Friday, June 13, 2025

Dulu Kita Dekat : Epilog - Di Balik Pintu


Malam itu, satu ketukan pelan di pintu kamar.
Gue sempat bengong. Jantung gue naik satu tingkat.
Karena suara itu... udah lama nggak kedengeran.

Gue buka pintunya.
Dan dia berdiri di sana.

Mukanya pucat. Pandangannya sedikit tertunduk, kayak anak kecil yang takut dihukum. Bahunya gemetar dikit, entah karena dingin atau karena dia lagi nahan sesuatu yang berat.
Dia diem cukup lama. Gue juga nggak tahu harus ngapain. Tapi sebelum gue keburu mikir lebih jauh, dia pelan-pelan buka mulut:

"Bang..."

Cuma satu kata. Tapi cukup buat narik semua kenangan masa kecil gue. Suara kecil yang familiar, yang pernah manja, pernah cerewet, pernah teriak-teriak waktu naik sepeda, sekarang terdengar rapuh banget.

Gue ajak dia masuk.

Nggak banyak tanya. Gue tahu kadang, orang yang lagi galau itu bukan butuh interogasi. Tapi butuh kehadiran. Gue suruh dia duduk, lalu gue ke belakang—bikinin dia susu panas. Hal kecil, tapi gue inget itu minuman yang dia suka dari dulu.
Waktu gue balik, dia masih duduk di tempat yang sama. Tangannya dingin waktu nyentuh gelas.
Dia minum pelan-pelan, tapi gue bisa liat... kata-kata masih susah keluar dari mulutnya.

Gue nggak paksa. Gue ambil selimut, gue selimutin pelan-pelan punggungnya.
Gue tahu, kalau gue peluk langsung, dia bisa merasa canggung. Tapi lewat selimut itu, gue mau kasih tau: "Lo aman. Lo diterima. Lo nggak sendiri."

"Nggak apa-apa," gue bilang. Suara gue pelan, nyaris seperti bisikan.
"Kalau lo belum siap cerita, ya nggak usah. Kapan pun mau mampir, tinggal ketok aja. Nggak ada bahan ngobrol pun, kita bisa diem bareng. Me-time bareng juga oke kok."


Dia cuma ngangguk. Tapi senyum kecil itu muncul—senyum lega, kayak beban yang berat akhirnya diturunin sedikit.

Sejak malam itu, dia mulai sering mampir ke kamar gue lagi.

Kadang bawa laptop buat ngerjain tugas. Kadang bawa komik, kadang ngajak nonton film yang dulu sering kita tonton. Kadang nggak ngomong apa-apa, cuma duduk, rebahan, atau sekadar scrolling hape sambil kaki nyelonjor ke pinggir kasur.

Dia pelan-pelan balik. Bukan dengan cerita panjang atau pelukan dramatis. Tapi lewat kehadiran kecil yang konsisten. Dan itu cukup.

Kadang dia nginep di kamar gue. Tidur di lantai, pakai bantal sendiri. Gue tahu, itu malam-malam di mana dia capek banget, atau mungkin lagi ada sesuatu yang mengganjal. Gue nggak tanya. Tapi gue juga nggak pergi.

Gue selalu ada.

Karena buat gue, jadi abang bukan soal usia. Tapi soal kesediaan. Kesediaan buat tetap berdiri, meskipun orang yang lo jaga lagi jatuh. Kesediaan buat tetap buka pintu, bahkan setelah sekian lama nggak ada yang ngetok...

No comments: