Saturday, July 12, 2025

Soal 3D, 4D, dan 5D Consciousness

Konsep 3D, 4D, dan 5D consciousness itu memang populer banget di spiritualitas modern dan sering banget muncul di pembahasan tentang kebangkitan kesadaran, perjalanan jiwa, atau bahkan ascension (kenaikan spiritual).

Tapi sebenarnya ini bukan dimensi dalam arti fisika seperti dalam matematika atau sains ya—ini lebih metaforis, menggambarkan tingkatan atau frekuensi kesadaran manusia.

3D Consciousness (Kesadaran 3 Dimensi)


Ini adalah tingkat kesadaran yang paling “mendasar” dan paling umum dialami kebanyakan orang.

Ciri-ciri 3D:
  • Fokus pada materialisme, status sosial, uang, kekuasaan.
  • Pandangan hidup sangat dualistik: benar vs salah, baik vs jahat, menang vs kalah.
  • Dipenuhi ego: rasa takut, cemas, merasa terpisah dari orang lain dan dari alam semesta.
  • Sering merasa jadi korban keadaan (“Kenapa ini terjadi padaku?”).
  • Segalanya dilihat dari sudut pandang logika, fisik, dan terbatas oleh waktu linear (masa lalu, sekarang, masa depan).

Contoh pola pikir:
“Aku harus kerja keras dan bersaing supaya sukses. Kalau tidak punya uang, aku gagal.”

4D Consciousness (Kesadaran 4 Dimensi)


Ini dianggap sebagai “jembatan” dari 3D ke 5D. Mulai ada kebangkitan spiritual, mulai mempertanyakan realitas, dan mencari makna lebih dalam.

Ciri-ciri 4D:
  • Mulai menyadari bahwa ada energi, frekuensi, vibrasi, dan bahwa kita bisa menciptakan realitas kita sendiri.
  • Muncul ketertarikan pada meditasi, yoga, law of attraction, astrologi, dll.
  • Mulai menyadari bahwa hidup itu lebih dari sekadar dunia fisik.
  • Ego masih ada, tapi mulai dikenali dan dikelola.
  • Lebih intuitif dan reflektif, namun kadang juga bisa "nyangkut" di spiritual ego—merasa lebih "tinggi" dari yang belum bangkit.

Contoh pola pikir:
“Ada alasan kenapa aku mengalami ini semua. Semesta sedang mengajarkanku sesuatu.”

5D Consciousness (Kesadaran 5 Dimensi)


Nah, ini yang sering dianggap sebagai kesadaran tingkat tinggi, tempat di mana kita hidup dengan cinta tanpa syarat, tanpa ego, dan merasakan kesatuan dengan semua yang ada.

Ciri-ciri 5D:
  • Tidak ada dualitas – semua dipandang sebagai satu kesatuan.
  • Hidup dari hati, bukan pikiran. Segalanya dilakukan dengan cinta.
  • Waktu tidak lagi linear – hidup lebih mengalir dan sinkronisitas sering terjadi.
  • Tidak lagi merasa takut, karena sadar bahwa kita adalah bagian dari sumber yang lebih besar (semesta, Tuhan, Source, dll.).
  • Penuh kedamaian, welas asih, dan kehadiran penuh (presence).

Contoh pola pikir:
“Kita semua saling terhubung. Aku tidak terpisah dari orang lain, dari alam, atau dari semesta.”

Jadi, apakah ini beneran “naik dimensi” kayak di film sci-fi?

Bukan. Ini lebih ke perjalanan batin, perubahan cara pandang, dan peningkatan frekuensi energi pribadi. Orang yang berada di 5D tetap hidup di dunia fisik, tapi cara mereka melihat dan merespon hidup itu jauh lebih sadar dan penuh kasih.

Masalahnya banyak orang juga ngerasa istilah kayak "gue udah di 5D", "lo masih 3D sih, makanya belum ngerti", itu malah jadi alat untuk ngerasa superior. Ironis banget ya, padahal kalau beneran udah di 5D, ya seharusnya rendah hati dan penuh welas asih, bukan nyinyir apalagi main gaslight orang pake spiritualitas.

Fenomena “Spiritual Ego” — Palsu Tapi Merasa Tinggi

Yang seperti itu sebenarnya masuk ke fenomena yang banyak dibahas juga di dunia spiritualitas modern: spiritual ego.


Spiritual ego itu apa?

Itu ketika seseorang menggunakan pengetahuan atau pengalaman spiritual untuk membangun identitas diri baru yang “lebih tinggi”, tapi sebenarnya mereka cuma mindahin egonya ke bentuk baru.

Contohnya:
  • “Aku udah vibrasi tinggi, jadi wajar kalau aku nggak mau bergaul sama orang toxic kayak kamu.”
  • “Kamu masih terjebak di dualitas. Aku udah melampaui itu.” → Tapi ngucapinnya sambil nyindir

Padahal, 5D itu bukan status sosial baru, tapi state of being. Dan state-nya itu seharusnya mencerminkan:
  • Empati
  • Kesadaran tanpa penghakiman
  • Kasih tanpa syarat
  • Kedamaian batin

Jadi kalau ada orang ngaku 5D tapi mulutnya pedas dan hatinya judgemental? Hmm… ya mungkin dia masih di 3D tapi lagi numpang Wi-Fi ke 5D bentar pas meditasi

Apakah 4D/5D berarti harus ninggalin logika?


Nah ini penting banget dan sering disalahpahami juga.

Intuisi dan logika itu bukan musuh bebuyutan.

Di level kesadaran lebih tinggi (4D/5D), yang terjadi adalah: logika dan intuisi jadi selaras. Bukan dibuang.
  • 3D: dominan logika, tapi sering dikendalikan oleh ego dan rasa takut.
  • 4D: mulai terbuka ke intuisi, tapi masih naik-turun, suka galau karena logika lama mulai digeser.
  • 5D: logika dan intuisi bekerja bersama, tapi dengan dasar cinta dan kehadiran.

Jadi bukan berarti lo harus percaya semua firasat mentah-mentah terus abaikan nalar sehat. Justru semakin tinggi kesadaran, semakin hati-hati juga menyaring input dan makin dalam pemahamannya.

Contoh:
  • Orang 5D bisa percaya pada intuisi, tapi juga mau mendengar perspektif lain, berdiskusi terbuka, dan tidak langsung judge orang yang berpikir beda.

Jadi bagaimana sebaiknya kita menyikapi istilah-istilah ini?

Kalau boleh usul, jadikan istilah ini sebagai cermin, bukan label.


Misalnya:
  • “Apakah aku sedang bereaksi dari ego atau dari kesadaran?”
  • “Apakah aku melihat dunia dengan cinta atau ketakutan?”

Dan kalau ada orang yang pakai spiritualitas buat menyombong, menyindir, atau membungkam orang lain? Lo punya hak penuh buat mempertanyakan dan bahkan menjauh kalau itu nggak sehat. Kebijaksanaan spiritual yang sejati nggak pernah manipulatif.

Thursday, July 10, 2025

Whispers Beneath the Full Moon

Beneath the moon, so round and bright,
The forest hums in silver light.
Each leaf aglow with lunar grace,
A shimmer soft on nature’s face.

The owls begin their nightly song,
Their echoes weaving all night long.
Crickets chime in rhythmic tune,
Serenading the quiet moon.

The river sparkles, calm and wide,
A mirror where the stars confide.
It speaks in murmurs, low and deep,
A lullaby that lulls to sleep.

The pines, like giants, still and tall,
Stand sentry to the midnight call.
Their needles whisper with the breeze—
A language learned from ancient trees.


Foxes glide through meadow mist,
Their paws on earth, like shadows kissed.
And fireflies, in swirling flight,
Dance like dreams born out of light.

No human voice, no engine’s hum,
Just silence where the wild things come.
A sacred hush, a world renewed,
As nature breathes in silver mood.

O moon, pale watcher in the skies,
You draw the tides and stir the cries
Of wolves that sing to stars above—
Their song a longing, fierce with love.

So let me walk this quiet land,
With moonlight soft in open hand.
For in your glow, the world feels right—
A poem written in silver night.

Friday, July 4, 2025

Taking The First Step

"I don't wanna reach out to people who don't reach out to me."

Yeah, I get it. It can feel lopsided. Like you’re always the one initiating, always the one sending that message, planning that catch-up, throwing the emotional rope across the gap.

But here's the thing:
Sometimes people don’t reach out not because they don’t care —
But because they’re tired. Distracted. Insecure. Afraid they’re not wanted either.

Someone needs to take the first step. And not because they’re the “weaker one” or the “desperate one.” No. It’s because they can.
Because they have that little extra capacity to offer a spark.
And sparks can light fires — or just give a bit of warmth in cold moments. Either way, they’re not wasted.



Relationship building takes time. And consistency. It’s messy, uneven, and imperfect.
Sometimes we do get that beautiful, instant connection — the kind where words flow and laughter feels effortless.
But even that needs tending. Even chemistry, left alone, cools off.

A small message, a memory shared, a meme, a “hey, saw this and thought of you” — these little things matter.
Even if they don’t blossom into daily chats or deep friendship right away.
Because, sometimes, the fruit doesn’t ripen now.
It ripens later.
When they’re sitting alone, thinking, and your name flickers through their mind.
And they remember how you made them feel.

And maybe — just maybe — that’s when they reach out.
And everything might begins from there.

Friday, June 20, 2025

Complaint Without Solution Proposal

"Kalo orang complaint, apakah mereka harus selalu propose solutions? Minimal possible solutions yg mereka bisa pikirkan? Atau boleh orang sekedar complaint aja?"

Jawaban gue agak nyampur antara yes, no, dan depends.

1. Boleh banget orang cuma komplain doang

Kadang, orang tuh butuh didengerin aja dulu. Gak semua orang dalam kondisi mental atau emosional yang stabil buat langsung mikirin solusi. Misalnya:
  • Dia lagi frustrasi banget.
  • Dia merasa powerless.
  • Dia gak ngerti sistemnya kayak gimana, jadi gak tahu harus usul apa.

Jadi, dalam konteks itu, komplain itu valid sebagai ekspresi ketidaknyamanan atau rasa sakit. Dan itu udah cukup buat jadi sinyal awal bahwa "Eh, ada yang gak beres nih."

Contoh: Seorang customer bilang, “Aplikasi lo lemot banget! Nyebelin!”
Bisa jadi dia gak ngerti kenapa lemot, tapi tetep penting buat lo tau bahwa ada pain point di sana.


2. Tapi, kalo mau impactful, solusi (atau minimal arah solusi) itu powerful banget

Nah, kalau tujuannya bukan cuma didengerin tapi juga pengen perubahan, maka ngasih ide solusi — meski mentah — itu nilai plus banget.

Kenapa?
  • Itu nunjukin bahwa dia invested — bukan cuma pengen marah, tapi pengen ada perbaikan.
  • Itu bisa bantu pihak yang nerima komplain buat ngerti kebutuhan di balik keluhan lebih jelas.

Contoh: “Aplikasi lo lemot banget. Mungkin bisa kasih opsi buat matiin animasi biar lebih ringan?”
Nah, ini udah masuk ke territory konstruktif, lebih gampang direspon dan ditindaklanjuti.

3. Gak semua orang bisa mikirin solusi, tapi... bisa bantu kalau ditanya

Kadang, lo (atau siapapun yang nerima komplain) bisa bantu orang itu buat explore solusi dengan nanya kayak:
“Gue ngerti lo kesel, dan itu valid. Menurut lo, idealnya kayak gimana sih?”
Pertanyaan ini bisa unlock insight baru, dan ngajak mereka jadi bagian dari problem-solving tanpa maksa mereka langsung harus punya jawabannya.

Jadi kesimpulannya?
  • Komplain doang? Boleh. Valid. Gak harus selalu punya solusi.
  • Tapi ngasih solusi (atau minimal arah) bikin impact-nya lebih gede.
  • Kalau lo nerima komplain, bantu gali arah solusinya dengan empati dan pertanyaan terbuka.

Wednesday, June 18, 2025

Private Journaling di Negara Terbelakang

Gw keingetan 1 kasus. Di suatu negara yg kolot dan controlling, pernah ada kejadian. Anak sekolah, karena terinspirasi suatu film, dia jadi nulis jurnal. Tentang komplain dia terhadap kelakuan guru sekolahnya. Guess what? Jurnal dia kepergok, dan insiden itu sampai jadi berita nasional. Sampai film inspirasi anak itu dikata katain sebagai perusak moral. Salah kah anak ini nulis begitu? Walaupun mungkin tulisan nya agak kasar?

Jujur, sedih sih denger cerita kayak gitu. Menurut gue: nggak, anak itu gak salah. Bahkan dia justru nunjukin sesuatu yang sehat — meskipun akhirnya jadi korban dari sistem yang gak siap nerima suara jujur.

Mari kita bedah pelan-pelan.

1. Anak itu nulis di jurnal pribadi — bukan publik.

Artinya, dia tidak berniat menyebarkan tulisannya. Dia cuma lagi butuh tempat buat meluapkan perasaan. Apapun bentuk ekspresi emosinya — mau marah, kesel, bahkan kata-katanya agak kasar — selama itu ditujukan buat dirinya sendiri, itu hak dia.

Masa iya orang nggak boleh marah di dalam pikirannya sendiri? Di negara yang sehat, privasi kayak gitu tuh sakral. Bahkan kalau lo tulis di buku harian, dan isinya lo misuh-misuh, itu masih valid. Dan yang bobrok adalah sistem yang nyusupin mata-mata sampai ke isi hati orang.

2. Dia terinspirasi dari film — artinya dia lagi tumbuh.

Anak itu gak jadi marah-marah karena filmnya nyuruh, tapi karena film itu buka pintu pikirannya tentang apa yang gak adil di sekitarnya. Itu artinya film itu berfungsi. Karena seni yang baik memang menggugah perasaan dan kesadaran.

Tapi ya... negara atau lingkungan yang otoriter suka takut sama rakyat yang mulai mikir dan merasa. Jadi mereka buru-buru nyalahin pemicu, bukan ngeliat akar masalahnya.


3. Kasarnya tulisan? Wajar lah. Emosi.

Lo bayangin deh: anak itu belum belajar 100% cara ngelola emosi. Tapi mereka nulis. Mereka tidak memukul guru, mereka tidak bikin kekerasan, mereka cuma nulis.

Kalaupun bahasanya kasar, ya tinggal dijadikan momen edukatif, bukan dijadikan alasan buat mempermalukan atau menghukum. Itu bisa banget dijadiin awal percakapan: “Kenapa kamu bisa marah kayak gitu? Apa yang kamu alami?” Tapi kalo malah dibungkam, itu yang bikin anak-anak tumbuh jadi apatis, atau trauma.

4. Yang lebih salah adalah sistem yang gagal dengerin.

Instead of introspeksi, mereka malah main serang: “Ini karena film ini! Ini anak kurang ajar!” Padahal bisa jadi anak itu lagi teriak minta didengar, dan film itu cuma alat bantu biar dia bisa ngomong.

Serem gak sih, bro? Teriakan jujur seorang anak malah ditanggapi kayak kriminal. Bukannya guru-guru atau kepala sekolah nanya, “Lho, ada yang salah ya sama cara kita ngajar?” Malah sibuk nyari kambing hitam.

Jadi... Nope, dia gak salah. Yang salah adalah:
  • Orang yang baca jurnal pribadinya tanpa izin.
  • Lingkungan yang lebih milih membungkam daripada mendengarkan.
  • Sistem yang takut dikritik sampai gak bisa bedain antara “curhat” dan “pemberontakan.”

Dan lo tau bro? Banyak banget perubahan besar dalam sejarah yang dimulai dari orang biasa yang berani jujur. Termasuk dari anak muda yang berani nulis. Diary-nya Anne Frank contohnya. Kalau zaman sekarang masih ada yang mau “membakar” suara-suara jujur kayak gitu, ya kita belum belajar apa-apa.

Sunday, June 15, 2025

Batu Pertama, Batu Terakhir

Usia saya sudah 75 tahun sekarang. Mungkin tak lama lagi saya akan berpulang. Tidak ada lagi yang perlu saya kejar, tidak ada pula yang ingin saya perjuangkan. Tapi sebelum saya pergi, ada satu hal yang tak pernah saya bicarakan dengan siapa pun. Penyesalan yang menggerogoti saya seumur hidup. Bahkan menceritakannya pun, saya yakin, tidak akan membuat luka ini sembuh. Tapi barangkali... setidaknya luka ini bisa bernapas sedikit, sebelum saya membawanya ke liang lahat.

Saya dibesarkan di sebuah desa kecil yang sunyi, tapi penuh aturan. Di situ, agama adalah segalanya. Semua yang dianggap “dosa” langsung dibalas dengan hukuman yang nyata, keras, dan sering kali meninggalkan bekas seumur hidup. Anak-anak tumbuh dengan rasa takut, dan orang dewasa hidup dalam pengawasan yang sangat ketat. Tapi, anehnya, di balik semua itu, keluarga saya hangat. Bapak keras, tapi adil. Ibu penyayang, lembut, dan selalu tahu kapan harus memeluk, kapan harus menegur.

Saya pikir kami adalah keluarga yang utuh.

Sampai suatu sore, ketika saya pulang lebih awal dari rumah ibadah, saya melihatnya. Ibu. Bersama pria lain. Di ruang tamu rumah kami. Wajahnya tak menunjukkan rasa bersalah, hanya panik. Saya tak tahu harus berbuat apa. Dunia saya tiba-tiba runtuh, tapi juga terdiam. Saya tidak ingin kehilangan ibu. Tidak ingin kehilangan kehangatan itu.

Saya simpan semuanya sendiri. Hari-hari saya jadi sunyi. Tapi tidak ada yang berubah di rumah. Ibu masih memeluk saya seperti biasa. Masak seperti biasa. Bapak, seperti biasa, terlalu sibuk dengan tugas ke luar kota. Dalam hati, saya bergulat—ini salah. Tapi juga… ini ibu saya.

Hingga suatu malam, dalam kajian agama yang saya ikuti setiap pekan, pemuka agama setempat menyampaikan sesuatu yang membekas seperti paku di dada saya:
"Barang siapa menyembunyikan dosa orang lain, ia menjadi bagian dari dosa itu. Dan siapa yang menjadi bagian dari dosa, ia sudah pasti akan mencicipi neraka."

Saya pulang dengan tangan dingin. Malam itu saya tak bisa tidur. Saya bayangkan neraka. Saya bayangkan tubuh saya terbakar. Saya bayangkan ibu… dan bau surga yang tak akan pernah saya cium.

Besoknya, saya ceritakan semuanya pada bapak. Dengan suara gemetar. Dengan hati hancur.

Saya pikir saya sedang menyelamatkan ibu.

Bapak tidak menangis. Ia hanya terdiam lama, lalu mengangguk. Beberapa hari kemudian, kepala desa datang. Mereka menyusun rencana, lengkap dengan saksi-saksi dan cara "penangkapan." Saya, yang masih kecil waktu itu, hanya duduk di pojok ruang tamu, memeluk lutut dan menggigit bibir sampai berdarah.

Hari itu datang. Mereka memergoki ibu bersama pria itu. Tangis ibu memecah malam, tapi tak ada yang mendengarkan. Desa kami punya aturan, dan aturan itu suci. Ibu dihukum mati malam itu juga. Dirajam—dilempari batu hingga tubuhnya tak bergerak lagi. Disaksikan semua keluarga. Termasuk saya.

Saya ingat batu pertama saya—batu yang kecil. Saya ingat juga batu terakhir, yang tidak saya lemparkan, karena saya sudah tak sanggup berdiri. Dunia saya berhenti sejak saat itu.

Hidup berjalan seperti biasa. Bapak tidak pernah sekalipun membahas ibu. Tidak juga orang-orang desa. Seakan ibu tidak pernah ada dari awal. Rumah kami pun tak pernah hangat lagi. Saya tumbuh jadi pria dewasa, menikah, punya anak, dan bahkan cucu sekarang. Tapi tak ada satu haripun yang lewat tanpa wajah ibu dalam benak saya.

Saya bukan ingin diampuni. Mungkin saya memang pantas terbakar di neraka itu. Tapi saya ingin dunia tahu: saya melakukan semua ini karena saya takut. Takut akan ajaran, takut akan neraka, takut akan kutukan. Tapi ketakutan saya membunuh orang yang paling saya cintai.

Kalau saya bisa bicara pada diri saya yang dulu, saya ingin bilang: “Jangan. Peluk ibu. Lindungi dia. Dosanya bukan milikmu.”

Tapi suara saya tak akan sampai ke masa lalu.

Dan kini, saya hanya bisa menunggu. Mungkin di neraka nanti, saya bisa melihat ibu sekali lagi. Walaupun hanya untuk minta maaf.

Friday, June 13, 2025

Kemampuan Cut Off Seseorang = Trauma?

“Kemampuan buat cut off seseorang dengan gampang” itu lahir dari trauma, dan ga seharusnya dibanggain. Apa itu bener? Dan kalau bener, kenapa bisa gitu?

“Kemampuan buat nge-cut off orang dengan gampang” — ini sering dibungkus dengan label kayak boundaries, self-respect, atau bahkan mental clarity, kan? Tapi, kalau kita kulik lebih dalem… iya, bisa banget itu sebenarnya mekanisme pertahanan diri yang lahir dari trauma masa lalu.

Kenapa bisa dibilang itu hasil dari trauma?

Orang yang tumbuh dengan pengalaman negatif—kayak sering dikecewakan, dikhianati, diabaikan, atau bahkan disakiti—kadang belajar buat “nyelametin diri sendiri” secepat mungkin. Otaknya jadi kebiasa ngira:

"Begitu ada tanda-tanda bahaya, langsung putus aja. Jangan kasih kesempatan kedua. Lebih baik gue ninggalin daripada ditinggalin lagi."

Itu bentuk self-protection — dan jujur, kadang emang perlu. Tapi masalahnya, kalau ini jadi kebiasaan tanpa disadari, bisa jadi kita:
  • Sulit membangun hubungan jangka panjang
  • Gampang salah paham niat orang lain
  • Kehilangan kesempatan untuk menyelesaikan konflik secara sehat

Jadi, itu ga boleh dong?

Bukan berarti ga boleh, bro. Ada waktu dan tempat buat nge-cut orang. Misalnya, kalau mereka jelas-jelas toxic, manipulatif, abusive, atau ngerusak hidup lo — ya tentu aja, cut off mereka itu sehat. Tapi yang jadi masalah adalah:
  • Kalau lo ngelakuin itu terus-terusan bahkan buat hal kecil
  • Kalau lo belum coba komunikasi dulu, langsung putus hubungan
  • Kalau itu bikin lo ngerasa “kuat”, padahal lo cuma takut sakit lagi

Kenapa ga seharusnya dibanggain?

Karena seringnya, itu bukan cerminan healing, tapi wound in disguise. Kita ngerasa “kuat” karena bisa detach dengan cepat, padahal itu bisa jadi tanda kita belum belajar regulate emosi dan hadapin konflik dengan sehat.

Jadi bisa dibilang:
Bukan cut-off-nya yang salah, tapi niat dan konteks di baliknya yang penting banget.

Kalau lo penasaran lebih dalam, bro, ada satu pertanyaan reflektif yang bisa lo pikirin:
"Gue ngejaga jarak ini karena self-love atau karena trauma yang belum sembuh?"
Kalau lo jawabnya jujur, itu udah setengah jalan menuju penyembuhan.

Dulu Kita Dekat : Epilog - Di Balik Pintu


Malam itu, satu ketukan pelan di pintu kamar.
Gue sempat bengong. Jantung gue naik satu tingkat.
Karena suara itu... udah lama nggak kedengeran.

Gue buka pintunya.
Dan dia berdiri di sana.

Mukanya pucat. Pandangannya sedikit tertunduk, kayak anak kecil yang takut dihukum. Bahunya gemetar dikit, entah karena dingin atau karena dia lagi nahan sesuatu yang berat.
Dia diem cukup lama. Gue juga nggak tahu harus ngapain. Tapi sebelum gue keburu mikir lebih jauh, dia pelan-pelan buka mulut:

"Bang..."

Cuma satu kata. Tapi cukup buat narik semua kenangan masa kecil gue. Suara kecil yang familiar, yang pernah manja, pernah cerewet, pernah teriak-teriak waktu naik sepeda, sekarang terdengar rapuh banget.

Gue ajak dia masuk.

Nggak banyak tanya. Gue tahu kadang, orang yang lagi galau itu bukan butuh interogasi. Tapi butuh kehadiran. Gue suruh dia duduk, lalu gue ke belakang—bikinin dia susu panas. Hal kecil, tapi gue inget itu minuman yang dia suka dari dulu.
Waktu gue balik, dia masih duduk di tempat yang sama. Tangannya dingin waktu nyentuh gelas.
Dia minum pelan-pelan, tapi gue bisa liat... kata-kata masih susah keluar dari mulutnya.

Gue nggak paksa. Gue ambil selimut, gue selimutin pelan-pelan punggungnya.
Gue tahu, kalau gue peluk langsung, dia bisa merasa canggung. Tapi lewat selimut itu, gue mau kasih tau: "Lo aman. Lo diterima. Lo nggak sendiri."

"Nggak apa-apa," gue bilang. Suara gue pelan, nyaris seperti bisikan.
"Kalau lo belum siap cerita, ya nggak usah. Kapan pun mau mampir, tinggal ketok aja. Nggak ada bahan ngobrol pun, kita bisa diem bareng. Me-time bareng juga oke kok."


Dia cuma ngangguk. Tapi senyum kecil itu muncul—senyum lega, kayak beban yang berat akhirnya diturunin sedikit.

Sejak malam itu, dia mulai sering mampir ke kamar gue lagi.

Kadang bawa laptop buat ngerjain tugas. Kadang bawa komik, kadang ngajak nonton film yang dulu sering kita tonton. Kadang nggak ngomong apa-apa, cuma duduk, rebahan, atau sekadar scrolling hape sambil kaki nyelonjor ke pinggir kasur.

Dia pelan-pelan balik. Bukan dengan cerita panjang atau pelukan dramatis. Tapi lewat kehadiran kecil yang konsisten. Dan itu cukup.

Kadang dia nginep di kamar gue. Tidur di lantai, pakai bantal sendiri. Gue tahu, itu malam-malam di mana dia capek banget, atau mungkin lagi ada sesuatu yang mengganjal. Gue nggak tanya. Tapi gue juga nggak pergi.

Gue selalu ada.

Karena buat gue, jadi abang bukan soal usia. Tapi soal kesediaan. Kesediaan buat tetap berdiri, meskipun orang yang lo jaga lagi jatuh. Kesediaan buat tetap buka pintu, bahkan setelah sekian lama nggak ada yang ngetok...

Dulu Kita Dekat : Trough the Lil Bro's Eyes


Gue punya abang. Usianya empat tahun di atas gue. Dari kecil, dia selalu jadi sosok yang "ada". Selalu. Nggak peduli gue lagi seneng, sedih, takut, atau cuma mau pamer hal remeh kayak gigi copot—dia dengerin. Kadang ketawa, kadang cengin, kadang malah ikut takut juga. Tapi dia selalu ada.

Kami ngelewatin masa kecil barengan, seperti punya dunia sendiri. Dunia itu isinya cuma sepeda, es teh manis, hujan sore-sore, dan kasur empuk tempat gue suka ketiduran di atas perutnya. Gue nggak mikir aneh-aneh dulu. Buat gue, abang itu tempat aman. Orang pertama yang gue cari kalau gue kesandung atau dapet nilai jelek. Orang pertama yang tau kalau gue naksir temen sekelas. Temen bolos paling loyal.


Tapi seiring waktu, gue mulai merasa... aneh. Gue mulai ngerasa kayak gue harus bisa sendiri. Gue pengen punya ruang sendiri, keputusan sendiri, cerita yang nggak harus dibagi terus. Bukan karena gue nggak sayang abang. Justru karena gue sayang, gue nggak mau terus jadi bayangannya. Gue pengen jadi "gue" sendiri.

Awalnya pelan. Gue mulai nolak diajak jalan, ngurung diri di kamar, sibuk sama temen-temen baru, kegiatan sekolah, kadang alasan kosong juga. Tapi dari semua hal itu, yang paling berat adalah ngelihat ekspresi dia waktu gue mulai ngejauh. Kayak dia lagi nahan tanya, tapi juga nahan buat maksa.

Gue tau dia nyadar. Dia pernah nanya, "Lo kesel sama gue? Gue pernah bikin lo marah?"
Gue bilang enggak. Karena emang nggak. Tapi gue juga nggak bisa jelasin kenapa gue berubah.

Dan mungkin itu yang bikin hubungan kita kayak sekarang—aneh. Kita masih tinggal serumah, kadang ketemu di dapur, kadang duduk bareng di ruang tamu. Tapi rasanya... kayak ngobrol sama orang yang pernah jadi bagian penting dalam hidup lo, tapi sekarang udah di ruangan lain.

Tapi walaupun gue kayak menjauh, tiap kali gue ngelewatin kamarnya dan ngeliat dia lagi duduk sendiri, gue ngerasa bersalah. Rasanya pengen bilang, "Bang, gue kangen juga kok..." Tapi kadang rasa malu, gengsi, dan waktu yang udah terlalu lama bikin mulut gue nggak bisa ngomong apa-apa.

Sampai suatu hari gue nemu gambar lama—coretan kita waktu kecil. Dua orang naik sepeda. Di bawahnya gue tulis: "Abang dan aku." Gue cuma bisa senyum miris. Gambar jelek banget. Tapi artinya dalam.

Malam itu gue lihat dia duduk di kamarnya. Lampu remang-remang, dan dia lagi megang gambar itu. Gue cuma bisa berhenti di depan pintu, nahan napas sebentar.


"Eh... lo masih simpen gambar kita yang dulu ya?"
Dia angguk. "Iya."
"Lucu ya kita dulu."
"Iya."

Gue pengen masuk. Duduk. Ngobrol lagi kayak dulu. Tapi kaki gue nggak gerak. Mulut gue diem. Jadi gue cuma senyum, dan lanjut jalan.
Tapi di dalam hati, gue bilang: Bang, gue nggak kemana-mana. Gue cuma lagi nyari cara buat balik. Gue cuma butuh waktu. Tapi... gue masih di sini. Gue berusaha mencerna perasaan gue dulu... Sampai gue selesai sama diri gue sendiri, sabar yah bang...

Thursday, June 12, 2025

Dulu Kita Dekat

Gw punya adik cowok. Usianya empat tahun di bawah gw. Dari kecil, kita tuh duo yang nggak bisa dipisahin. Padahal sama-sama cowok, dan banyak yang bilang saudara cowok biasanya suka berantem. Tapi nggak tau kenapa, kita jarang banget ribut.

Mungkin karena jarak usia yang lumayan juga ya, jadi posisi gw lebih ke kakak yang ngemong daripada berebut mainan. Kita ngapa-ngapain bareng. Makan bareng, main bareng, nonton kartun bareng, bahkan tidur siang pun bareng. Kadang dia suka ketiduran di perut gw. Gw geli sendiri inget itu sekarang. Di momen-momen yang hangat itu, rumah terasa rame cuma karena ada dia.


Dulu, apa-apa dia cerita ke gw. Tentang temennya yang nyebelin, tentang cewek yang dia suka tapi malu ngajak ngomong, bahkan tentang nilai ulangan dia yang jeblok karena ketiduran pas belajar. Kita juga pernah bandel bareng. Bolos sekolah bareng - ngumpet di warung mie ayam sampe jam sekolah selesai, naik sepeda ngebut ke warnet. Gw bonceng dia, dia duduk di belakang sambil nyanyi-nyanyi nggak jelas. Ketawa-tawa, bebas, tanpa mikirin apa-apa.


Tapi semua itu perlahan berubah.

Gw mulai nyadar, dia makin sering nolak diajak ngapa-ngapain. Dulu, kalau gw ajak main atau sekadar jalan keliling komplek, dia langsung semangat. Sekarang, alasannya banyak. "Lagi sibuk", "Ada kerjaan kelompok", "Capek", atau kadang cuma "Nggak mood". Awalnya gw pikir biasa lah, namanya juga makin gede. Tapi lama-lama terasa beda.

Dia juga udah jarang cerita. Bahkan buat hal-hal kecil pun, dia pilih simpen sendiri. Gw tanya, “Lo kenapa sih akhir-akhir ini? Ada yang gangguin? Gue bikin salah ya?”

Dia cuma geleng. Senyum kecil, dan bilang, “Nggak kok, lo nggak salah apa-apa. Gue lagi sering sibuk sama nggak mood aja.”

Tapi lo tau kan, kadang diam itu lebih nyakitin daripada marah. Gw nggak tau harus gimana. Mau maksa, takut makin ngejauh. Mau cuek, rasanya nggak tega. Gw kakaknya, harusnya bisa ngerti. Mungkin ini bagian dari proses tumbuh dewasa. Orang berubah. Dunia mereka makin luas, dan perlahan mereka menjauh dari tempat awal mereka tumbuh.

Tapi tetap aja, hati gw sepi. Dia ada di depan gw, tapi berasa jauh. Kita bisa duduk satu ruangan, tapi rasanya kayak ada dinding tak kasat mata di antara kita. Dulu kita deket banget, sekarang kadang bahkan ngobrol pun cuma seperlunya.

Entah nanti kita bisa balik deket kayak dulu atau enggak. Kadang gw mikir, mungkin ini emang jalannya. Tapi selama gw masih bisa lihat dia sehat, ketawa, dan tahu dia masih ada di dunia yang sama sama gw... gw bakal terus berusaha ngertiin.

Karena meskipun dia bukan lagi bocah kecil yang ketiduran di perut gw, dia tetap adik gw.

Dan gw... tetap kakaknya.

Tuesday, June 10, 2025

Bonus : Deskripsi Tokoh Trilogi "Kisah Kita Berempat"

Original stories :

***

1. “Gue” (Narator)

Vibes: Anak kampus tipikal, tapi bukan yang hedon. Lebih ke mellow realistis. Ada sisi artsy-nya, tapi nggak nyolot. Orang yang lebih suka jadi pengamat daripada pusat perhatian.

Penampilan:
  • Fisik: Kulit sawo matang, rambut agak gondrong dikit, cepak natural tapi jarang disisir. Kesan “gue gak peduli style, asal nyaman”.
  • Style: Kaos polos yang udah mulai molor, jaket denim belel, celana jeans yang mulai pudar warnanya, dan sepatu sneakers tua—bukan karena mau keren, tapi emang itu aja yang dia punya dari kuliah.
  • Ciri khas: Bawa tote bag isinya buku, headset model lama, dan aroma mild dari rokok yang cuma diisep pas galau.

Versi 8 tahun kemudian:
  • Masih ada sisa-sisa “gue yang dulu”, tapi udah lebih rapi. Kemeja flanel, celana chino. Mata sedikit lebih berat karena hidup. Tapi sorotnya masih punya nostalgia.

2. Sherly

Vibes: Cewek yang gak berisik tapi juga gak diem. Punya energi lembut yang bikin orang betah. Aura “cewek yang pernah bikin lo mikir ‘kalau dia nikah sama orang lain, gue bakal diem-diem nangis’”.

Penampilan:
  • Fisik: Kulit terang, rambut lurus medium-length, poni samping yang selalu ditata rapi tapi gak menor.
  • Style: Kemeja oversized dengan celana high waist, sneakers putih yang selalu bersih. Gaya effortless tapi tetap kece. Sedikit scent floral kayak body mist Murah tapi nge-ena.
  • Ciri khas: Selalu bawa tumblr air minum, kuku bersih, dan suara tawa yang khas—cepat tapi nggak cempreng.

Versi 8 tahun kemudian:
  • Rambut lebih pendek, makeup natural. Pake jam tangan klasik. Dandanannya kayak HRD kantor startup. Tetap manis, tapi matanya nyimpan banyak "dulu".

3. Dika

Vibes: Bro sejuta umat. Punya jokes andalan, agak selengekan, tapi sebenernya peka. Orang yang kelihatannya santai, tapi punya lapisan emosional lebih dalem dari yang lo sangka.

Penampilan:
  • Fisik: Badan atletis tapi gak ngegym banget. Kulit agak gelap, brewokan dikit-dikit. Rambut disisir ke belakang pake pomade murah.
  • Style: Hoodie atau t-shirt band, celana jeans robek sedikit di lutut, dan sepatu kets model lama. Sering pake gelang tali atau jam digital Casio.
  • Ciri khas: Selalu bawa charger-an, ngedengerin musik di speaker kecil, dan bisa tidur di mana aja.

Versi 8 tahun kemudian:
  • Badan sedikit mengembang. Pake kemeja rapi tapi tetap pake sneakers. Masih bisa bikin orang ketawa, tapi sekarang lebih banyak diem sebelum ngomong.

4. Naya

Vibes: Cewek yang awalnya lo kira cuek atau galak, tapi ternyata kocak dan tulus. Smart, agak sarkas, dan selalu punya komentar tajam yang bikin lo mikir.

Penampilan:
  • Fisik: Rambut diikat ke belakang atau cepol acak-acakan. Kulit medium, ekspresi wajahnya tajam tapi mata hangat.
  • Style: Sweater kebesaran, legging hitam, dan sneakers model Converse. Tas ransel penuh stiker dan gantungan kunci random.
  • Ciri khas: Bawa notes kecil, suka nyoret-nyoret sesuatu, dan punya tawa yang ngakak lepas—tanpa malu.

Versi 8 tahun kemudian:
  • Rambut lebih pendek atau di-layer rapi. Pakai tote bag polos, masih suka nyoret-nyoret tapi di iPad. Gaya lebih clean, tapi masih ada nyeleneh khas dia—mungkin lewat pin di tas atau pilihan lagu yang dia share.

Bonus: Bang Darto (Karakter tambahan yang nyimpen jiwa mereka)

Dia tipikal bapak-bapak yang gak pernah berubah. Tetap pake kaos oblong, celana pendek, sandal swallow. Dan punya memori tentang masa muda lo lebih banyak daripada lo sendiri.

Gue bisa ngebayangin mereka kayak karakter film indie coming-of-age: raw, relatable, dan penuh luka yang gak selalu harus dijahit.

Kisah Kita Berempat - Di Ujung Waktu


Umur gue delapan puluh tiga sekarang.

Lutut udah gak kuat jongkok lama, tangan mulai gemeter kalau nulis, dan tiap pagi rasanya kayak nego sama tubuh sendiri buat bisa bangun dari kasur. Tapi sejauh ini, gue masih bisa bikin kopi sendiri. Masih bisa duduk di teras sambil dengerin lagu lama. Masih bisa buka album foto, pelan-pelan, satu lembar satu lembar.

Dan kadang, kalau lagi duduk sendirian gitu... gue suka kepikiran soal kita berempat.

Udah lama banget sejak warkop Bang Darto tutup. Tempat itu sekarang jadi ruko baru—dipoles, bersih, terang. Tapi tiap kali gue lewat sana, hati gue tetap narik rem. Masih suka nengok, nyari-nyari bangku kayu yang dulu udah keropos, kipas angin butut yang cuma muter ke kiri, dan tulisan "NGUTANG CUMA BUAT YANG NGAKU TEMEN". Tapi gak ada. Semua udah hilang. Kecuali satu hal yang masih nempel: kenangan.

Kita semua pernah ketemu lagi di sana waktu itu. Sekali. Sore terakhir sebelum Bang Darto pensiun.

Setelah itu, hidup berjalan lagi. Pelan-pelan. Sendiri-sendiri.

Ada sih momen-momen dimana kita tetep bisa kumpul. Kadang lengkap kita berempat. Kadang cuma bertiga. Kadang juga cuma berdua. Misalnya pas salah satu dari kita ada yang ulang tahun. Atau masih sempat lah kita liburan bareng nengokin Sherly.

Sherly pindah ke Bandung. Nikah sama duda satu anak, kerja bantuin suaminya di toko buku kecil. Kita sempet mampir dua kali, waktu dia masih sehat. Duduk di rak sastra, ngobrol ngalor-ngidul. Dia masih suka pakai scarf dan ketawa pelan sambil nutup mulut—kebiasaan lama yang gak ilang.

Dia meninggal duluan. Kanker rahim. Nggak terlalu lama. Cuma tiba-tiba di group kita, ada yang update pakai nomer nya Sherly, katanya: "Sherly udah ga ada." Kira bertiga yang tersisa kaget setengah mati saat itu. Gue nyalain lagu lama yang dia suka—“To Be With You”—dan duduk diam.

Naya masih sempet aktif sampe umur 70-an. Terakhir dia jadi guru les privat anak-anak difabel, dan kayaknya dia nemuin kedamaian di situ. Dia gak nikah. Gak nyari juga. Katanya waktu itu, “Hidup itu bukan cuma soal punya pasangan. Tapi soal punya makna.”

Dia meninggal pas tidur. Tenang. Gue sempet dateng ke rumahnya waktu itu. Di mejanya ada foto kecil kita berempat, udah pudar. Di belakangnya, ada tulisan tangan dia: “Kalau hidup itu panggung, maka kalian bagian paling serunya.”

Dika paling terakhir.

Dia sempet stroke ringan, lalu makin sering bolak-balik rumah sakit. Tapi dia masih semangat. Masih sempet ngajakin gue nonton bola. Dan karena dia udah gak bisa jalan jauh, gue yang sampein ke rumahnya. Kita ngetawain wasit, ngeledek pemain, dan akhirnya diem... cuma liatin layar sambil dengerin napas satu sama lain.

Waktu dia meninggal, anaknya yang ngabarin. “Papa suka cerita tentang om terus,” katanya. Gue gak tau harus jawab apa.

Sekarang gue sendirian.

Enggak sepenuhnya sendiri—anak gue kadang mampir. Cucu gue suka kirim voice note iseng. Tapi... mereka gak tau gue yang dulu. Gak tau cerita kita berempat. Dan kadang, itu yang bikin rasa sepi makin kental.

Sering gue buka kotak kayu kecil. Isinya cuma empat benda: foto usang kita di pinggir jalan, tiket bioskop sobek tahun 2016, pembatas buku dari Sherly, dan tisu bekas coretan tangan Naya yang bunyinya: “Jangan terlalu serius. Yang penting ada kita.”

Itu sisa-sisa dari hidup yang dulu rame. Hidup yang sekarang cuma tinggal gema.

Tapi lo tau, bro?

Gue gak sedih. Beneran. Kita semua masing-masing sudah melewati hidup dengan penuh dan tanpa penyesalan.

Kalau gue tutup mata sekarang, yang muncul bukan kamar ini. Tapi suara tawa kita. Goyangan kipas angin warung. Kopi sachet dan mie rebus yang terlalu asin. Motor yang mogok tengah jalan. Obrolan gak penting yang selalu jadi penting.

Gue inget semuanya.

Dan itu cukup buat gue.

Tadi pagi, gue jalan pelan-pelan ke taman deket rumah. Duduk di bangku batu yang agak kasar. Sambil nulis di buku kecil yang sekarang jadi semacam buku harian. Di halaman terakhir, gue tulis:

"Gue pernah hidup. Dan gue gak sendiri. Kita dulu berempat. Sekarang cuma gue. Tapi itu cukup. Karena selama gue inget, kita gak pernah benar-benar hilang."

Kalau nanti giliran gue dateng, gue harap mereka nungguin.

Mungkin duduk di meja panjang, pesen kopi, dan udah mulai ngobrol duluan. Sherly nyender ke kursi sambil senyum kecil. Naya nyambungin cerita setengah jadi. Dika lempar candaan yang masih garing. Dan gue bakal dateng, telat kayak biasa.

Tapi mereka gak marah.

Mereka bakal cuma bilang,
“Eh, akhirnya dateng juga. Duduk sini.”

Dan kita mulai lagi.

Gak usah terlalu serius. Yang penting... ada kita.

***

Sunday, June 8, 2025

Burn the Bridge Or Let It Unused?

"Apakah jembatan yg kita sudah reluctant untuk lewati lagi, sebaiknya dibakar atau dibiarkan unused saja?"

Soal "dibakar atau dibiarkan unused", jawabannya bisa beda tergantung konteks dan situasi emosional lo.

Kalau Dibakar

Kadang kita emang perlu membakar jembatan, terutama kalau jembatan itu ngelewatin ke tempat yang bikin kita terus sakit, trauma, atau stuck. Misalnya:
  • Hubungan toksik.
  • Lingkungan kerja yang ngerusak kesehatan mental.
  • Pola pikir lama yang udah nggak relevan buat versi lo yang sekarang.

Dengan "dibakar", maksudnya lo bikin keputusan yang tegas dan nggak bisa dibalikin. Itu bisa terasa menakutkan, tapi juga sangat melegakan dan membebaskan. Kayak bilang, “Gue udah selesai sama bagian hidup itu, dan gue nggak akan balik lagi ke sana.”

Tapi... penting juga untuk ngebakar dengan kesadaran, bukan karena emosi sesaat. Kalau enggak, nanti bisa jadi penyesalan.

Kalau Dibiarkan Unused

Kadang lebih bijak buat membiarkan jembatan tetap berdiri, walau lo udah nggak mau atau nggak perlu menyeberanginya lagi.
  • Bisa jadi suatu hari lo ingin melihat kembali ke masa itu, dengan perspektif baru.
  • Bisa juga jembatan itu nyambung ke seseorang atau situasi yang mungkin lo perlukan nanti, tapi belum waktunya sekarang.
  • Atau mungkin lo belum sepenuhnya selesai dengan perjalanannya, dan lo cuma butuh waktu buat menjauh dulu.

Intinya, membiarkan jembatan unused bisa jadi bentuk respek ke masa lalu lo, walau lo udah nggak hidup di sana lagi.

Jadi, Pilih yang Mana?

Gue sih percaya:
“Kalau jembatan itu membawa lebih banyak luka daripada pelajaran, mungkin udah waktunya dibakar. Tapi kalau masih ada makna dan lo bisa berdamai, cukup biarkan dia berdiri — sebagai bagian dari lanskap hidup lo.”

Perjuangan dan Harapan

Jangan karena kita merasa bahwa kita adalah orang paling menderita di dunia ini, lantas kita berhak atas segala bantuan yg ada dari siapapun. Berdiri di atas kaki sendiri! Walaupun berat, walaupun pahit, walaupun seumur hidup tidak akan pernah merasakan manis! Dimana ada kehidupan, disitu ada harapan. Sekalipun harapan itu tidak pernah terwujud, "pernah berusaha" menyimpan rasa manisnya tersendiri, walaupun sangat halus!

Thursday, June 5, 2025

Feelings Validity

All feelings are valid.

But not all thoughts, conclusions, and actions are.

This world doesn’t revolve solely around feelings.

There’s a reality to check, and it's not bent by intention alone.

Saturday, May 31, 2025

Recruitment dan Background Checking Mandiri

Background:
  • Dalam proses recruitment di hampir semua perusahaan, ada reference check
  • Dan umumnya reference check ini dari kontak yg diberikan oleh si candidat sendiri
Case:
  • Ada beberapa HR recruitment yg kemudian melakukan background checking tambahan secara mandiri - Meng-contact orang2 diluar yg direkomendasikan kandidat
Expected from GPT:
  • Menurut Anda, bagaimana Anda menilai tindakan dari HR yang melakukan hal diatas?

***

Tindakan HR yang melakukan background check di luar referensi yang diberikan kandidat itu bisa dibilang etis, tapi juga berpotensi bermasalah, tergantung pada bagaimana dan untuk apa mereka melakukannya.

Kenapa HR Melakukannya?

Dari sudut pandang HR, alasan melakukan pengecekan tambahan cukup masuk akal:
  • Mereka ingin validasi objektif, bukan sekadar mendengar hal-hal bagus dari orang yang pasti “pro-kandidat”.
  • Mereka ingin cari red flags yang mungkin sengaja dikubur oleh kandidat.
  • Mereka merasa ini bagian dari due diligence, terutama untuk posisi strategis atau sensitif.

Tapi… Ini Bisa Jadi Bumerang
  • Melanggar Privasi / Etika Profesional
    • Kalau HR kontak mantan rekan kerja tanpa seizin kandidat, bisa aja:
      • Si kandidat belum resign secara formal.
      • Lingkungan kerja sekarang jadi tahu kandidat lagi cari kerja.
      • Ini bisa sabotage career si kandidat.
  • Bias & Informasi Tidak Terverifikasi
    • Orang yang mereka kontak bisa punya conflict of interest, atau bahkan dendam pribadi.
    • Informasi bisa gossip, bukan fakta. Tapi sudah terlanjur memengaruhi keputusan.
  • Trust Issue
    • HR minta kandidat jujur dan transparan, tapi mereka sendiri “nyelundup” cari info di luar jalur resmi.
    • Ini ngerusak kepercayaan kandidat pada perusahaan dan proses rekrutmen.

Gimana Seharusnya?

Pendekatan paling profesional:
  • Kalau HR ingin info tambahan, mereka harus minta izin dulu:
    • “Apakah kami boleh bicara dengan orang di luar daftar referensi Anda, misalnya mantan rekan kerja?”
  • Atau, HR bisa eksplor lebih jauh lewat behavioral interviews yang dirancang dengan cerdas, tanpa harus kontak orang luar.

Kesimpulan:
  • Kalau HR main belakang tanpa transparansi, itu kurang etis. Niatnya boleh bagus, tapi caranya bisa nginjak privasi dan reputasi orang.
  • Kalau perusahaan memang butuh info lebih dalam, ya minta izin secara terbuka. Jangan jadi stalker profesional.

Kalau kamu sedang dalam posisi kandidat, penting juga buat kamu kasih daftar referensi yang bisa kasih gambaran seimbang—nggak cuma fans club kamu doang. Dan kalau kamu HR? Mainlah fair. Jangan bikin proses yang terasa kayak investigasi kriminal.

***

Bagaimana seandainya kandidat keberatan?

Argumen kandidat:
  • Kandidat tidak tahu siapa yang akan di contact oleh HR
  • Merupakan suatu fakta, bahwa "kita tidak mungkin disukai semua orang" - Termasuk si HR sendiri, dan bahkan kandidat juga mengatakan kalau dia tanya semua orang yg pernah kerja dengan HR tersebut, apakah semuanya akan kasih testimony bagus?
  • Tetapi kandidat mengaku bahwa dia bisa tunjuk > 10 orang yg happy dengan pekerjaan dia, dan semuanya adalah orang yg pernah bekerja dekat dengan nya

Bagaimana menurut pendapat dan penilaian Anda?

***

Kandidat ini punya poin yang sangat valid, dan justru menunjukkan kecerdasan, integritas, dan kesadaran profesional yang tinggi.

Mari kita bongkar logikanya satu per satu.

Argumen Kandidat: Solid & Masuk Akal
  • "Saya tidak tahu siapa yang dihubungi"
    • Ini penting. Kalau HR randomly menghubungi orang tanpa konteks, itu bisa sangat bias dan misleading.
    • Apalagi kalau yang dihubungi itu:
      • Punya konflik personal.
      • Nggak pernah kerja langsung bareng.
      • Malah punya agenda sendiri.
    • Kandidat berhak tahu siapa yang “bicara di belakangnya”. Ini bukan gosip kantor, ini menyangkut masa depan karier.
  • "Tidak semua orang akan suka saya"
    • Ini bukan defensif. Ini realistis.
    • Setiap orang profesional pasti pernah konflik dalam tim, atau ambil keputusan sulit yang bikin beberapa pihak nggak happy.
    • HR juga seharusnya paham bahwa satu komentar negatif dari orang yang nggak kompeten atau penuh dendam, nggak bisa dijadikan dasar keputusan.
  • "Saya bisa tunjuk 10+ orang yang puas kerja bareng saya"
    • Ini bukti konkret.
    • Dia bilang: “Kalau lo mau info valid, ini orang-orangnya. Mereka pernah kerja langsung, tahu performa saya sehari-hari.”
    • Lebih kredibel daripada ngacak kontak siapa pun di LinkedIn dan tanya, “Eh, dia gimana ya?”

Kalau HR Tetap Ngotot?

Kalau HR tetap bersikeras melakukan pengecekan tanpa transparansi, maka:
  • Mereka bukan cari truth, tapi cari alasan buat tidak merekrut.
  • Ini mengarah ke praktik seleksi yang subjektif, manipulatif, dan riskan.
  • Bisa jadi mereka gak yakin sama proses interview dan referensi yang ada, jadi mereka terpaksa “nyari celah”.

Penilaian Jujur

Kandidat ini menunjukkan:
  • Kesadaran diri (dia tahu dia bukan orang sempurna).
  • Transparansi (dia kasih banyak referensi yang kredibel).
  • Keberanian untuk speak up, bukan cuma nurut pasif.
HR yang bener harus menghargai orang yang berpikir kritis, bukan hanya orang yang nurut aja.

Flip the Script: Bayangkan HR-nya yang dicek balik

Gimana kalau si kandidat bilang:
  • “Saya juga pengen cek reputasi tim HR ini. Boleh saya kontak beberapa kandidat yang pernah direkrut sebelumnya dan tanya pengalaman mereka? Saya nggak akan kasih tahu HR siapa aja yang saya hubungi.”
Pasti HR-nya sewot.

Bottom Line

Kalau kandidat keberatan HR kontak orang luar tanpa persetujuan, dia sepenuhnya berhak. Dan itu bukan tanda “menyembunyikan sesuatu”, tapi justru tanda dia menghargai proses yang fair dan berbasis fakta.

HR yang bijak akan:
  • Menghargai referensi yang disediakan.
  • Minta izin sebelum menyelidik lebih jauh.
  • Fokus pada data, bukan drama.

Kalau HR malah sinis atau curiga karena si kandidat “protes”? Mungkin bukan kandidatnya yang jadi masalah — tapi sistem rekrutmennya yang toxic.

Friday, May 30, 2025

It's OK to Not Know Everything — But That’s Not an Excuse

It’s totally OK to not know everything.

Sounds simple, even obvious, right? But let’s be honest—how often do we silently beat ourselves up for not having all the answers, especially when people are looking to us for them?

In a world obsessed with instant expertise, we often fall into the trap of thinking we need to always be the smartest person in the room. Social media makes it worse—everyone seems to “know” everything, all the time. And if you’re not quick with a confident answer, you risk looking incompetent or unprepared.

But here's the thing: Not knowing is human. Owning up to it is mature. Following up on it? That’s where the real value lies.

Admitting You Don’t Know Isn’t Weakness—It’s Strategy.

Admitting that you don’t know something doesn’t make you dumb. What makes you dumb is pretending to know and then being wrong—or worse, misleading others.

There’s real strength in saying, “I’m not sure, but I’ll find out.” That’s not a failure—that’s a pivot. That’s intellectual honesty in action. And believe me, in the long run, people trust that more than bluster.

You Still Have to Follow Up.

Saying “I don’t know” can’t be your final answer. It’s a pause button, not a full stop. You owe it to yourself—and whoever asked the question—to follow up. That means doing the research, asking around, testing things, and then circling back with a thoughtful response. It’s about curiosity with accountability.

You don’t need to know everything on the spot. But you damn well need to care enough to go find out.

This Applies Everywhere—Work, Relationships, Life.

Whether you’re a team lead, a student, a freelancer, or just trying to get through the day—this mindset pays off. People remember those who follow up. Those who actually deliver on “I’ll get back to you.” That’s how you build credibility without pretending to be a walking encyclopedia.

And here’s the irony: the more you admit what you don’t know and chase those answers down, the more you actually learn. You become sharper, faster, more adaptable. You don’t just look smart—you become smart.

So...

It’s OK to not know.
It’s not OK to stay in the dark.
The gap between ignorance and expertise is bridged by one thing: follow-through.

Ngidam Waktu Diet

Saat lagi diet dan tiba-tiba muncul rasa ngidam makanan gak sehat—entah itu gorengan, es krim, atau martabak manis tebal penuh keju—sering kali ada satu strategi populer: “Cicip aja sedikit, asal jangan banyak.” Idenya sederhana. Kita kasih tubuh (dan otak) kita sedikit “rasa puas” tanpa harus hancurin progress diet. Misalnya, cukup dua potong kecil keripik, atau satu sendok teh es krim. Sekadar ngerasain. Abis itu lanjut makan clean lagi.

Dan buat sebagian orang, dan buat gua pribadi, strategi ini manjur. Mereka bisa makan sedikit, merasa cukup, dan move on. Gak ada drama. Gak ada rasa bersalah. Gak ada insiden tengah malam ngabisin satu toples kue kering sambil nonton Netflix.

Tapi ternyata, nggak semua orang cocok dengan pendekatan ini.

Ada Tipe Orang yang Harus Total Stop.

Beberapa orang malah punya respon yang beda. Begitu mereka nyicip sedikit aja, langsung kebablasan. Yang tadinya cuma mau satu sendok es krim, tau-tau udah setengah pint hilang. Yang niatnya makan satu gorengan buat ganjel craving, eh malah jadi lima biji dan tambah nasi uduk.

Buat mereka, “sekadar nyicip” itu kayak nyalain tombol bencana. Sekali dikasih celah, nafsu makan liar masuk dan susah dikendalikan. Maka, satu-satunya cara aman ya... jangan mulai sama sekali.

Kenali Diri Lo Dulu.

Intinya: gak ada strategi yang universal. Lo harus jujur dan realistis sama diri sendiri. Tipe lo yang mana?

Kalau lo bisa makan sedikit dan stop, maka silakan. Itu justru bisa ngebantu lo tetep waras saat diet. Gak perlu ekstrem, gak perlu menahan semua keinginan.

Tapi kalau lo tahu bahwa satu gigitan bisa berujung kebabalasan, mending jangan mulai sama sekali. Karena dalam kasus ini, self-control bukan lagi soal niat, tapi soal sistem.

Mungkin boleh juga coba metode “sedikit aja”—sekali atau dua kali. Lihat hasilnya. Kalau lo tetap bisa jaga kendali, bagus. Tapi kalau ternyata itu malah jadi gerbang ke kalap, ya lo udah tau jawabannya: cut it out entirely.

Dan satu hal penting—jangan ngikutin strategi orang lain mentah-mentah. Diet itu personal. Ngidam juga personal. Cara lo ngatur craving harus sesuai sama pola pikir dan emosi lo.

Echo Chamber Bukan Konsep Baru

Echo chamber udah eksis bahkan sebelum internet ditemukan. Bukan konsep baru.

Sebelum ada media sosial, sebelum kita bisa ngetik status 280 karakter dan langsung dikasih like atau dihujat dalam hitungan detik, orang-orang juga udah punya pemikiran sempit dalam kelompoknya masing-masing :
“Dunia ini sudah rusak!”
“Jaman ini jaman edan!”
“Jangan sampai keracunan budaya Barat!”
dll

Kalimat-kalimat begitu udah sering banget kita denger dari tokoh agama, guru, orang tua, bahkan obrolan santai. Mereka hidup dalam gelembung nilai dan keyakinan yang kalau diganggu dikit, bisa langsung defensif.

Lalu datanglah internet, dan semua jadi makin brutal. Algoritma media sosial nggak peduli kamu benar atau salah. Yang penting: kamu betah, kamu klik, kamu scroll, kamu marah. Echo chamber yang tadinya terbatas di tongkrongan atau komunitas, sekarang pindah ke skala global. Kamu bisa hidup dalam gelembung digital di mana semua orang setuju sama kamu—dan kalau ada yang nggak setuju, tinggal blokir. Gampang.

Tapi di sinilah ironi dan sekaligus peluangnya. Karena justru berkat internet, kita sekarang lebih sadar akan adanya echo chamber. Kita bisa lihat langsung bagaimana satu topik diputarbalikkan di berbagai sudut pandang. Kita bisa tahu bahwa dunia nggak hitam-putih, bahkan kalau algoritma mencoba menyederhanakannya.

Jadi, supaya nggak terjebak dalam echo chamber, sering-seringlah keluar dari "timeline bubble".

Konsumsi informasi dari spektrum yang lebih luas.

Internet bisa jadi racun, tapi bisa juga jadi penawar—tergantung cara pakainya. Kalau dulu kita cuma bisa ngikutin arus obrolan di lingkungan sekitar, sekarang kita punya akses ke pemikiran dari seluruh dunia.

Pertanyaannya: kita mau tetap nyaman dalam keasikan sendiri, atau mau sedikit nggak nyaman tapi jadi lebih bijak?

De-Normalisasi Keadaan Tidak Layak

"Kerja itu wajib, sepahit apa pun, jangan manja! Jangan resign!"

Sekilas terdengar seperti nasihat bijak. Semacam dorongan supaya kita tangguh menghadapi hidup. Tapi kalau dipikir-pikir, kalimat itu justru sering kali jadi tameng untuk membenarkan kondisi kerja yang gak sehat – bahkan gak manusiawi.

Coba pakai analogi sederhana:

Bayangkan seseorang sedang hidup dalam kondisi ekonomi yang sangat sulit. Untuk bertahan hidup, dia makan nasi dengan garam setiap hari. Itu bukan karena dia mau, tapi karena itu satu-satunya pilihan yang tersedia. Dan tentu saja, dalam situasi seperti itu, kita semua bisa setuju: dia luar biasa karena mampu bertahan.

Tapi pertanyaannya:
Apakah itu kondisi yang layak dipertahankan? Apakah itu harus dinormalisasi?

Nope!

Begitu keadaan membaik, dia berhak – dan seharusnya – makan dengan gizi yang layak. Bukan hanya untuk kenyang, tapi untuk tumbuh, untuk hidup dengan sehat dan bermartabat.

Kadang, kita memang harus menerima pekerjaan yang berat, dengan gaji minim, lingkungan toksik, dan tekanan yang nggak masuk akal – demi kebutuhan hidup. Dan itu bukan aib. Itu perjuangan.

Tapi jangan sampai kita menganggap kondisi itu sebagai sesuatu yang normal.
Apalagi sampai menyuruh orang lain untuk ikut-ikutan “bertahan” dengan narasi seperti:

"Dulu gue juga begitu, masa lo gak kuat?"

Setiap orang punya titik lelah dan konteks hidup yang berbeda. Dan kadang, resign itu bukan bentuk kelemahan – tapi tanda bahwa seseorang tahu batasnya dan memilih untuk menjaga kesehatan mental dan masa depannya.

Bekerja memang penting. Bertahan dalam kondisi sulit kadang perlu. Tapi jangan sampai itu jadi standar hidup. Jangan sampai kita lupa bahwa tujuan bekerja bukan cuma untuk bertahan hidup – tapi juga untuk hidup dengan layak.

Kita perlu mulai mengganti narasi lama ini. Bukan dengan menyalahkan orang yang bertahan, tapi dengan memberi ruang bagi siapa pun untuk memilih jalan yang lebih sehat dan manusiawi.

Karena pada akhirnya:
Kerja keras itu baik. Tapi kerja dengan sadar dan bermartabat jauh lebih penting.

Sunday, May 25, 2025

Waspada vs Prasangka Buruk

Bagaimana membedakan antara kewaspadaan dengan prasangka buruk? Hal ini penting banget, terutama di zaman sekarang di mana informasi bisa membentuk persepsi kita dalam hitungan detik.

Kewaspadaan
Adalah sikap waspada terhadap potensi risiko, tanpa langsung menuduh atau menghakimi. Ini berbasis fakta, data, pengalaman, atau insting yang masuk akal.

Contoh:
Kamu baru pertama kali naik taksi online di malam hari. Kamu memperhatikan plat nomor, share lokasi ke teman, dan pastikan jalurnya sesuai map.

Ini adalah tindakan preventif. Kamu tidak menuduh supirnya jahat, tapi kamu jaga diri—itu kewaspadaan.

Prasangka buruk
Adalah ketika kamu langsung berpikir negatif tanpa dasar yang jelas, apalagi kalau hal itu kamu anggap benar sebelum dikonfirmasi.

Contoh:
Kamu lihat seseorang pakai baju lusuh masuk ke kafe mahal, lalu kamu langsung mikir, "Pasti mau nyuri atau minta-minta."

Ini murni asumsi—tanpa bukti. Dan kalau salah, bisa jadi kamu memperlakukan orang lain dengan tidak adil. Itu prasangka buruk.

Batas tipisnya ada di:
  • Ada atau tidaknya bukti atau alasan logis?
    • Kalau kamu punya dasar kuat (pengalaman, pola yang berulang, atau sinyal bahaya yang jelas), itu kewaspadaan.
    • Kalau cuma berdasarkan stereotip, perasaan nggak enak tanpa sebab, atau ketidaksukaan pribadi—itu prasangka.
  • Apakah kamu terbuka untuk mengubah pendapatmu?
    • Kewaspadaan itu fleksibel—kalau ternyata orang itu terbukti baik, kamu bisa rileks.
    • Prasangka buruk itu kaku—sulit mengakui kalau kamu salah.
  • Tujuannya apa?
    • Kewaspadaan: proteksi diri dan orang lain.
    • Prasangka: cenderung merendahkan atau memojokkan orang lain.

Tips praktis biar nggak terjebak:
  • Latih pikiran skeptis tapi terbuka. Tanya: “Apa buktinya?” sebelum menyimpulkan.
  • Tindakan pencegahan = OK. Menghakimi tanpa dasar = gak OK.
  • Jangan main generalisasi. Satu pengalaman buruk ≠ semua orang seperti itu.
  • Uji dugaanmu. Kalau memungkinkan, konfirmasi dulu sebelum ambil keputusan.

Kalau kewaspadaan adalah memakai seatbelt karena kita tahu kecelakaan bisa terjadi, maka prasangka buruk adalah curiga semua pengemudi di jalan itu mabuk—padahal belum tentu.

Logical Fallacies

Beberapa contoh logical fallacy yang umum:
  • Ad Hominem: Menyerang karakter atau sifat orang lain daripada argumennya.
    • Contoh: "Kamu tidak bisa dipercaya karena kamu pernah berbohong."
  • Straw Man: Menggambarkan argumen lawan dengan cara yang tidak akurat atau berlebihan.
    • Contoh: "Kamu ingin menghapus semua peraturan lalu lintas?" (padahal lawan hanya ingin mengurangi beberapa peraturan).
  • False Dichotomy: Menyajikan hanya dua pilihan padahal ada pilihan lain.
    • Contoh: "Kamu harus memilih antara pekerjaan ini atau menjadi pengangguran."
  • Slippery Slope: Mengklaim bahwa suatu tindakan akan menyebabkan rangkaian kejadian yang tidak diinginkan tanpa bukti.
    • Contoh: "Jika kita melegalkan ganja, maka kita akan kehilangan kontrol atas narkoba lainnya."
  • Appeal to Authority: Menggunakan pendapat ahli atau tokoh terkenal sebagai bukti tanpa mempertimbangkan validitas argumen.
    • Contoh: "Einstein mengatakan bahwa kita harus percaya pada Tuhan, jadi Tuhan pasti ada."
  • Appeal to Emotion: Menggunakan emosi daripada logika untuk membujuk.
    • Contoh: "Jangan potong anggaran untuk program ini, pikirkan semua anak-anak yang akan terkena dampaknya."
  • Bandwagon Fallacy: Mengklaim bahwa sesuatu benar karena banyak orang percaya atau melakukannya.
    • Contoh: "Semua orang percaya pada hal ini, jadi pasti benar."
  • False Cause: Mengklaim bahwa satu kejadian menyebabkan kejadian lain tanpa bukti yang cukup.
    • Contoh: "Saya makan makanan ini dan kemudian saya merasa lebih baik, jadi makanan ini pasti yang membuat saya lebih baik."
  • Hasty Generalization: Membuat kesimpulan berdasarkan sampel yang tidak representatif atau terlalu kecil.
    • Contoh: "Dua teman saya yang merokok tidak terkena kanker paru-paru, jadi merokok tidak berbahaya."
  • Circular Reasoning: Menggunakan kesimpulan sebagai premis.
    • Contoh: "Tuhan ada karena kitab suci mengatakan demikian, dan kitab suci benar karena Tuhan ada."
  • Red Herring: Mengalihkan perhatian dari topik yang sedang dibahas.
    • Contoh: "Mengapa kita harus membahas tentang perubahan iklim ketika ada masalah lain yang lebih penting?"
  • Post Hoc Ergo Propter Hoc: Mengklaim bahwa karena satu kejadian terjadi setelah kejadian lain, maka kejadian pertama menyebabkan kejadian kedua.
    • Contoh: "Saya memakai kaus ini dan kemudian saya menang pertandingan, jadi kaus ini pasti membawa keberuntungan."
  • Burden of Proof: Mengalihkan tanggung jawab untuk membuktikan kepada pihak lain.
    • Contoh: "Anda tidak bisa membuktikan bahwa Tuhan tidak ada, jadi pasti Tuhan ada."
  • Tu Quoque: Menyerang lawan dengan menunjukkan bahwa mereka juga melakukan kesalahan yang sama.
    • Contoh: "Kamu juga pernah berbohong, jadi kamu tidak bisa menyalahkan saya."
  • Composition Fallacy: Mengasumsikan bahwa apa yang benar untuk bagian juga benar untuk keseluruhan.
    • Contoh: "Karena setiap bagian dari mesin ini ringan, maka mesin ini pasti ringan juga."
  • Division Fallacy: Mengasumsikan bahwa apa yang benar untuk keseluruhan juga benar untuk bagian.
    • Contoh: "Perusahaan ini besar dan sukses, jadi setiap karyawannya pasti sukses juga."
  • No True Scotsman: Mengubah definisi untuk mempertahankan klaim.
    • Contoh: "Tidak ada orang Skotlandia yang menambahkan gula pada bubur, jadi orang yang menambahkan gula pasti bukan orang Skotlandia sejati."
  • Appeal to Tradition: Mengklaim bahwa sesuatu benar atau lebih baik karena telah dilakukan dengan cara tertentu selama bertahun-tahun.
    • Contoh: "Kita harus terus melakukan ritual ini karena telah dilakukan oleh nenek moyang kita."
  • Either-Or Fallacy: Menyajikan situasi sebagai hanya memiliki dua kemungkinan padahal ada kemungkinan lain.
    • Contoh: "Anda harus memilih antara mencintai negara Anda atau mencintai keluarga Anda."
  • Begging the Question: Mengasumsikan kebenaran dari kesimpulan dalam premis.
    • Contoh: "Karena paranormal dapat berkomunikasi dengan hantu, maka hantu pasti ada."
Dan masih banyak jenis logical fallacy lainnya.

Friday, May 23, 2025

Dark Saint of Eldareth

Di benua Eldareth, sihir bukanlah sekadar legenda atau warisan tua—ia adalah denyut nadi dunia. Dari desa termiskin hingga menara para archmage, setiap orang mengenal kekuatan magis. Tapi lebih dari itu, kehidupan di Eldareth diatur oleh satu kekuatan: Ordo Lux Noctis—"Ordo Cahaya dan Kegelapan".

Mereka menyembah dua dewa yang katanya satu: Luxius dan Nokthar, yang dalam kitab suci disebut “Dua wajah dari Kebenaran yang Sama”. Ajarannya rumit. Tidak semua mengerti, apalagi percaya. Tapi ajaran ini menjadi landasan ordo tertinggi yang memimpin moral dan sihir keagamaan di seluruh benua.

Di dalam ordo, ada sosok langka yang disebut Saint—seseorang yang dipilih langsung oleh langit. Mereka bisa menyembuhkan, berbicara dalam bahasa ilahi, dan jadi perantara antara manusia dan dewa. Tapi yang lebih langka lagi adalah Dark Saint, representasi dari sisi gelap Nokthar. Mereka tidak muncul tiap generasi. Bahkan dalam sejarah, jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

Namaku Alarion. Aku dibesarkan di bawah langit Eldareth, di tengah menara-menara doa dan lorong-lorong bisu biara. Sejak kecil, semua orang menatapku dengan harap dan takut yang sama. Mereka bilang aku “dipilih oleh langit”. Bahwa aku adalah Saint yang digambarkan dalam kitab kuno itu.

Aku diajari bahasa suci sebelum aku tahu bahasa ibuku. Aku diminta untuk menyembuhkan, untuk memberkati, untuk tersenyum—bahkan ketika aku ingin menangis. Setiap air mata yang kutahan adalah harga dari mukjizat yang mereka jual dengan emas.

Aku melihat banyak keajaiban. Aku juga melihat kemunafikan yang menyusup di balik jubah suci.

Mereka bilang bahwa cahaya dan kegelapan adalah satu. Aku mendengar itu tiap malam dalam doa, tapi tak ada yang menjelaskan artinya. Bahkan aku pun tak tahu. Aku hanya mengulanginya seperti burung yang diajari berkicau.

Yang aku tahu, aku lelah. Lelah jadi alat. Lelah melihat si miskin ditolak karena tak mampu bayar "derma suci". Lelah melihat kepala ordo menjual doaku demi politik.

Sampai suatu ketika, aku mulai kehilangan kekuatan itu secara perlahan.

Awalnya cuma keganjilan kecil—luka yang biasanya sembuh dalam sekejap kini butuh waktu. Doaku terasa hampa, seperti gema yang tak dijawab langit. Aku coba menepisnya. Kucoba berdoa lebih lama, berpuasa lebih keras, menyendiri lebih sering.

Tapi tak ada yang berubah.

Tiap hari rasanya seperti mencubit langit dengan jari patah.

Aku pikir itu hanya kelelahan. Atau ujian iman. Tapi lama-kelamaan, rasa dingin itu menetap di ujung jariku. Aku tahu... aku kehilangan kemampuan menyembuhkan. Dan tidak ada yang bisa menjelaskan kenapa.

Sampai aku menyadari: jiwaku sendiri sedang sakit. Bukan tubuhku. Tapi hatiku—yang terlalu lama dipaksa tunduk, terlalu lama diperas. Aku rasa hanya hati yang bahagia dan penuh welas asih yang bisa memberkati dan menyembuhkan.

Dan saat nasib sial benar-benar mengetuk pintu, ia datang dalam bentuk pria gemuk bernama Lord Edram Halvencrest. Salah satu donatur emas ordo. Raja tambang mithril. Istrinya sakit—penyakit langka yang membuat darahnya membeku perlahan.

Aku dipanggil secara pribadi. “Penyembuhan ini penting,” kata Marvolas, “dan kau tidak boleh gagal.”

Aku mencoba dengan sepenuh hati.

Aku berdoa sepenuh hati. Aku menempelkan tanganku ke dahi wanita itu. Aku merapal mantra suci sampai tenggorokanku kering. Tapi saat semuanya selesai...

Dia hanya sembuh separuh. Ia masih hidup. Tapi tak bisa bicara. Tak bisa bangun. Tubuhnya terjaga, jiwanya entah di mana.

Edram marah. Tapi bukan padaku—pada Marvolas.

Dan Marvolas? Dia langsung berbalik memaki aku.

“Kau mempermalukan ordo di depan para bangsawan!”
“Apa kau ingin seluruh benua menganggap kita lemah?”
“Kau merusak reputasi kita, Alarion!”

Malam itu, aku dipanggil ke ruang audiensi. Hanya kami berdua—aku dan Marvolas. Tidak ada doa, tidak ada saksi.

Dia bicara seolah aku ini anak kecil yang nakal. Bahwa aku harus “taat tanpa tanya”. Bahwa aku tidak paham "realitas kekuasaan".

Lalu dia berdiri. Mengangkat tangannya. Matanya penuh api. “Kalau kau tidak bisa menyembuhkan, maka aku akan buatmu belajar menghargai penderitaan!”

Itu bukan metafora. Dia benar-benar menghajarku.

Dan di detik itulah semuanya meledak.

Aku tidak lagi bisa menahan racun yang selama ini kutahan di dalam hatiku. Semua kekecewaan. Semua luka yang tidak pernah disembuhkan.

Aku tidak mengucapkan kutuk. Aku hanya membiarkan emosiku keluar.

Dan ketika emosiku itu menyentuh udara, jubahku menghitam, ungu tua merambat seperti tinta di kain. Suara doaku berubah—dalam, gaung, dan membawa rasa dingin ke tulang.

Aku menjadi Dark Saint.
Bukan karena aku ingin. Tapi karena dunia memaksaku.

Biara Elaris—tempat semua kebusukan ordo berkumpul—menjadi titik ledakan pertama.

Aku tidak mengutuk dengan sengaja. Aku hanya melepaskan emosiku. Dan emosiku itu menyala seperti api purgatori. Mereka yang berdosa—dan hanya mereka yang berdosa—terbakar. Tidak mati. Tidak bisa mati. Mereka terus merasakan nyala siksaan yang tak membakar tubuh, hanya jiwa.

Marvolas berteriak paling nyaring. Suaranya terdengar bahkan dari menara kuil utama.

Beberapa mencoba kabur. Tapi hanya mereka yang berhati bersih yang bisa lolos dari api.

Orang menyebutnya kutukan. Tapi bagiku... itu pembebasan. Aku tak lagi harus berpura-pura bahwa sistem ini suci. Bahwa cahaya itu bersih. Aku melihat dengan mata yang baru—mata yang terbuka oleh kegelapan.

Dan akhirnya, aku mengerti. Cahaya tidak pernah menolak bayangannya. Kegelapan bukan musuh, tapi sisi lain dari jiwa. Ajaran Lux Noctis selama ini benar, tapi dijalankan oleh mereka yang tidak mengerti kedalaman maknanya.

Ordo pusat datang dengan wajah pucat dan langkah hati-hati. Mereka pikir aku akan menghancurkan semuanya.

Tapi aku tak ingin kehancuran. Aku hanya ingin mereka melihat—melihat apa yang mereka jadikan dariku. Dari ajaran kita. Dari dunia.

Mereka mendengarkan. Mereka ketakutan. Mereka bertanya padaku apa yang harus dilakukan.

Hierarki dibongkar, dosa dipertanggungjawabkan. Yang terkutuk dipenjara di dalam kuil bawah tanah, sambil terus melantunkan nyanyian purgatori.

Dan sebagaimana ajaran Lux Noctis, seorang Dark Saint pun harus tetap dihormati, bahkan melebihi Saint biasa. Mereka mempercayaiku. Mereka memintaku memimpin pemilihan kepala ordo yang baru. Sebuah kepercayaan yang ironis—bahwa mereka mempercayakan arah masa depan ordo kepada representasi kegelapan.

Aku tidak menolak. Tapi aku tidak bangga. Aku hanya... menjalankan peranku. Seperti biasa.

Tapi kali ini, dengan mata terbuka.


Epilog: Racun yang Menyembuhkan

Bertahun-tahun setelah itu, seorang pria tua datang ke biara dengan anak di pelukannya. Anak itu sakit keras. Nafasnya putus-putus. Tubuhnya seperti kain basah yang diangkat paksa.

Dia bersujud, mencium lantai batu tempat aku berdiri. “Tuan... aku tahu Anda bukan lagi Saint. Tapi aku tak tahu ke mana lagi harus pergi.”

Aku menatap tanganku sendiri. Sudah lama sejak aku menyentuh sesuatu tanpa menghancurkannya. Air yang kuberkahi berubah jadi racun. Sentuhanku membuat bunga layu. Bahkan burung enggan hinggap di dekatku. Seorang Dark Saint tidak bisa kembali menjadi Saint.

Aku berkata, “Aku tidak bisa menyembuhkan. Doaku membawa kutukan.”

Tapi Sister Marienne, salah satu dari sedikit yang berani berdekatan denganku, berkata, “Penyakit anak ini... bisa disembuhkan. Tapi justru hanya oleh racun—Werewolf’s Bane. Tapi sangat sulit menemukan tanaman itu di musim ini...”

Aku ragu. Tapi aku mau berusaha.

Aku menuangkan air ke dalam cangkir kayu. Kusentuh, dan kubiarkan kutukan mengalir seperti tinta ke dalamnya. Racun murni. Lebih mematikan dari bisa ular, identik dengan racun Werewolf's Bane.

Tapi Marienne tahu apa yang ia lakukan. Ia mengencerkannya. Menakar. Menghitung. Dan ketika cairan itu diberikan ke anak itu, tubuhnya berhenti gemetar. Napasnya kembali. Mata kecil itu terbuka perlahan.

Petani itu menangis. Tapi aku... aku hanya menunduk.

Bukan karena aku bahagia.

Tapi karena akhirnya aku mengerti:
Aku memang bukan penyembuh lagi. Tapi aku masih bisa menyelamatkan orang dengan racunku.

Di tanah Eldareth, doa masih dilantunkan. Tapi kini, mereka tahu: bukan cahaya yang menyelamatkan dunia.

Tapi keseimbangan.

Namaku Alarion. Dan aku adalah Dark Saint.

***

Hymn to Nokhtar

Bayang-bayang dari Sang Cahaya, wajah sunyi dari Sang Cahaya,
Yang melihat dosa bukan dengan murka, tapi dengan mata terbuka.

Nokthar, yang berdiam di dalam hati Luxius,
Suaramu adalah gema kebijaksanaan yang tidak dibisikkan oleh terang.
Bungkuslah dunia ini bukan dengan harapan kosong, tapi dengan kebenaran.

Terang yang tak mengenal bayangan, adalah terang yang membutakan.
Jadilah kelopak yang menutup mata kami agar melihat ke dalam.

Engkau yang menatap kami dari cermin luka,
dan tetap mengasihi—tanpa senyum, tanpa dusta.

Datanglah, bukan dengan nyala amarah, tapi dengan pengertian.

Yang Biasa-Biasa Saja

Gue Fajar. Umur? Tiga puluh-an lewat dikit. Kerjaan? Freelance, kadang nulis, kadang bantu-bantu produksi video. Hidup? Ya gitu-gitu aja.

Belum lama ini, gue dapet undangan reuni SMA. Grup WhatsApp yang tadinya cuma rame pas awal-awal dibentuk, tiba-tiba hidup lagi. Satu per satu update status: "See you this weekend!", "Nostalgia time!", "Gila udah berapa tahun cuy!"

Gue baca sambil nyengir kecut. Di satu sisi, ada rasa pengen ketemu. Tapi di sisi lain, jujur aja, gue minder.

Temen-temen lama gue sekarang CEO startup, manajer bank, punya restoran, ada juga yang udah jadi dosen luar negeri. Beberapa dateng bawa pasangan, bahkan anak. Sementara gue? Masih ngekost. Masih mikir dua kali tiap mau checkout dari Tokopedia. Masih ngelawak receh di Twitter buat pelarian dari overthinking tengah malam.

Tapi akhirnya gue dateng juga.

Reuni itu digelar di cafe semi-outdoor, tempatnya cozy, penuh tawa, dan suara gelas kena meja. Ada yang nyapa gue dengan pelukan, ada yang masih manggil gue dengan nama panggilan jaman SMA: "Jar, lo masih aja gila ya!"

Gue ketawa. Masih. Emang dasar.

Tapi makin malam, obrolan makin dalam. Awalnya cuma soal nostalgia: guru killer, cinta monyet, OSIS, dan berantem kecil-kecilan. Tapi lama-lama, topiknya berubah.

Yang satu cerita dia lagi diambang cerai. Istrinya selingkuh, katanya. Yang lain ngaku stres kerja, udah dapet posisi tinggi tapi malah ngerasa kosong. Ada yang anaknya sakit keras, harus bolak-balik rumah sakit. Ada juga yang bilang dia pengen keluar dari pekerjaan yang katanya ‘impian’ karena mentalnya udah nggak kuat.

Gue duduk di sana, mendengarkan semua itu sambil menahan napas. Ternyata di balik pencapaian mereka, banyak banget yang remuk diam-diam.

Dan di situ, untuk pertama kalinya, gue ngerasa bersyukur.

Gue nggak punya jabatan keren, belum punya pasangan hidup, apalagi anak. Tapi gue nggak harus menyembunyikan kesedihan atau kepenatan. Gue tidur masih nyenyak, masih bisa ngakak sendirian nonton ulang The Office, masih bisa nulis apa yang gue mau tanpa takut di-judge bos.

Gue mulai sadar, hidup gue yang ‘biasa-biasa aja’ ini... ternyata nggak seburuk yang gue kira. Bahkan mungkin, ada ketenangan di dalamnya yang selama ini gue abaikan karena sibuk ngebandingin diri.

Gue pulang dari reuni itu malam-malam, naik motor, pelan-pelan ngelewatin jalanan kota yang udah sepi. Angin malam masuk ke jaket, bikin merinding.

Gue belum jadi siapa-siapa. Tapi mungkin, itu titik awal yang bagus.

Gue masih pengen improve, iya. Tapi bukan karena iri. Karena gue akhirnya sadar, hidup tuh bukan soal siapa yang paling cepet nyampe... tapi siapa yang bisa enjoy dalam perjalanannya.