"We were young, wild, and free — until the day we realized the world is ruled by money, that even love can be sold for its price."
Sepuluh tahun setelah kelulusan, kita reuni kecil. Tempatnya mirip masa SMA dulu—kursi kayu, lampu temaram, aroma sate yang samar. Tapi suasananya sudah berubah. Obrolan bukan lagi soal mimpi, tapi soal cicilan rumah, target KPI, dan harga sekolah anak.
Rangga tiba-tiba nyeletuk:
“Eh, inget nggak dulu kita pernah janji kalau udah kerja, kita patungan bikin studio band? Sekarang sih duitnya ada. Tapi kapan terakhir kita nyanyi bareng?”
Hening. Kita saling pandang, ngetawain dengan getir.
Sinta bilang pelan:
“Kita dulu muda, liar, bebas. Sekarang, welcome to the real life...”
Perasaan gue jadi aneh: antara hangat karena ketemu mereka lagi, tapi juga sedih karena sadar kita semua kalah oleh sistem.
Di masa SMA dulu, hidup terasa sederhana. Sabtu sore berarti nongkrong di warung kopi pojokan sekolah, gitar butut bergilir di tangan, dan lagu-lagu Iwan Fals atau Sheila on 7 jadi soundtrack. Kita—gue, Rangga, Dimas, dan Sinta—ngerasa dunia cuma sejauh lapangan basket, kantin, dan mimpi-mimpi besar yang waktu itu rasanya nggak mustahil.
“Bro, someday kita bikin band beneran. Main di pensi bukan cuma jadi opener, tapi jadi bintang tamu!” seru Rangga, vokalis dengan suara serak-serak romantis. Kita ngakak, tapi dalam hati percaya.
Dulu, hidup nggak pernah ribet. Kita pacaran dengan polos, putus pun sambil makan mie instan rame-rame. Punya 20 ribu di kantong udah cukup buat beli rokok, bensin, sama gorengan.
Dan semua mulai berubah.
Sinta, cewek paling idealis di geng, kuliah hukum. Dia pernah bersumpah: “Gue bakal jadi pengacara buat orang kecil. Gue benci liat orang miskin diinjak.” Tapi pas gue ketemu lagi lima tahun kemudian, dia udah jadi corporate lawyer dengan gaji puluhan juta. “Nanti aja deh gue bantu orang kecil, kalau tabungan udah aman,” katanya sambil menyeruput latte di kafe elit. Ada lelah di matanya, tapi ada juga kilau perhiasan di tangannya.
Rangga, si vokalis, kerja di agensi iklan. Katanya seni itu ekspresi, tapi klien maunya bikin iklan mie instan dengan slogan bodoh. Lama-lama dia kompromi. “Namanya juga hidup, bro. Passion itu hobi, duit itu kewajiban.” Suaranya masih serak, tapi nyanyiannya sekarang cuma jadi hiburan kantor pas karaoke.
Tapi yang paling tragis, Dimas. Dia anak paling jago hitung-hitungan, masuk ke dunia perbankan. Awalnya semangat, tapi godaan besar bikin dia terjerat kasus suap kecil-kecilan. “Cuma 20 juta, siapa juga yang tahu,” begitu pikirnya. Sampai suatu hari, berita tentang “pegawai bank ditangkap KPK” muncul, dan wajahnya terpampang di TV.
Dan gue? Gue juga nggak lebih baik. Dulu pengen jadi penulis. Tapi realita bikin gue kerja kantoran, nulis laporan proyek yang nggak pernah ada orang baca. Malam-malam gue buka draft novel lama, tapi jari-jari nggak pernah sanggup ngetik lagi.
Meski begitu, ada satu hal kecil yang masih bikin gue percaya kita nggak sepenuhnya hilang. Malam itu, Rangga tiba-tiba keluarin gitar butut yang masih dia simpan. Kita nyanyi bareng, suara fals bercampur tawa. Untuk sesaat, waktu mundur ke masa SMA.
Besoknya kita kembali ke dunia nyata. Tapi di hati, gue tahu: seberapa pun dunia menelan, selalu ada secuil kenangan—secuil idealisme—yang nggak bisa dirampas uang.