Tuesday, July 22, 2025

Framework Shu Ha Ri: Belajar Cepat dan Adaptif untuk Profesional

Yuk ngobrolin soal framework "Shu Ha Ri"—sebuah framework dari Jepang yang sering dipakai dalam pembelajaran dan pengembangan keahlian, terutama dalam seni bela diri, tapi sekarang juga banyak dipakai dalam dunia kerja, agile, manajemen produk, bahkan leadership!

Apa Itu Shu Ha Ri?

"Shu Ha Ri" (守破離) adalah sebuah kerangka berpikir bertahap dalam proses pembelajaran dan penguasaan keterampilan. Maknanya bisa dijabarkan jadi tiga tahap:

1. Shu (守) – Ikuti Aturan
“Belajar dengan meniru dan mengikuti secara disiplin.”
  • Tahap awal ini fokus pada mengikuti guru atau metode yang ada dengan patuh.
  • Kamu tidak mengubah atau mempertanyakan metode, hanya berlatih secara konsisten dan disiplin.
  • Contoh dalam konteks kerja: Saat seseorang baru belajar Agile, dia akan mengikuti framework Scrum apa adanya—daily standup, sprint planning, retrospective—tanpa modifikasi.
2. Ha (破) – Rombak & Eksplorasi
“Mulai menyimpang dari aturan dan mengeksplorasi pendekatan lain.”
  • Di sini kamu sudah paham esensi dari metode yang dipelajari, jadi mulai bereksperimen.
  • Kamu bisa mulai mengadaptasi teknik dari sumber lain, mencoba gaya baru, dan mulai mengembangkan pemahaman pribadi.
  • Contoh: Setelah beberapa sprint, kamu sadar bahwa daily standup 15 menit bisa disesuaikan jadi 10 menit karena tim kecilmu lebih efisien. Nah, itu kamu sudah masuk tahap Ha!
3. Ri (離) – Inovasi & Kemandirian
“Melepaskan diri dari aturan dan menciptakan gaya sendiri.”
  • Di tahap ini kamu sudah benar-benar menguasai dasar dan bisa berkarya secara mandiri.
  • Kamu tidak terikat pada satu framework atau metode, karena kamu tahu mana yang bekerja dalam konteks tertentu dan bisa menciptakan sistem sendiri.
  • Contoh: Kamu menciptakan metode hybrid antara Scrum, Kanban, dan Lean karena tahu itu yang paling cocok untuk tim dan produkmu.

Aplikasi Shu Ha Ri di Dunia Nyata
  • Agile coaching: Banyak agile coach menggunakan Shu Ha Ri untuk menilai kematangan tim dalam menerapkan agile.
  • Leadership: Seorang pemimpin juga melalui Shu Ha Ri—dari meniru mentor (Shu), mencoba gaya kepemimpinan sendiri (Ha), hingga jadi pemimpin otentik (Ri).
  • Product Management: Saat kamu baru jadi PM, kamu mungkin ikut template PRD dan proses tim. Tapi seiring waktu, kamu adaptasi dan bahkan bisa menciptakan framework PM sendiri sesuai kebutuhan tim atau startup.
Kalau kamu lagi mentoring atau coaching tim, bisa banget loh Shu Ha Ri ini dipakai buat menyesuaikan gaya mentoring—jangan langsung kasih kebebasan saat mereka masih di tahap Shu.


Lanjut...

Ada yg bilang framework ini hanya cocok untuk level staff atau paling mentok associate. Mid dan senior, walaupun experience hire, seharusnya bisa adapt sendiri.

Pendapat bahwa Shu Ha Ri hanya cocok untuk level staff/associate memang sering muncul, terutama di lingkungan kerja yang serba cepat, high-pressure, dan demanding seperti di startup. Tapi yuk kita bahas lebih dalam dan jujur, karena perspektif ini bisa benar sebagian, tapi juga melewatkan esensi dari Shu Ha Ri itu sendiri.

Miskonsepsi: “Shu Ha Ri itu cuma buat junior!”

Ini argumen yang sering dipakai:
  • "Orang yang mid-senior apalagi experience hire, harusnya langsung ngerti konteks dan bisa adaptasi tanpa perlu 'ikutin aturan' kayak anak baru."
  • "Framework kayak gini terlalu linear dan rigid, nggak cocok buat orang yang harus bisa langsung deliver."
Tapi sebenarnya Shu Ha Ri Itu Soal Learning Model, Bukan Jabatan
Shu Ha Ri itu bukan tentang jabatan — tapi proses belajar terhadap sesuatu yang baru.

Misalnya:
  • seorang Senior PM yang pindah dari e-commerce ke fintech, atau dari startup ke BUMN, tetap harus ada fase Shu untuk memahami konteks baru: proses, budaya tim, regulasi, dsb.
  • Seorang engineering lead yang pindah ke perusahaan dengan arsitektur microservices padahal sebelumnya cuma handle monolith—masih perlu "Shu" dulu, meskipun jabatannya senior banget.
Jadi, bahkan orang yang pengalamannya segudang, bisa dan harus melalui Shu Ha Ri lagi saat konteks berubah. Bukan karena dia tidak capable, tapi karena belajar itu siklus, bukan garis lurus.

Shu Ha Ri Bisa Berulang di Tiap Konteks

Shu Ha Ri itu bukan satu kali jalan, tapi bisa terjadi berkali-kali, di bidang atau skill berbeda.

Contohnya:
  • Baru masuk tim atau startup baru -> Ya, harus pahami kultur & sistem
  • Pindah domain (misal: dari lending ke payments) -> Perlu belajar dulu sebelum eksperimen
  • Mengadopsi metode baru (contoh: design sprint, OKR, agile scaling) -> Mulai dari Shu lagi


Mindset: “Experience ≠ Skip Learning”

Kalau kita bilang mid/senior harusnya bisa langsung Ri (melewati Shu dan Ha), kita bisa terjebak dalam dua hal:
  • Overconfidence: Mengira bisa langsung adapt tanpa pahami konteks.
  • Under-learning: Nggak kasih ruang untuk adaptasi yang mendalam, akhirnya decision-nya dangkal.
Justru, orang yang matang dan senior biasanya lebih tahu kapan harus “Shu” dulu, dan tidak gengsi untuk berada di fase belajar.

Solusinya: Gunakan Shu Ha Ri Secara Kontekstual

Jadi ya, Shu Ha Ri tetap relevan untuk mid dan senior level, asal digunakan dengan bijak dan kontekstual:
  • Shu: Tidak perlu terlalu kaku atau lama, tapi penting untuk memahami “aturan main” yang berlaku.
  • Ha: Mereka bisa lebih cepat masuk fase ini karena pengalaman sebelumnya.
  • Ri: Di sinilah mereka bisa memberi dampak besar—tapi bukan berarti langsung loncat ke sini tanpa memahami dasar.
Penutup dan kesimpulan
  • Mid dan senior level bukan berarti melewati Shu Ha Ri—mereka justru bisa "berputar" lebih cepat melalui tiap tahap karena pengalaman mereka. Tapi tetap harus melalui semuanya.
  • Kalau kamu lihat ada tim atau kolega yang “senior” tapi kelihatan stuck atau salah langkah, bisa jadi mereka lompat dari Shu ke Ri terlalu cepat.

Sunday, July 13, 2025

Journalling = Pengecut?

Kalau journaling dianggap pengecut, menurut gua itu lebih karena orang belum ngerti esensinya journaling itu apa. Banyak yang nganggep journaling itu kayak “ngomongin orang di belakang”, padahal sebenernya beda jauh.

Journaling bukan soal ngeluh doang atau nyindir orang tanpa berani ngomong langsung. Itu lebih ke self-reflection—proses lo nyaring emosi, mikir ulang kejadian, dan nyoba pahamin perasaan lo sendiri sebelum lo bereaksi. Justru itu tanda kedewasaan. Gimana lo bisa ngomong langsung ke orang dengan tenang dan jelas kalo lo sendiri belum ngerti apa yang lo rasain?


Kadang kita nulis dulu karena:
  • Lagi emosi dan takut ngomongnya meledak.
  • Butuh waktu buat nyusun kata-kata biar nggak nyakitin orang.
  • Atau emang nggak semua hal harus dikonfrontasi langsung. Ada yang cukup lo pahami sendiri dan selesai di situ.

Gua malah mikir, journaling itu bukannya pengecut, tapi bentuk keberanian yang diem-diem aja. Lo berani ngadepin isi kepala lo sendiri, dan itu nggak semua orang bisa, bro.

Tapi ya gua ngerti juga, kalau dari luar keliatannya kayak lo “nggak berani ngomong langsung”. Tapi kan orang luar nggak tahu perjuangan internal kita. Gimana lo nahan emosi, nyari solusi, nyoba ngerti diri lo sendiri… itu nggak keliatan dari luar.

Jadi kalo ada yang bilang orang jadi pengecut gara-gara journaling? Gua akan bilang: “Lo aja belum tentu bisa duduk sendiri sama pikiran lo sendiri tanpa kabur ke distraksi.”

Saturday, July 12, 2025

Soal 3D, 4D, dan 5D Consciousness

Konsep 3D, 4D, dan 5D consciousness itu memang populer banget di spiritualitas modern dan sering banget muncul di pembahasan tentang kebangkitan kesadaran, perjalanan jiwa, atau bahkan ascension (kenaikan spiritual).

Tapi sebenarnya ini bukan dimensi dalam arti fisika seperti dalam matematika atau sains ya—ini lebih metaforis, menggambarkan tingkatan atau frekuensi kesadaran manusia.

3D Consciousness (Kesadaran 3 Dimensi)


Ini adalah tingkat kesadaran yang paling “mendasar” dan paling umum dialami kebanyakan orang.

Ciri-ciri 3D:
  • Fokus pada materialisme, status sosial, uang, kekuasaan.
  • Pandangan hidup sangat dualistik: benar vs salah, baik vs jahat, menang vs kalah.
  • Dipenuhi ego: rasa takut, cemas, merasa terpisah dari orang lain dan dari alam semesta.
  • Sering merasa jadi korban keadaan (“Kenapa ini terjadi padaku?”).
  • Segalanya dilihat dari sudut pandang logika, fisik, dan terbatas oleh waktu linear (masa lalu, sekarang, masa depan).

Contoh pola pikir:
“Aku harus kerja keras dan bersaing supaya sukses. Kalau tidak punya uang, aku gagal.”

4D Consciousness (Kesadaran 4 Dimensi)


Ini dianggap sebagai “jembatan” dari 3D ke 5D. Mulai ada kebangkitan spiritual, mulai mempertanyakan realitas, dan mencari makna lebih dalam.

Ciri-ciri 4D:
  • Mulai menyadari bahwa ada energi, frekuensi, vibrasi, dan bahwa kita bisa menciptakan realitas kita sendiri.
  • Muncul ketertarikan pada meditasi, yoga, law of attraction, astrologi, dll.
  • Mulai menyadari bahwa hidup itu lebih dari sekadar dunia fisik.
  • Ego masih ada, tapi mulai dikenali dan dikelola.
  • Lebih intuitif dan reflektif, namun kadang juga bisa "nyangkut" di spiritual ego—merasa lebih "tinggi" dari yang belum bangkit.

Contoh pola pikir:
“Ada alasan kenapa aku mengalami ini semua. Semesta sedang mengajarkanku sesuatu.”

5D Consciousness (Kesadaran 5 Dimensi)


Nah, ini yang sering dianggap sebagai kesadaran tingkat tinggi, tempat di mana kita hidup dengan cinta tanpa syarat, tanpa ego, dan merasakan kesatuan dengan semua yang ada.

Ciri-ciri 5D:
  • Tidak ada dualitas – semua dipandang sebagai satu kesatuan.
  • Hidup dari hati, bukan pikiran. Segalanya dilakukan dengan cinta.
  • Waktu tidak lagi linear – hidup lebih mengalir dan sinkronisitas sering terjadi.
  • Tidak lagi merasa takut, karena sadar bahwa kita adalah bagian dari sumber yang lebih besar (semesta, Tuhan, Source, dll.).
  • Penuh kedamaian, welas asih, dan kehadiran penuh (presence).

Contoh pola pikir:
“Kita semua saling terhubung. Aku tidak terpisah dari orang lain, dari alam, atau dari semesta.”

Jadi, apakah ini beneran “naik dimensi” kayak di film sci-fi?

Bukan. Ini lebih ke perjalanan batin, perubahan cara pandang, dan peningkatan frekuensi energi pribadi. Orang yang berada di 5D tetap hidup di dunia fisik, tapi cara mereka melihat dan merespon hidup itu jauh lebih sadar dan penuh kasih.

Masalahnya banyak orang juga ngerasa istilah kayak "gue udah di 5D", "lo masih 3D sih, makanya belum ngerti", itu malah jadi alat untuk ngerasa superior. Ironis banget ya, padahal kalau beneran udah di 5D, ya seharusnya rendah hati dan penuh welas asih, bukan nyinyir apalagi main gaslight orang pake spiritualitas.

Fenomena “Spiritual Ego” — Palsu Tapi Merasa Tinggi

Yang seperti itu sebenarnya masuk ke fenomena yang banyak dibahas juga di dunia spiritualitas modern: spiritual ego.


Spiritual ego itu apa?

Itu ketika seseorang menggunakan pengetahuan atau pengalaman spiritual untuk membangun identitas diri baru yang “lebih tinggi”, tapi sebenarnya mereka cuma mindahin egonya ke bentuk baru.

Contohnya:
  • “Aku udah vibrasi tinggi, jadi wajar kalau aku nggak mau bergaul sama orang toxic kayak kamu.”
  • “Kamu masih terjebak di dualitas. Aku udah melampaui itu.” → Tapi ngucapinnya sambil nyindir

Padahal, 5D itu bukan status sosial baru, tapi state of being. Dan state-nya itu seharusnya mencerminkan:
  • Empati
  • Kesadaran tanpa penghakiman
  • Kasih tanpa syarat
  • Kedamaian batin

Jadi kalau ada orang ngaku 5D tapi mulutnya pedas dan hatinya judgemental? Hmm… ya mungkin dia masih di 3D tapi lagi numpang Wi-Fi ke 5D bentar pas meditasi

Apakah 4D/5D berarti harus ninggalin logika?


Nah ini penting banget dan sering disalahpahami juga.

Intuisi dan logika itu bukan musuh bebuyutan.

Di level kesadaran lebih tinggi (4D/5D), yang terjadi adalah: logika dan intuisi jadi selaras. Bukan dibuang.
  • 3D: dominan logika, tapi sering dikendalikan oleh ego dan rasa takut.
  • 4D: mulai terbuka ke intuisi, tapi masih naik-turun, suka galau karena logika lama mulai digeser.
  • 5D: logika dan intuisi bekerja bersama, tapi dengan dasar cinta dan kehadiran.

Jadi bukan berarti lo harus percaya semua firasat mentah-mentah terus abaikan nalar sehat. Justru semakin tinggi kesadaran, semakin hati-hati juga menyaring input dan makin dalam pemahamannya.

Contoh:
  • Orang 5D bisa percaya pada intuisi, tapi juga mau mendengar perspektif lain, berdiskusi terbuka, dan tidak langsung judge orang yang berpikir beda.

Jadi bagaimana sebaiknya kita menyikapi istilah-istilah ini?

Kalau boleh usul, jadikan istilah ini sebagai cermin, bukan label.


Misalnya:
  • “Apakah aku sedang bereaksi dari ego atau dari kesadaran?”
  • “Apakah aku melihat dunia dengan cinta atau ketakutan?”

Dan kalau ada orang yang pakai spiritualitas buat menyombong, menyindir, atau membungkam orang lain? Lo punya hak penuh buat mempertanyakan dan bahkan menjauh kalau itu nggak sehat. Kebijaksanaan spiritual yang sejati nggak pernah manipulatif.

Thursday, July 10, 2025

Whispers Beneath the Full Moon

Beneath the moon, so round and bright,
The forest hums in silver light.
Each leaf aglow with lunar grace,
A shimmer soft on nature’s face.

The owls begin their nightly song,
Their echoes weaving all night long.
Crickets chime in rhythmic tune,
Serenading the quiet moon.

The river sparkles, calm and wide,
A mirror where the stars confide.
It speaks in murmurs, low and deep,
A lullaby that lulls to sleep.

The pines, like giants, still and tall,
Stand sentry to the midnight call.
Their needles whisper with the breeze—
A language learned from ancient trees.


Foxes glide through meadow mist,
Their paws on earth, like shadows kissed.
And fireflies, in swirling flight,
Dance like dreams born out of light.

No human voice, no engine’s hum,
Just silence where the wild things come.
A sacred hush, a world renewed,
As nature breathes in silver mood.

O moon, pale watcher in the skies,
You draw the tides and stir the cries
Of wolves that sing to stars above—
Their song a longing, fierce with love.

So let me walk this quiet land,
With moonlight soft in open hand.
For in your glow, the world feels right—
A poem written in silver night.

Friday, July 4, 2025

Taking The First Step

"I don't wanna reach out to people who don't reach out to me."

Yeah, I get it. It can feel lopsided. Like you’re always the one initiating, always the one sending that message, planning that catch-up, throwing the emotional rope across the gap.

But here's the thing:
Sometimes people don’t reach out not because they don’t care —
But because they’re tired. Distracted. Insecure. Afraid they’re not wanted either.

Someone needs to take the first step. And not because they’re the “weaker one” or the “desperate one.” No. It’s because they can.
Because they have that little extra capacity to offer a spark.
And sparks can light fires — or just give a bit of warmth in cold moments. Either way, they’re not wasted.



Relationship building takes time. And consistency. It’s messy, uneven, and imperfect.
Sometimes we do get that beautiful, instant connection — the kind where words flow and laughter feels effortless.
But even that needs tending. Even chemistry, left alone, cools off.

A small message, a memory shared, a meme, a “hey, saw this and thought of you” — these little things matter.
Even if they don’t blossom into daily chats or deep friendship right away.
Because, sometimes, the fruit doesn’t ripen now.
It ripens later.
When they’re sitting alone, thinking, and your name flickers through their mind.
And they remember how you made them feel.

And maybe — just maybe — that’s when they reach out.
And everything might begins from there.