-- Through the girl's eyes --
Dulu, aku punya pacar yang aneh. Aneh dalam arti... dia seperti anak kecil. Bercandaan nggak penting, suara-suara aneh yang dia buat tanpa alasan, ekspresi wajah yang konyol, dan tingkah laku yang sering bikin aku mikir, “Serius deh, ini orang dewasa apa anak SD sih?”
Awalnya aku pikir lucu. Tapi lama-lama... capek.
“Ayolah, dewasa dikit kek!”
“Garing tau kamu tuh...”
“Kamu tuh nyebelin, sumpah.”
Kalimat-kalimat itu keluar dari mulutku hampir setiap hari. Aku kira, dengan ngomel seperti itu, dia bakal berubah jadi versi ‘lebih baik’. Versi cowok yang kalem, maskulin, cool. Aku nggak sadar, versi ‘lebih baik’ yang aku maksud, bukan dia.
Sampai satu hari, dia berubah.
Nggak ada lagi suara-suara aneh.
Nggak ada lagi candaan absurd di tengah obrolan serius.
Nggak ada lagi wajah-wajah ekspresifnya yang lebay tapi entah kenapa bikin aku senyum.
Dia jadi... datar. Semua reaksinya minimal. Dingin. Bukan marah. Bukan cuek karena benci. Tapi lebih seperti... hampa.
Awalnya aku lega. Kupikir, "Akhirnya dia ngerti juga ya." Tapi setelah beberapa hari, aku malah merasa asing. Aku ngobrol, dia jawab seperlunya. Aku bercanda, dia cuma senyum kecil, atau malah cuma “hmm.” Aku minta pendapat, dia jawab seperti robot.
Aku mulai mempertanyakan semuanya.
Dan akhirnya... aku sudahi saja hubungan kita.
Waktu aku bilang, “Kita putus aja ya,” dia cuma jawab pelan, “Oke.”
Nggak ada shock, nggak ada tanya kenapa, nggak ada usaha buat tahan aku.
Dia cuma... terima aja...
Dan anehnya, itu yang paling nyakitin.
Setelah kami berpisah, aku kepikiran terus. Semua momen yang dulu aku anggap childish, ternyata itu yang bikin hubungan kami hidup. Itu bagian dari dia, dan aku minta dia buang.
Dan dia nurut.
Tapi begitu dia buang sisi itu... dia juga buang bagian dari dirinya sendiri.
Aku sadar... aku ngebunuh cahaya kecil yang dia bawa. Yang polos. Yang tulus. Yang cuma pengen bikin aku ketawa.
Sekarang, aku cuma bisa berharap dia menemukan seseorang yang nggak bakal nyuruh dia berubah. Seseorang yang bisa lihat kalau childish-nya dia itu bukan kekurangan, tapi warna. Dan mungkin, suatu hari nanti, dia bisa nemuin lagi sisi dirinya yang dulu hilang...
-- Through the boys's eyes --
Awalnya, gue cuma pengin jadi diri sendiri.
Gue bukan orang paling dewasa, bukan yang paling tenang. Gue suka bercanda, suka hal-hal kecil yang receh. Kadang norak, kadang lebay, kadang childish. Tapi itu gue. Gue ngerasa, selama bareng dia, gue bisa bebas jadi versi paling ringan dari diri gue sendiri. Gue pikir itu hal yang baik.
Tapi ternyata, makin lama...
Setiap gue ketawa terlalu keras, dia bilang gue "nggak lucu".
Setiap gue ngelawak receh, dia bilang "annoying".
Waktu gue excited soal hal-hal kecil, dia bilang "kayak anak-anak".
"Jadi dewasa dikit, dong," katanya suatu hari — dengan nada lelah, bukan marah, tapi cukup bikin gue mikir.
Gue mulai ngerasa...
Oh, mungkin gue terlalu banyak bercanda.
Mungkin gue harus lebih tenang, lebih kalem, lebih... 'dewasa', apapun itu artinya.
Jadi gue coba berubah.
Gue mulai pelan-pelan matiin bagian dari diri gue yang paling sering dia keluhin.
Gue stop ngelawak. Stop bercanda. Stop ketawa keras-keras.
Kalau dia cerita, gue dengerin... tapi tanpa ekspresi.
Kalau dia marah, gue diem aja, karena gue pikir: “ya udahlah, salah juga kalau gue ngelawan.”
Kalau dia ngajak ketemu, gue datang. Tapi udah nggak banyak obrolan. Gue jadi versi yang... datar. Kalem. Cool, mungkin?
Tapi gue bisa lihat matanya mulai bingung.
“Kenapa kamu diem aja?”
“Kamu kenapa sih akhir-akhir ini?”
“Kamu udah nggak kayak dulu lagi...”
Gue cuma senyum dikit, angguk, dan bilang, “nggak apa-apa.”
Padahal dalam hati... gue ngerasa kosong.
Dan akhirnya hari itu datang.
Dia bilang, “Kita kayaknya udah nggak cocok lagi. Kita putus aja ya.”
Gue jawab, “Oke.”
Tanpa drama. Tanpa tanya kenapa. Tanpa minta bertahan.
Karena buat apa juga?
Dia pergi. Dan gue cuma lihat punggungnya, tanpa kata-kata tambahan.
Setelah itu, gue duduk lama. Buka HP. Scroll galeri. Lihat foto-foto lama waktu gue masih bisa ketawa lepas.
Dan gue sadar: yang dia putusin hari itu... bukan cuma gue. Tapi juga bagian dari gue yang dulu selalu berusaha bikin dia senyum.
Gue nggak nyesel.
Tapi gue juga nggak bohong... kalau kadang, gue berharap dia ngerti: gue berubah bukan karena gue tumbuh, tapi karena gue nyoba jadi apa yang dia mau.
Gue harap di luar sana dia bisa menemukan kebahagiaan yang dia cari...
No comments:
Post a Comment