Davin masih ingat bau kapur tulis di pagi hari, waktu dia dan Elang datang barengan ke kelas. Bangku pojok kanan belakang, dekat jendela, udah kayak markas mereka. Di situlah mereka ngelawak, nyontek bareng, ngerancang strategi bolos, dan mimpiin masa depan sambil makan gorengan.
Orang-orang di kelas udah terbiasa liat mereka bareng. Makan bareng, ngerjain tugas bareng, bolos bareng, bahkan tidur di ruang UKS pun bareng kalau kelelahan habis ekskul. Waktu orang lain sibuk pacaran atau drama remaja, mereka sibuk debat soal game, film, dan masa depan. Nggak berlebihan kalau banyak yang nganggep mereka inseparable.
Elang lebih pendiam, rada cuek, tapi selalu tanggap dan tajam kalo diajak ngobrol. Sementara Davin, cerewet, suka ngelawak, dan selalu jadi pusat keramaian. Tapi justru karena beda itulah mereka klop.
Kalau Elang nggak ada, rasanya kelas kayak setengah nggak hidup. Dan sebaliknya. Orang-orang udah hafal: kalau Davin nongol, Elang pasti gak jauh-jauh. Mereka kayak dua sisi koin receh—nggak mahal, tapi kalau hilang satu, gak bisa dipakai.
Hari itu harusnya hari biasa. Pulang sekolah, nongkrong di warung kopi depan gerbang. Tapi entah kenapa, candaan Davin—yang biasanya dianggap becandaan murahan—malah bikin Elang naik pitam.
"Apa sih lu, Lan? Baper banget," kata Davin, masih ngikik.
Elang berdiri. Wajahnya gak marah, tapi dingin. "Lu tuh gak pernah tau kapan harus berhenti, Ka."
"Lah, emangnya kenapa? Gara-gara gue becandain cewek yang lu suka?"
Elang gak jawab. Dia cuma dorong Davin Elang—tapi cukup buat semua temen yang lagi duduk langsung berdiri. Davin bales dorong. Satu dorongan lagi. Terus... meledak.
Muka mereka kena. Perut, dada, bahu. Tonjokan anak SMA—asal-asalan, tapi dari hati. Gak sampai semenit, mereka udah dipisahin. Napas ngos-ngosan, baju sobek, mata merah. Tapi luka paling dalam bukan yang berdarah.
Besoknya, Elang duduk di bangku yang sama. Sendirian. Davin pindah ke deretan tengah, pura-pura sibuk ngobrol sama anak lain. Semua orang ngerasa aneh. Kelas kerasa berat. Garing. Suara tawa dari pojok kelas udah gak ada lagi.
Seminggu. Sebulan. Mereka kayak orang asing. Gak ada lagi tawa kencang di pojokan, gak ada lagi pertanyaan "Eh lu liat Elang?" karena orang udah tau: mereka udah gak barengan lagi.
Sampai suatu sore, mereka ketemu di belakang sekolah. Tempat biasa mereka ngumpet dari guru piket. Gak direncanain. Cuma... kebetulan.
"Hari ini panas, ya," kata Elang, nunduk.
"Iya," jawab Davin. Hening.
"Sori... waktu itu," lanjut Elang. "Gue udah simpen itu lama. Kesel. Tapi harusnya gue gak kayak gitu."
"Gue juga, Lan. Gue tau becandaan gue kadang nyebelin. Kadang—kayaknya sering."
Elang ketawa kecil. Davin ikut senyum.
Tapi senyum itu... kayak lampu yang berkedip sebentar sebelum mati. Mereka salaman. Lalu jalan ke arah yang berlawanan. Sejak itu, mereka gak pernah berantem lagi. Tapi juga gak pernah jadi teman lagi.
Sampai kelulusan, bangku pojok kanan belakang cuma diisi satu orang. Kadang Elang. Kadang Davin. Tapi gak pernah bareng lagi.
Banyak dari kita hidup dengan bayang-bayang sahabat yang gak sempat kita peluk saat pisah. Yang gak sempat kita ucapin: "Makasih, bro, udah nemenin gue sejauh ini." Kadang bukan tentang salah siapa, tapi tentang waktu yang gak berpihak.
Bertahun-tahun kemudian, Davin menikah. Di hari itu, dia sempat menatap kursi kosong di meja tamu yang harusnya dikirim undangan—tapi gak pernah dia kirim. Elang udah lama gak ada kabarnya. Mungkin di luar kota. Mungkin udah nikah juga. Atau mungkin masih duduk di bangku pojok kelas itu... di kepalanya.
Cerita bukan cuma tentang mereka. Tapi tentang kita semua yang pernah punya seseorang yang tadinya selalu ada, lalu tiba-tiba, jadi asing.
Dan kalau mereka baca ini satu hari nanti—entah bareng, entah sendiri—semoga mereka tahu: dulu, persahabatan mereka kelihatan seperti hal paling kuat di dunia. Dan mungkin, meskipun udah retak, tetap ada bagian dari itu yang gak pernah benar-benar hilang.
No comments:
Post a Comment