Aku hanyalah tembok, berdiri kaku di tepi atap sekolah. Dibangun supaya anak-anak tidak jatuh, dicat putih seadanya, lalu ditinggalkan begitu saja. Aku tidak pernah meminta lebih. Tapi rupanya, jadi tembok di sini berarti jadi saksi banyak hal—tawa, tangis, janji, dan rahasia—semua terjadi ketika senja datang.
Hari pertama aku “dihuni” datang tiba-tiba. Beberapa murid laki-laki berlari ke atap, napas mereka terengah.
“Cepet, cepet! Si Bu Lilis udah nyariin kita!” teriak salah satunya, sambil menutup pintu besi menuju atap.
Mereka ketawa cekikikan, lalu duduk di lantai. Seorang anak kurus membuka spidol hitam, mendekat ke arahku.
“Yah, daripada bosen, kita tandain aja nih tembok. Supaya orang tau kita yang pertama nongkrong di sini.”
“Eh, jangan ah, ntar ketauan guru,” sahut temannya.
“Ah, siapa juga yang bakal naik ke sini,” katanya sambil menempelkan ujung spidol ke tubuhku. Coretan pertama. Nama mereka, lengkap dengan gambar hati dan panah.
Awalnya aku merasa itu seperti luka. Tapi begitu mereka tertawa, aku mengerti: goresan itu bukan sekadar vandal, itu tanda keberadaan. Aku tidak lagi polos, dan entah kenapa, aku tidak lagi kesepian.
Seiring waktu, atap jadi tempat rahasia mereka. Hampir tiap sore, mereka datang ketika langit mulai jingga.
Ada si cewek berambut kuncir dua yang selalu curhat:
“Eh, sumpah ya, si Raka tuh ngeselin banget. Tadi dia minjem buku catetan aku, udah gitu malah nggak dibalikin. Terus dia bisa-bisanya ngajak aku belajar bareng.”
Temannya ngakak, “Ya ampun, jelas-jelas dia modus, bego. Itu mah suka sama lo.”
“Apa sih, mana mungkin…” katanya, wajahnya merah, tapi tetap bersandar ke tubuhku.
Aku merasakan detak canggung yang menempel di punggungku.
Ada juga anak laki-laki yang bawa gitar tua, senarnya udah agak fals. Dia suka duduk di pojok, memetik dengan suara seadanya.
“Eh, lagu baru gue, dengerin ya.”
Petikan gitar menggema, disusul suara serak-serak basah, liriknya belepotan tapi tulus. Teman-temannya tepuk tangan meski nadanya kacau.
“Parah sih, jelek banget suaranya.”
“Halah, yang penting niat, bro!”
Dan aku, si tembok bisu, ikut menikmati.
Ada juga anak yang diam. Hanya menatap langit senja, matanya kosong. Sesekali dia menghela napas panjang. Aku tidak tahu isi kepalanya, tapi aku tahu beban yang ia sandarkan padaku lebih berat dari tubuhnya.
Aku menyimpan banyak hal yang tidak pernah keluar dari bibir siapa pun.
Suatu sore, seorang anak perempuan dan laki-laki datang berdua. Mereka tampak gugup, berdiri agak jauh dariku.
“Jadi… lo beneran suka sama gue?” tanya si cowok, suara nyaris tenggelam dalam hembusan angin.
“Ngapain gue mau naik ke sini kalau nggak beneran,” jawab ceweknya, menunduk.
Ada jeda panjang. Lalu tangan mereka bersentuhan. Mereka tertawa kecil, lalu bersandar bersamaku. Aku merasakan getaran tangan mereka yang saling menggenggam, masih kikuk tapi penuh keberanian. Itu hari mereka jadian.
Pernah juga ada anak laki-laki datang sendirian. Dia duduk, kepalanya menunduk, bahunya gemetar. Kertas ujian kusut ada di tangannya, nilai merah mencolok di atasnya.
“Kenapa gue bodoh banget sih…” gumamnya, lirih.
Air matanya jatuh di kakiku. Aku tidak bisa menepuk bahunya, tapi aku menopang tubuhnya agar tidak roboh.
Lalu ada coretan kecil yang kurasakan di suatu sore. Tulisan spidol, di pojok tersembunyi:
“Terima kasih, semuanya. Aku pindah minggu depan. Jangan lupa aku.”
Aku tidak melihat jelas siapa yang menulisnya. Tapi aku menyimpannya, tetap jelas sampai hari ini.
Waktu berjalan cepat. Coretan makin banyak, tawa makin beragam. Sampai akhirnya, datang masa mereka harus lulus.
Sore itu, geng atap sekolah datang lagi, kali ini bawa kamera saku.
“Udah mau kelar aja, gila ya. Tiga tahun kayak nggak kerasa.”
“Iya. Abis ini kita udah nggak bisa seenaknya nongkrong di sini lagi.”
Mereka berdiri berjejer di depanku. Ada yang nyender, ada yang duduk di lantai. Senja sedang indah-indahnya, langit oranye bercampur ungu.
“Eh, jangan lupa senyum ya. Satu… dua… tiga!” klik.
Foto itu jadi momen terakhir mereka bersamaku. Setelah itu, aku hanya bisa menonton punggung-punggung mereka menjauh. Tidak ada lagi tawa keras, tidak ada lagi gitar fals. Atap jadi sepi, hanya suara angin menemani.
Tapi aku tetap di sini. Aku tidak pernah pergi. Coretan mereka masih ada, meski mulai pudar. Aku tetap berdiri, menunggu senja demi senja, bersama dengan siswa-siswi baru.
Tahun-tahun lewat. Murid baru datang, tapi tidak ada yang pernah benar-benar “menguasai” atap ini seperti mereka dulu. Sampai suatu hari, langkah-langkah berat menaiki tangga besi.
Pintu atap terbuka. Aku melihat wajah-wajah familiar, tapi kini lebih dewasa. Rambut mereka rapi, ada yang sudah berkemeja, ada yang membawa anak kecil.
“Gila, masih ada tembok ini!”
“Eh, liat, coretan gue masih nempel!”
“Hahaha, astaga… inget nggak, dulu kita foto di sini?”
Mereka tertawa, suara mereka lebih matang tapi tetap sama. Mereka menyentuh coretan lama, berfoto lagi dengan gaya yang sama.
Aku tersenyum dalam diam. Karena meski waktu mengubah mereka, aku tahu satu hal: setiap senja, aku akan selalu jadi saksi disini.
No comments:
Post a Comment