Dulu, di satu fase hidup gue yang gak terlalu jauh dari sekarang, ada bab yang selalu bikin gue berhenti sejenak tiap kali keinget. Bukan karena gue gak bisa move on, tapi karena bab itu terlalu indah buat dilupain, dan terlalu rusak buat diulang.
Kita berempat.
Gue gak akan sebut nama asli mereka, bukan karena takut, tapi karena bagian ini bukan tentang mereka. Ini tentang kita—geng kecil yang pernah bikin hidup gue lebih dari sekadar rutinitas.
Kita kenal dari tempat biasa: kampus. Klise, gue tau. Tapi cerita ini bukan soal keanehan tempat ketemu, tapi soal apa yang terjadi setelahnya. Gue, Dika, Naya, dan Sherly. Dua cowok, dua cewek. Kita cuma nyambung. Obrolan ngalor-ngidul, tertawa gak jelas, dan rasa nyaman yang gak dibuat-buat.
Setiap sore jadi ritual. Nongkrong bukan karena janjian, tapi karena kita tau: kalau sore ini gak ada yang muncul, terasa ada yang kurang. Kopi sachet, motor bebek, dan playlist Spotify acak—itu semua cukup. Dunia luar ribut, tapi dunia kita tenang.
Sampai akhirnya kita jatuh cinta. Sesuatu yang sebenarnya gak pernah kita rencanakan, tapi juga gak bisa dihindari.
Gue sama Sherly. Dika sama Naya.
Itu momen ketika dunia kecil kita mulai berubah bentuk. Dulu semua datar, setara, dan cair. Sekarang ada batasan-batasan yang gak diucap, tapi makin kerasa. Kita masih berempat, tapi udah mulai jadi dua. Dua pasang.
Waktu itu gue kira ini justru upgrade. Siapa sangka, sahabat jadi kekasih—sounds like a fairytale, kan?
Nyatanya, gak sesederhana itu.
Masa-masa itu kayak mimpi. Kita pernah road trip mendadak, jam tiga pagi, cuma karena Sherly ngidam mie Aceh di kota sebelah. Kita pernah nyasar bareng ke kampung orang, terus malah dijamu kayak tamu penting. Kita bikin video konyol di HP Dika yang sekarang entah kemana. Kita tertawa karena hal-hal bodoh, dan nangis bareng waktu Naya harus operasi kecil dan kita semua nungguin di rumah sakit. Kita ketawa, kita berantem, kita baikan. Tapi perlahan, intensitas itu berubah jadi tekanan.
Gue dan Sherly mulai kehabisan bahan obrolan. Hal-hal kecil kayak dia telat bales chat mulai jadi masalah. Dika dan Naya juga makin sering diem. Ketegangan gak meledak, tapi menggantung di udara kayak listrik statis. Kita saling senyum, tapi kosong. Kita duduk bareng, tapi sendirian.
Akhirnya, satu-satu kita mundur.
Gue putus sama Sherly. Gak dramatis, tapi ngenes. Diam-diam. Kayak dua orang yang tau ini udah gak bisa dipaksain tapi gak punya tenaga buat marah. Dika dan Naya juga selesai—mereka bahkan gak cerita. Tiba-tiba grup chat kita sepi. Lalu hilang. Lalu mati.
Dan itu momen ketika gue sadar: kadang yang rusak itu bukan cuma hubungan cinta. Tapi rumah kecil yang pernah kita bangun bareng-bareng.
Lo tau rasanya hidup belakangan ini? Nggak buruk. Tapi datar. Stabil. Rapi. Dan... kosong. Seolah-olah, warna-warna yang dulu ngejreng itu sekarang pudar. Rutinitas mengambil alih. Tawa diganti scroll TikTok. Petualangan berubah jadi jam kerja. Dan dunia kecil kita—yang dulu kayak rumah—sekarang cuma reruntuhan dalam ingatan.
Sekarang, gue ngopi sendirian. Kadang nongkrong sama teman kantor, kadang duduk di tempat yang dulu sering kita datengin. Tapi bangku yang biasanya buat kita berempat, sekarang cuma terisi dua, kadang satu. Sisanya kosong. Diam.
Kadang, di tengah malam, gue scroll galeri lama. Ada foto kita duduk di pinggir jalan, makan gorengan sambil ngetawain hal gak penting. Bukan karena pengen balikan. Tapi karena gue sadar, kita pernah punya sesuatu yang gak semua orang punya—dan kita ngelepasinnya gitu aja.
Kadang gue juga mikir, salahnya di mana? Apakah kita terlalu naif mikir bisa jadi sahabat dan pasangan tanpa konsekuensi? Atau kita terlalu egois buat nyelamatin yang tersisa?
Gue gak tau.
Yang gue tau, masa itu pernah ada. Dan sekarang udah gak ada. Tapi bukan berarti gak berharga.
Mungkin, kita emang gak ditakdirin selamanya. Tapi kadang gue mikir... kalau aja waktu itu kita duduk bareng satu kali lagi, ngomong jujur, dan gak egois—mungkin ceritanya beda.
Tapi ya... semua udah terjadi.
Mungkin emang gitu caranya hidup ngajarin kita. Bahwa beberapa orang masuk ke hidup lo bukan buat selamanya—tapi buat ngasih lo satu babak yang gak bisa lo dapetin dari siapa pun lagi.
Dan gue bersyukur pernah punya mereka. Walau sekarang, tinggal cerita. Yang bikin sedih, bukan karena semua yang kita alami itu nggak real. Tapi karena kita gak pernah bilang, "Kalau kita retak, jangan sampai hancur."
***
No comments:
Post a Comment