Sunday, August 31, 2025

Authentic, Munafik, Jaga Perasaan: Sebuah Batasan


Belakangan ini, kata “authentic” sering banget dipake orang. Banyak yang bangga bilang, “Gue tuh orangnya authentic, ngomong apa adanya, gak bisa munafik.” Biasanya ujung-ujungnya mereka jadi tipe orang yang mulutnya gak ada filter—semua yang dipikir langsung keluar.

Pertanyaannya: emang gitu ya cara jadi authentic? Dan kalau kita milih buat gak ngomong semua isi hati, otomatis kita jadi munafik?

Authentic Itu Apa Sih?


Authentic itu intinya lo hidup selaras sama apa yang lo rasain, lo pikir, dan lo lakuin. Gak pura-pura jadi orang lain, gak bohong sama diri sendiri.

Tapi authentic itu bukan berarti semua isi hati harus dilontarin mentah-mentah. Kalau lo bete terus langsung marah-marah tanpa mikirin efeknya ke orang lain, itu bukan “authentic”—itu ga ada filter.

Authentic itu tentang jujur, tapi juga sadar konteks sosial. Lo tetap jadi diri sendiri, tapi lo pilih cara nyampeinnya biar lebih relate ke orang lain.

Munafik Bukan Cuma Soal Menyembunyikan Perasaan


Banyak orang suka salah kaprah. Katanya kalau kita nahan omongan berarti kita munafik. Padahal, munafik itu lebih ke lo ngomong atau ngelakuin sesuatu yang bertentangan total sama isi hati lo. Biasanya demi keuntungan pribadi atau sekadar pencitraan.

Contoh gampang: lo kesel banget sama bos lo, tapi depan dia lo muji-muji kayak fangirl. Itu baru munafik.

Kalau lo cuma nyaring cara ngomong biar gak nyakitin orang lain, itu bukan munafik. Itu namanya kedewasaan dalam komunikasi.

Menjaga Perasaan Itu Skill


Menjaga perasaan orang bukan berarti lo palsu. Justru itu skill sosial yang penting. Lo sadar orang lain juga punya emosi, jadi lo atur cara ngomong biar pesannya nyampe tanpa bikin luka yang gak perlu.

Analoginya kayak nyuapin anak kecil. Lo gak mungkin kasih dia cabe rawit bulat-bulat, kan? Lo pilih makanan yang bisa dia cerna. Sama juga pas ngomong—lo tetap jujur, tapi dikemas biar orang lain bisa nerima.

Contoh Real: Temen yang Sering Telat
  • Blak-blakan mentah: “Lo ngeselin banget sih, telat mulu. Gue ilfil sama lo.” → Authentic, tapi nyakitin.
  • Pura-pura santai: “Santai aja kok, gue seneng nungguin lo,” padahal lo gondok. → Nah ini baru munafik.
  • Balance: “Bro, gue agak keganggu kalau sering nungguin. Bisa coba lebih on time gak next time?” → Authentic, considerate, gak munafik.

Authentic + Considerate = Kedewasaan

Jadi intinya lo bisa banget kok jadi authentic, considerate, dan gak munafik di saat yang sama. Lo tetap jujur sama diri sendiri, tapi lo juga mikir cara terbaik buat nyampein ke orang lain.

Ini yang namanya kedewasaan emosional. Lo bukan cuma ngomong “gue jujur apa adanya,” tapi juga “gue jujur dengan cara yang orang lain bisa terima.”

Penutup

Nyaring omongan itu bukan berarti lo palsu. Jaga perasaan juga bukan tanda lo munafik. Malah, di situlah seni hidup bareng orang lain—nemuin titik tengah antara jujur sama diri sendiri, empati sama orang lain, dan konsistensi sama prinsip.

Authentic itu ibarat kopi hitam asli. Tapi cara nyajiinnya bisa beda-beda: panas, dingin, pakai gula, atau gak. Selama rasanya tetap kopi, lo masih authentic.

Reframing Result Oriented Definition


Ada satu kata yang sering banget nongol di dunia kerja: Result Oriented. Kata ini biasanya dipakai buat muji orang yang dianggap keren karena bisa mencapai target. Kedengarannya bagus, kan? Tapi jujur aja, buat sebagian orang—including gue—kata ini bisa jadi agak triggering. Bukan karena hasil itu jelek, tapi karena gue sering lihat kata ini dipakai buat membenarkan perilaku yang nggak etis.

Coba bayangin: ada orang yang performancenya bagus banget, hasilnya selalu meledak, tapi cara dia dapetinnya? Nggak peduli sama orang lain, tabrak aturan, bahkan kadang halalin segala cara. Dan yang lebih bikin miris, perusahaan nggak berani nge-sanksi orang kayak gini. Kenapa? Karena dia “best performer”. Akhirnya, kata Result Oriented jadi punya aura toxic: kayak simbol dari budaya “yang penting hasil, bodo amat proses”.


Padahal, kalau dipikir jernih, kata itu sebenarnya netral. Sama kayak pisau: bisa dipakai buat motong sayur, bisa juga buat nusuk orang. Yang bikin kacau bukan orientasi ke result-nya, tapi kalau jadi result at all cost. Itu beda banget.


Jadi, gimana caranya mereframe biar kita nggak alergi sama kata ini?

1. Bedain Orientasi dan Obsesi

Result Oriented harusnya berarti “arah kita menuju hasil”. Arah, bukan obsesi. Kalau obsesi, semua hal selain hasil jadi nggak penting. Kalau orientasi, hasil tetap tujuan, tapi cara menuju ke sana juga dihitung.

2. Tambahin Embel-embel Positif

Kenapa nggak kita tambahin sendiri maknanya? Misalnya: Result Oriented with Integrity. Jadi jelas: hasil penting, tapi cara dapetinnya harus bener. Atau kalau mau lebih fancy: Sustainable Result Oriented.

3. Ingat Balanced Scorecard

Di perusahaan yang sehat, ukuran result itu bukan cuma revenue atau angka output. Ada juga ukuran proses, teamwork, dan sustainability. Jadi orientasi ke hasil bukan berarti ngorbanin nilai lain. Malah justru hasil yang bagus itu yang tercapai dengan cara yang fair, sehat, dan bisa diulang.


4. Jadi Leader yang Redefinisi

Kalau lo jadi pemimpin tim, lo bisa define ulang kata ini. Jangan cuma bilang ke tim: “Pokoknya hasil!” Tapi bilang: “Kita fokus hasil, tapi dengan cara yang bener. Supaya hasilnya bukan cuma instan, tapi tahan lama, dan bisa bikin bangga semua orang.”


Akhirnya, Result Oriented nggak harus jadi kata yang bikin perut mual tiap kali dengar. Lo bisa bikin versi lo sendiri. Misalnya: Impact Oriented, Integrity-driven Result, atau bahkan Human-Centered Achievement. Apapun istilahnya, yang penting hasil itu datang barengan sama cara yang sehat. Karena jujur aja, hasil doang tanpa integritas itu kayak kembang api: meledak keren, tapi cepat hilang dan nyisain asap doang.

It is what it is...


Kadang kita diajarin buat selalu peka sama keadaan sekitar, katanya biar punya inisiatif.
Tapi kalau nggak dijaga, kepekaan itu bisa berubah jadi overthinking.
Kita jadi sibuk nyari makna di balik sesuatu, padahal kadang yah... it is what it is.
Nggak semua hal punya pesan tersembunyi.
Kadang lebih sehat kalau kita belajar memaknai sesuatu sebagaimana adanya saja.

Saturday, August 30, 2025

Inugami: Dari Anjing Ritual ke Anak Manusia


Kalau kita buka lembaran cerita tradisional Jepang, ada satu kisah gelap yang namanya Inugami. Kedengarannya keren, ya? Tapi jangan salah, prosesnya bikin bulu kuduk berdiri. Singkatnya, Inugami adalah semacam "roh peliharaan" yang lahir dari ritual sadis terhadap seekor anjing. Tujuannya? Supaya majikan punya roh pendendam yang bisa dipakai untuk melindungi, menyerang musuh, atau sekadar jadi alat balas dendam.

Prosesnya serem. Anjing dikubur hidup-hidup, cuma lehernya nongol. Lalu dibuat kelaparan, dikasih makanan di depan mata tapi nggak boleh disentuh. Di titik paling menyakitkan, tuannya bisikin kalimat yang intinya: "Penderitaanmu nggak ada apa-apanya dibanding penderitaanku." Lalu si anjing dipenggal, kepalanya ditanam di perempatan biar diinjak orang, biar makin penuh dendam, dan makin kuat rohnya. Setelah ritual selesai, si majikan bisa membersihkan tulangnya, manggil roh anjing itu, lalu menjadikannya Inugami.


Hasilnya? Roh penuh amarah yang tunduk pada majikannya. Tapi ada catatan penting: Inugami sering lepas kendali, dan kalau majikannya lalai, roh itu bisa balik menyerang majikannya sendiri.

Dari Folklore ke Dunia Modern


Sekarang mari kita tarik ke dunia modern. Kita mungkin udah nggak lagi ngubur anjing di perempatan. Tapi praktik menciptakan "Inugami" nggak hilang. Bedanya, objeknya bukan lagi hewan, melainkan… anak manusia.

Pernah dengar orang dewasa ngomong gini ke anak kecil?

"Kamu itu baru diginiin aja udah ngeluh. Udah berontak. Dulu hidup kami itu lebih susah!"

Nah, kalimat-kalimat kayak gini sebenarnya mirip dengan bisikan ke telinga anjing dalam ritual Inugami. Pesannya sama: "Penderitaanmu lebih kecil dibanding penderitaanku." Anak jadi merasa hidupnya bukan miliknya, tapi semacam proyek perpanjangan ambisi orang dewasa.

Inilah yang disebut psikologi modern sebagai trauma transgenerasional. Luka batin yang nggak selesai di satu generasi, diterusin ke generasi berikutnya. Pola asuh penuh tekanan, perbandingan, dan penyangkalan emosi membuat anak tumbuh dengan rasa takut, amarah, atau dendam—emosi yang bahkan bukan hasil pengalaman mereka sendiri, melainkan warisan.


Kalau Inugami dulu dikubur di perempatan jalan biar diinjak orang, anak-anak modern juga tumbuh dengan "terinjak" oleh standar sosial. Nilai sekolah, ekspektasi masyarakat, omongan tetangga—semuanya bikin mereka merasa nggak pernah cukup. Dan seperti Inugami, makin diinjak, makin besar dendamnya.

Efeknya Sama, Medium yang Berbeda

Bedanya cuma medium: dulu pake ritual, sekarang pake kata-kata. Dulu pake anjing, sekarang pake anak manusia. Tapi polanya sama: penderitaan diolah, dikurung, lalu dipakai sebagai energi untuk tujuan tertentu.

Yang lebih menakutkan, sama seperti Inugami yang bisa balik menyerang tuannya, anak-anak yang dipaksa jadi Inugami juga bisa memberontak. Ada yang memutus hubungan dengan keluarga, ada yang depresi berat, ada juga yang menyalurkan kemarahannya ke dunia sekitar. Dan ironisnya, orang dewasa sering nggak sadar bahwa mereka sendiri yang menanam bibit itu.

Cara Keluar dari Lingkaran Inugami


Untungnya, kita nggak harus terjebak selamanya dalam pola ini. Kalau di folklore Inugami itu roh yang susah dikendalikan, di dunia nyata kita bisa break the cycle. Caranya? Dengan berhenti melanjutkan trauma ke generasi berikutnya. Mengakui bahwa penderitaan tiap orang valid, tanpa harus dibanding-bandingkan. Memberi ruang pada anak (atau diri sendiri) untuk punya hidupnya sendiri, bukan sekadar melanjutkan proyek generasi sebelumnya.

Kalau dulu ritual Inugami berakhir dengan penguburan kepala anjing, mungkin ritual baru kita harus berupa "penguburan luka lama". Nggak perlu ngelupain, tapi sadar dan merelakan supaya nggak nular ke generasi berikutnya.

Penutup


Folklore itu sering kali lebih dari sekadar cerita seram. Kadang ia adalah cermin. Inugami bukan cuma kisah tentang roh anjing pendendam, tapi juga metafora bagaimana manusia memelihara trauma dan mewariskannya.

Dulu Inugami dipakai buat balas dendam ke musuh. Sekarang, Inugami itu muncul di ruang tamu, meja makan, lingkungan kerja, bahkan di dalam kepala kita sendiri. Pertanyaannya: mau terus hidup sebagai anak Inugami, atau berani putuskan rantai dan bikin cerita baru?

Thursday, August 28, 2025

Manfaat Senam Pagi

(My dialgoue with ChatGPT)

Kenapa yah kalo gw senam pagi, ke siangnya less ngantuk dan lebih bisa fokus? FYI gw senam pake method five Tibetan yoga...

* Reference : https://en.wikipedia.org/wiki/Five_Tibetan_Rites

***

Karena badan lo basically kayak mesin kopi bro: kalau nggak dipanaskan dulu, alirannya lelet. Begitu lo senam—apalagi yang model Five Tibetan Rites itu—lo nge-boost beberapa hal sekaligus:

  1. Sirkulasi darah naik → jantung lo dipaksa kerja lebih optimal, darah (plus oksigen) ngalir lebih lancar ke otak. Otak yang kebagian oksigen lebih banyak otomatis lebih “melek” dan bisa fokus lebih lama.

  2. Hormon happy keluar → olahraga bikin tubuh lepas endorfin, dopamin, serotonin. Itu paket anti-ngantuk alami. Jadi bukan cuma badan segar, pikiran juga lebih stabil.

  3. Regulasi sistem saraf → gerakan Five Tibetan Yoga itu unik, karena kombinasi stretching + rotasi bikin sistem saraf parasimpatik (yang bikin rileks) dan simpatis (yang bikin waspada) jadi lebih balance. Hasilnya: lo nggak tegang, tapi juga nggak loyo.

  4. Metabolisme aktif lebih cepat → tubuh lo ngerasa kayak udah “start engine” di pagi hari. Jadi di siang hari, lo nggak ngalamin crash yang biasanya datang kalau dari pagi terlalu pasif.

Makanya lo ngerasa less ngantuk + fokus lebih terjaga. Itu kayak bikin tubuh lo punya baseline energy lebih tinggi dibanding kalau lo skip gerakan itu.

Bisa dibilang Five Tibetan Yoga tuh kayak biohacking lawas—orang Tibet udah nemuin cara “nge-charge” energi vital sebelum kita sibuk nyari kopi literan.

Kalau lo mau makin kerasa efeknya, coba kombinasikan:

  • habis yoga, minum air putih yang agak banyak (bukan kopi duluan),

  • makan sarapan high-protein dikit (telur, yoghurt, kacang),

  • baru mulai aktivitas.

Efeknya bisa bikin clarity lebih tahan lama, kayak upgrade “firmware otak”. Kita bedah satu-satu, biar jelas kenapa si Five Tibetan Rites bisa bikin lo kayak dapet power-up.

Rite 1 – Spinning (muter searah jarum jam)
→ Mirip anak kecil main gasing. Gerakan ini merangsang sistem vestibular (alat keseimbangan di telinga dalam). Itu bikin otak lo lebih “alert” dan koordinasi tubuh lebih siap. Kayak pencet tombol ON buat awareness.


Rite 2 – Leg raises (angkat kaki bareng sama kepala)

→ Ini kayak sit-up versi lebih mindful. Fokus ke core & pernapasan. Saat lo tarik napas dalam dan angkat kaki, otot perut ketarik + diafragma kerja lebih optimal. Hasilnya: paru-paru kebuka lebih luas, oksigen masuk lebih banyak. Bonusnya, pencernaan juga kebantu (bye-bye kembung siang hari).


Rite 3 – Camel pose (lutut di lantai, bungkuk ke belakang)
→ Ini backbend yang nge-regangin dada. Efeknya, dada dan paru-paru terbuka, postur tegak, napas lebih lega. Kalau biasanya orang siang-siang nunduk ke layar dan jadi ngantuk, ini gerakan kayak antidote buat itu.


Rite 4 – Tabletop (angkat badan jadi kayak meja)

→ Latihan ini ngeaktifin otot bahu, tangan, core, dan punggung. Tapi yang keren, saat lo angkat dada ke atas, kelenjar tiroid di leher juga “terpijit” halus. Ada teori (semi sains, semi mistis Tibet) bahwa ini bikin metabolisme lebih stabil dan energi lebih konsisten.


Rite 5 – Up dog ke down dog (plank ke bentuk segitiga)

→ Nah ini paling populer di yoga modern. Kombinasi peregangan tulang belakang ke dua arah. Efeknya: aliran darah ke otak naik waktu posisi down dog (kepala di bawah), terus ke jantung paru lagi waktu up dog. Itu kayak pompa alami yang bikin otak lebih segar, fokus lebih tajam.

Kalau dirangkai semua, jadinya semacam mini circuit buat sirkulasi, pernapasan, hormon, dan sistem saraf. Pantesan lo siangan nggak gampang nguap, karena tubuh dari awal udah “tuned in”.

Wednesday, August 27, 2025

Pulang Tapi Nggak Kembali

Gue punya koko. Dari dulu, dia orang yang selalu ada buat gue. Entah gue lagi seneng, lagi sedih, atau cuma lagi pengen ketawa, dia selalu bisa nyambung. Dia selalu ada tiap kali gue butuh.

“Lo ya ko,” gue pernah bilang sambil ngakak waktu kita nongkrong di warkop, “kayak walking Google, tapi ada fitur jokes-nya.”

Dia ketawa lepas, “Kalo gue kayak Google, lo kayak Wikipedia. Banyak nyimpen info random yang entah kenapa bisa nyambung ke semua topik.”


Itu koko gue. Empatik, cerewet, ceria, tapi juga jago banget bikin gue mikir alternatif jalan keluar buat tiap masalah gue. Temen main, temen curhat, sekaligus mentor dadakan.

Sampai satu hari, dia bilang, “Dek, gue harus kerja keluar kota. Lama, mungkin tahunan. Tapi tenang, gue bakal tetap ada buat lu. Kalo ada apa-apa chat gue aja.”

Dengan berat hati, gue anter koko gue ke terminal, dan melepas dia ke luar kota.



Awal-awal sih bener. Kita masih sering chat-an. Gue masih bisa curhat panjang, dia masih bales dengan jokes-jokes khasnya. Rasanya kayak nggak ada jarak.

“Bro, lo udah makan belom? Jangan sampe lupa ya.”
“Lah, lo pikir gue anak kos baru kemaren sore?”
“Hahaha, gue tahu lo bisa ngurus diri. Cuma gue aja yang nggak bisa berhenti ngecekin.”

Chat-chat kayak gitu bikin gue merasa dia masih sama.

Tapi lama-lama, balasan dia makin pendek.
“Ok.”
“Noted.”
“Bisa.”


Awalnya gue mikir, ya wajar, pasti dia sibuk. Gue coba ngertiin. Gue juga jadi lebih milih-milih kapan chat, takut ganggu. Tapi dia tetap berusaha jawab, meski seadanya.

Sampai akhirnya, setelah beberapa tahun, dia pulang.

Gue udah excited banget. Gue bayangin ketawa-ketawa lagi, debat konyol lagi, brainstorming gila-gilaan kayak dulu. Tapi begitu ketemu... rasanya kayak bukan koko gue yang dulu.

Wajahnya tenang, terlalu tenang. Datar. Nggak ada senyum lebarnya yang dulu bisa bikin suasana cair. Dia nggak sedih, nggak marah, tapi juga nggak ceria.

“Koko, apa kabar?” gue nanya hati-hati.

“Baik,” jawabnya singkat.

Kami masih nongkrong kadang-kadang. Gue masih coba ngajak dia main, tapi rasanya… kaku. Dingin. Karena cara interaksi kita berubah. Nggak alami lagi rasanya. Gue coba tanya, “Ko, lo kenapa? Di perantauan ada apa?”

Dia cuma geleng, “Nggak apa-apa.”


Jawaban itu kayak tembok tinggi. Gue tahu ada sesuatu yang dia sembunyiin, tapi dia nggak buka pintu.

Karena penasaran, gue coba cari tahu sendiri. Gue googling di berita-berita, dan akhirnya ketemu. Ternyata, waktu dia kerja sebagai konsultan di luar kota, ada proposal yang dia bikin. Proposal itu dieksekusi sama kliennya, tapi hasilnya... hancur. Kerugian gede, sampai bikin hubungan orang-orang di perusahaan klien itu rusak. Dari situ, koko gue jadi berubah.


Dia jadi hati-hati banget. Setiap kata yang keluar kayak udah difilter sepuluh kali. Setiap ekspresi dijaga ketat. Dia nggak lagi asal bercanda, nggak lagi spontan. Kayak semua sisi “warna” dirinya ditutup, demi menghindari kejadian buruk terulang.

Gue kaget, sedih juga atas apa yang menimpa koko gue.

Beberapa hari setelah gue tahu kabar itu, gue ngajak dia nongkrong lagi di warkop lama, tempat kita dulu sering ketawa tanpa mikir. Gue sengaja lempar topik ringan.

“Ko, inget nggak dulu kita pernah debat setengah jam cuma gara-gara lo yakin Indomie goreng itu lebih cocok pake keju, bukan telur?” gue senyum, berharap dia bakal ngakak kayak dulu.

Dia senyum tipis, terus jawab datar, “Iya. Gue inget.”

Gue tunggu ada kelanjutannya, tapi dia balik lagi ngaduk kopinya pelan-pelan.


“Ko,” gue coba lagi, “lo beneran nggak kangen debat-debat nggak jelas kayak gitu?”

Dia tarik napas, lalu suaranya keluar pelan, “Dek, sekarang gue nggak bisa asal ngomong kayak dulu. Gue takut, kalau kata-kata gue bisa bikin orang salah nangkep.”

Gue diem, dan di dada gue ada rasa sesak. Tapi tiba-tiba, koko mendongak, ngeliatin gue sebentar. Ada senyum tipis banget di wajahnya. Bukan tawa keras yang gue kangenin, tapi cukup buat bikin gue ngerasa dia masih ada di dalam sana.

“...Tapi ya, kalau soal Indomie pake keju, gue masih tetep yakin gue yang bener,” katanya sambil senyum sekilas.


Gue senyum kecil, lega. Itu cuma secuil momen, tapi gue tahu: koko gue yang dulu masih ada. Nggak seutuh dulu, tapi nggak hilang sepenuhnya juga.

Dan gue sadar, entah dia bisa balik seperti dulu atau nggak, dia masih koko gue.

Sunday, August 24, 2025

Curhat VS Menjelekkan

Apa bedanya ngejelek jelekin sama mengungkapkan uneg uneg?

Ngejelek-jelekin
  • Fokusnya: menyerang atau merendahkan orang/sesuatu.
  • Biasanya pakai kata-kata yang judgemental, kasar, atau penuh asumsi negatif.
  • Tujuannya: lebih ke pelampiasan emosi (marah, iri, dendam), bukan mencari solusi.
  • Efek ke orang lain: bisa bikin sakit hati, menimbulkan konflik, atau bikin suasana makin panas.
Mengungkapkan uneg-uneg
  • Fokusnya: menyampaikan apa yang dirasakan/dianggap mengganggu secara jujur.
  • Pakai bahasa yang lebih “aku” (misalnya: “Aku merasa kecewa karena …”), bukan menuding (“Kamu emang selalu begini!”).
  • Tujuannya: meringankan beban batin, mencari pengertian, atau membuka jalan komunikasi.
  • Efek ke orang lain: lebih mungkin dipahami, malah bisa memperbaiki hubungan.
Jadi bedanya tipis tapi penting:
  • Ngejelek-jelekin = emosi mentah, nyerang.
  • Curhat/uneg-uneg = emosi yang diproses, fokus ke perasaan diri dan situasi.