Wednesday, June 18, 2025

Private Journaling di Negara Terbelakang

Gw keingetan 1 kasus. Di suatu negara yg kolot dan controlling, pernah ada kejadian. Anak sekolah, karena terinspirasi suatu film, dia jadi nulis jurnal. Tentang komplain dia terhadap kelakuan guru sekolahnya. Guess what? Jurnal dia kepergok, dan insiden itu sampai jadi berita nasional. Sampai film inspirasi anak itu dikata katain sebagai perusak moral. Salah kah anak ini nulis begitu? Walaupun mungkin tulisan nya agak kasar?

Jujur, sedih sih denger cerita kayak gitu. Menurut gue: nggak, anak itu gak salah. Bahkan dia justru nunjukin sesuatu yang sehat — meskipun akhirnya jadi korban dari sistem yang gak siap nerima suara jujur.

Mari kita bedah pelan-pelan.

1. Anak itu nulis di jurnal pribadi — bukan publik.

Artinya, dia tidak berniat menyebarkan tulisannya. Dia cuma lagi butuh tempat buat meluapkan perasaan. Apapun bentuk ekspresi emosinya — mau marah, kesel, bahkan kata-katanya agak kasar — selama itu ditujukan buat dirinya sendiri, itu hak dia.

Masa iya orang nggak boleh marah di dalam pikirannya sendiri? Di negara yang sehat, privasi kayak gitu tuh sakral. Bahkan kalau lo tulis di buku harian, dan isinya lo misuh-misuh, itu masih valid. Dan yang bobrok adalah sistem yang nyusupin mata-mata sampai ke isi hati orang.

2. Dia terinspirasi dari film — artinya dia lagi tumbuh.

Anak itu gak jadi marah-marah karena filmnya nyuruh, tapi karena film itu buka pintu pikirannya tentang apa yang gak adil di sekitarnya. Itu artinya film itu berfungsi. Karena seni yang baik memang menggugah perasaan dan kesadaran.

Tapi ya... negara atau lingkungan yang otoriter suka takut sama rakyat yang mulai mikir dan merasa. Jadi mereka buru-buru nyalahin pemicu, bukan ngeliat akar masalahnya.

3. Kasarnya tulisan? Wajar lah. Emosi.

Lo bayangin deh: anak itu belum belajar 100% cara ngelola emosi. Tapi mereka nulis. Mereka tidak memukul guru, mereka tidak bikin kekerasan, mereka cuma nulis.

Kalaupun bahasanya kasar, ya tinggal dijadikan momen edukatif, bukan dijadikan alasan buat mempermalukan atau menghukum. Itu bisa banget dijadiin awal percakapan: “Kenapa kamu bisa marah kayak gitu? Apa yang kamu alami?” Tapi kalo malah dibungkam, itu yang bikin anak-anak tumbuh jadi apatis, atau trauma.

4. Yang lebih salah adalah sistem yang gagal dengerin.

Instead of introspeksi, mereka malah main serang: “Ini karena film ini! Ini anak kurang ajar!” Padahal bisa jadi anak itu lagi teriak minta didengar, dan film itu cuma alat bantu biar dia bisa ngomong.

Serem gak sih, bro? Teriakan jujur seorang anak malah ditanggapi kayak kriminal. Bukannya guru-guru atau kepala sekolah nanya, “Lho, ada yang salah ya sama cara kita ngajar?” Malah sibuk nyari kambing hitam.

Jadi... Nope, dia gak salah. Yang salah adalah:
  • Orang yang baca jurnal pribadinya tanpa izin.
  • Lingkungan yang lebih milih membungkam daripada mendengarkan.
  • Sistem yang takut dikritik sampai gak bisa bedain antara “curhat” dan “pemberontakan.”

Dan lo tau bro? Banyak banget perubahan besar dalam sejarah yang dimulai dari orang biasa yang berani jujur. Termasuk dari anak muda yang berani nulis. Diary-nya Anne Frank contohnya. Kalau zaman sekarang masih ada yang mau “membakar” suara-suara jujur kayak gitu, ya kita belum belajar apa-apa.

Sunday, June 15, 2025

Batu Pertama, Batu Terakhir

Usia saya sudah 75 tahun sekarang. Mungkin tak lama lagi saya akan berpulang. Tidak ada lagi yang perlu saya kejar, tidak ada pula yang ingin saya perjuangkan. Tapi sebelum saya pergi, ada satu hal yang tak pernah saya bicarakan dengan siapa pun. Penyesalan yang menggerogoti saya seumur hidup. Bahkan menceritakannya pun, saya yakin, tidak akan membuat luka ini sembuh. Tapi barangkali... setidaknya luka ini bisa bernapas sedikit, sebelum saya membawanya ke liang lahat.

Saya dibesarkan di sebuah desa kecil yang sunyi, tapi penuh aturan. Di situ, agama adalah segalanya. Semua yang dianggap “dosa” langsung dibalas dengan hukuman yang nyata, keras, dan sering kali meninggalkan bekas seumur hidup. Anak-anak tumbuh dengan rasa takut, dan orang dewasa hidup dalam pengawasan yang sangat ketat. Tapi, anehnya, di balik semua itu, keluarga saya hangat. Bapak keras, tapi adil. Ibu penyayang, lembut, dan selalu tahu kapan harus memeluk, kapan harus menegur.

Saya pikir kami adalah keluarga yang utuh.

Sampai suatu sore, ketika saya pulang lebih awal dari rumah ibadah, saya melihatnya. Ibu. Bersama pria lain. Di ruang tamu rumah kami. Wajahnya tak menunjukkan rasa bersalah, hanya panik. Saya tak tahu harus berbuat apa. Dunia saya tiba-tiba runtuh, tapi juga terdiam. Saya tidak ingin kehilangan ibu. Tidak ingin kehilangan kehangatan itu.

Saya simpan semuanya sendiri. Hari-hari saya jadi sunyi. Tapi tidak ada yang berubah di rumah. Ibu masih memeluk saya seperti biasa. Masak seperti biasa. Bapak, seperti biasa, terlalu sibuk dengan tugas ke luar kota. Dalam hati, saya bergulat—ini salah. Tapi juga… ini ibu saya.

Hingga suatu malam, dalam kajian agama yang saya ikuti setiap pekan, pemuka agama setempat menyampaikan sesuatu yang membekas seperti paku di dada saya:
"Barang siapa menyembunyikan dosa orang lain, ia menjadi bagian dari dosa itu. Dan siapa yang menjadi bagian dari dosa, ia sudah pasti akan mencicipi neraka."

Saya pulang dengan tangan dingin. Malam itu saya tak bisa tidur. Saya bayangkan neraka. Saya bayangkan tubuh saya terbakar. Saya bayangkan ibu… dan bau surga yang tak akan pernah saya cium.

Besoknya, saya ceritakan semuanya pada bapak. Dengan suara gemetar. Dengan hati hancur.

Saya pikir saya sedang menyelamatkan ibu.

Bapak tidak menangis. Ia hanya terdiam lama, lalu mengangguk. Beberapa hari kemudian, kepala desa datang. Mereka menyusun rencana, lengkap dengan saksi-saksi dan cara "penangkapan." Saya, yang masih kecil waktu itu, hanya duduk di pojok ruang tamu, memeluk lutut dan menggigit bibir sampai berdarah.

Hari itu datang. Mereka memergoki ibu bersama pria itu. Tangis ibu memecah malam, tapi tak ada yang mendengarkan. Desa kami punya aturan, dan aturan itu suci. Ibu dihukum mati malam itu juga. Dirajam—dilempari batu hingga tubuhnya tak bergerak lagi. Disaksikan semua keluarga. Termasuk saya.

Saya ingat batu pertama saya—batu yang kecil. Saya ingat juga batu terakhir, yang tidak saya lemparkan, karena saya sudah tak sanggup berdiri. Dunia saya berhenti sejak saat itu.

Hidup berjalan seperti biasa. Bapak tidak pernah sekalipun membahas ibu. Tidak juga orang-orang desa. Seakan ibu tidak pernah ada dari awal. Rumah kami pun tak pernah hangat lagi. Saya tumbuh jadi pria dewasa, menikah, punya anak, dan bahkan cucu sekarang. Tapi tak ada satu haripun yang lewat tanpa wajah ibu dalam benak saya.

Saya bukan ingin diampuni. Mungkin saya memang pantas terbakar di neraka itu. Tapi saya ingin dunia tahu: saya melakukan semua ini karena saya takut. Takut akan ajaran, takut akan neraka, takut akan kutukan. Tapi ketakutan saya membunuh orang yang paling saya cintai.

Kalau saya bisa bicara pada diri saya yang dulu, saya ingin bilang: “Jangan. Peluk ibu. Lindungi dia. Dosanya bukan milikmu.”

Tapi suara saya tak akan sampai ke masa lalu.

Dan kini, saya hanya bisa menunggu. Mungkin di neraka nanti, saya bisa melihat ibu sekali lagi. Walaupun hanya untuk minta maaf.

Friday, June 13, 2025

Kemampuan Cut Off Seseorang = Trauma?

“Kemampuan buat cut off seseorang dengan gampang” itu lahir dari trauma, dan ga seharusnya dibanggain. Apa itu bener? Dan kalau bener, kenapa bisa gitu?

“Kemampuan buat nge-cut off orang dengan gampang” — ini sering dibungkus dengan label kayak boundaries, self-respect, atau bahkan mental clarity, kan? Tapi, kalau kita kulik lebih dalem… iya, bisa banget itu sebenarnya mekanisme pertahanan diri yang lahir dari trauma masa lalu.

Kenapa bisa dibilang itu hasil dari trauma?

Orang yang tumbuh dengan pengalaman negatif—kayak sering dikecewakan, dikhianati, diabaikan, atau bahkan disakiti—kadang belajar buat “nyelametin diri sendiri” secepat mungkin. Otaknya jadi kebiasa ngira:

"Begitu ada tanda-tanda bahaya, langsung putus aja. Jangan kasih kesempatan kedua. Lebih baik gue ninggalin daripada ditinggalin lagi."

Itu bentuk self-protection — dan jujur, kadang emang perlu. Tapi masalahnya, kalau ini jadi kebiasaan tanpa disadari, bisa jadi kita:
  • Sulit membangun hubungan jangka panjang
  • Gampang salah paham niat orang lain
  • Kehilangan kesempatan untuk menyelesaikan konflik secara sehat

Jadi, itu ga boleh dong?

Bukan berarti ga boleh, bro. Ada waktu dan tempat buat nge-cut orang. Misalnya, kalau mereka jelas-jelas toxic, manipulatif, abusive, atau ngerusak hidup lo — ya tentu aja, cut off mereka itu sehat. Tapi yang jadi masalah adalah:
  • Kalau lo ngelakuin itu terus-terusan bahkan buat hal kecil
  • Kalau lo belum coba komunikasi dulu, langsung putus hubungan
  • Kalau itu bikin lo ngerasa “kuat”, padahal lo cuma takut sakit lagi

Kenapa ga seharusnya dibanggain?

Karena seringnya, itu bukan cerminan healing, tapi wound in disguise. Kita ngerasa “kuat” karena bisa detach dengan cepat, padahal itu bisa jadi tanda kita belum belajar regulate emosi dan hadapin konflik dengan sehat.

Jadi bisa dibilang:
Bukan cut-off-nya yang salah, tapi niat dan konteks di baliknya yang penting banget.

Kalau lo penasaran lebih dalam, bro, ada satu pertanyaan reflektif yang bisa lo pikirin:
"Gue ngejaga jarak ini karena self-love atau karena trauma yang belum sembuh?"
Kalau lo jawabnya jujur, itu udah setengah jalan menuju penyembuhan.

Dulu Kita Dekat : Epilog - Di Balik Pintu


Malam itu, satu ketukan pelan di pintu kamar.
Gue sempat bengong. Jantung gue naik satu tingkat.
Karena suara itu... udah lama nggak kedengeran.

Gue buka pintunya.
Dan dia berdiri di sana.

Mukanya pucat. Pandangannya sedikit tertunduk, kayak anak kecil yang takut dihukum. Bahunya gemetar dikit, entah karena dingin atau karena dia lagi nahan sesuatu yang berat.
Dia diem cukup lama. Gue juga nggak tahu harus ngapain. Tapi sebelum gue keburu mikir lebih jauh, dia pelan-pelan buka mulut:

"Bang..."

Cuma satu kata. Tapi cukup buat narik semua kenangan masa kecil gue. Suara kecil yang familiar, yang pernah manja, pernah cerewet, pernah teriak-teriak waktu naik sepeda, sekarang terdengar rapuh banget.

Gue ajak dia masuk.

Nggak banyak tanya. Gue tahu kadang, orang yang lagi galau itu bukan butuh interogasi. Tapi butuh kehadiran. Gue suruh dia duduk, lalu gue ke belakang—bikinin dia susu panas. Hal kecil, tapi gue inget itu minuman yang dia suka dari dulu.
Waktu gue balik, dia masih duduk di tempat yang sama. Tangannya dingin waktu nyentuh gelas.
Dia minum pelan-pelan, tapi gue bisa liat... kata-kata masih susah keluar dari mulutnya.

Gue nggak paksa. Gue ambil selimut, gue selimutin pelan-pelan punggungnya.
Gue tahu, kalau gue peluk langsung, dia bisa merasa canggung. Tapi lewat selimut itu, gue mau kasih tau: "Lo aman. Lo diterima. Lo nggak sendiri."

"Nggak apa-apa," gue bilang. Suara gue pelan, nyaris seperti bisikan.
"Kalau lo belum siap cerita, ya nggak usah. Kapan pun mau mampir, tinggal ketok aja. Nggak ada bahan ngobrol pun, kita bisa diem bareng. Me-time bareng juga oke kok."


Dia cuma ngangguk. Tapi senyum kecil itu muncul—senyum lega, kayak beban yang berat akhirnya diturunin sedikit.

Sejak malam itu, dia mulai sering mampir ke kamar gue lagi.

Kadang bawa laptop buat ngerjain tugas. Kadang bawa komik, kadang ngajak nonton film yang dulu sering kita tonton. Kadang nggak ngomong apa-apa, cuma duduk, rebahan, atau sekadar scrolling hape sambil kaki nyelonjor ke pinggir kasur.

Dia pelan-pelan balik. Bukan dengan cerita panjang atau pelukan dramatis. Tapi lewat kehadiran kecil yang konsisten. Dan itu cukup.

Kadang dia nginep di kamar gue. Tidur di lantai, pakai bantal sendiri. Gue tahu, itu malam-malam di mana dia capek banget, atau mungkin lagi ada sesuatu yang mengganjal. Gue nggak tanya. Tapi gue juga nggak pergi.

Gue selalu ada.

Karena buat gue, jadi abang bukan soal usia. Tapi soal kesediaan. Kesediaan buat tetap berdiri, meskipun orang yang lo jaga lagi jatuh. Kesediaan buat tetap buka pintu, bahkan setelah sekian lama nggak ada yang ngetok...

Dulu Kita Dekat : Trough the Lil Bro's Eyes


Gue punya abang. Usianya empat tahun di atas gue. Dari kecil, dia selalu jadi sosok yang "ada". Selalu. Nggak peduli gue lagi seneng, sedih, takut, atau cuma mau pamer hal remeh kayak gigi copot—dia dengerin. Kadang ketawa, kadang cengin, kadang malah ikut takut juga. Tapi dia selalu ada.

Kami ngelewatin masa kecil barengan, seperti punya dunia sendiri. Dunia itu isinya cuma sepeda, es teh manis, hujan sore-sore, dan kasur empuk tempat gue suka ketiduran di atas perutnya. Gue nggak mikir aneh-aneh dulu. Buat gue, abang itu tempat aman. Orang pertama yang gue cari kalau gue kesandung atau dapet nilai jelek. Orang pertama yang tau kalau gue naksir temen sekelas. Temen bolos paling loyal.

Tapi seiring waktu, gue mulai merasa... aneh. Gue mulai ngerasa kayak gue harus bisa sendiri. Gue pengen punya ruang sendiri, keputusan sendiri, cerita yang nggak harus dibagi terus. Bukan karena gue nggak sayang abang. Justru karena gue sayang, gue nggak mau terus jadi bayangannya. Gue pengen jadi "gue" sendiri.

Awalnya pelan. Gue mulai nolak diajak jalan, ngurung diri di kamar, sibuk sama temen-temen baru, kegiatan sekolah, kadang alasan kosong juga. Tapi dari semua hal itu, yang paling berat adalah ngelihat ekspresi dia waktu gue mulai ngejauh. Kayak dia lagi nahan tanya, tapi juga nahan buat maksa.

Gue tau dia nyadar. Dia pernah nanya, "Lo kesel sama gue? Gue pernah bikin lo marah?"
Gue bilang enggak. Karena emang nggak. Tapi gue juga nggak bisa jelasin kenapa gue berubah.

Dan mungkin itu yang bikin hubungan kita kayak sekarang—aneh. Kita masih tinggal serumah, kadang ketemu di dapur, kadang duduk bareng di ruang tamu. Tapi rasanya... kayak ngobrol sama orang yang pernah jadi bagian penting dalam hidup lo, tapi sekarang udah di ruangan lain.

Tapi walaupun gue kayak menjauh, tiap kali gue ngelewatin kamarnya dan ngeliat dia lagi duduk sendiri, gue ngerasa bersalah. Rasanya pengen bilang, "Bang, gue kangen juga kok..." Tapi kadang rasa malu, gengsi, dan waktu yang udah terlalu lama bikin mulut gue nggak bisa ngomong apa-apa.

Sampai suatu hari gue nemu gambar lama—coretan kita waktu kecil. Dua orang naik sepeda. Di bawahnya gue tulis: "Abang dan aku." Gue cuma bisa senyum miris. Gambar jelek banget. Tapi artinya dalam.

Malam itu gue lihat dia duduk di kamarnya. Lampu remang-remang, dan dia lagi megang gambar itu. Gue cuma bisa berhenti di depan pintu, nahan napas sebentar.

"Eh... lo masih simpen gambar kita yang dulu ya?"
Dia angguk. "Iya."
"Lucu ya kita dulu."
"Iya."

Gue pengen masuk. Duduk. Ngobrol lagi kayak dulu. Tapi kaki gue nggak gerak. Mulut gue diem. Jadi gue cuma senyum, dan lanjut jalan.
Tapi di dalam hati, gue bilang: Bang, gue nggak kemana-mana. Gue cuma lagi nyari cara buat balik. Gue cuma butuh waktu. Tapi... gue masih di sini. Gue berusaha mencerna perasaan gue dulu... Sampai gue selesai sama diri gue sendiri, sabar yah bang...

Thursday, June 12, 2025

Dulu Kita Dekat

Gw punya adik cowok. Usianya empat tahun di bawah gw. Dari kecil, kita tuh duo yang nggak bisa dipisahin. Padahal sama-sama cowok, dan banyak yang bilang saudara cowok biasanya suka berantem. Tapi nggak tau kenapa, kita jarang banget ribut.

Mungkin karena jarak usia yang lumayan juga ya, jadi posisi gw lebih ke kakak yang ngemong daripada berebut mainan. Kita ngapa-ngapain bareng. Makan bareng, main bareng, nonton kartun bareng, bahkan tidur siang pun bareng. Kadang dia suka ketiduran di perut gw. Gw geli sendiri inget itu sekarang. Di momen-momen yang hangat itu, rumah terasa rame cuma karena ada dia.

Dulu, apa-apa dia cerita ke gw. Tentang temennya yang nyebelin, tentang cewek yang dia suka tapi malu ngajak ngomong, bahkan tentang nilai ulangan dia yang jeblok karena ketiduran pas belajar. Kita juga pernah bandel bareng. Bolos sekolah bareng - ngumpet di warung mie ayam sampe jam sekolah selesai, naik sepeda ngebut ke warnet. Gw bonceng dia, dia duduk di belakang sambil nyanyi-nyanyi nggak jelas. Ketawa-tawa, bebas, tanpa mikirin apa-apa.

Tapi semua itu perlahan berubah.

Gw mulai nyadar, dia makin sering nolak diajak ngapa-ngapain. Dulu, kalau gw ajak main atau sekadar jalan keliling komplek, dia langsung semangat. Sekarang, alasannya banyak. "Lagi sibuk", "Ada kerjaan kelompok", "Capek", atau kadang cuma "Nggak mood". Awalnya gw pikir biasa lah, namanya juga makin gede. Tapi lama-lama terasa beda.

Dia juga udah jarang cerita. Bahkan buat hal-hal kecil pun, dia pilih simpen sendiri. Gw tanya, “Lo kenapa sih akhir-akhir ini? Ada yang gangguin? Gue bikin salah ya?”

Dia cuma geleng. Senyum kecil, dan bilang, “Nggak kok, lo nggak salah apa-apa. Gue lagi sering sibuk sama nggak mood aja.”

Tapi lo tau kan, kadang diam itu lebih nyakitin daripada marah. Gw nggak tau harus gimana. Mau maksa, takut makin ngejauh. Mau cuek, rasanya nggak tega. Gw kakaknya, harusnya bisa ngerti. Mungkin ini bagian dari proses tumbuh dewasa. Orang berubah. Dunia mereka makin luas, dan perlahan mereka menjauh dari tempat awal mereka tumbuh.

Tapi tetap aja, hati gw sepi. Dia ada di depan gw, tapi berasa jauh. Kita bisa duduk satu ruangan, tapi rasanya kayak ada dinding tak kasat mata di antara kita. Dulu kita deket banget, sekarang kadang bahkan ngobrol pun cuma seperlunya.

Entah nanti kita bisa balik deket kayak dulu atau enggak. Kadang gw mikir, mungkin ini emang jalannya. Tapi selama gw masih bisa lihat dia sehat, ketawa, dan tahu dia masih ada di dunia yang sama sama gw... gw bakal terus berusaha ngertiin.

Karena meskipun dia bukan lagi bocah kecil yang ketiduran di perut gw, dia tetap adik gw.

Dan gw... tetap kakaknya.

Tuesday, June 10, 2025

Bonus : Deskripsi Tokoh Trilogi "Kisah Kita Berempat"

Original stories :

***

1. “Gue” (Narator)

Vibes: Anak kampus tipikal, tapi bukan yang hedon. Lebih ke mellow realistis. Ada sisi artsy-nya, tapi nggak nyolot. Orang yang lebih suka jadi pengamat daripada pusat perhatian.

Penampilan:
  • Fisik: Kulit sawo matang, rambut agak gondrong dikit, cepak natural tapi jarang disisir. Kesan “gue gak peduli style, asal nyaman”.
  • Style: Kaos polos yang udah mulai molor, jaket denim belel, celana jeans yang mulai pudar warnanya, dan sepatu sneakers tua—bukan karena mau keren, tapi emang itu aja yang dia punya dari kuliah.
  • Ciri khas: Bawa tote bag isinya buku, headset model lama, dan aroma mild dari rokok yang cuma diisep pas galau.

Versi 8 tahun kemudian:
  • Masih ada sisa-sisa “gue yang dulu”, tapi udah lebih rapi. Kemeja flanel, celana chino. Mata sedikit lebih berat karena hidup. Tapi sorotnya masih punya nostalgia.

2. Sherly

Vibes: Cewek yang gak berisik tapi juga gak diem. Punya energi lembut yang bikin orang betah. Aura “cewek yang pernah bikin lo mikir ‘kalau dia nikah sama orang lain, gue bakal diem-diem nangis’”.

Penampilan:
  • Fisik: Kulit terang, rambut lurus medium-length, poni samping yang selalu ditata rapi tapi gak menor.
  • Style: Kemeja oversized dengan celana high waist, sneakers putih yang selalu bersih. Gaya effortless tapi tetap kece. Sedikit scent floral kayak body mist Murah tapi nge-ena.
  • Ciri khas: Selalu bawa tumblr air minum, kuku bersih, dan suara tawa yang khas—cepat tapi nggak cempreng.

Versi 8 tahun kemudian:
  • Rambut lebih pendek, makeup natural. Pake jam tangan klasik. Dandanannya kayak HRD kantor startup. Tetap manis, tapi matanya nyimpan banyak "dulu".

3. Dika

Vibes: Bro sejuta umat. Punya jokes andalan, agak selengekan, tapi sebenernya peka. Orang yang kelihatannya santai, tapi punya lapisan emosional lebih dalem dari yang lo sangka.

Penampilan:
  • Fisik: Badan atletis tapi gak ngegym banget. Kulit agak gelap, brewokan dikit-dikit. Rambut disisir ke belakang pake pomade murah.
  • Style: Hoodie atau t-shirt band, celana jeans robek sedikit di lutut, dan sepatu kets model lama. Sering pake gelang tali atau jam digital Casio.
  • Ciri khas: Selalu bawa charger-an, ngedengerin musik di speaker kecil, dan bisa tidur di mana aja.

Versi 8 tahun kemudian:
  • Badan sedikit mengembang. Pake kemeja rapi tapi tetap pake sneakers. Masih bisa bikin orang ketawa, tapi sekarang lebih banyak diem sebelum ngomong.

4. Naya

Vibes: Cewek yang awalnya lo kira cuek atau galak, tapi ternyata kocak dan tulus. Smart, agak sarkas, dan selalu punya komentar tajam yang bikin lo mikir.

Penampilan:
  • Fisik: Rambut diikat ke belakang atau cepol acak-acakan. Kulit medium, ekspresi wajahnya tajam tapi mata hangat.
  • Style: Sweater kebesaran, legging hitam, dan sneakers model Converse. Tas ransel penuh stiker dan gantungan kunci random.
  • Ciri khas: Bawa notes kecil, suka nyoret-nyoret sesuatu, dan punya tawa yang ngakak lepas—tanpa malu.

Versi 8 tahun kemudian:
  • Rambut lebih pendek atau di-layer rapi. Pakai tote bag polos, masih suka nyoret-nyoret tapi di iPad. Gaya lebih clean, tapi masih ada nyeleneh khas dia—mungkin lewat pin di tas atau pilihan lagu yang dia share.

Bonus: Bang Darto (Karakter tambahan yang nyimpen jiwa mereka)

Dia tipikal bapak-bapak yang gak pernah berubah. Tetap pake kaos oblong, celana pendek, sandal swallow. Dan punya memori tentang masa muda lo lebih banyak daripada lo sendiri.

Gue bisa ngebayangin mereka kayak karakter film indie coming-of-age: raw, relatable, dan penuh luka yang gak selalu harus dijahit.

Kisah Kita Berempat - Di Ujung Waktu


Umur gue delapan puluh tiga sekarang.

Lutut udah gak kuat jongkok lama, tangan mulai gemeter kalau nulis, dan tiap pagi rasanya kayak nego sama tubuh sendiri buat bisa bangun dari kasur. Tapi sejauh ini, gue masih bisa bikin kopi sendiri. Masih bisa duduk di teras sambil dengerin lagu lama. Masih bisa buka album foto, pelan-pelan, satu lembar satu lembar.

Dan kadang, kalau lagi duduk sendirian gitu... gue suka kepikiran soal kita berempat.

Udah lama banget sejak warkop Bang Darto tutup. Tempat itu sekarang jadi ruko baru—dipoles, bersih, terang. Tapi tiap kali gue lewat sana, hati gue tetap narik rem. Masih suka nengok, nyari-nyari bangku kayu yang dulu udah keropos, kipas angin butut yang cuma muter ke kiri, dan tulisan "NGUTANG CUMA BUAT YANG NGAKU TEMEN". Tapi gak ada. Semua udah hilang. Kecuali satu hal yang masih nempel: kenangan.

Kita semua pernah ketemu lagi di sana waktu itu. Sekali. Sore terakhir sebelum Bang Darto pensiun.

Setelah itu, hidup berjalan lagi. Pelan-pelan. Sendiri-sendiri.

Ada sih momen-momen dimana kita tetep bisa kumpul. Kadang lengkap kita berempat. Kadang cuma bertiga. Kadang juga cuma berdua. Misalnya pas salah satu dari kita ada yang ulang tahun. Atau masih sempat lah kita liburan bareng nengokin Sherly.

Sherly pindah ke Bandung. Nikah sama duda satu anak, kerja bantuin suaminya di toko buku kecil. Kita sempet mampir dua kali, waktu dia masih sehat. Duduk di rak sastra, ngobrol ngalor-ngidul. Dia masih suka pakai scarf dan ketawa pelan sambil nutup mulut—kebiasaan lama yang gak ilang.

Dia meninggal duluan. Kanker rahim. Nggak terlalu lama. Cuma tiba-tiba di group kita, ada yang update pakai nomer nya Sherly, katanya: "Sherly udah ga ada." Kira bertiga yang tersisa kaget setengah mati saat itu. Gue nyalain lagu lama yang dia suka—“To Be With You”—dan duduk diam.

Naya masih sempet aktif sampe umur 70-an. Terakhir dia jadi guru les privat anak-anak difabel, dan kayaknya dia nemuin kedamaian di situ. Dia gak nikah. Gak nyari juga. Katanya waktu itu, “Hidup itu bukan cuma soal punya pasangan. Tapi soal punya makna.”

Dia meninggal pas tidur. Tenang. Gue sempet dateng ke rumahnya waktu itu. Di mejanya ada foto kecil kita berempat, udah pudar. Di belakangnya, ada tulisan tangan dia: “Kalau hidup itu panggung, maka kalian bagian paling serunya.”

Dika paling terakhir.

Dia sempet stroke ringan, lalu makin sering bolak-balik rumah sakit. Tapi dia masih semangat. Masih sempet ngajakin gue nonton bola. Dan karena dia udah gak bisa jalan jauh, gue yang sampein ke rumahnya. Kita ngetawain wasit, ngeledek pemain, dan akhirnya diem... cuma liatin layar sambil dengerin napas satu sama lain.

Waktu dia meninggal, anaknya yang ngabarin. “Papa suka cerita tentang om terus,” katanya. Gue gak tau harus jawab apa.

Sekarang gue sendirian.

Enggak sepenuhnya sendiri—anak gue kadang mampir. Cucu gue suka kirim voice note iseng. Tapi... mereka gak tau gue yang dulu. Gak tau cerita kita berempat. Dan kadang, itu yang bikin rasa sepi makin kental.

Sering gue buka kotak kayu kecil. Isinya cuma empat benda: foto usang kita di pinggir jalan, tiket bioskop sobek tahun 2016, pembatas buku dari Sherly, dan tisu bekas coretan tangan Naya yang bunyinya: “Jangan terlalu serius. Yang penting ada kita.”

Itu sisa-sisa dari hidup yang dulu rame. Hidup yang sekarang cuma tinggal gema.

Tapi lo tau, bro?

Gue gak sedih. Beneran. Kita semua masing-masing sudah melewati hidup dengan penuh dan tanpa penyesalan.

Kalau gue tutup mata sekarang, yang muncul bukan kamar ini. Tapi suara tawa kita. Goyangan kipas angin warung. Kopi sachet dan mie rebus yang terlalu asin. Motor yang mogok tengah jalan. Obrolan gak penting yang selalu jadi penting.

Gue inget semuanya.

Dan itu cukup buat gue.

Tadi pagi, gue jalan pelan-pelan ke taman deket rumah. Duduk di bangku batu yang agak kasar. Sambil nulis di buku kecil yang sekarang jadi semacam buku harian. Di halaman terakhir, gue tulis:

"Gue pernah hidup. Dan gue gak sendiri. Kita dulu berempat. Sekarang cuma gue. Tapi itu cukup. Karena selama gue inget, kita gak pernah benar-benar hilang."

Kalau nanti giliran gue dateng, gue harap mereka nungguin.

Mungkin duduk di meja panjang, pesen kopi, dan udah mulai ngobrol duluan. Sherly nyender ke kursi sambil senyum kecil. Naya nyambungin cerita setengah jadi. Dika lempar candaan yang masih garing. Dan gue bakal dateng, telat kayak biasa.

Tapi mereka gak marah.

Mereka bakal cuma bilang,
“Eh, akhirnya dateng juga. Duduk sini.”

Dan kita mulai lagi.

Gak usah terlalu serius. Yang penting... ada kita.

***

Sunday, June 8, 2025

Burn the Bridge Or Let It Unused?

"Apakah jembatan yg kita sudah reluctant untuk lewati lagi, sebaiknya dibakar atau dibiarkan unused saja?"

Soal "dibakar atau dibiarkan unused", jawabannya bisa beda tergantung konteks dan situasi emosional lo.

Kalau Dibakar

Kadang kita emang perlu membakar jembatan, terutama kalau jembatan itu ngelewatin ke tempat yang bikin kita terus sakit, trauma, atau stuck. Misalnya:
  • Hubungan toksik.
  • Lingkungan kerja yang ngerusak kesehatan mental.
  • Pola pikir lama yang udah nggak relevan buat versi lo yang sekarang.

Dengan "dibakar", maksudnya lo bikin keputusan yang tegas dan nggak bisa dibalikin. Itu bisa terasa menakutkan, tapi juga sangat melegakan dan membebaskan. Kayak bilang, “Gue udah selesai sama bagian hidup itu, dan gue nggak akan balik lagi ke sana.”

Tapi... penting juga untuk ngebakar dengan kesadaran, bukan karena emosi sesaat. Kalau enggak, nanti bisa jadi penyesalan.

Kalau Dibiarkan Unused

Kadang lebih bijak buat membiarkan jembatan tetap berdiri, walau lo udah nggak mau atau nggak perlu menyeberanginya lagi.
  • Bisa jadi suatu hari lo ingin melihat kembali ke masa itu, dengan perspektif baru.
  • Bisa juga jembatan itu nyambung ke seseorang atau situasi yang mungkin lo perlukan nanti, tapi belum waktunya sekarang.
  • Atau mungkin lo belum sepenuhnya selesai dengan perjalanannya, dan lo cuma butuh waktu buat menjauh dulu.

Intinya, membiarkan jembatan unused bisa jadi bentuk respek ke masa lalu lo, walau lo udah nggak hidup di sana lagi.

Jadi, Pilih yang Mana?

Gue sih percaya:
“Kalau jembatan itu membawa lebih banyak luka daripada pelajaran, mungkin udah waktunya dibakar. Tapi kalau masih ada makna dan lo bisa berdamai, cukup biarkan dia berdiri — sebagai bagian dari lanskap hidup lo.”

Perjuangan dan Harapan

Jangan karena kita merasa bahwa kita adalah orang paling menderita di dunia ini, lantas kita berhak atas segala bantuan yg ada dari siapapun. Berdiri di atas kaki sendiri! Walaupun berat, walaupun pahit, walaupun seumur hidup tidak akan pernah merasakan manis! Dimana ada kehidupan, disitu ada harapan. Sekalipun harapan itu tidak pernah terwujud, "pernah berusaha" menyimpan rasa manisnya tersendiri, walaupun sangat halus!

Thursday, June 5, 2025

Feelings Validity

All feelings are valid.

But not all thoughts, conclusions, and actions are.

This world doesn’t revolve solely around feelings.

There’s a reality to check, and it's not bent by intention alone.