When I love, I love with all of my heart.
When I hate, I hate to the blood and bones.
When I nurture, I nurture with all of my life.
When I destroy, I destroy completely up to the root...
Aku tidak pernah tahu cara yang setengah-setengah.
Kalau aku mencintai, jantungku sendiri jadi persembahan. Aku beri semuanya—waktu, tenaga, hidupku sendiri kalau perlu. Orang-orang bilang hangatku membuat mereka bertahan, seolah aku matahari kecil yang muncul hanya untuk mereka. Dan aku percaya itu, karena saat cinta tumbuh, aku rela mati untuk menjaganya.
Tapi kalau aku membenci, darahku mendidih. Aku tidak sekadar menolak atau menjauh. Aku merobek, aku cabut sampai ke sumsum tulang. Aku ingin luka itu hilang, akar busuk itu musnah, sampai tak tersisa. Orang mungkin takut, mungkin benci balik padaku. Tapi di kepalaku hanya ada satu suara: “Kalau harus dihancurkan, maka hancurkan sampai habis.”
Kadang aku benci diriku sendiri karenanya. Aku berdiri di depan cermin, melihat dua wajah. Satu bercahaya, menatap penuh kasih. Satu lagi hitam, retak, berapi-api. Dua wajah itu sama-sama milikku.
Aku ingat suatu malam aku duduk di bawah pohon tua. Separuh batangnya hijau rimbun, separuhnya hangus disambar petir. Aku mengusap akarnya yang terbuka, dan aku tertawa pahit. “Beginilah aku,” kataku. Setengah menumbuhkan, setengah menghancurkan.
Dan setiap hari aku harus memilih: tangan mana yang akan kuangkat lebih dulu—tangan yang memberi kehidupan, atau tangan yang meratakan segalanya sampai debu.
No comments:
Post a Comment