Semalam gue mimpiin Rey lagi.
Kita duduk di kursi plastik usang, di bawah lampu temaram yang terlalu kuning buat disebut estetik. Warung kopi pinggiran kampus, tempat kita biasa ngopi sachetan sambil debat ide-ide gede yang bahkan belum tentu ada yang mau pakai. Muka dia masih sama—ceria, mata sedikit sipit pas ketawa, tangan banyak gerak, dan suara cempreng yang khas tiap dia excited.
Gue nanya hal konyol di mimpi itu, “Masih inget pas kita hampir ditendang dari co-working gara-gara ketawa terlalu keras?”
Dan dia ketawa lagi. “Inget banget, bro. Kita kayak bocah baru lepas SMA waktu itu.”
Semua terasa biasa aja. Nggak ada luka. Nggak ada kecanggungan. Seolah semua konflik, kemarahan, dan jarak delapan tahun itu nggak pernah kejadian. Dalam mimpi itu, kita masih dua orang yang percaya bahwa dunia bisa dibangun dari selembar kertas, secangkir kopi, dan mimpi yang keras kepala.
Tapi lalu gue kebangun.
Pelan-pelan.
Jam 06:13. Alarm belum bunyi. Matahari belum muncul sepenuhnya. Dan kamar gue... hening.
Beberapa detik gue cuma rebahan. Ngelihatin langit-langit. Nafas gue masih berat, setengah tertinggal di mimpi tadi. Rasanya aneh—kayak tangan gue masih hangat habis bersalaman sama masa lalu.
Tapi yang muncul bukan sedih. Bukan nyesek. Bukan pengen nge-chat dia, atau buka profil dia diam-diam.
Gue cuma senyum kecil.
Karena gue sadar: itu cuma mimpi.
Dan ternyata, mimpi itu... cukup.
Nggak semua kenangan harus dicari jawabannya. Kadang mereka cuma mampir buat ngingetin kita bahwa pernah ada versi diri kita yang lebih hidup, lebih liar, lebih yakin bahwa besok akan lebih baik.
Dan itu oke.
Gue oke.
Gue bangun. Bikin kopi sendiri. Nyalain playlist lama. Hidupin laptop. Masuk ke jadwal hari ini. Tapi kali ini, ada sedikit getar di dada—bukan dari rindu, tapi dari rasa syukur.
Gue pernah punya seseorang yang bikin hidup gue lebih terang.
Dan sekarang, walau lampu itu udah dimatikan, ruangannya masih bersih. Masih ada tempat kosong yang nggak pengap. Gue ngerawat kenangan itu seperti kamar yang selalu disapu tiap pagi, walau tamunya udah nggak datang lagi.
Mungkin suatu saat mimpi itu mampir lagi.
Dan kalau nggak? Gue tetap jalan.
Karena hidup terus bergulir.
Dan nggak akan nunggu siapa-siapa.
No comments:
Post a Comment