* A Harry Potter fanfic
Darah.
Aku mencium baunya bahkan sebelum aku melihat tubuh-tubuh itu. Hangat, besi, amis. Seperti masa kecilku. Seperti kenangan yang tak pernah mau mati.
Aku berdiri di tepian desa, mantelku koyak karena pelarian, debu masih menempel di sepatu. Di hadapanku: reruntuhan. Rumah-rumah yang dulu penuh tawa kini menjadi abu. Seorang penyihir tua tergantung di tiang pancang, rambutnya dibiarkan terbakar perlahan—dalam nama Tuhan mereka, katanya.
Mereka... para Muggle.
"Kau lihat, Salazar?" gumam Rowena saat itu, beberapa jam sebelum neraka menyala. "Manusia selalu takut pada apa yang tidak mereka pahami."
Aku mengangguk saat itu. Tapi kini aku berpikir...
Mungkin mereka tak hanya takut.
Mungkin mereka membenci.
Dan mungkin—hanya mungkin—mereka pantas untuk takut.
Aku berjalan melewati jasad Ailith, sahabat masa kecilku. Ia bisa membuat bunga mekar dari air mata. Sekarang matanya membelalak ke langit yang dingin. Tangannya terulur, seperti hendak menarik langit agar turun dan memeluknya. Tapi langit tetap dingin. Tidak ada pelukan.
Aku berlutut di samping tubuhnya.
"Apa gunanya kekuatan," bisikku, "jika kita hanya menggunakannya untuk bersembunyi?"
Dalam pikiranku, ada suara. Suaraku. Tapi lebih tajam. Lebih keras.
Mereka membunuhmu karena mereka bisa. Karena mereka tahu kau tak akan melawan. Kau terlalu sibuk menyembunyikan siapa dirimu. Kau terlalu sibuk menjadi sopan.
Kau penyihir, Salazar. Kau bukan domba. Kau naga.
Aku tumbuh memuja kebijaksanaan. Rowena memberiku buku-buku. Helga memberiku harapan. Godric memberiku pedang. Tapi hanya dunia yang memberiku alasan.
Kau bisa mencintai Muggle, katanya.
Kau bisa hidup berdampingan.
Kau bisa mengajar mereka untuk mengerti.
Tapi berapa banyak penyihir lagi yang harus dibakar sebelum mereka mengerti?
Aku kembali ke reruntuhan, menarik tongkatku. Batu demi batu terangkat dari tanah. Aku menyusun kembali rumah-rumah dengan kekuatan sihirku, bukan untuk membangun, tapi untuk mengingat. Agar aku tak pernah lupa.
Dan di tengah semuanya, aku berjanji pada diriku sendiri:
Jika dunia tak bisa menerima kita, maka kita akan menciptakan dunia sendiri.
Malam itu, aku menatap api unggun kecil di tengah hutan, bersama yang lain. Godric tertawa, seperti biasa. Helga mengiris roti. Rowena membaca, tanpa mengangkat kepala.
Aku menyesap anggur dan menyimpan niatku rapat-rapat.
Belum saatnya.
Tapi segera.
"Kita butuh sekolah," kataku akhirnya. "Tempat untuk anak-anak kita. Tapi hanya untuk mereka yang layak..."
Helga berhenti memasak. Rowena mengangkat kepala. Godric berhenti tertawa.
"Anak-anakku haruslah para pejuang yang pemberani!" Kata Godric.
"Menurutku, hanya mereka yang cerdas yang layak untuk mendapat pendidikan tingkat lanjut." Jawab Rowena.
"Sihir adalah kekuatan yang dashyat dan mampu merubah tatanan dunia. Hanya mereka yang memiliki kebaikan di dalam hatinya yang layak menggenggam kekuatan ini." Ujar Helga.
Dan aku?
Aku tersenyum sambil memandang wajah mereka semua yang seketika berbinar.
Tamat. Untuk saat ini.
No comments:
Post a Comment