Thursday, July 10, 2025

Whispers Beneath the Full Moon

Beneath the moon, so round and bright,
The forest hums in silver light.
Each leaf aglow with lunar grace,
A shimmer soft on nature’s face.

The owls begin their nightly song,
Their echoes weaving all night long.
Crickets chime in rhythmic tune,
Serenading the quiet moon.

The river sparkles, calm and wide,
A mirror where the stars confide.
It speaks in murmurs, low and deep,
A lullaby that lulls to sleep.

The pines, like giants, still and tall,
Stand sentry to the midnight call.
Their needles whisper with the breeze—
A language learned from ancient trees.


Foxes glide through meadow mist,
Their paws on earth, like shadows kissed.
And fireflies, in swirling flight,
Dance like dreams born out of light.

No human voice, no engine’s hum,
Just silence where the wild things come.
A sacred hush, a world renewed,
As nature breathes in silver mood.

O moon, pale watcher in the skies,
You draw the tides and stir the cries
Of wolves that sing to stars above—
Their song a longing, fierce with love.

So let me walk this quiet land,
With moonlight soft in open hand.
For in your glow, the world feels right—
A poem written in silver night.

Friday, July 4, 2025

Taking The First Step

"I don't wanna reach out to people who don't reach out to me."

Yeah, I get it. It can feel lopsided. Like you’re always the one initiating, always the one sending that message, planning that catch-up, throwing the emotional rope across the gap.

But here's the thing:
Sometimes people don’t reach out not because they don’t care —
But because they’re tired. Distracted. Insecure. Afraid they’re not wanted either.

Someone needs to take the first step. And not because they’re the “weaker one” or the “desperate one.” No. It’s because they can.
Because they have that little extra capacity to offer a spark.
And sparks can light fires — or just give a bit of warmth in cold moments. Either way, they’re not wasted.



Relationship building takes time. And consistency. It’s messy, uneven, and imperfect.
Sometimes we do get that beautiful, instant connection — the kind where words flow and laughter feels effortless.
But even that needs tending. Even chemistry, left alone, cools off.

A small message, a memory shared, a meme, a “hey, saw this and thought of you” — these little things matter.
Even if they don’t blossom into daily chats or deep friendship right away.
Because, sometimes, the fruit doesn’t ripen now.
It ripens later.
When they’re sitting alone, thinking, and your name flickers through their mind.
And they remember how you made them feel.

And maybe — just maybe — that’s when they reach out.
And everything might begins from there.

Friday, June 20, 2025

Complaint Without Solution Proposal

"Kalo orang complaint, apakah mereka harus selalu propose solutions? Minimal possible solutions yg mereka bisa pikirkan? Atau boleh orang sekedar complaint aja?"

Jawaban gue agak nyampur antara yes, no, dan depends.

1. Boleh banget orang cuma komplain doang

Kadang, orang tuh butuh didengerin aja dulu. Gak semua orang dalam kondisi mental atau emosional yang stabil buat langsung mikirin solusi. Misalnya:
  • Dia lagi frustrasi banget.
  • Dia merasa powerless.
  • Dia gak ngerti sistemnya kayak gimana, jadi gak tahu harus usul apa.

Jadi, dalam konteks itu, komplain itu valid sebagai ekspresi ketidaknyamanan atau rasa sakit. Dan itu udah cukup buat jadi sinyal awal bahwa "Eh, ada yang gak beres nih."

Contoh: Seorang customer bilang, “Aplikasi lo lemot banget! Nyebelin!”
Bisa jadi dia gak ngerti kenapa lemot, tapi tetep penting buat lo tau bahwa ada pain point di sana.


2. Tapi, kalo mau impactful, solusi (atau minimal arah solusi) itu powerful banget

Nah, kalau tujuannya bukan cuma didengerin tapi juga pengen perubahan, maka ngasih ide solusi — meski mentah — itu nilai plus banget.

Kenapa?
  • Itu nunjukin bahwa dia invested — bukan cuma pengen marah, tapi pengen ada perbaikan.
  • Itu bisa bantu pihak yang nerima komplain buat ngerti kebutuhan di balik keluhan lebih jelas.

Contoh: “Aplikasi lo lemot banget. Mungkin bisa kasih opsi buat matiin animasi biar lebih ringan?”
Nah, ini udah masuk ke territory konstruktif, lebih gampang direspon dan ditindaklanjuti.

3. Gak semua orang bisa mikirin solusi, tapi... bisa bantu kalau ditanya

Kadang, lo (atau siapapun yang nerima komplain) bisa bantu orang itu buat explore solusi dengan nanya kayak:
“Gue ngerti lo kesel, dan itu valid. Menurut lo, idealnya kayak gimana sih?”
Pertanyaan ini bisa unlock insight baru, dan ngajak mereka jadi bagian dari problem-solving tanpa maksa mereka langsung harus punya jawabannya.

Jadi kesimpulannya?
  • Komplain doang? Boleh. Valid. Gak harus selalu punya solusi.
  • Tapi ngasih solusi (atau minimal arah) bikin impact-nya lebih gede.
  • Kalau lo nerima komplain, bantu gali arah solusinya dengan empati dan pertanyaan terbuka.

Wednesday, June 18, 2025

Private Journaling di Negara Terbelakang

Gw keingetan 1 kasus. Di suatu negara yg kolot dan controlling, pernah ada kejadian. Anak sekolah, karena terinspirasi suatu film, dia jadi nulis jurnal. Tentang komplain dia terhadap kelakuan guru sekolahnya. Guess what? Jurnal dia kepergok, dan insiden itu sampai jadi berita nasional. Sampai film inspirasi anak itu dikata katain sebagai perusak moral. Salah kah anak ini nulis begitu? Walaupun mungkin tulisan nya agak kasar?

Jujur, sedih sih denger cerita kayak gitu. Menurut gue: nggak, anak itu gak salah. Bahkan dia justru nunjukin sesuatu yang sehat — meskipun akhirnya jadi korban dari sistem yang gak siap nerima suara jujur.

Mari kita bedah pelan-pelan.

1. Anak itu nulis di jurnal pribadi — bukan publik.

Artinya, dia tidak berniat menyebarkan tulisannya. Dia cuma lagi butuh tempat buat meluapkan perasaan. Apapun bentuk ekspresi emosinya — mau marah, kesel, bahkan kata-katanya agak kasar — selama itu ditujukan buat dirinya sendiri, itu hak dia.

Masa iya orang nggak boleh marah di dalam pikirannya sendiri? Di negara yang sehat, privasi kayak gitu tuh sakral. Bahkan kalau lo tulis di buku harian, dan isinya lo misuh-misuh, itu masih valid. Dan yang bobrok adalah sistem yang nyusupin mata-mata sampai ke isi hati orang.

2. Dia terinspirasi dari film — artinya dia lagi tumbuh.

Anak itu gak jadi marah-marah karena filmnya nyuruh, tapi karena film itu buka pintu pikirannya tentang apa yang gak adil di sekitarnya. Itu artinya film itu berfungsi. Karena seni yang baik memang menggugah perasaan dan kesadaran.

Tapi ya... negara atau lingkungan yang otoriter suka takut sama rakyat yang mulai mikir dan merasa. Jadi mereka buru-buru nyalahin pemicu, bukan ngeliat akar masalahnya.


3. Kasarnya tulisan? Wajar lah. Emosi.

Lo bayangin deh: anak itu belum belajar 100% cara ngelola emosi. Tapi mereka nulis. Mereka tidak memukul guru, mereka tidak bikin kekerasan, mereka cuma nulis.

Kalaupun bahasanya kasar, ya tinggal dijadikan momen edukatif, bukan dijadikan alasan buat mempermalukan atau menghukum. Itu bisa banget dijadiin awal percakapan: “Kenapa kamu bisa marah kayak gitu? Apa yang kamu alami?” Tapi kalo malah dibungkam, itu yang bikin anak-anak tumbuh jadi apatis, atau trauma.

4. Yang lebih salah adalah sistem yang gagal dengerin.

Instead of introspeksi, mereka malah main serang: “Ini karena film ini! Ini anak kurang ajar!” Padahal bisa jadi anak itu lagi teriak minta didengar, dan film itu cuma alat bantu biar dia bisa ngomong.

Serem gak sih, bro? Teriakan jujur seorang anak malah ditanggapi kayak kriminal. Bukannya guru-guru atau kepala sekolah nanya, “Lho, ada yang salah ya sama cara kita ngajar?” Malah sibuk nyari kambing hitam.

Jadi... Nope, dia gak salah. Yang salah adalah:
  • Orang yang baca jurnal pribadinya tanpa izin.
  • Lingkungan yang lebih milih membungkam daripada mendengarkan.
  • Sistem yang takut dikritik sampai gak bisa bedain antara “curhat” dan “pemberontakan.”

Dan lo tau bro? Banyak banget perubahan besar dalam sejarah yang dimulai dari orang biasa yang berani jujur. Termasuk dari anak muda yang berani nulis. Diary-nya Anne Frank contohnya. Kalau zaman sekarang masih ada yang mau “membakar” suara-suara jujur kayak gitu, ya kita belum belajar apa-apa.

Sunday, June 15, 2025

Batu Pertama, Batu Terakhir

Usia saya sudah 75 tahun sekarang. Mungkin tak lama lagi saya akan berpulang. Tidak ada lagi yang perlu saya kejar, tidak ada pula yang ingin saya perjuangkan. Tapi sebelum saya pergi, ada satu hal yang tak pernah saya bicarakan dengan siapa pun. Penyesalan yang menggerogoti saya seumur hidup. Bahkan menceritakannya pun, saya yakin, tidak akan membuat luka ini sembuh. Tapi barangkali... setidaknya luka ini bisa bernapas sedikit, sebelum saya membawanya ke liang lahat.

Saya dibesarkan di sebuah desa kecil yang sunyi, tapi penuh aturan. Di situ, agama adalah segalanya. Semua yang dianggap “dosa” langsung dibalas dengan hukuman yang nyata, keras, dan sering kali meninggalkan bekas seumur hidup. Anak-anak tumbuh dengan rasa takut, dan orang dewasa hidup dalam pengawasan yang sangat ketat. Tapi, anehnya, di balik semua itu, keluarga saya hangat. Bapak keras, tapi adil. Ibu penyayang, lembut, dan selalu tahu kapan harus memeluk, kapan harus menegur.

Saya pikir kami adalah keluarga yang utuh.

Sampai suatu sore, ketika saya pulang lebih awal dari rumah ibadah, saya melihatnya. Ibu. Bersama pria lain. Di ruang tamu rumah kami. Wajahnya tak menunjukkan rasa bersalah, hanya panik. Saya tak tahu harus berbuat apa. Dunia saya tiba-tiba runtuh, tapi juga terdiam. Saya tidak ingin kehilangan ibu. Tidak ingin kehilangan kehangatan itu.

Saya simpan semuanya sendiri. Hari-hari saya jadi sunyi. Tapi tidak ada yang berubah di rumah. Ibu masih memeluk saya seperti biasa. Masak seperti biasa. Bapak, seperti biasa, terlalu sibuk dengan tugas ke luar kota. Dalam hati, saya bergulat—ini salah. Tapi juga… ini ibu saya.

Hingga suatu malam, dalam kajian agama yang saya ikuti setiap pekan, pemuka agama setempat menyampaikan sesuatu yang membekas seperti paku di dada saya:
"Barang siapa menyembunyikan dosa orang lain, ia menjadi bagian dari dosa itu. Dan siapa yang menjadi bagian dari dosa, ia sudah pasti akan mencicipi neraka."

Saya pulang dengan tangan dingin. Malam itu saya tak bisa tidur. Saya bayangkan neraka. Saya bayangkan tubuh saya terbakar. Saya bayangkan ibu… dan bau surga yang tak akan pernah saya cium.

Besoknya, saya ceritakan semuanya pada bapak. Dengan suara gemetar. Dengan hati hancur.

Saya pikir saya sedang menyelamatkan ibu.

Bapak tidak menangis. Ia hanya terdiam lama, lalu mengangguk. Beberapa hari kemudian, kepala desa datang. Mereka menyusun rencana, lengkap dengan saksi-saksi dan cara "penangkapan." Saya, yang masih kecil waktu itu, hanya duduk di pojok ruang tamu, memeluk lutut dan menggigit bibir sampai berdarah.

Hari itu datang. Mereka memergoki ibu bersama pria itu. Tangis ibu memecah malam, tapi tak ada yang mendengarkan. Desa kami punya aturan, dan aturan itu suci. Ibu dihukum mati malam itu juga. Dirajam—dilempari batu hingga tubuhnya tak bergerak lagi. Disaksikan semua keluarga. Termasuk saya.

Saya ingat batu pertama saya—batu yang kecil. Saya ingat juga batu terakhir, yang tidak saya lemparkan, karena saya sudah tak sanggup berdiri. Dunia saya berhenti sejak saat itu.

Hidup berjalan seperti biasa. Bapak tidak pernah sekalipun membahas ibu. Tidak juga orang-orang desa. Seakan ibu tidak pernah ada dari awal. Rumah kami pun tak pernah hangat lagi. Saya tumbuh jadi pria dewasa, menikah, punya anak, dan bahkan cucu sekarang. Tapi tak ada satu haripun yang lewat tanpa wajah ibu dalam benak saya.

Saya bukan ingin diampuni. Mungkin saya memang pantas terbakar di neraka itu. Tapi saya ingin dunia tahu: saya melakukan semua ini karena saya takut. Takut akan ajaran, takut akan neraka, takut akan kutukan. Tapi ketakutan saya membunuh orang yang paling saya cintai.

Kalau saya bisa bicara pada diri saya yang dulu, saya ingin bilang: “Jangan. Peluk ibu. Lindungi dia. Dosanya bukan milikmu.”

Tapi suara saya tak akan sampai ke masa lalu.

Dan kini, saya hanya bisa menunggu. Mungkin di neraka nanti, saya bisa melihat ibu sekali lagi. Walaupun hanya untuk minta maaf.

Friday, June 13, 2025

Kemampuan Cut Off Seseorang = Trauma?

“Kemampuan buat cut off seseorang dengan gampang” itu lahir dari trauma, dan ga seharusnya dibanggain. Apa itu bener? Dan kalau bener, kenapa bisa gitu?

“Kemampuan buat nge-cut off orang dengan gampang” — ini sering dibungkus dengan label kayak boundaries, self-respect, atau bahkan mental clarity, kan? Tapi, kalau kita kulik lebih dalem… iya, bisa banget itu sebenarnya mekanisme pertahanan diri yang lahir dari trauma masa lalu.

Kenapa bisa dibilang itu hasil dari trauma?

Orang yang tumbuh dengan pengalaman negatif—kayak sering dikecewakan, dikhianati, diabaikan, atau bahkan disakiti—kadang belajar buat “nyelametin diri sendiri” secepat mungkin. Otaknya jadi kebiasa ngira:

"Begitu ada tanda-tanda bahaya, langsung putus aja. Jangan kasih kesempatan kedua. Lebih baik gue ninggalin daripada ditinggalin lagi."

Itu bentuk self-protection — dan jujur, kadang emang perlu. Tapi masalahnya, kalau ini jadi kebiasaan tanpa disadari, bisa jadi kita:
  • Sulit membangun hubungan jangka panjang
  • Gampang salah paham niat orang lain
  • Kehilangan kesempatan untuk menyelesaikan konflik secara sehat

Jadi, itu ga boleh dong?

Bukan berarti ga boleh, bro. Ada waktu dan tempat buat nge-cut orang. Misalnya, kalau mereka jelas-jelas toxic, manipulatif, abusive, atau ngerusak hidup lo — ya tentu aja, cut off mereka itu sehat. Tapi yang jadi masalah adalah:
  • Kalau lo ngelakuin itu terus-terusan bahkan buat hal kecil
  • Kalau lo belum coba komunikasi dulu, langsung putus hubungan
  • Kalau itu bikin lo ngerasa “kuat”, padahal lo cuma takut sakit lagi

Kenapa ga seharusnya dibanggain?

Karena seringnya, itu bukan cerminan healing, tapi wound in disguise. Kita ngerasa “kuat” karena bisa detach dengan cepat, padahal itu bisa jadi tanda kita belum belajar regulate emosi dan hadapin konflik dengan sehat.

Jadi bisa dibilang:
Bukan cut-off-nya yang salah, tapi niat dan konteks di baliknya yang penting banget.

Kalau lo penasaran lebih dalam, bro, ada satu pertanyaan reflektif yang bisa lo pikirin:
"Gue ngejaga jarak ini karena self-love atau karena trauma yang belum sembuh?"
Kalau lo jawabnya jujur, itu udah setengah jalan menuju penyembuhan.

Dulu Kita Dekat : Epilog - Di Balik Pintu


Malam itu, satu ketukan pelan di pintu kamar.
Gue sempat bengong. Jantung gue deg-degan.
Karena suara itu... udah lama nggak kedengeran.

Gue buka pintunya.
Dan dia berdiri di sana.

Mukanya pucat. Pandangannya sedikit tertunduk, kayak anak kecil yang takut dihukum. Bahunya gemetar dikit, entah karena dingin atau karena dia lagi nahan sesuatu yang berat.
Dia diem cukup lama. Gue juga nggak tahu harus ngapain. Tapi sebelum gue keburu mikir lebih jauh, dia pelan-pelan buka mulut:

"Bang..."

Cuma satu kata. Tapi cukup buat narik semua kenangan masa kecil gue. Suara kecil yang familiar, yang pernah manja, pernah cerewet, pernah teriak-teriak waktu naik sepeda, sekarang terdengar rapuh banget.

Gue ajak dia masuk.

Nggak banyak tanya. Gue tahu kadang, orang yang lagi galau itu bukan butuh interogasi. Tapi butuh kehadiran. Gue suruh dia duduk, lalu gue ke belakang—bikinin dia susu panas. Hal kecil, tapi gue inget itu minuman yang dia suka dari dulu.
Waktu gue balik, dia masih duduk di tempat yang sama. Tangannya dingin waktu nyentuh gelas.
Dia minum pelan-pelan, tapi gue bisa liat... kata-kata masih susah keluar dari mulutnya.

Gue nggak paksa. Gue ambil selimut, gue selimutin pelan-pelan punggungnya.
Gue tahu, kalau gue peluk langsung, dia bisa merasa canggung. Tapi lewat selimut itu, gue mau kasih tau: "Lo aman. Lo diterima. Lo nggak sendiri."

"Nggak apa-apa," gue bilang. Suara gue pelan, nyaris seperti bisikan.
"Kalau lo belum siap cerita, ya nggak usah. Kapan pun mau mampir, tinggal ketok aja. Nggak ada bahan ngobrol pun, kita bisa diem bareng. Me-time bareng juga oke kok."


Dia cuma ngangguk. Tapi senyum kecil itu muncul—senyum lega, kayak beban yang berat akhirnya diturunin sedikit.

Sejak malam itu, dia mulai sering mampir ke kamar gue lagi.

Kadang bawa laptop buat ngerjain tugas. Kadang bawa komik, kadang ngajak nonton film yang dulu sering kita tonton. Kadang nggak ngomong apa-apa, cuma duduk, rebahan, atau sekadar scrolling hape sambil kaki nyelonjor ke pinggir kasur.

Dia pelan-pelan balik. Bukan dengan cerita panjang atau pelukan dramatis. Tapi lewat kehadiran kecil yang konsisten. Dan itu cukup.

Kadang dia nginep di kamar gue. Tidur di lantai, pakai bantal sendiri. Gue tahu, itu malam-malam di mana dia capek banget, atau mungkin lagi ada sesuatu yang mengganjal. Gue nggak tanya. Tapi gue juga nggak pergi.

Gue selalu ada.

Karena buat gue, jadi abang bukan soal usia. Tapi soal kesediaan. Kesediaan buat tetap berdiri, meskipun orang yang lo jaga lagi jatuh. Kesediaan buat tetap buka pintu, bahkan setelah sekian lama nggak ada yang ngetok...