Wednesday, May 21, 2025

Nada Yang Tertinggal

Di balik jas putihnya yang licin dan rapi, drg. Pramudya adalah sosok yang nyaris sempurna di mata orang kebanyakan. Klinik gigi miliknya di bilangan Bintaro selalu ramai. Jadwalnya padat, tapi tertata. Ia punya istri yang cantik, dua anak yang sehat dan cerdas, mobil keluarga yang nyaman, dan rumah minimalis dengan taman kecil di belakang.

Namun, ada satu hal yang tak bisa dilihat orang—lubang hampa yang makin hari makin melebar di dalam dirinya.

Ia sering duduk di beranda malam-malam, setelah semua orang tidur, hanya untuk memandangi kegelapan. Kadang menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin, sambil bertanya ke dirinya sendiri: "Aku ini kenapa sih?"

Saat itulah ia memutuskan untuk menemui seorang psikolog. Bukan karena gila, tapi karena ia merasa seperti boneka yang diatur rutinitas, bukan manusia dengan hasrat.

Sesi-sesi awal hanya dipenuhi pernyataan klise. Lelah kerja. Jenuh. Perlu refreshing. Tapi psikolognya—Bu Laras, wanita paruh baya yang cara bicaranya tenang tapi tajam—tidak mudah puas.

Sampai suatu sore, Bu Laras menatapnya dalam-dalam dan berkata, “Coba cerita soal masa muda kamu. Apa yang bikin kamu dulu bahagia banget?”

Pramudya terdiam lama. Lalu, dengan suara yang nyaris seperti bisikan, ia menjawab, “Nyanyi.”

Ternyata, dulu ia ingin jadi penyanyi. Bukan yang asal-asalan. Ia pernah tampil di panggung kampus, ikut lomba, bahkan sempat direkrut sebuah band jazz lokal. Tapi ketika saatnya memilih jurusan kuliah, ayahnya hanya berkata satu kalimat: “Jadi dokter lah. Musik itu sekedar hobi, bukan kerjaan.”

Dan seperti anak baik pada umumnya, Pramudya menuruti.

“Lalu, kapan terakhir kali nyanyi?” tanya Bu Laras lagi.

Pramudya sadar, ternyata sudah lama sekali dia tidak nyanyi. Tapi malam itu ia pulang ke rumah, masuk kamar, buka laptop, dan putar lagu-lagu lama yang dulu pernah ia nyanyikan. Suaranya masih ada. Memang sudah agak berkarat, tapi masih bisa dipakai nyanyi.

Minggu-minggu berikutnya, ia mulai nyanyi pelan-pelan. Di kamar mandi. Di mobil. Di studio karaoke kecil yang ia sewa diam-diam.

Beberapa bulan kemudian, dengan dorongan Bu Laras, Pramudya mengambil langkah lebih jauh—menyanyi di kafe kecil milik teman lamanya, hanya di malam Sabtu. Ia tidak pakai nama asli. Hanya “Pram”, dan tampil dengan jeans dan kaos, bukan jas putih.

Lucunya, ia tak merasa seperti kabur dari hidup lamanya. Justru, ia merasa menemukan potongan dirinya yang dulu hilang. Pasien-pasiennya tetap ia layani, anak-anak tetap ia antar sekolah, tapi kini ada energi baru yang mengalir.

Istrinya awalnya sempat heran, tapi akhirnya ikut datang ke salah satu malam pertunjukan. Ia duduk di pojok, tersenyum saat Pramudya menyanyikan lagu “Fragile” dari Sting.

Bukan karena suaranya sempurna, tapi karena ia bisa melihat: suaminya, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama... hidup.

Bukan sebagai dokter gigi. Bukan sebagai ayah. Tapi sebagai Pramudya adanya.

Dan begitulah. Ia tak pernah jadi penyanyi terkenal. Tak ada panggung besar, tak ada album. Tapi itu bukan lagi tujuannya.

Dan tiap malam Sabtu, ketika suara musik mengalun pelan di kafe kecil itu, Pramudya tahu—ia tak lagi merasa kosong.

No comments: