Aku anak perempuan satu-satunya dari seorang duda. Hidup kami tenang, sederhana, dan cukup hangat. Tak pernah ada yang benar-benar kurang, walau hanya kami berdua. Ayah selalu bilang, "Kita cukup karena kita saling punya." Dan aku percaya.
Sampai suatu hari, ayah bilang dia ingin mengenalkan seseorang padaku. Seorang perempuan. Wajahnya ramah, suaranya lembut, senyumnya sopan. Aku tidak merasa terancam. Aku tahu ayah butuh teman, dan kupikir aku sudah cukup dewasa untuk tidak egois.
Tak lama, mereka menikah. Lalu datanglah satu lagi—anak perempuan dari istri baru ayah. Usianya sedikit lebih muda dariku. Kami saling menyapa dengan baik, makan bersama, bahkan sempat tertawa bersama.
Tapi waktu berjalan, dan segalanya mulai miring. Perlahan, peran-peran dalam rumah itu berubah. Saat adik tiriku minta kamar yang kupakai, ayah menyuruhku pindah ke kamar belakang. Katanya, dia perlu ruang lebih untuk "berkembang." Oke, aku terima.
Kemudian baju-bajuku—yang kubeli dari uang jajan sisa dan tabungan kecil—berpindah ke lemarinya. Tanpa aku tahu. Saat kutanya, katanya aku terlalu sensitif. "Namanya juga adik sendiri," kata ayah.
Aku mulai diam. Aku belajar untuk tidak banyak bicara, karena setiap kalimatku terasa ditolak oleh rumah yang dulu kupikir tempatku pulang.
Dan lalu—aku bahkan malas mengingatnya—dia merebut pacarku. Bukan hanya diam-diam. Terang-terangan. Dan saat kusampaikan pada ayah, dia bilang, "Mungkin mereka memang lebih cocok."
Itu kalimat paling menyakitkan yang pernah kudengar.
Waktu itu aku tidak teriak. Tidak banting pintu. Tidak lari. Aku hanya menarik napas dalam-dalam, lalu aku belajar. Aku habiskan waktuku di meja belajar seperti hidupku bergantung pada nilai-nilai itu. Dan memang benar. Nilai-nilai itu menyelamatkanku. Aku dapat beasiswa penuh. Universitas impian. Tiket keluar dari rumah yang bukan lagi rumah.
Aku bilang pada ayah aku akan pergi. Dia hanya mengangguk "Oke". Tidak ada pelukan. Tidak ada "jaga diri." Tidak ada upaya untuk menahanku. Sejak hari itu, tidak satu pun dari mereka menghubungiku. Tidak di ulang tahunku. Tidak di saat aku sakit. Tidak saat aku nyaris gagal di semester ketiga.
Dan besok... besok aku akan wisuda. Aku akan berdiri di atas panggung, mengambil ijazah dengan namaku—bukan nama keluarga mereka. Sendirian. Tapi bukan berarti aku sendiri.
Aku membawa diriku sendiri sejauh ini. Aku yang belajar. Aku yang bertahan. Aku yang bangkit. Dan besok, aku akan merayakannya. Untukku. Hanya untukku.
Kalau mereka datang? Entahlah. Kalau tidak? Tidak mengapa. Aku sudah terbiasa hidup tanpa tepuk tangan mereka.
* Terinspirasi dari sebuah film pendek lama, jika pembaca ada yg tahu judulnya, bisa diinfokan untuk credits
No comments:
Post a Comment