Sunday, September 28, 2025

A Beautiful World


“With all its sham, drudgery and broken dreams, it is still a beautiful world...”
Gue inget kutipan itu dari puisi "Desiserata", karangan Max Ehrmann. Gue nggak pernah mikir kalimat kayak gitu punya makna, sampai gue ketemu Pak Arman.


Gue kenal beliau waktu SMA. Gue anak yang males, tukang bolos, sering ngerasa dunia ini nggak adil. Bokap-nyokap sibuk berantem, rumah kayak kapal pecah. Sekolah cuma tempat gue numpang tidur.

Suatu hari, gue ketahuan tidur di perpustakaan. Harusnya gue langsung diusir, tapi ada satu guru tua duduk di depan gue. Pakai kemeja putih lusuh, kacamatanya agak tebal, rambutnya udah banyak uban. Dia ngeliatin gue lama banget, sampai gue risih.

“Nak, tidur boleh, tapi jangan lupa mimpi. Orang yang nggak punya mimpi cuma kayak bangkai yang bisa jalan,” katanya.

Gue langsung manyun. “Pak, saya capek aja. Emang nggak boleh tidur?”

Dia nyengir, matanya bercahaya kayak abis nemu hal lucu.
“Tidur boleh. Tapi coba sekali-sekali bangun buat ngeliat dunia. Siapa tahu nggak seburuk yang kamu pikir.”

Itu pertama kali gue ngerasa ada guru yang nggak nyalahin gue mentah-mentah. Anehnya, tatapan dia bikin gue ngerasa dilihat. Bukan sebagai murid bermasalah, tapi sebagai manusia.

Dari situ, gue makin sering ngobrol sama dia. Namanya Pak Arman. Dia ngajar sejarah, tapi cara dia cerita nggak pernah kayak text book. Kalau ngomong soal perang dunia, dia selalu nyelipin kisah kecil: prajurit yang kangen rumah, surat cinta yang nggak pernah sampai.


“Orang suka mikir sejarah itu angka dan tahun. Padahal isinya manusia. Dan manusia itu rapuh, tapi juga kuat,” katanya suatu kali.

Gue suka bengong tiap denger dia ngomong. Ada sesuatu di matanya—tenang, teduh, tapi dalam. Seakan-akan dia bisa liat sisi baik semua orang, bahkan di anak sebandel gue.

Pernah gue nanya, “Pak, kok bapak nggak pernah marah sama saya? Padahal jelas-jelas saya bego.”

Dia ngakak, suara ketawanya serak.
“Kamu nggak bego nak. Kamu cuma nyimpen energi buat hal yang lebih penting. Tugas bapak adalah bikin kamu inget kalau hidup nggak harus di bawa sendirian. Dunia ini bisa dilihat dengan cara lain. Coba kamu lihat dunia ini seperti bapak melihatnya...”


Itu kalimat gokil banget buat anak SMA kayak gue. Dari situ, setiap gue bingung atau putus asa, gue inget cara pandang dia.

Waktu berlalu, gue lulus. Kuliah, kerja. Sesekali gue masih sempet balik ke sekolah cuma buat nyapa. Pak Arman makin tua, tapi senyumnya nggak pernah berubah. Sampai satu hari, gue dapet kabar: beliau sakit keras.

Gue langsung ke rumah sakit. Di ranjang, tubuhnya udah kurus, tapi matanya masih sama. Tenang, seperti langit malam.

“Kamu udah jadi orang besar sekarang, ya?” katanya pelan.


Gue duduk di sampingnya, berusaha nyembunyiin air mata. “Nggak ada yang besar, Pak. Saya masih suka nyasar. Masih suka ngerasa sendirian.”

Dia narik napas panjang, lalu bilang:
“Kalau kamu nyasar, inget, lihatlah dunia seperti bapak melihatnya... Dunia ini kejam, iya, tapi jangan lupa dia juga baik. Orang baik banyak, kamu juga bisa jadi salah satunya. Jangan biarkan hidup bikin kamu lupa caranya jadi manusia...”

Itu obrolan terakhir kami. Seminggu kemudian, beliau meninggal.

Sekarang, tiap kali gue harus bikin keputusan besar—entah di kerjaan, entah dalam hubungan, bahkan hal sepele kayak cara gue ngomong ke orang lain—gue selalu inget Pak Arman.

Misalnya, pas gue mau marah ke bawahan gue karena proyek kacau, tiba-tiba gue inget tatapannya Pak Arman dulu. Gue tarik napas, terus ganti nada. Gue bilang, “Santai, kita cari cara bareng.” Gue tau, itu bukan gue yang asli. Itu warisan dari beliau.


Malam-malam tertentu, gue suka duduk sendiri sambil ngeliat langit. Gue inget lagi obrolan pertama kami di perpustakaan: “Tidur boleh, tapi jangan lupa mimpi.”

Dan gue sadar, walaupun beliau udah nggak ada, gue masih bisa pinjem matanya kapan pun gue butuh. Tatapan itu nggak pernah hilang, cuma pindah rumah—sekarang tinggal di hati gue. Kehilangan fisiknya emang sakit, tapi warisannya bikin gue tetep bisa jalan.

“With all its sham, drudgery and broken dreams, it is still a beautiful world...”
Dan sampai hari ini, dunia masih keliatan lebih baik karena gue pernah liat dunia lewat mata Pak Arman.


This world is not beautiful, therefore... it is...
Kino ~ Kino no Tabi

Saturday, September 27, 2025

Kupu-Kupu Cacat

Aku masih ingat hari ketika rambut kita jatuh bersamaan di lantai salon kecil dekat sekolah. Kamu tertawa waktu aku bilang bentuk poniku jadi kayak cermin yang retak. Entah kenapa, momen itu menempel di kepalaku seperti aroma hujan yang susah hilang.


Sejak hari itu, hujan seperti tidak pernah berhenti mengikutiku. Di lorong sekolah, suara sepatu bergaung—kadang milikku, kadang milikmu. Kadang aku pikir itu gema dari sesuatu yang sudah lewat, tapi semakin aku berjalan, semakin jelas: ada bayangan kita berdua, terus menempel di belakang.


Aku tidak pernah tahu kenapa kupu-kupu yang terbang terbalik itu terus datang dalam mimpiku. Sayapnya berkilau, tapi arahnya aneh, selalu menantang cahaya dari sisi lain. Mungkin itu aku. Mungkin itu kamu. Atau mungkin kita berdua yang tidak pernah belajar terbang lurus, hanya tahu melawan arah angin.

Pesan singkat kita waktu itu sederhana. “Udah makan?” “Jangan lupa bawa payung.” Tidak ada yang puitis, tidak ada yang besar. Tapi entah kenapa, di antara kalimat-kalimat tanpa makna itu, aku menemukan sesuatu yang mengikat. Seperti melodi tanpa lirik yang tiba-tiba membuatku menangis tanpa alasan jelas.


Hari ini hujan lagi. Sama seperti hari itu, sama seperti ratusan hari setelahnya. Aku berdiri di balik jendela, menatap langit kelabu, sambil berharap bisa menyambungkan sesuatu—antara dulu dan sekarang, antara aku dan kamu.


Kamu yang memberi hidup pada serpihan diriku yang hampir hilang di tengah kegilaan ini. Kamu yang membuatku percaya kalau tiap orang membawa bentuknya sendiri-sendiri: cahaya, suara, luka, dan janji.

Aku sering bertanya-tanya, bisakah kenangan kita bertahan? Bisakah satu perasaan sederhana, yang pernah menyelamatkan kita di lorong sekolah basah itu, tetap utuh meski waktu menelannya perlahan?

Ada hal-hal yang tidak bisa dijangkau tangan manusia, tempat-tempat di dalam hati yang bahkan kata-kata pun takut mendekat. Aku tahu itu. Tapi aku juga tahu—aku menyukai bagian-bagian bisu itu, karena justru di sana kita paling jujur.


Kupu-kupu dengan sayap cacat berputar di langit abu-abu. Aku tidak tahu apakah dia akhirnya akan menemukan cahaya, atau hancur di tengah badai. Tapi setiap kali aku melihatnya, aku teringat: pernah ada seseorang yang membuatku percaya bahwa dalam segala kegilaan ini, ada bentuk kecil yang pantas dijaga.

Kamu.

Dan mungkin itu cukup.


All or Nothing


When I love, I love with all of my heart.
When I hate, I hate to the blood and bones.
When I nurture, I nurture with all of my life.
When I destroy, I destroy completely up to the root...

Aku tidak pernah tahu cara yang setengah-setengah.

Kalau aku mencintai, jantungku sendiri jadi persembahan. Aku beri semuanya—waktu, tenaga, hidupku sendiri kalau perlu. Orang-orang bilang hangatku membuat mereka bertahan, seolah aku matahari kecil yang muncul hanya untuk mereka. Dan aku percaya itu, karena saat cinta tumbuh, aku rela mati untuk menjaganya.

Tapi kalau aku membenci, darahku mendidih. Aku tidak sekadar menolak atau menjauh. Aku merobek, aku cabut sampai ke sumsum tulang. Aku ingin luka itu hilang, akar busuk itu musnah, sampai tak tersisa. Orang mungkin takut, mungkin benci balik padaku. Tapi di kepalaku hanya ada satu suara: “Kalau harus dihancurkan, maka hancurkan sampai habis.”

Kadang aku benci diriku sendiri karenanya. Aku berdiri di depan cermin, melihat dua wajah. Satu bercahaya, menatap penuh kasih. Satu lagi hitam, retak, berapi-api. Dua wajah itu sama-sama milikku.

Aku ingat suatu malam aku duduk di bawah pohon tua. Separuh batangnya hijau rimbun, separuhnya hangus disambar petir. Aku mengusap akarnya yang terbuka, dan aku tertawa pahit. “Beginilah aku,” kataku. Setengah menumbuhkan, setengah menghancurkan.

Dan setiap hari aku harus memilih: tangan mana yang akan kuangkat lebih dulu—tangan yang memberi kehidupan, atau tangan yang meratakan segalanya sampai debu.

Wednesday, September 24, 2025

The World Through Your Eyes

(In honor to those who have shone light on the path of others)

Kadang gue mikir, dunia ini ribet banget. Orang bisa jahat, hidup bisa nyakitin, dan hati gue sering penuh sama kata-kata sedih yang nggak pernah sempet gue keluarin. Tapi tiap kali gue liat mata lu... entah kenapa kayak ada kaca-filter di situ. Kayak gue ngeliat dunia lagi, tapi versi yang lebih ringan.

Mata lu nggak pernah nge-judge. Biarpun gue lagi kacau, lagi nyebelin, atau lagi tenggelam sama pikiran aneh-aneh, tatapan lu tetap sama. Ada kebaikan yang nggak pernah hilang. Itu yang bikin gue betah nongkrong sama lu, walau kadang kita nggak ngomong banyak.

Gue nggak tau apa hidup bakal terus begini. Mungkin suatu hari kita bakal sibuk sendiri, jarang ketemu, atau bahkan kehilangan momen kayak gini. Tapi sebelum itu terjadi, gue cuma mau bilang: selama hati gue penuh sama cerita sedih, gue masih bisa tahan karena hal simpel — lu, dan cara lu memandang dunia.

Jadi kalo nanti malem-malem gue bengong, staring at the stars, sebenernya gue lagi inget momen ini. Lu pernah jadi cahaya kecil yang bikin gue nggak lupa kalau dunia ini nggak cuma tentang luka, tapi juga tentang teman yang ada dalam diam, tapi bikin hati tenang.

The Same Demon

It is both blessing and curse, that we share the same demon…


Kita ketemu pertama kali di sudut paling suram sebuah kafe pinggiran. Gue ingat jelas: lo duduk di meja kecil, ngetik di laptop tua dengan wajah setengah hancur, seolah-olah dunia habis ngunyah lo mentah-mentah. Gue nggak lebih baik—muka gue juga kusut, kopi di tangan cuma alasan biar nggak kelihatan kosong.

Sejak malam itu, kita kayak nemuin cermin yang bisa bicara. Sama-sama insomnia, sama-sama dihantui kegelisahan, sama-sama punya kepala yang nggak pernah berhenti ribut. Apapun yang menghantui kita nggak perlu dijelasin—cukup sekali tatap, kita ngerti.

Awalnya terasa kayak anugerah. Ada yang bisa ngerti tanpa harus buka mulut panjang lebar. Malam-malam panjang jadi lebih ringan karena ada lo di sebelah, ngetawain absurditas hidup. Kita kayak dua prajurit yang tahu medan perang sama, sama-sama berdarah, sama-sama pincang, tapi masih maju bareng.

Tapi makin lama, gue sadar: bayang-bayang itu juga kutukan. Kita jadi saling membakar satu sama lain. Waktu gue mau berhenti, lo masih dorong gas. Waktu lo mau diam, gue malah ngegali lebih dalam. Bukannya saling menyelamatkan, kadang kita malah jadi jangkar yang narik lebih dalam ke bawah.

Meski begitu, gue nggak bisa bilang gue nyesel. Tanpa lo, mungkin gue udah tenggelam sendirian. Dengan lo, setidaknya kita belajar satu hal: beban yang sama bisa bikin kita runtuh, tapi juga bisa jadi alasan kita bertahan.

Dan mungkin… justru di situ letak keindahannya. Kita nggak pernah benar-benar menang. Tapi kita juga nggak pernah kalah sendirian.


Wednesday, September 17, 2025

I Will Stare at the Stars


Your eyes are a mirror in which I can see the world’s reflection
without ever forgetting your kindness
even if my heart is full of sad words
I will stare long and hard at the stars…

~ Kino, Kino no Tabi, Ep.04 - The Joy of Work