Sunday, September 28, 2025

A Beautiful World


“With all its sham, drudgery and broken dreams, it is still a beautiful world...”
Gue inget kutipan itu dari puisi "Desiserata", karangan Max Ehrmann. Gue nggak pernah mikir kalimat kayak gitu punya makna, sampai gue ketemu Pak Arman.


Gue kenal beliau waktu SMA. Gue anak yang males, tukang bolos, sering ngerasa dunia ini nggak adil. Bokap-nyokap sibuk berantem, rumah kayak kapal pecah. Sekolah cuma tempat gue numpang tidur.

Suatu hari, gue ketahuan tidur di perpustakaan. Harusnya gue langsung diusir, tapi ada satu guru tua duduk di depan gue. Pakai kemeja putih lusuh, kacamatanya agak tebal, rambutnya udah banyak uban. Dia ngeliatin gue lama banget, sampai gue risih.

“Nak, tidur boleh, tapi jangan lupa mimpi. Orang yang nggak punya mimpi cuma kayak bangkai yang bisa jalan,” katanya.

Gue langsung manyun. “Pak, saya capek aja. Emang nggak boleh tidur?”

Dia nyengir, matanya bercahaya kayak abis nemu hal lucu.
“Tidur boleh. Tapi coba sekali-sekali bangun buat ngeliat dunia. Siapa tahu nggak seburuk yang kamu pikir.”

Itu pertama kali gue ngerasa ada guru yang nggak nyalahin gue mentah-mentah. Anehnya, tatapan dia bikin gue ngerasa dilihat. Bukan sebagai murid bermasalah, tapi sebagai manusia.

Dari situ, gue makin sering ngobrol sama dia. Namanya Pak Arman. Dia ngajar sejarah, tapi cara dia cerita nggak pernah kayak text book. Kalau ngomong soal perang dunia, dia selalu nyelipin kisah kecil: prajurit yang kangen rumah, surat cinta yang nggak pernah sampai.


“Orang suka mikir sejarah itu angka dan tahun. Padahal isinya manusia. Dan manusia itu rapuh, tapi juga kuat,” katanya suatu kali.

Gue suka bengong tiap denger dia ngomong. Ada sesuatu di matanya—tenang, teduh, tapi dalam. Seakan-akan dia bisa liat sisi baik semua orang, bahkan di anak sebandel gue.

Pernah gue nanya, “Pak, kok bapak nggak pernah marah sama saya? Padahal jelas-jelas saya bego.”

Dia ngakak, suara ketawanya serak.
“Kamu nggak bego nak. Kamu cuma nyimpen energi buat hal yang lebih penting. Tugas bapak adalah bikin kamu inget kalau hidup nggak harus di bawa sendirian. Dunia ini bisa dilihat dengan cara lain. Coba kamu lihat dunia ini seperti bapak melihatnya...”


Itu kalimat gokil banget buat anak SMA kayak gue. Dari situ, setiap gue bingung atau putus asa, gue inget cara pandang dia.

Waktu berlalu, gue lulus. Kuliah, kerja. Sesekali gue masih sempet balik ke sekolah cuma buat nyapa. Pak Arman makin tua, tapi senyumnya nggak pernah berubah. Sampai satu hari, gue dapet kabar: beliau sakit keras.

Gue langsung ke rumah sakit. Di ranjang, tubuhnya udah kurus, tapi matanya masih sama. Tenang, seperti langit malam.

“Kamu udah jadi orang besar sekarang, ya?” katanya pelan.


Gue duduk di sampingnya, berusaha nyembunyiin air mata. “Nggak ada yang besar, Pak. Saya masih suka nyasar. Masih suka ngerasa sendirian.”

Dia narik napas panjang, lalu bilang:
“Kalau kamu nyasar, inget, lihatlah dunia seperti bapak melihatnya... Dunia ini kejam, iya, tapi jangan lupa dia juga baik. Orang baik banyak, kamu juga bisa jadi salah satunya. Jangan biarkan hidup bikin kamu lupa caranya jadi manusia...”

Itu obrolan terakhir kami. Seminggu kemudian, beliau meninggal.

Sekarang, tiap kali gue harus bikin keputusan besar—entah di kerjaan, entah dalam hubungan, bahkan hal sepele kayak cara gue ngomong ke orang lain—gue selalu inget Pak Arman.

Misalnya, pas gue mau marah ke bawahan gue karena proyek kacau, tiba-tiba gue inget tatapannya Pak Arman dulu. Gue tarik napas, terus ganti nada. Gue bilang, “Santai, kita cari cara bareng.” Gue tau, itu bukan gue yang asli. Itu warisan dari beliau.


Malam-malam tertentu, gue suka duduk sendiri sambil ngeliat langit. Gue inget lagi obrolan pertama kami di perpustakaan: “Tidur boleh, tapi jangan lupa mimpi.”

Dan gue sadar, walaupun beliau udah nggak ada, gue masih bisa pinjem matanya kapan pun gue butuh. Tatapan itu nggak pernah hilang, cuma pindah rumah—sekarang tinggal di hati gue. Kehilangan fisiknya emang sakit, tapi warisannya bikin gue tetep bisa jalan.

“With all its sham, drudgery and broken dreams, it is still a beautiful world...”
Dan sampai hari ini, dunia masih keliatan lebih baik karena gue pernah liat dunia lewat mata Pak Arman.


This world is not beautiful, therefore... it is...
Kino ~ Kino no Tabi

Saturday, September 27, 2025

Kupu-Kupu Cacat

Aku masih ingat hari ketika rambut kita jatuh bersamaan di lantai salon kecil dekat sekolah. Kamu tertawa waktu aku bilang bentuk poniku jadi kayak cermin yang retak. Entah kenapa, momen itu menempel di kepalaku seperti aroma hujan yang susah hilang.


Sejak hari itu, hujan seperti tidak pernah berhenti mengikutiku. Di lorong sekolah, suara sepatu bergaung—kadang milikku, kadang milikmu. Kadang aku pikir itu gema dari sesuatu yang sudah lewat, tapi semakin aku berjalan, semakin jelas: ada bayangan kita berdua, terus menempel di belakang.


Aku tidak pernah tahu kenapa kupu-kupu yang terbang terbalik itu terus datang dalam mimpiku. Sayapnya berkilau, tapi arahnya aneh, selalu menantang cahaya dari sisi lain. Mungkin itu aku. Mungkin itu kamu. Atau mungkin kita berdua yang tidak pernah belajar terbang lurus, hanya tahu melawan arah angin.

Pesan singkat kita waktu itu sederhana. “Udah makan?” “Jangan lupa bawa payung.” Tidak ada yang puitis, tidak ada yang besar. Tapi entah kenapa, di antara kalimat-kalimat tanpa makna itu, aku menemukan sesuatu yang mengikat. Seperti melodi tanpa lirik yang tiba-tiba membuatku menangis tanpa alasan jelas.


Hari ini hujan lagi. Sama seperti hari itu, sama seperti ratusan hari setelahnya. Aku berdiri di balik jendela, menatap langit kelabu, sambil berharap bisa menyambungkan sesuatu—antara dulu dan sekarang, antara aku dan kamu.


Kamu yang memberi hidup pada serpihan diriku yang hampir hilang di tengah kegilaan ini. Kamu yang membuatku percaya kalau tiap orang membawa bentuknya sendiri-sendiri: cahaya, suara, luka, dan janji.

Aku sering bertanya-tanya, bisakah kenangan kita bertahan? Bisakah satu perasaan sederhana, yang pernah menyelamatkan kita di lorong sekolah basah itu, tetap utuh meski waktu menelannya perlahan?

Ada hal-hal yang tidak bisa dijangkau tangan manusia, tempat-tempat di dalam hati yang bahkan kata-kata pun takut mendekat. Aku tahu itu. Tapi aku juga tahu—aku menyukai bagian-bagian bisu itu, karena justru di sana kita paling jujur.


Kupu-kupu dengan sayap cacat berputar di langit abu-abu. Aku tidak tahu apakah dia akhirnya akan menemukan cahaya, atau hancur di tengah badai. Tapi setiap kali aku melihatnya, aku teringat: pernah ada seseorang yang membuatku percaya bahwa dalam segala kegilaan ini, ada bentuk kecil yang pantas dijaga.

Kamu.

Dan mungkin itu cukup.


All or Nothing


When I love, I love with all of my heart.
When I hate, I hate to the blood and bones.
When I nurture, I nurture with all of my life.
When I destroy, I destroy completely up to the root...

Aku tidak pernah tahu cara yang setengah-setengah.

Kalau aku mencintai, jantungku sendiri jadi persembahan. Aku beri semuanya—waktu, tenaga, hidupku sendiri kalau perlu. Orang-orang bilang hangatku membuat mereka bertahan, seolah aku matahari kecil yang muncul hanya untuk mereka. Dan aku percaya itu, karena saat cinta tumbuh, aku rela mati untuk menjaganya.

Tapi kalau aku membenci, darahku mendidih. Aku tidak sekadar menolak atau menjauh. Aku merobek, aku cabut sampai ke sumsum tulang. Aku ingin luka itu hilang, akar busuk itu musnah, sampai tak tersisa. Orang mungkin takut, mungkin benci balik padaku. Tapi di kepalaku hanya ada satu suara: “Kalau harus dihancurkan, maka hancurkan sampai habis.”

Kadang aku benci diriku sendiri karenanya. Aku berdiri di depan cermin, melihat dua wajah. Satu bercahaya, menatap penuh kasih. Satu lagi hitam, retak, berapi-api. Dua wajah itu sama-sama milikku.

Aku ingat suatu malam aku duduk di bawah pohon tua. Separuh batangnya hijau rimbun, separuhnya hangus disambar petir. Aku mengusap akarnya yang terbuka, dan aku tertawa pahit. “Beginilah aku,” kataku. Setengah menumbuhkan, setengah menghancurkan.

Dan setiap hari aku harus memilih: tangan mana yang akan kuangkat lebih dulu—tangan yang memberi kehidupan, atau tangan yang meratakan segalanya sampai debu.

Wednesday, September 24, 2025

The World Through Your Eyes

(In honor to those who have shone light on the path of others)

Kadang gue mikir, dunia ini ribet banget. Orang bisa jahat, hidup bisa nyakitin, dan hati gue sering penuh sama kata-kata sedih yang nggak pernah sempet gue keluarin. Tapi tiap kali gue liat mata lu... entah kenapa kayak ada kaca-filter di situ. Kayak gue ngeliat dunia lagi, tapi versi yang lebih ringan.

Mata lu nggak pernah nge-judge. Biarpun gue lagi kacau, lagi nyebelin, atau lagi tenggelam sama pikiran aneh-aneh, tatapan lu tetap sama. Ada kebaikan yang nggak pernah hilang. Itu yang bikin gue betah nongkrong sama lu, walau kadang kita nggak ngomong banyak.

Gue nggak tau apa hidup bakal terus begini. Mungkin suatu hari kita bakal sibuk sendiri, jarang ketemu, atau bahkan kehilangan momen kayak gini. Tapi sebelum itu terjadi, gue cuma mau bilang: selama hati gue penuh sama cerita sedih, gue masih bisa tahan karena hal simpel — lu, dan cara lu memandang dunia.

Jadi kalo nanti malem-malem gue bengong, staring at the stars, sebenernya gue lagi inget momen ini. Lu pernah jadi cahaya kecil yang bikin gue nggak lupa kalau dunia ini nggak cuma tentang luka, tapi juga tentang teman yang ada dalam diam, tapi bikin hati tenang.

The Same Demon

It is both blessing and curse, that we share the same demon…


Kita ketemu pertama kali di sudut paling suram sebuah kafe pinggiran. Gue ingat jelas: lo duduk di meja kecil, ngetik di laptop tua dengan wajah setengah hancur, seolah-olah dunia habis ngunyah lo mentah-mentah. Gue nggak lebih baik—muka gue juga kusut, kopi di tangan cuma alasan biar nggak kelihatan kosong.

Sejak malam itu, kita kayak nemuin cermin yang bisa bicara. Sama-sama insomnia, sama-sama dihantui kegelisahan, sama-sama punya kepala yang nggak pernah berhenti ribut. Apapun yang menghantui kita nggak perlu dijelasin—cukup sekali tatap, kita ngerti.

Awalnya terasa kayak anugerah. Ada yang bisa ngerti tanpa harus buka mulut panjang lebar. Malam-malam panjang jadi lebih ringan karena ada lo di sebelah, ngetawain absurditas hidup. Kita kayak dua prajurit yang tahu medan perang sama, sama-sama berdarah, sama-sama pincang, tapi masih maju bareng.

Tapi makin lama, gue sadar: bayang-bayang itu juga kutukan. Kita jadi saling membakar satu sama lain. Waktu gue mau berhenti, lo masih dorong gas. Waktu lo mau diam, gue malah ngegali lebih dalam. Bukannya saling menyelamatkan, kadang kita malah jadi jangkar yang narik lebih dalam ke bawah.

Meski begitu, gue nggak bisa bilang gue nyesel. Tanpa lo, mungkin gue udah tenggelam sendirian. Dengan lo, setidaknya kita belajar satu hal: beban yang sama bisa bikin kita runtuh, tapi juga bisa jadi alasan kita bertahan.

Dan mungkin… justru di situ letak keindahannya. Kita nggak pernah benar-benar menang. Tapi kita juga nggak pernah kalah sendirian.


Wednesday, September 17, 2025

I Will Stare at the Stars


Your eyes are a mirror in which I can see the world’s reflection
without ever forgetting your kindness
even if my heart is full of sad words
I will stare long and hard at the stars…

~ Kino, Kino no Tabi, Ep.04 - The Joy of Work


Sunday, August 31, 2025

Authentic, Munafik, Jaga Perasaan: Sebuah Batasan


Belakangan ini, kata “authentic” sering banget dipake orang. Banyak yang bangga bilang, “Gue tuh orangnya authentic, ngomong apa adanya, gak bisa munafik.” Biasanya ujung-ujungnya mereka jadi tipe orang yang mulutnya gak ada filter—semua yang dipikir langsung keluar.

Pertanyaannya: emang gitu ya cara jadi authentic? Dan kalau kita milih buat gak ngomong semua isi hati, otomatis kita jadi munafik?

Authentic Itu Apa Sih?


Authentic itu intinya lo hidup selaras sama apa yang lo rasain, lo pikir, dan lo lakuin. Gak pura-pura jadi orang lain, gak bohong sama diri sendiri.

Tapi authentic itu bukan berarti semua isi hati harus dilontarin mentah-mentah. Kalau lo bete terus langsung marah-marah tanpa mikirin efeknya ke orang lain, itu bukan “authentic”—itu ga ada filter.

Authentic itu tentang jujur, tapi juga sadar konteks sosial. Lo tetap jadi diri sendiri, tapi lo pilih cara nyampeinnya biar lebih relate ke orang lain.

Munafik Bukan Cuma Soal Menyembunyikan Perasaan


Banyak orang suka salah kaprah. Katanya kalau kita nahan omongan berarti kita munafik. Padahal, munafik itu lebih ke lo ngomong atau ngelakuin sesuatu yang bertentangan total sama isi hati lo. Biasanya demi keuntungan pribadi atau sekadar pencitraan.

Contoh gampang: lo kesel banget sama bos lo, tapi depan dia lo muji-muji kayak fangirl. Itu baru munafik.

Kalau lo cuma nyaring cara ngomong biar gak nyakitin orang lain, itu bukan munafik. Itu namanya kedewasaan dalam komunikasi.

Menjaga Perasaan Itu Skill


Menjaga perasaan orang bukan berarti lo palsu. Justru itu skill sosial yang penting. Lo sadar orang lain juga punya emosi, jadi lo atur cara ngomong biar pesannya nyampe tanpa bikin luka yang gak perlu.

Analoginya kayak nyuapin anak kecil. Lo gak mungkin kasih dia cabe rawit bulat-bulat, kan? Lo pilih makanan yang bisa dia cerna. Sama juga pas ngomong—lo tetap jujur, tapi dikemas biar orang lain bisa nerima.

Contoh Real: Temen yang Sering Telat
  • Blak-blakan mentah: “Lo ngeselin banget sih, telat mulu. Gue ilfil sama lo.” → Authentic, tapi nyakitin.
  • Pura-pura santai: “Santai aja kok, gue seneng nungguin lo,” padahal lo gondok. → Nah ini baru munafik.
  • Balance: “Bro, gue agak keganggu kalau sering nungguin. Bisa coba lebih on time gak next time?” → Authentic, considerate, gak munafik.

Authentic + Considerate = Kedewasaan

Jadi intinya lo bisa banget kok jadi authentic, considerate, dan gak munafik di saat yang sama. Lo tetap jujur sama diri sendiri, tapi lo juga mikir cara terbaik buat nyampein ke orang lain.

Ini yang namanya kedewasaan emosional. Lo bukan cuma ngomong “gue jujur apa adanya,” tapi juga “gue jujur dengan cara yang orang lain bisa terima.”

Penutup

Nyaring omongan itu bukan berarti lo palsu. Jaga perasaan juga bukan tanda lo munafik. Malah, di situlah seni hidup bareng orang lain—nemuin titik tengah antara jujur sama diri sendiri, empati sama orang lain, dan konsistensi sama prinsip.

Authentic itu ibarat kopi hitam asli. Tapi cara nyajiinnya bisa beda-beda: panas, dingin, pakai gula, atau gak. Selama rasanya tetap kopi, lo masih authentic.

Reframing Result Oriented Definition


Ada satu kata yang sering banget nongol di dunia kerja: Result Oriented. Kata ini biasanya dipakai buat muji orang yang dianggap keren karena bisa mencapai target. Kedengarannya bagus, kan? Tapi jujur aja, buat sebagian orang—including gue—kata ini bisa jadi agak triggering. Bukan karena hasil itu jelek, tapi karena gue sering lihat kata ini dipakai buat membenarkan perilaku yang nggak etis.

Coba bayangin: ada orang yang performancenya bagus banget, hasilnya selalu meledak, tapi cara dia dapetinnya? Nggak peduli sama orang lain, tabrak aturan, bahkan kadang halalin segala cara. Dan yang lebih bikin miris, perusahaan nggak berani nge-sanksi orang kayak gini. Kenapa? Karena dia “best performer”. Akhirnya, kata Result Oriented jadi punya aura toxic: kayak simbol dari budaya “yang penting hasil, bodo amat proses”.


Padahal, kalau dipikir jernih, kata itu sebenarnya netral. Sama kayak pisau: bisa dipakai buat motong sayur, bisa juga buat nusuk orang. Yang bikin kacau bukan orientasi ke result-nya, tapi kalau jadi result at all cost. Itu beda banget.


Jadi, gimana caranya mereframe biar kita nggak alergi sama kata ini?

1. Bedain Orientasi dan Obsesi

Result Oriented harusnya berarti “arah kita menuju hasil”. Arah, bukan obsesi. Kalau obsesi, semua hal selain hasil jadi nggak penting. Kalau orientasi, hasil tetap tujuan, tapi cara menuju ke sana juga dihitung.

2. Tambahin Embel-embel Positif

Kenapa nggak kita tambahin sendiri maknanya? Misalnya: Result Oriented with Integrity. Jadi jelas: hasil penting, tapi cara dapetinnya harus bener. Atau kalau mau lebih fancy: Sustainable Result Oriented.

3. Ingat Balanced Scorecard

Di perusahaan yang sehat, ukuran result itu bukan cuma revenue atau angka output. Ada juga ukuran proses, teamwork, dan sustainability. Jadi orientasi ke hasil bukan berarti ngorbanin nilai lain. Malah justru hasil yang bagus itu yang tercapai dengan cara yang fair, sehat, dan bisa diulang.


4. Jadi Leader yang Redefinisi

Kalau lo jadi pemimpin tim, lo bisa define ulang kata ini. Jangan cuma bilang ke tim: “Pokoknya hasil!” Tapi bilang: “Kita fokus hasil, tapi dengan cara yang bener. Supaya hasilnya bukan cuma instan, tapi tahan lama, dan bisa bikin bangga semua orang.”


Akhirnya, Result Oriented nggak harus jadi kata yang bikin perut mual tiap kali dengar. Lo bisa bikin versi lo sendiri. Misalnya: Impact Oriented, Integrity-driven Result, atau bahkan Human-Centered Achievement. Apapun istilahnya, yang penting hasil itu datang barengan sama cara yang sehat. Karena jujur aja, hasil doang tanpa integritas itu kayak kembang api: meledak keren, tapi cepat hilang dan nyisain asap doang.

It is what it is...


Kadang kita diajarin buat selalu peka sama keadaan sekitar, katanya biar punya inisiatif.
Tapi kalau nggak dijaga, kepekaan itu bisa berubah jadi overthinking.
Kita jadi sibuk nyari makna di balik sesuatu, padahal kadang yah... it is what it is.
Nggak semua hal punya pesan tersembunyi.
Kadang lebih sehat kalau kita belajar memaknai sesuatu sebagaimana adanya saja.

Saturday, August 30, 2025

Inugami: Dari Anjing Ritual ke Anak Manusia


Kalau kita buka lembaran cerita tradisional Jepang, ada satu kisah gelap yang namanya Inugami. Kedengarannya keren, ya? Tapi jangan salah, prosesnya bikin bulu kuduk berdiri. Singkatnya, Inugami adalah semacam "roh peliharaan" yang lahir dari ritual sadis terhadap seekor anjing. Tujuannya? Supaya majikan punya roh pendendam yang bisa dipakai untuk melindungi, menyerang musuh, atau sekadar jadi alat balas dendam.

Prosesnya serem. Anjing dikubur hidup-hidup, cuma lehernya nongol. Lalu dibuat kelaparan, dikasih makanan di depan mata tapi nggak boleh disentuh. Di titik paling menyakitkan, tuannya bisikin kalimat yang intinya: "Penderitaanmu nggak ada apa-apanya dibanding penderitaanku." Lalu si anjing dipenggal, kepalanya ditanam di perempatan biar diinjak orang, biar makin penuh dendam, dan makin kuat rohnya. Setelah ritual selesai, si majikan bisa membersihkan tulangnya, manggil roh anjing itu, lalu menjadikannya Inugami.


Hasilnya? Roh penuh amarah yang tunduk pada majikannya. Tapi ada catatan penting: Inugami sering lepas kendali, dan kalau majikannya lalai, roh itu bisa balik menyerang majikannya sendiri.

Dari Folklore ke Dunia Modern


Sekarang mari kita tarik ke dunia modern. Kita mungkin udah nggak lagi ngubur anjing di perempatan. Tapi praktik menciptakan "Inugami" nggak hilang. Bedanya, objeknya bukan lagi hewan, melainkan… anak manusia.

Pernah dengar orang dewasa ngomong gini ke anak kecil?

"Kamu itu baru diginiin aja udah ngeluh. Udah berontak. Dulu hidup kami itu lebih susah!"

Nah, kalimat-kalimat kayak gini sebenarnya mirip dengan bisikan ke telinga anjing dalam ritual Inugami. Pesannya sama: "Penderitaanmu lebih kecil dibanding penderitaanku." Anak jadi merasa hidupnya bukan miliknya, tapi semacam proyek perpanjangan ambisi orang dewasa.

Inilah yang disebut psikologi modern sebagai trauma transgenerasional. Luka batin yang nggak selesai di satu generasi, diterusin ke generasi berikutnya. Pola asuh penuh tekanan, perbandingan, dan penyangkalan emosi membuat anak tumbuh dengan rasa takut, amarah, atau dendam—emosi yang bahkan bukan hasil pengalaman mereka sendiri, melainkan warisan.


Kalau Inugami dulu dikubur di perempatan jalan biar diinjak orang, anak-anak modern juga tumbuh dengan "terinjak" oleh standar sosial. Nilai sekolah, ekspektasi masyarakat, omongan tetangga—semuanya bikin mereka merasa nggak pernah cukup. Dan seperti Inugami, makin diinjak, makin besar dendamnya.

Efeknya Sama, Medium yang Berbeda

Bedanya cuma medium: dulu pake ritual, sekarang pake kata-kata. Dulu pake anjing, sekarang pake anak manusia. Tapi polanya sama: penderitaan diolah, dikurung, lalu dipakai sebagai energi untuk tujuan tertentu.

Yang lebih menakutkan, sama seperti Inugami yang bisa balik menyerang tuannya, anak-anak yang dipaksa jadi Inugami juga bisa memberontak. Ada yang memutus hubungan dengan keluarga, ada yang depresi berat, ada juga yang menyalurkan kemarahannya ke dunia sekitar. Dan ironisnya, orang dewasa sering nggak sadar bahwa mereka sendiri yang menanam bibit itu.

Cara Keluar dari Lingkaran Inugami


Untungnya, kita nggak harus terjebak selamanya dalam pola ini. Kalau di folklore Inugami itu roh yang susah dikendalikan, di dunia nyata kita bisa break the cycle. Caranya? Dengan berhenti melanjutkan trauma ke generasi berikutnya. Mengakui bahwa penderitaan tiap orang valid, tanpa harus dibanding-bandingkan. Memberi ruang pada anak (atau diri sendiri) untuk punya hidupnya sendiri, bukan sekadar melanjutkan proyek generasi sebelumnya.

Kalau dulu ritual Inugami berakhir dengan penguburan kepala anjing, mungkin ritual baru kita harus berupa "penguburan luka lama". Nggak perlu ngelupain, tapi sadar dan merelakan supaya nggak nular ke generasi berikutnya.

Penutup


Folklore itu sering kali lebih dari sekadar cerita seram. Kadang ia adalah cermin. Inugami bukan cuma kisah tentang roh anjing pendendam, tapi juga metafora bagaimana manusia memelihara trauma dan mewariskannya.

Dulu Inugami dipakai buat balas dendam ke musuh. Sekarang, Inugami itu muncul di ruang tamu, meja makan, lingkungan kerja, bahkan di dalam kepala kita sendiri. Pertanyaannya: mau terus hidup sebagai anak Inugami, atau berani putuskan rantai dan bikin cerita baru?

Thursday, August 28, 2025

Manfaat Senam Pagi

(My dialgoue with ChatGPT)

Kenapa yah kalo gw senam pagi, ke siangnya less ngantuk dan lebih bisa fokus? FYI gw senam pake method five Tibetan yoga...

* Reference : https://en.wikipedia.org/wiki/Five_Tibetan_Rites

***

Karena badan lo basically kayak mesin kopi bro: kalau nggak dipanaskan dulu, alirannya lelet. Begitu lo senam—apalagi yang model Five Tibetan Rites itu—lo nge-boost beberapa hal sekaligus:

  1. Sirkulasi darah naik → jantung lo dipaksa kerja lebih optimal, darah (plus oksigen) ngalir lebih lancar ke otak. Otak yang kebagian oksigen lebih banyak otomatis lebih “melek” dan bisa fokus lebih lama.

  2. Hormon happy keluar → olahraga bikin tubuh lepas endorfin, dopamin, serotonin. Itu paket anti-ngantuk alami. Jadi bukan cuma badan segar, pikiran juga lebih stabil.

  3. Regulasi sistem saraf → gerakan Five Tibetan Yoga itu unik, karena kombinasi stretching + rotasi bikin sistem saraf parasimpatik (yang bikin rileks) dan simpatis (yang bikin waspada) jadi lebih balance. Hasilnya: lo nggak tegang, tapi juga nggak loyo.

  4. Metabolisme aktif lebih cepat → tubuh lo ngerasa kayak udah “start engine” di pagi hari. Jadi di siang hari, lo nggak ngalamin crash yang biasanya datang kalau dari pagi terlalu pasif.

Makanya lo ngerasa less ngantuk + fokus lebih terjaga. Itu kayak bikin tubuh lo punya baseline energy lebih tinggi dibanding kalau lo skip gerakan itu.

Bisa dibilang Five Tibetan Yoga tuh kayak biohacking lawas—orang Tibet udah nemuin cara “nge-charge” energi vital sebelum kita sibuk nyari kopi literan.

Kalau lo mau makin kerasa efeknya, coba kombinasikan:

  • habis yoga, minum air putih yang agak banyak (bukan kopi duluan),

  • makan sarapan high-protein dikit (telur, yoghurt, kacang),

  • baru mulai aktivitas.

Efeknya bisa bikin clarity lebih tahan lama, kayak upgrade “firmware otak”. Kita bedah satu-satu, biar jelas kenapa si Five Tibetan Rites bisa bikin lo kayak dapet power-up.

Rite 1 – Spinning (muter searah jarum jam)
→ Mirip anak kecil main gasing. Gerakan ini merangsang sistem vestibular (alat keseimbangan di telinga dalam). Itu bikin otak lo lebih “alert” dan koordinasi tubuh lebih siap. Kayak pencet tombol ON buat awareness.


Rite 2 – Leg raises (angkat kaki bareng sama kepala)

→ Ini kayak sit-up versi lebih mindful. Fokus ke core & pernapasan. Saat lo tarik napas dalam dan angkat kaki, otot perut ketarik + diafragma kerja lebih optimal. Hasilnya: paru-paru kebuka lebih luas, oksigen masuk lebih banyak. Bonusnya, pencernaan juga kebantu (bye-bye kembung siang hari).


Rite 3 – Camel pose (lutut di lantai, bungkuk ke belakang)
→ Ini backbend yang nge-regangin dada. Efeknya, dada dan paru-paru terbuka, postur tegak, napas lebih lega. Kalau biasanya orang siang-siang nunduk ke layar dan jadi ngantuk, ini gerakan kayak antidote buat itu.


Rite 4 – Tabletop (angkat badan jadi kayak meja)

→ Latihan ini ngeaktifin otot bahu, tangan, core, dan punggung. Tapi yang keren, saat lo angkat dada ke atas, kelenjar tiroid di leher juga “terpijit” halus. Ada teori (semi sains, semi mistis Tibet) bahwa ini bikin metabolisme lebih stabil dan energi lebih konsisten.


Rite 5 – Up dog ke down dog (plank ke bentuk segitiga)

→ Nah ini paling populer di yoga modern. Kombinasi peregangan tulang belakang ke dua arah. Efeknya: aliran darah ke otak naik waktu posisi down dog (kepala di bawah), terus ke jantung paru lagi waktu up dog. Itu kayak pompa alami yang bikin otak lebih segar, fokus lebih tajam.

Kalau dirangkai semua, jadinya semacam mini circuit buat sirkulasi, pernapasan, hormon, dan sistem saraf. Pantesan lo siangan nggak gampang nguap, karena tubuh dari awal udah “tuned in”.

Wednesday, August 27, 2025

Pulang Tapi Nggak Kembali

Gue punya koko. Dari dulu, dia orang yang selalu ada buat gue. Entah gue lagi seneng, lagi sedih, atau cuma lagi pengen ketawa, dia selalu bisa nyambung. Dia selalu ada tiap kali gue butuh.

“Lo ya ko,” gue pernah bilang sambil ngakak waktu kita nongkrong di warkop, “kayak walking Google, tapi ada fitur jokes-nya.”

Dia ketawa lepas, “Kalo gue kayak Google, lo kayak Wikipedia. Banyak nyimpen info random yang entah kenapa bisa nyambung ke semua topik.”


Itu koko gue. Empatik, cerewet, ceria, tapi juga jago banget bikin gue mikir alternatif jalan keluar buat tiap masalah gue. Temen main, temen curhat, sekaligus mentor dadakan.

Sampai satu hari, dia bilang, “Dek, gue harus kerja keluar kota. Lama, mungkin tahunan. Tapi tenang, gue bakal tetap ada buat lu. Kalo ada apa-apa chat gue aja.”

Dengan berat hati, gue anter koko gue ke terminal, dan melepas dia ke luar kota.



Awal-awal sih bener. Kita masih sering chat-an. Gue masih bisa curhat panjang, dia masih bales dengan jokes-jokes khasnya. Rasanya kayak nggak ada jarak.

“Bro, lo udah makan belom? Jangan sampe lupa ya.”
“Lah, lo pikir gue anak kos baru kemaren sore?”
“Hahaha, gue tahu lo bisa ngurus diri. Cuma gue aja yang nggak bisa berhenti ngecekin.”

Chat-chat kayak gitu bikin gue merasa dia masih sama.

Tapi lama-lama, balasan dia makin pendek.
“Ok.”
“Noted.”
“Bisa.”


Awalnya gue mikir, ya wajar, pasti dia sibuk. Gue coba ngertiin. Gue juga jadi lebih milih-milih kapan chat, takut ganggu. Tapi dia tetap berusaha jawab, meski seadanya.

Sampai akhirnya, setelah beberapa tahun, dia pulang.

Gue udah excited banget. Gue bayangin ketawa-ketawa lagi, debat konyol lagi, brainstorming gila-gilaan kayak dulu. Tapi begitu ketemu... rasanya kayak bukan koko gue yang dulu.

Wajahnya tenang, terlalu tenang. Datar. Nggak ada senyum lebarnya yang dulu bisa bikin suasana cair. Dia nggak sedih, nggak marah, tapi juga nggak ceria.

“Koko, apa kabar?” gue nanya hati-hati.

“Baik,” jawabnya singkat.

Kami masih nongkrong kadang-kadang. Gue masih coba ngajak dia main, tapi rasanya… kaku. Dingin. Karena cara interaksi kita berubah. Nggak alami lagi rasanya. Gue coba tanya, “Ko, lo kenapa? Di perantauan ada apa?”

Dia cuma geleng, “Nggak apa-apa.”


Jawaban itu kayak tembok tinggi. Gue tahu ada sesuatu yang dia sembunyiin, tapi dia nggak buka pintu.

Karena penasaran, gue coba cari tahu sendiri. Gue googling di berita-berita, dan akhirnya ketemu. Ternyata, waktu dia kerja sebagai konsultan di luar kota, ada proposal yang dia bikin. Proposal itu dieksekusi sama kliennya, tapi hasilnya... hancur. Kerugian gede, sampai bikin hubungan orang-orang di perusahaan klien itu rusak. Dari situ, koko gue jadi berubah.


Dia jadi hati-hati banget. Setiap kata yang keluar kayak udah difilter sepuluh kali. Setiap ekspresi dijaga ketat. Dia nggak lagi asal bercanda, nggak lagi spontan. Kayak semua sisi “warna” dirinya ditutup, demi menghindari kejadian buruk terulang.

Gue kaget, sedih juga atas apa yang menimpa koko gue.

Beberapa hari setelah gue tahu kabar itu, gue ngajak dia nongkrong lagi di warkop lama, tempat kita dulu sering ketawa tanpa mikir. Gue sengaja lempar topik ringan.

“Ko, inget nggak dulu kita pernah debat setengah jam cuma gara-gara lo yakin Indomie goreng itu lebih cocok pake keju, bukan telur?” gue senyum, berharap dia bakal ngakak kayak dulu.

Dia senyum tipis, terus jawab datar, “Iya. Gue inget.”

Gue tunggu ada kelanjutannya, tapi dia balik lagi ngaduk kopinya pelan-pelan.


“Ko,” gue coba lagi, “lo beneran nggak kangen debat-debat nggak jelas kayak gitu?”

Dia tarik napas, lalu suaranya keluar pelan, “Dek, sekarang gue nggak bisa asal ngomong kayak dulu. Gue takut, kalau kata-kata gue bisa bikin orang salah nangkep.”

Gue diem, dan di dada gue ada rasa sesak. Tapi tiba-tiba, koko mendongak, ngeliatin gue sebentar. Ada senyum tipis banget di wajahnya. Bukan tawa keras yang gue kangenin, tapi cukup buat bikin gue ngerasa dia masih ada di dalam sana.

“...Tapi ya, kalau soal Indomie pake keju, gue masih tetep yakin gue yang bener,” katanya sambil senyum sekilas.


Gue senyum kecil, lega. Itu cuma secuil momen, tapi gue tahu: koko gue yang dulu masih ada. Nggak seutuh dulu, tapi nggak hilang sepenuhnya juga.

Dan gue sadar, entah dia bisa balik seperti dulu atau nggak, dia masih koko gue.