani ngerasa gue lambat. Gue ngerasa mereka sembrono. Makin sering kita debat, makin sedikit kita ngobrol. Makin sedikit kita ngobrol, makin besar asumsi. Dan asumsi adalah bom waktu dalam bentuk kalem.
Sampai akhirnya semuanya pecah.
Satu meeting, satu adu argumen, satu kalimat yang nggak bisa ditarik balik.

"Gue rasa gue udah nggak ada tempat lagi disini Rey! Gw mundur!"
"Gue juga nggak butuh lo buat jalanin semua ini, Ga."

Dan ternyata dia bener.
Dua bulan kemudian, dia nerusin startup itu bareng Dani. Gue mundur. Tanpa tanda tangan. Tanpa goodbye.

Sekarang, sepuluh tahun kemudian, gue kerja kantoran. Jalan hidup gue lurus-lurus aja, cenderung monoton dan rutinitas.

Rey? Gue denger dari teman-teman lama—startup-nya masih jalan, katanya pivot beberapa kali, tapi dia makin sukses dan produknya berkembang. Namanya disebut-sebut. Kadang nongol di media, kadang diundang jadi pembicara.

Gue bangga. Gue marah. Gue kangen.
Semua dalam satu rasa yang absurd.

Gue pernah nulis pesan.
"Bro, masih inget zaman kita coding semalaman sambil ngopi sachetan?"
Tapi nggak pernah gue kirim. Karena gue tahu, yang bakal baca pesan itu... udah bukan Rey yang dulu.

Dan mungkin gue juga bukan Arga yang dulu.

Tapi malam ini, setelah beberapa gelas kopi dan playlist lama dari zaman awal-awal, gue buka laptop dan nulis sesuatu.

Sebuah surat.
Bukan buat dikirim.
Tapi buat menutup cerita.

"Rey, kita pernah jadi sesuatu. Dan gue nggak akan pura-pura lupa itu. Tapi kita juga pernah saling nyakitin, dan nggak semua luka bisa dijahit bareng. Mungkin ini akhir cerita kita. Mungkin juga ini cuma jeda panjang. Tapi kalau pun nggak ada lanjutan, gue tetap bilang: lo pernah jadi orang penting dalam hidup gue. Dan itu cukup."

Surat itu gue simpan di folder bernama "Legacy"

Gue matikan laptop.
Dan untuk pertama kalinya dalam delapan tahun, gue bisa tidur tanpa muter skenario "Seandainya dulu..."

Kalau suatu hari nanti gue ketemu Rey di persimpangan jalan, mungkin kami cuma akan saling angguk.
Mungkin dia akan senyum.
Mungkin gue juga.

Dan dalam hati, gue akan bilang:
"Terima kasih pernah jadi bagian dari bab pertama. Tapi buku ini udah lanjut ke bab lain, dan semoga loe baik-baik selalu..."

No comments: