Satu sore yang nggak sengaja, gue lagi scroll IG story sambil nunggu takeaway. Timeline biasa—kopi, kata-kata bijak hasil repost, dan orang-orang pamer treadmill baru. Sampai akhirnya, satu foto nyangkut di kepala gue.
Warkop Bang Darto. Tempat dulu kita nongkrong tiap sore. Tempat semua cerita itu dimulai, berkembang, dan... perlahan bubar.
Foto itu diambil dari sudut yang familiar: meja kayu panjang yang udah keropos di ujungnya, kipas angin butut yang cuma muter ke kiri, dan tulisan "NGUTANG CUMA BUAT YANG NGAKU TEMEN" yang masih nangkring di dinding. Caption-nya cuma singkat:
"Minggu ini terakhir. Bang Darto mau pensiun. Gak ada yang nerusin."
Gue nge-reply tanpa mikir panjang:
"Masih inget tempat ini?"
Balasannya dateng lima menit kemudian, dari Sherly.
"Inget lah. Kangen juga ya..."
Dari situ, bola salju mulai ngelinding. Gak ada yang ngajak langsung, tapi tiba-tiba aja ada yang bilang, "Kalau Jumat sore sempet, gue ke sana ya." Yang lain ngangguk. Satu persatu. Gak janji, tapi mungkin dateng.
Jumat itu, langit mendung tapi gak hujan. Udara sisa-sisa gerimis tadi siang, basah tapi adem. Gue dateng duluan, kayak biasa. Motor gue parkir di pojok, di tempat yang dulu Dika selalu ngeluh karena ban-nya gampang kejeblos.
Gue masuk pelan. Warkopnya masih sama. Sedikit lebih kusam. Meja kita udah dipindah agak ke belakang, tapi masih utuh—bekas rokok dan noda kopi gak pernah benar-benar ilang.
Bang Darto masih di belakang meja kasir, nyapu pelan sambil dengerin dangdut dari radio kecil.
"Lah... ini siapa? Wah, lama banget gak liat muka lo!" katanya sambil ketawa.
Gue senyum, salaman, dan jawab, "Masih inget saya, Bang?"
Dia ngangguk. "Inget lah. Kalian tuh dulu paling ribut. Kalau saya tutup, kayaknya tempat ini gak bakal seru lagi."
Gue cuma ketawa kecil, tapi di dalam, ada yang kesentil.
Gak lama, satu-satu mereka dateng.
Sherly. Dika. Naya.
Masing-masing dengan versi dewasa mereka. Gaya lebih rapi, mata lebih capek. Tapi pas kita duduk lagi di meja itu, seolah-olah waktu mundur delapan tahun kebelakang. Sejenak, kita bukan orang kantoran, bukan mantan pacar, bukan orang asing. Kita cuma anak-anak yang pernah ketawa terlalu keras dan cerita terlalu banyak.
Awalnya canggung. Basi-basi formal. "Kerja di mana sekarang?" "Masih di kota sini?" Tapi pelan-pelan, suara kita naik. Ngelantur lagi. Ketawa lagi. Sampai akhirnya, Naya nyeletuk sambil nyelipin tangannya ke bawah meja.
"Eh... lo masih inget gak, dulu kita nulis-nulis di sini?"
Dia gesek-gesek bagian bawah meja, dan masih ada di sana—coretan pulpen yang udah luntur tapi bisa kebaca:
"KITA BEREMPAT. 17/03/2017. GAK USAH SERIUS-SERIUS, YANG PENTING ADA KITA."
Kita semua diem sesaat. Bukan karena sedih. Tapi karena... itu nyata. Kita pernah ada. Di sini.
Malam makin gelap, tapi gak ada yang buru-buru pulang. Kita gak ngomong soal putus, gak bahas kenapa kita renggang. Gak perlu. Yang penting sekarang kita duduk bareng lagi, satu meja, di tempat terakhir yang masih nyimpen sisa-sisa kita.
Pas warkop mulai sepi, kita berdiri bareng. Gue bayar ke Bang Darto, dan dia cuma bilang,
"Terima kasih ya. Kalian bagian dari sejarah tempat ini."
Gue gak jawab. Cuma angguk pelan, karena kalau gue ngomong, suara gue bakal getar.
Di luar, sebelum bubar, kita saling lirik. Gak ada pelukan, gak ada janji. Tapi Dika bilang,
"Lain kali, ngopi lagi yuk. Gak harus di sini. Tapi... kapan-kapan."
Dan yang lain ngangguk.
Nggak pasti, tapi bisa jadi.
Sekarang, kita gak tiap hari ngobrol. Tapi kadang, chat grup lama hidup lagi. Naya kadang share meme receh. Sherly sesekali kirim lagu yang katanya "bikin inget dulu". Dika ngajak nonton bola bareng, walau sering batal.
Gak kayak dulu. Tapi cukup.
Dan kadang, cukup itu lebih dari cukup.
***
No comments:
Post a Comment