Sunday, August 31, 2025

Authentic, Munafik, Jaga Perasaan: Sebuah Batasan


Belakangan ini, kata “authentic” sering banget dipake orang. Banyak yang bangga bilang, “Gue tuh orangnya authentic, ngomong apa adanya, gak bisa munafik.” Biasanya ujung-ujungnya mereka jadi tipe orang yang mulutnya gak ada filter—semua yang dipikir langsung keluar.

Pertanyaannya: emang gitu ya cara jadi authentic? Dan kalau kita milih buat gak ngomong semua isi hati, otomatis kita jadi munafik?

Authentic Itu Apa Sih?


Authentic itu intinya lo hidup selaras sama apa yang lo rasain, lo pikir, dan lo lakuin. Gak pura-pura jadi orang lain, gak bohong sama diri sendiri.

Tapi authentic itu bukan berarti semua isi hati harus dilontarin mentah-mentah. Kalau lo bete terus langsung marah-marah tanpa mikirin efeknya ke orang lain, itu bukan “authentic”—itu ga ada filter.

Authentic itu tentang jujur, tapi juga sadar konteks sosial. Lo tetap jadi diri sendiri, tapi lo pilih cara nyampeinnya biar lebih relate ke orang lain.

Munafik Bukan Cuma Soal Menyembunyikan Perasaan


Banyak orang suka salah kaprah. Katanya kalau kita nahan omongan berarti kita munafik. Padahal, munafik itu lebih ke lo ngomong atau ngelakuin sesuatu yang bertentangan total sama isi hati lo. Biasanya demi keuntungan pribadi atau sekadar pencitraan.

Contoh gampang: lo kesel banget sama bos lo, tapi depan dia lo muji-muji kayak fangirl. Itu baru munafik.

Kalau lo cuma nyaring cara ngomong biar gak nyakitin orang lain, itu bukan munafik. Itu namanya kedewasaan dalam komunikasi.

Menjaga Perasaan Itu Skill


Menjaga perasaan orang bukan berarti lo palsu. Justru itu skill sosial yang penting. Lo sadar orang lain juga punya emosi, jadi lo atur cara ngomong biar pesannya nyampe tanpa bikin luka yang gak perlu.

Analoginya kayak nyuapin anak kecil. Lo gak mungkin kasih dia cabe rawit bulat-bulat, kan? Lo pilih makanan yang bisa dia cerna. Sama juga pas ngomong—lo tetap jujur, tapi dikemas biar orang lain bisa nerima.

Contoh Real: Temen yang Sering Telat
  • Blak-blakan mentah: “Lo ngeselin banget sih, telat mulu. Gue ilfil sama lo.” → Authentic, tapi nyakitin.
  • Pura-pura santai: “Santai aja kok, gue seneng nungguin lo,” padahal lo gondok. → Nah ini baru munafik.
  • Balance: “Bro, gue agak keganggu kalau sering nungguin. Bisa coba lebih on time gak next time?” → Authentic, considerate, gak munafik.

Authentic + Considerate = Kedewasaan

Jadi intinya lo bisa banget kok jadi authentic, considerate, dan gak munafik di saat yang sama. Lo tetap jujur sama diri sendiri, tapi lo juga mikir cara terbaik buat nyampein ke orang lain.

Ini yang namanya kedewasaan emosional. Lo bukan cuma ngomong “gue jujur apa adanya,” tapi juga “gue jujur dengan cara yang orang lain bisa terima.”

Penutup

Nyaring omongan itu bukan berarti lo palsu. Jaga perasaan juga bukan tanda lo munafik. Malah, di situlah seni hidup bareng orang lain—nemuin titik tengah antara jujur sama diri sendiri, empati sama orang lain, dan konsistensi sama prinsip.

Authentic itu ibarat kopi hitam asli. Tapi cara nyajiinnya bisa beda-beda: panas, dingin, pakai gula, atau gak. Selama rasanya tetap kopi, lo masih authentic.

Reframing Result Oriented Definition


Ada satu kata yang sering banget nongol di dunia kerja: Result Oriented. Kata ini biasanya dipakai buat muji orang yang dianggap keren karena bisa mencapai target. Kedengarannya bagus, kan? Tapi jujur aja, buat sebagian orang—including gue—kata ini bisa jadi agak triggering. Bukan karena hasil itu jelek, tapi karena gue sering lihat kata ini dipakai buat membenarkan perilaku yang nggak etis.

Coba bayangin: ada orang yang performancenya bagus banget, hasilnya selalu meledak, tapi cara dia dapetinnya? Nggak peduli sama orang lain, tabrak aturan, bahkan kadang halalin segala cara. Dan yang lebih bikin miris, perusahaan nggak berani nge-sanksi orang kayak gini. Kenapa? Karena dia “best performer”. Akhirnya, kata Result Oriented jadi punya aura toxic: kayak simbol dari budaya “yang penting hasil, bodo amat proses”.


Padahal, kalau dipikir jernih, kata itu sebenarnya netral. Sama kayak pisau: bisa dipakai buat motong sayur, bisa juga buat nusuk orang. Yang bikin kacau bukan orientasi ke result-nya, tapi kalau jadi result at all cost. Itu beda banget.


Jadi, gimana caranya mereframe biar kita nggak alergi sama kata ini?

1. Bedain Orientasi dan Obsesi

Result Oriented harusnya berarti “arah kita menuju hasil”. Arah, bukan obsesi. Kalau obsesi, semua hal selain hasil jadi nggak penting. Kalau orientasi, hasil tetap tujuan, tapi cara menuju ke sana juga dihitung.

2. Tambahin Embel-embel Positif

Kenapa nggak kita tambahin sendiri maknanya? Misalnya: Result Oriented with Integrity. Jadi jelas: hasil penting, tapi cara dapetinnya harus bener. Atau kalau mau lebih fancy: Sustainable Result Oriented.

3. Ingat Balanced Scorecard

Di perusahaan yang sehat, ukuran result itu bukan cuma revenue atau angka output. Ada juga ukuran proses, teamwork, dan sustainability. Jadi orientasi ke hasil bukan berarti ngorbanin nilai lain. Malah justru hasil yang bagus itu yang tercapai dengan cara yang fair, sehat, dan bisa diulang.


4. Jadi Leader yang Redefinisi

Kalau lo jadi pemimpin tim, lo bisa define ulang kata ini. Jangan cuma bilang ke tim: “Pokoknya hasil!” Tapi bilang: “Kita fokus hasil, tapi dengan cara yang bener. Supaya hasilnya bukan cuma instan, tapi tahan lama, dan bisa bikin bangga semua orang.”


Akhirnya, Result Oriented nggak harus jadi kata yang bikin perut mual tiap kali dengar. Lo bisa bikin versi lo sendiri. Misalnya: Impact Oriented, Integrity-driven Result, atau bahkan Human-Centered Achievement. Apapun istilahnya, yang penting hasil itu datang barengan sama cara yang sehat. Karena jujur aja, hasil doang tanpa integritas itu kayak kembang api: meledak keren, tapi cepat hilang dan nyisain asap doang.

It is what it is...


Kadang kita diajarin buat selalu peka sama keadaan sekitar, katanya biar punya inisiatif.
Tapi kalau nggak dijaga, kepekaan itu bisa berubah jadi overthinking.
Kita jadi sibuk nyari makna di balik sesuatu, padahal kadang yah... it is what it is.
Nggak semua hal punya pesan tersembunyi.
Kadang lebih sehat kalau kita belajar memaknai sesuatu sebagaimana adanya saja.

Saturday, August 30, 2025

Inugami: Dari Anjing Ritual ke Anak Manusia


Kalau kita buka lembaran cerita tradisional Jepang, ada satu kisah gelap yang namanya Inugami. Kedengarannya keren, ya? Tapi jangan salah, prosesnya bikin bulu kuduk berdiri. Singkatnya, Inugami adalah semacam "roh peliharaan" yang lahir dari ritual sadis terhadap seekor anjing. Tujuannya? Supaya majikan punya roh pendendam yang bisa dipakai untuk melindungi, menyerang musuh, atau sekadar jadi alat balas dendam.

Prosesnya serem. Anjing dikubur hidup-hidup, cuma lehernya nongol. Lalu dibuat kelaparan, dikasih makanan di depan mata tapi nggak boleh disentuh. Di titik paling menyakitkan, tuannya bisikin kalimat yang intinya: "Penderitaanmu nggak ada apa-apanya dibanding penderitaanku." Lalu si anjing dipenggal, kepalanya ditanam di perempatan biar diinjak orang, biar makin penuh dendam, dan makin kuat rohnya. Setelah ritual selesai, si majikan bisa membersihkan tulangnya, manggil roh anjing itu, lalu menjadikannya Inugami.


Hasilnya? Roh penuh amarah yang tunduk pada majikannya. Tapi ada catatan penting: Inugami sering lepas kendali, dan kalau majikannya lalai, roh itu bisa balik menyerang majikannya sendiri.

Dari Folklore ke Dunia Modern


Sekarang mari kita tarik ke dunia modern. Kita mungkin udah nggak lagi ngubur anjing di perempatan. Tapi praktik menciptakan "Inugami" nggak hilang. Bedanya, objeknya bukan lagi hewan, melainkan… anak manusia.

Pernah dengar orang dewasa ngomong gini ke anak kecil?

"Kamu itu baru diginiin aja udah ngeluh. Udah berontak. Dulu hidup kami itu lebih susah!"

Nah, kalimat-kalimat kayak gini sebenarnya mirip dengan bisikan ke telinga anjing dalam ritual Inugami. Pesannya sama: "Penderitaanmu lebih kecil dibanding penderitaanku." Anak jadi merasa hidupnya bukan miliknya, tapi semacam proyek perpanjangan ambisi orang dewasa.

Inilah yang disebut psikologi modern sebagai trauma transgenerasional. Luka batin yang nggak selesai di satu generasi, diterusin ke generasi berikutnya. Pola asuh penuh tekanan, perbandingan, dan penyangkalan emosi membuat anak tumbuh dengan rasa takut, amarah, atau dendam—emosi yang bahkan bukan hasil pengalaman mereka sendiri, melainkan warisan.


Kalau Inugami dulu dikubur di perempatan jalan biar diinjak orang, anak-anak modern juga tumbuh dengan "terinjak" oleh standar sosial. Nilai sekolah, ekspektasi masyarakat, omongan tetangga—semuanya bikin mereka merasa nggak pernah cukup. Dan seperti Inugami, makin diinjak, makin besar dendamnya.

Efeknya Sama, Medium yang Berbeda

Bedanya cuma medium: dulu pake ritual, sekarang pake kata-kata. Dulu pake anjing, sekarang pake anak manusia. Tapi polanya sama: penderitaan diolah, dikurung, lalu dipakai sebagai energi untuk tujuan tertentu.

Yang lebih menakutkan, sama seperti Inugami yang bisa balik menyerang tuannya, anak-anak yang dipaksa jadi Inugami juga bisa memberontak. Ada yang memutus hubungan dengan keluarga, ada yang depresi berat, ada juga yang menyalurkan kemarahannya ke dunia sekitar. Dan ironisnya, orang dewasa sering nggak sadar bahwa mereka sendiri yang menanam bibit itu.

Cara Keluar dari Lingkaran Inugami


Untungnya, kita nggak harus terjebak selamanya dalam pola ini. Kalau di folklore Inugami itu roh yang susah dikendalikan, di dunia nyata kita bisa break the cycle. Caranya? Dengan berhenti melanjutkan trauma ke generasi berikutnya. Mengakui bahwa penderitaan tiap orang valid, tanpa harus dibanding-bandingkan. Memberi ruang pada anak (atau diri sendiri) untuk punya hidupnya sendiri, bukan sekadar melanjutkan proyek generasi sebelumnya.

Kalau dulu ritual Inugami berakhir dengan penguburan kepala anjing, mungkin ritual baru kita harus berupa "penguburan luka lama". Nggak perlu ngelupain, tapi sadar dan merelakan supaya nggak nular ke generasi berikutnya.

Penutup


Folklore itu sering kali lebih dari sekadar cerita seram. Kadang ia adalah cermin. Inugami bukan cuma kisah tentang roh anjing pendendam, tapi juga metafora bagaimana manusia memelihara trauma dan mewariskannya.

Dulu Inugami dipakai buat balas dendam ke musuh. Sekarang, Inugami itu muncul di ruang tamu, meja makan, lingkungan kerja, bahkan di dalam kepala kita sendiri. Pertanyaannya: mau terus hidup sebagai anak Inugami, atau berani putuskan rantai dan bikin cerita baru?

Thursday, August 28, 2025

Manfaat Senam Pagi

(My dialgoue with ChatGPT)

Kenapa yah kalo gw senam pagi, ke siangnya less ngantuk dan lebih bisa fokus? FYI gw senam pake method five Tibetan yoga...

* Reference : https://en.wikipedia.org/wiki/Five_Tibetan_Rites

***

Karena badan lo basically kayak mesin kopi bro: kalau nggak dipanaskan dulu, alirannya lelet. Begitu lo senam—apalagi yang model Five Tibetan Rites itu—lo nge-boost beberapa hal sekaligus:

  1. Sirkulasi darah naik → jantung lo dipaksa kerja lebih optimal, darah (plus oksigen) ngalir lebih lancar ke otak. Otak yang kebagian oksigen lebih banyak otomatis lebih “melek” dan bisa fokus lebih lama.

  2. Hormon happy keluar → olahraga bikin tubuh lepas endorfin, dopamin, serotonin. Itu paket anti-ngantuk alami. Jadi bukan cuma badan segar, pikiran juga lebih stabil.

  3. Regulasi sistem saraf → gerakan Five Tibetan Yoga itu unik, karena kombinasi stretching + rotasi bikin sistem saraf parasimpatik (yang bikin rileks) dan simpatis (yang bikin waspada) jadi lebih balance. Hasilnya: lo nggak tegang, tapi juga nggak loyo.

  4. Metabolisme aktif lebih cepat → tubuh lo ngerasa kayak udah “start engine” di pagi hari. Jadi di siang hari, lo nggak ngalamin crash yang biasanya datang kalau dari pagi terlalu pasif.

Makanya lo ngerasa less ngantuk + fokus lebih terjaga. Itu kayak bikin tubuh lo punya baseline energy lebih tinggi dibanding kalau lo skip gerakan itu.

Bisa dibilang Five Tibetan Yoga tuh kayak biohacking lawas—orang Tibet udah nemuin cara “nge-charge” energi vital sebelum kita sibuk nyari kopi literan.

Kalau lo mau makin kerasa efeknya, coba kombinasikan:

  • habis yoga, minum air putih yang agak banyak (bukan kopi duluan),

  • makan sarapan high-protein dikit (telur, yoghurt, kacang),

  • baru mulai aktivitas.

Efeknya bisa bikin clarity lebih tahan lama, kayak upgrade “firmware otak”. Kita bedah satu-satu, biar jelas kenapa si Five Tibetan Rites bisa bikin lo kayak dapet power-up.

Rite 1 – Spinning (muter searah jarum jam)
→ Mirip anak kecil main gasing. Gerakan ini merangsang sistem vestibular (alat keseimbangan di telinga dalam). Itu bikin otak lo lebih “alert” dan koordinasi tubuh lebih siap. Kayak pencet tombol ON buat awareness.


Rite 2 – Leg raises (angkat kaki bareng sama kepala)

→ Ini kayak sit-up versi lebih mindful. Fokus ke core & pernapasan. Saat lo tarik napas dalam dan angkat kaki, otot perut ketarik + diafragma kerja lebih optimal. Hasilnya: paru-paru kebuka lebih luas, oksigen masuk lebih banyak. Bonusnya, pencernaan juga kebantu (bye-bye kembung siang hari).


Rite 3 – Camel pose (lutut di lantai, bungkuk ke belakang)
→ Ini backbend yang nge-regangin dada. Efeknya, dada dan paru-paru terbuka, postur tegak, napas lebih lega. Kalau biasanya orang siang-siang nunduk ke layar dan jadi ngantuk, ini gerakan kayak antidote buat itu.


Rite 4 – Tabletop (angkat badan jadi kayak meja)

→ Latihan ini ngeaktifin otot bahu, tangan, core, dan punggung. Tapi yang keren, saat lo angkat dada ke atas, kelenjar tiroid di leher juga “terpijit” halus. Ada teori (semi sains, semi mistis Tibet) bahwa ini bikin metabolisme lebih stabil dan energi lebih konsisten.


Rite 5 – Up dog ke down dog (plank ke bentuk segitiga)

→ Nah ini paling populer di yoga modern. Kombinasi peregangan tulang belakang ke dua arah. Efeknya: aliran darah ke otak naik waktu posisi down dog (kepala di bawah), terus ke jantung paru lagi waktu up dog. Itu kayak pompa alami yang bikin otak lebih segar, fokus lebih tajam.

Kalau dirangkai semua, jadinya semacam mini circuit buat sirkulasi, pernapasan, hormon, dan sistem saraf. Pantesan lo siangan nggak gampang nguap, karena tubuh dari awal udah “tuned in”.

Wednesday, August 27, 2025

Pulang Tapi Nggak Kembali

Gue punya koko. Dari dulu, dia orang yang selalu ada buat gue. Entah gue lagi seneng, lagi sedih, atau cuma lagi pengen ketawa, dia selalu bisa nyambung. Dia selalu ada tiap kali gue butuh.

“Lo ya ko,” gue pernah bilang sambil ngakak waktu kita nongkrong di warkop, “kayak walking Google, tapi ada fitur jokes-nya.”

Dia ketawa lepas, “Kalo gue kayak Google, lo kayak Wikipedia. Banyak nyimpen info random yang entah kenapa bisa nyambung ke semua topik.”


Itu koko gue. Empatik, cerewet, ceria, tapi juga jago banget bikin gue mikir alternatif jalan keluar buat tiap masalah gue. Temen main, temen curhat, sekaligus mentor dadakan.

Sampai satu hari, dia bilang, “Dek, gue harus kerja keluar kota. Lama, mungkin tahunan. Tapi tenang, gue bakal tetap ada buat lu. Kalo ada apa-apa chat gue aja.”

Dengan berat hati, gue anter koko gue ke terminal, dan melepas dia ke luar kota.



Awal-awal sih bener. Kita masih sering chat-an. Gue masih bisa curhat panjang, dia masih bales dengan jokes-jokes khasnya. Rasanya kayak nggak ada jarak.

“Bro, lo udah makan belom? Jangan sampe lupa ya.”
“Lah, lo pikir gue anak kos baru kemaren sore?”
“Hahaha, gue tahu lo bisa ngurus diri. Cuma gue aja yang nggak bisa berhenti ngecekin.”

Chat-chat kayak gitu bikin gue merasa dia masih sama.

Tapi lama-lama, balasan dia makin pendek.
“Ok.”
“Noted.”
“Bisa.”


Awalnya gue mikir, ya wajar, pasti dia sibuk. Gue coba ngertiin. Gue juga jadi lebih milih-milih kapan chat, takut ganggu. Tapi dia tetap berusaha jawab, meski seadanya.

Sampai akhirnya, setelah beberapa tahun, dia pulang.

Gue udah excited banget. Gue bayangin ketawa-ketawa lagi, debat konyol lagi, brainstorming gila-gilaan kayak dulu. Tapi begitu ketemu... rasanya kayak bukan koko gue yang dulu.

Wajahnya tenang, terlalu tenang. Datar. Nggak ada senyum lebarnya yang dulu bisa bikin suasana cair. Dia nggak sedih, nggak marah, tapi juga nggak ceria.

“Koko, apa kabar?” gue nanya hati-hati.

“Baik,” jawabnya singkat.

Kami masih nongkrong kadang-kadang. Gue masih coba ngajak dia main, tapi rasanya… kaku. Dingin. Karena cara interaksi kita berubah. Nggak alami lagi rasanya. Gue coba tanya, “Ko, lo kenapa? Di perantauan ada apa?”

Dia cuma geleng, “Nggak apa-apa.”


Jawaban itu kayak tembok tinggi. Gue tahu ada sesuatu yang dia sembunyiin, tapi dia nggak buka pintu.

Karena penasaran, gue coba cari tahu sendiri. Gue googling di berita-berita, dan akhirnya ketemu. Ternyata, waktu dia kerja sebagai konsultan di luar kota, ada proposal yang dia bikin. Proposal itu dieksekusi sama kliennya, tapi hasilnya... hancur. Kerugian gede, sampai bikin hubungan orang-orang di perusahaan klien itu rusak. Dari situ, koko gue jadi berubah.


Dia jadi hati-hati banget. Setiap kata yang keluar kayak udah difilter sepuluh kali. Setiap ekspresi dijaga ketat. Dia nggak lagi asal bercanda, nggak lagi spontan. Kayak semua sisi “warna” dirinya ditutup, demi menghindari kejadian buruk terulang.

Gue kaget, sedih juga atas apa yang menimpa koko gue.

Beberapa hari setelah gue tahu kabar itu, gue ngajak dia nongkrong lagi di warkop lama, tempat kita dulu sering ketawa tanpa mikir. Gue sengaja lempar topik ringan.

“Ko, inget nggak dulu kita pernah debat setengah jam cuma gara-gara lo yakin Indomie goreng itu lebih cocok pake keju, bukan telur?” gue senyum, berharap dia bakal ngakak kayak dulu.

Dia senyum tipis, terus jawab datar, “Iya. Gue inget.”

Gue tunggu ada kelanjutannya, tapi dia balik lagi ngaduk kopinya pelan-pelan.


“Ko,” gue coba lagi, “lo beneran nggak kangen debat-debat nggak jelas kayak gitu?”

Dia tarik napas, lalu suaranya keluar pelan, “Dek, sekarang gue nggak bisa asal ngomong kayak dulu. Gue takut, kalau kata-kata gue bisa bikin orang salah nangkep.”

Gue diem, dan di dada gue ada rasa sesak. Tapi tiba-tiba, koko mendongak, ngeliatin gue sebentar. Ada senyum tipis banget di wajahnya. Bukan tawa keras yang gue kangenin, tapi cukup buat bikin gue ngerasa dia masih ada di dalam sana.

“...Tapi ya, kalau soal Indomie pake keju, gue masih tetep yakin gue yang bener,” katanya sambil senyum sekilas.


Gue senyum kecil, lega. Itu cuma secuil momen, tapi gue tahu: koko gue yang dulu masih ada. Nggak seutuh dulu, tapi nggak hilang sepenuhnya juga.

Dan gue sadar, entah dia bisa balik seperti dulu atau nggak, dia masih koko gue.

Sunday, August 24, 2025

Curhat VS Menjelekkan

Apa bedanya ngejelek jelekin sama mengungkapkan uneg uneg?

Ngejelek-jelekin
  • Fokusnya: menyerang atau merendahkan orang/sesuatu.
  • Biasanya pakai kata-kata yang judgemental, kasar, atau penuh asumsi negatif.
  • Tujuannya: lebih ke pelampiasan emosi (marah, iri, dendam), bukan mencari solusi.
  • Efek ke orang lain: bisa bikin sakit hati, menimbulkan konflik, atau bikin suasana makin panas.
Mengungkapkan uneg-uneg
  • Fokusnya: menyampaikan apa yang dirasakan/dianggap mengganggu secara jujur.
  • Pakai bahasa yang lebih “aku” (misalnya: “Aku merasa kecewa karena …”), bukan menuding (“Kamu emang selalu begini!”).
  • Tujuannya: meringankan beban batin, mencari pengertian, atau membuka jalan komunikasi.
  • Efek ke orang lain: lebih mungkin dipahami, malah bisa memperbaiki hubungan.
Jadi bedanya tipis tapi penting:
  • Ngejelek-jelekin = emosi mentah, nyerang.
  • Curhat/uneg-uneg = emosi yang diproses, fokus ke perasaan diri dan situasi.

Senja di Atap Sekolah


Aku hanyalah tembok, berdiri kaku di tepi atap sekolah. Dibangun supaya anak-anak tidak jatuh, dicat putih seadanya, lalu ditinggalkan begitu saja. Aku tidak pernah meminta lebih. Tapi rupanya, jadi tembok di sini berarti jadi saksi banyak hal—tawa, tangis, janji, dan rahasia—semua terjadi ketika senja datang.

Hari pertama aku “dihuni” datang tiba-tiba. Beberapa murid laki-laki berlari ke atap, napas mereka terengah.

“Cepet, cepet! Si Bu Lilis udah nyariin kita!” teriak salah satunya, sambil menutup pintu besi menuju atap.

Mereka ketawa cekikikan, lalu duduk di lantai. Seorang anak kurus membuka spidol hitam, mendekat ke arahku.

“Yah, daripada bosen, kita tandain aja nih tembok. Supaya orang tau kita yang pertama nongkrong di sini.”

“Eh, jangan ah, ntar ketauan guru,” sahut temannya.

“Ah, siapa juga yang bakal naik ke sini,” katanya sambil menempelkan ujung spidol ke tubuhku. Coretan pertama. Nama mereka, lengkap dengan gambar hati dan panah.


Awalnya aku merasa itu seperti luka. Tapi begitu mereka tertawa, aku mengerti: goresan itu bukan sekadar vandal, itu tanda keberadaan. Aku tidak lagi polos, dan entah kenapa, aku tidak lagi kesepian.

Seiring waktu, atap jadi tempat rahasia mereka. Hampir tiap sore, mereka datang ketika langit mulai jingga.

Ada si cewek berambut kuncir dua yang selalu curhat:

“Eh, sumpah ya, si Raka tuh ngeselin banget. Tadi dia minjem buku catetan aku, udah gitu malah nggak dibalikin. Terus dia bisa-bisanya ngajak aku belajar bareng.”

Temannya ngakak, “Ya ampun, jelas-jelas dia modus, bego. Itu mah suka sama lo.”

“Apa sih, mana mungkin…” katanya, wajahnya merah, tapi tetap bersandar ke tubuhku.

Aku merasakan detak canggung yang menempel di punggungku.


Ada juga anak laki-laki yang bawa gitar tua, senarnya udah agak fals. Dia suka duduk di pojok, memetik dengan suara seadanya.

“Eh, lagu baru gue, dengerin ya.”

Petikan gitar menggema, disusul suara serak-serak basah, liriknya belepotan tapi tulus. Teman-temannya tepuk tangan meski nadanya kacau.

“Parah sih, jelek banget suaranya.”
“Halah, yang penting niat, bro!”

Dan aku, si tembok bisu, ikut menikmati.


Ada juga anak yang diam. Hanya menatap langit senja, matanya kosong. Sesekali dia menghela napas panjang. Aku tidak tahu isi kepalanya, tapi aku tahu beban yang ia sandarkan padaku lebih berat dari tubuhnya.


Aku menyimpan banyak hal yang tidak pernah keluar dari bibir siapa pun.

Suatu sore, seorang anak perempuan dan laki-laki datang berdua. Mereka tampak gugup, berdiri agak jauh dariku.

“Jadi… lo beneran suka sama gue?” tanya si cowok, suara nyaris tenggelam dalam hembusan angin.

“Ngapain gue mau naik ke sini kalau nggak beneran,” jawab ceweknya, menunduk.

Ada jeda panjang. Lalu tangan mereka bersentuhan. Mereka tertawa kecil, lalu bersandar bersamaku. Aku merasakan getaran tangan mereka yang saling menggenggam, masih kikuk tapi penuh keberanian. Itu hari mereka jadian.


Pernah juga ada anak laki-laki datang sendirian. Dia duduk, kepalanya menunduk, bahunya gemetar. Kertas ujian kusut ada di tangannya, nilai merah mencolok di atasnya.

“Kenapa gue bodoh banget sih…” gumamnya, lirih.

Air matanya jatuh di kakiku. Aku tidak bisa menepuk bahunya, tapi aku menopang tubuhnya agar tidak roboh.


Lalu ada coretan kecil yang kurasakan di suatu sore. Tulisan spidol, di pojok tersembunyi:

“Terima kasih, semuanya. Aku pindah minggu depan. Jangan lupa aku.”

Aku tidak melihat jelas siapa yang menulisnya. Tapi aku menyimpannya, tetap jelas sampai hari ini.


Waktu berjalan cepat. Coretan makin banyak, tawa makin beragam. Sampai akhirnya, datang masa mereka harus lulus.

Sore itu, geng atap sekolah datang lagi, kali ini bawa kamera saku.

“Udah mau kelar aja, gila ya. Tiga tahun kayak nggak kerasa.”

“Iya. Abis ini kita udah nggak bisa seenaknya nongkrong di sini lagi.”

Mereka berdiri berjejer di depanku. Ada yang nyender, ada yang duduk di lantai. Senja sedang indah-indahnya, langit oranye bercampur ungu.

“Eh, jangan lupa senyum ya. Satu… dua… tiga!” klik.


Foto itu jadi momen terakhir mereka bersamaku. Setelah itu, aku hanya bisa menonton punggung-punggung mereka menjauh. Tidak ada lagi tawa keras, tidak ada lagi gitar fals. Atap jadi sepi, hanya suara angin menemani.

Tapi aku tetap di sini. Aku tidak pernah pergi. Coretan mereka masih ada, meski mulai pudar. Aku tetap berdiri, menunggu senja demi senja, bersama dengan siswa-siswi baru.

Tahun-tahun lewat. Murid baru datang, tapi tidak ada yang pernah benar-benar “menguasai” atap ini seperti mereka dulu. Sampai suatu hari, langkah-langkah berat menaiki tangga besi.

Pintu atap terbuka. Aku melihat wajah-wajah familiar, tapi kini lebih dewasa. Rambut mereka rapi, ada yang sudah berkemeja, ada yang membawa anak kecil.

“Gila, masih ada tembok ini!”
“Eh, liat, coretan gue masih nempel!”
“Hahaha, astaga… inget nggak, dulu kita foto di sini?”

Mereka tertawa, suara mereka lebih matang tapi tetap sama. Mereka menyentuh coretan lama, berfoto lagi dengan gaya yang sama.


Aku tersenyum dalam diam. Karena meski waktu mengubah mereka, aku tahu satu hal: setiap senja, aku akan selalu jadi saksi disini.


Saturday, August 23, 2025

Mind Over Matters : Antara Manfaat dan Bahaya yang Sering Terlupakan

Belakangan ini, holistic healing lagi naik daun. Dari meditasi, yoga, aromaterapi, sampai energy healing—semuanya makin populer. Banyak orang merasa hidup modern itu penuh stres, bikin tubuh gampang drop. Jadi wajar kalau metode penyembuhan yang katanya menyentuh “pikiran, tubuh, dan jiwa” ini makin diminati.

Seiring dengan itu, konsep “mind over matters” alias pikiran bisa mengendalikan kondisi tubuh, juga makin sering diangkat. Katanya, kalau kita yakin bisa sembuh, tubuh akan mengikuti. Ada benarnya—tapi juga ada sisi gelap yang jarang dibahas.

Masalahnya: Black Campaign Terhadap Dunia Medis


Di sisi lain, banyak praktisi holistic healing yang kelewat pede sampai mem-black campaign tindakan medis. Obat-obatan dibilang “toxic”, operasi dianggap “terlalu keras”, dan sering keluar kalimat klise kayak “nenek moyang kita dulu nggak perlu gitu-gituan”.

Padahal, kalau mau jujur: nenek moyang kita juga banyak yang meninggal muda gara-gara penyakit yang sekarang bisa diatasi dengan medis modern. Jadi argumen itu agak rancu kalau dipakai buat menolak intervensi medis.

Ketika “Mind Over Matters” Malah Jadi Bumerang

Contoh nyatanya ada banyak. Misalnya:
  • Orang yang percaya kanker bisa sembuh dengan affirmation dan meditasi, lalu menolak kemoterapi. Hasilnya? Penyakit makin parah.
  • Ada juga yang percaya bisa “mengusir virus” hanya dengan vibrasi energi, lalu menolak vaksin. Padahal, sistem imun manusia ada batasnya.
Kasus kayak gini sering terjadi, tapi jarang diangkat karena dianggap “memojokkan” komunitas healing.


Kenapa Ada yang Sampai Menolak Medis?

Biasanya ada beberapa alasan:

1. Takut efek samping obat.

Padahal, semua obat memang punya efek samping, tapi dokter menimbang risikonya agar manfaatnya lebih besar.

2. Trauma sama pengalaman medis sebelumnya.

Misalnya pernah salah diagnosa, jadi nggak percaya lagi.

3. Terbujuk narasi “alami lebih baik”.

Kata-kata “alami” memang terdengar aman, padahal nggak selalu. Racun ular juga alami, tapi jelas berbahaya.


Pendekatan yang Lebih Sehat

Mind over matters nggak salah—justru bagus banget kalau dipakai sebagai pendukung. Tapi kuncinya: kombinasi.

Gunakan untuk memperkuat mental.

Pikiran positif bisa bikin kita lebih sabar, optimis, dan nggak gampang stres selama proses penyembuhan.

Tetap ikuti intervensi medis.

Kalau dokter bilang perlu antibiotik, ya minum. Kalau perlu operasi, ya jalani. Jangan sampai keyakinan menghalangi pengobatan yang efektif.

Kolaborasi antara medis dan holistic healing.

Yoga bisa bantu pasien jantung mengurangi stres. Meditasi bisa bantu penderita kanker tidur lebih nyenyak. Aromaterapi bisa bikin pasien merasa lebih tenang. Semua itu bisa jalan bareng medis, bukan menggantikannya.


Penutup

Holistic healing dan mind over matters memang punya tempat penting di dunia kesehatan modern. Tapi harus realistis: holistic healing bisa membantu, tapi bukan jadi pengganti tindakan medis seutuhnya.

Bahkan founder pranic healing modern, Master Choa Kok Sui saja melarang Pranic Healing meng-intervensi pengobatan medis.

Wednesday, August 13, 2025

“Marilag” Japanese Lyric Video - Cover by Yukan


Attouteki,
Sono sonzai kachi ni,
Me o ubaware
Yosoku fukanou,
Karada kara nijimidaru ase
Kimi ni sasageru, kore wa renka..

Totsuzen no koi, kimi wa sugu
Boku o ichigeki de otosu.

Kimi dake tokubetsu na no wa,
Nanika imi ga arun janai?

Ari no mama de ii yo.
Dantotsu ichii rido o kiru,
Sono sonzai wa shinwa sono mono mou sorera ijou na no kamo.

Kimi wa..
marude kiseki no yo na da..
Sono hitomi ni utsuri konda, 
Sou boku wa..
Sukuwareteta'n da..

Sono shinjirarenai hodo, kirei na "melody" o kitta toki,
boku wa iki o namikonde ta,
Kimi bakari wa ai ga afure mou kakushi kirenai,
Kono mama...
Jikan o tomeratara, 
Sono kagayaki kimi no me ni wa mou nai?,
kore mo koi no butai na no.

Ari no mama de ii yo.
Dantotsu ichii  rido o kiru,
Sono sonzai shinwa sono mono mou sorera ijou na no kamo.

Kimi wa..
marude kiseki no yo nanda..
Sono hitomi ni utsurikonda, 
sou boku wa..
Sukuwareteta'n da..

Attouteki
Sono sonzai kachi ni
Me o ubaware
Yosoku fukanou
Karada kara nijimidaru ase,
Kimi ni sasageru, kore wa renka..

***

Saturday, August 9, 2025

Senja di Ujung Jendela


Namaku Lydia. Sudah hampir setahun aku menjadi pelanggan setia Twilight Cafe — tempat yang hanya buka setiap sore mulai pukul setengah lima. Dari luar, cafe ini tak terlalu mencolok. Tapi begitu masuk, rasanya seperti melangkah ke ruang waktu yang berbeda. Lampu kuning hangat, furnitur kayu tua yang terawat, dan aroma kopi bercampur roti panggang selalu menyambutku. Yang paling kusukai adalah cara cahaya senja menyelinap lewat jendela besar di sisi barat, membentuk garis-garis lembut di meja kayu.

Di dekat jendela itulah aku biasanya duduk. Meja yang sama, kursi yang sama. Dan entah sejak kapan, ada seorang pria yang juga memilih tempat itu. Kalau aku sudah datang duluan, dia akan duduk di meja lain—begitu pula sebaliknya.


Kami tak pernah bicara. Tak pernah saling menyapa. Hanya sekilas saling melihat saat sama-sama menatap cahaya senja. Kadang aku berpikir, mungkin kami sama-sama tipe orang yang merasa nyaman dalam diam.


Sampai sore itu.

Pria itu duduk seperti biasa, sibuk mengetik di laptopnya. Aku asyik membaca buku, sesekali mengangkat pandangan ke luar jendela. Senja hari itu agak berbeda — lebih keemasan, seperti menyimpan rahasia. Ketika aku ke kasir untuk membayar, dia sudah beranjak pergi. Meja tempatnya duduk kosong. Tapi di sana, di samping cangkir kopinya yang sudah dingin, ada secarik kertas terlipat.


Refleks, aku mengambilnya. Aku pikir itu nota, atau catatan penting yang tertinggal. Tapi saat kubuka, huruf-huruf tangan yang rapi menyambutku.

***

Lydia, Aku tak yakin ini akan sampai padamu. Tapi jika tak kucoba, mungkin kita akan tetap menjadi dua orang asing selamanya.

Aku Marcus.

Kau mungkin tak mengenaliku sekarang—dan aku tak menyalahkanmu. Dulu kita sering bermain bersama di gang kecil dekat rumahmu, sebelum aku pindah ke luar kota. Aku banyak berubah. Kau juga. Tapi ada satu hal yang tetap sama — cara kau menatap senja.

Besok, aku akan kembali ke sini. Kalau kau mau, kita bisa bicara. Kalau tidak, aku mengerti.

– M.

***

Aku terpaku. Nama itu. Marcus.

Kenangan berloncatan: suara tawa di sore hari, sepeda kecil berwarna biru, dan permainan petak umpet di halaman rumah nenekku. Marcus yang dulu lebih pendek dariku, selalu membawa permen di saku celana, dan sering bilang ingin jadi "penjelajah dunia".


Sekarang aku mengerti kenapa aku tak mengenalnya. Ia benar-benar berubah — lebih tinggi, lebih kurus tapi tegap, wajahnya lebih dewasa, tatapannya dalam. Tak ada lagi sisa anak laki-laki berambut acak-acakan yang kutahu dulu. Dan mungkin itulah kenapa ia ragu menyapaku.

Besok, aku akan kembali ke Twilight Cafe. Bukan hanya untuk melihat senja — tapi untuk bertemu Marcus. Untuk menutup jarak belasan tahun yang tercipta di antara kami...