Wednesday, December 3, 2025

Teman di Ujung Senja

Namaku Rendra. Dan seumur hidupku, aku selalu punya seseorang yang menemaniku — bahkan ketika aku sudah lupa caranya memanggil nama sendiri di tengah sunyi.

Aku pertama kali bertemu dengannya waktu umur enam tahun. Aku duduk di bawah pohon mangga di halaman belakang, menggambar awan di buku tulis. Saat itu langit seperti mau runtuh, tapi aku malah melihat seorang anak laki-laki berdiri di sisi lain halaman. Dia tersenyum, memiringkan kepala, dan berkata,
"Kenapa kamu kelihatan sedih, Ren?"
Aku mengangkat bahu. "Aku nggak punya teman main."
Dia duduk di sebelahku dan berkata pelan, "Sekarang punya."


Namanya Thomas.

Ia hadir setiap kali dunia jadi terlalu besar buat aku pahami. Waktu aku jatuh dari sepeda, dia menertawakanku dulu baru menolong. Waktu aku menangis karena Ayah pergi kerja jauh, dia bilang, "Gak apa-apa, aku di sini."
Aku percaya padanya seperti aku percaya bahwa pagi akan datang.

Lalu, seperti semua masa kanak-kanak yang terbang tanpa pamit, Thomas perlahan menghilang.
SMP, SMA, kuliah, cinta pertama, pekerjaan pertama, pernikahan — semuanya datang dan pergi dalam parade waktu. Aku punya teman, rekan, anak, lalu cucu. Aku punya rumah dengan taman kecil dan suara ketawa setiap sore.
Hidupku penuh, tapi tak pernah benar-benar utuh. Selalu ada ruang kecil di dada, seperti kursi kosong di ruang tamu, menunggu seseorang yang tak kunjung kembali.

Waktu berlalu. Teman-teman lama mulai berpamitan satu per satu.
Pagi jadi lebih panjang, malam jadi lebih berat.
Dan ketika Lila, istriku, pergi dalam tidurnya — aku merasa seluruh dunia berubah jadi gema. Rumah kami terlalu besar, bahkan untuk napasku sendiri.

Suatu malam, listrik mati. Aku duduk di ruang tamu, hanya ditemani cahaya lilin yang redup. Angin meniup tirai seperti napas pelan dari dunia lain. Aku sempat berpikir, mungkin aku hanya menunggu giliran.


Lalu aku mendengar suara itu.
Lembut. Akurat. Seperti gema masa kecil yang menembus waktu.

"Rendra..."

Aku menoleh. Dan di sana, di sisi meja, berdiri seseorang. Wajahnya samar diterangi cahaya lilin, tapi aku tahu. Aku tahu bahkan sebelum ia tersenyum.
"Thomas."


Dia masih sama. Tidak menua, tidak berubah. Rambutnya tetap berantakan, matanya tetap hangat. Ia duduk di kursi seberangku, mengangkat alis seolah tak ada tahun yang memisahkan kami.
"Kamu tumbuh jadi tua sekali," katanya sambil tertawa kecil.
Aku tersenyum miris. "Dan kamu tetap sama."
"Aku kan cuma muncul kalau kamu butuh."
Aku menatapnya lama. "Jadi kamu nyata?"
Dia berpikir sebentar, lalu menjawab, "Tergantung, Ren. Apa yang lebih nyata — sesuatu yang kamu sentuh, atau sesuatu yang kamu percaya sepenuhnya?"

Kami mengobrol lama malam itu. Tentang hidup, kehilangan, tentang semua hal yang dulu terasa besar tapi kini hanya serpihan waktu. Thomas mendengarkan tanpa banyak bicara, seperti dulu. Kadang aku merasa dia menatapku dengan mata yang tahu segalanya — seolah dia selalu ada di setiap momen yang aku lupa.

Ketika lilin hampir padam, aku berkata, "Kau tahu, Thomas, mungkin kamu cuma bagian dari pikiranku. Sisa imajinasi bocah kesepian."
Dia tersenyum samar. "Kalau begitu, kamu berhasil menciptakan teman yang sangat setia."

Dan sebelum aku sempat menjawab, angin masuk dari jendela yang setengah terbuka. Api lilin padam.
Gelap.
Tapi di dalam gelap itu, aku merasa hangat. Seperti seseorang menepuk bahuku perlahan, lalu berbisik, "Aku di sini."

Pagi datang dengan sinar matahari yang lembut.
Dua cangkir teh di meja, satu di antaranya masih berasap.


Aku tidak ingat apakah aku menuang dua cangkir. Tapi di permukaan teh itu, ada riak kecil yang bergerak... seperti seseorang baru saja meniupnya.

Aku menatap cangkir itu lama, lalu tersenyum.
Mungkin dunia tak pernah benar-benar meninggalkan kita.
Mungkin yang kita sebut teman khayalan hanyalah bentuk lain dari jiwa — yang menolak membiarkan kita berakhir sendirian.

Dan di antara cahaya pagi yang menembus jendela, aku mendengar suaranya lagi.
Jauh.
Lembut.
"Selamat pagi, Ren."

Aku tersenyum. "Selamat pagi, Tom."

***

Aku tidak tahu kapan terakhir kali aku benar-benar tidur.
Atau mungkin — aku belum bangun.

Udara di sekitar terasa lembut. Tidak dingin, tidak panas. Aku duduk di kursi kayu di taman yang samar-samar kukenal. Pohon mangga di belakang rumahku dulu berdiri di sana, tapi daunnya kini berkilau seolah terbuat dari cahaya pagi yang beku.
Ada jalan setapak yang menuju ke arah kabut putih. Aku tahu ke mana jalan itu mengarah, tapi aku belum siap melangkah.


Lalu kudengar suara langkah. Ringan, seperti anak kecil berlari di pasir.
"Tungguin aku dong," katanya.

Aku menoleh, dan di sana Thomas berdiri — sama seperti dulu. Kaus lusuh, senyum malas, mata yang seolah tahu rahasia dunia tapi pura-pura nggak peduli.
Dia duduk di sebelahku, menatap langit yang terlalu biru untuk nyata.
"Capek ya?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Capek... tapi bukan capek tubuh. Lebih kayak... capek nunggu sesuatu yang aku sendiri nggak tahu apa."

Thomas mengangguk pelan. "Semua orang nunggu sesuatu, Ren. Bedanya, cuma ada dua jenis penunggu: yang masih berharap... dan yang udah selesai berharap."
"Dan aku yang mana?"
Dia menatapku lama, lalu tersenyum kecil. "Kamu udah mulai selesai."

Kami diam lama. Angin membawa aroma teh dan tanah basah. Aku memejamkan mata, mendengar detak halus — entah dari jantungku, atau dari dunia ini.

"Aku pengin nanya," kataku akhirnya. "Kamu itu siapa sebenarnya?"
Thomas tertawa kecil. "Kamu selalu suka pertanyaan susah."
"Aku serius."
Dia menatap tangannya, lalu ke arahku. "Mungkin aku bagian dari kamu yang nggak mau mati. Bagian kecil yang masih pengin main, pengin tertawa, pengin percaya."
Aku menelan ludah. "Jadi kamu cuma ilusi?"
Dia menggeleng. "Ilusi itu bukan berarti tidak nyata. Hanya berarti kamu belum punya bahasa untuk menjelaskannya."

Angin berhenti. Dunia terasa hening seperti sebelum seseorang menutup buku.

"Thomas," kataku pelan, "Kalau aku pergi... kamu bakal tetap di sini?"
Dia tersenyum, matanya basah tapi damai. "Aku bukan di sini, Ren. Aku adalah tempat ini. Di mana pun kamu berada, aku bagian dari tempat itu."
Aku mengangguk. "Dan kalau aku hilang?"
"Kalau kamu hilang, aku yang akan menemukanmu."

Seketika aku sadar — taman ini mulai larut dalam cahaya.
Rumahku, pepohonan, bahkan tubuhku sendiri perlahan menjadi transparan.
Aku tidak merasa takut. Tidak merasa sedih. Hanya ada rasa ringan — seperti akhirnya menurunkan beban yang sudah lama kugendong.

Thomas berdiri, mengulurkan tangannya. "Ayo, Ren."
Aku menatap tangannya yang bercahaya samar. "Ke mana?"
Dia tersenyum. "Ke tempat di mana tidak ada yang pergi, dan tidak ada yang datang. Hanya ada... yang ada."


Aku berdiri. Saat jemariku menyentuh tangannya, dunia runtuh dalam keheningan yang indah.
Bukan gelap. Bukan terang. Hanya... tenang.

Dan sebelum segalanya hilang, aku mendengar suaranya berbisik, sangat lembut:
"Kamu nggak pernah sendirian, Ren. Bahkan waktu kamu pikir begitu."

Lalu semuanya jadi cahaya.

***

Epilog: Di Taman Belakang

Namaku Dara.
Orang bilang aku mirip Kakek waktu muda — sama-sama suka bengong liat langit. Bedanya, kalau Kakek dulu pakai rokok di tangannya, aku cuma bawa segelas teh dingin dan earphone setengah nyala.

Sudah dua minggu sejak Kakek meninggal. Rumahnya masih sama: tembok kusam, jendela besar, dan taman kecil yang seolah hidup di dunia sendiri.
Kami belum berani membongkar apa pun di sana. Ibu bilang, biarkan dulu rumahnya tenang, biarkan arwahnya beres-beres sendiri.

Aku tahu itu cuma cara halus untuk bilang "kita belum siap."

Sore itu, aku duduk di taman belakang. Kursi kayu tua masih ada di tempatnya. Catnya mengelupas, tapi tetap kokoh. Di atas meja, dua cangkir teh — sudah kering, tapi meninggalkan noda bundar di taplak.


Aneh, karena katanya Kakek tinggal sendirian.

Aku menatap cangkir itu lama, lalu tiba-tiba teringat sesuatu: waktu kecil, aku sering main ke sini. Kadang aku lihat Kakek duduk sendirian di taman, ngobrol pelan seolah ada orang di depannya.
Waktu aku tanya siapa, dia cuma bilang,
"Teman lama, Ra. Kamu nggak kenal. Tapi dia kenal kamu."

Dulu aku pikir itu lelucon orang tua yang kesepian. Sekarang... entah kenapa, aku nggak se-yakin itu.

Aku menutup mata. Angin sore berhembus lembut, membawa aroma daun mangga dan sesuatu yang aneh — seperti wangi teh manis yang baru diseduh. Lalu aku dengar suara kursi kayu berderit, padahal aku tidak bergerak.

"Aku kangen dia," kataku lirih, entah ke siapa.

Sebuah suara, halus tapi jelas, datang dari arah meja.
"Dia nggak pernah benar-benar pergi."


Aku membuka mata.
Ada bayangan samar duduk di kursi seberang. Seorang pria muda, dengan rambut berantakan dan senyum yang entah kenapa terasa... familiar.
Ia menatapku, lalu berkata pelan, "Dara, ya? Kamu mirip dia waktu kecil."

Jantungku berdetak keras.
"Siapa kamu?" tanyaku, hampir berbisik.

Dia menatap teh di depannya, meniup permukaannya, lalu tersenyum kecil.
"Teman lamanya Rendra."

Aku tak tahu harus berkata apa. Angin berhenti. Cahaya senja membuat segalanya seperti lukisan.
Dia berdiri, menatapku dengan mata hangat yang entah kenapa bikin dadaku sesak.

"Jaga taman ini, ya," katanya. "Dia suka tempat ini karena di sinilah dua dunia bisa saling dengar."
"Dua dunia?"
Dia tidak menjawab. Hanya melangkah menjauh, melewati cahaya sore yang makin redup.
Langkahnya tidak bersuara. Dan ketika aku menoleh lagi — dia sudah tidak ada.

Tapi di meja, salah satu cangkir teh kini berasap tipis.
Segar. Hangat. Seolah baru diseduh.

Aku memegang cangkir itu dengan tangan gemetar. Rasanya manis, persis seperti buatan Kakek.
Dan di dasar cangkir, daun tehnya membentuk pola kecil — dua sosok berdiri berdampingan.

Aku menatapnya lama, lalu tersenyum.
Mungkin, pikirku, ada tempat di antara hidup dan kenangan... di mana mereka yang saling mencintai bisa tetap berjumpa.
Dan taman belakang ini — mungkin, hanya mungkin — adalah pintu kecil menuju tempat itu.

Saturday, November 8, 2025

Battling burnout

(Copied from email newsletter from Susan David - https://www.susandavid.com/)

Hi All,

In the context of our “rise-and-grind” culture, it’s very likely that you (or someone you care about) is either coping with burnout now or has dealt with it in the past.

I’ve been there myself. It feels like your work is demanding more of you than you have to give. It takes you an hour to complete a task that you could have previously done in twenty minutes. You used to look forward to your job. Now you dread it.

One of the key signs of burnout is working less efficiently and falling behind. We often try to remedy this by working more than before. This creates an unhealthy cycle: the deeper your sense of burnout, the more you work, and the more you work, the greater the burnout. The sense of depletion follows you home from the office and you have less energy for your personal life. You feel like you’re in a dark tunnel crawling toward a light that never seems to get any closer.

If this sounds familiar, read on for some tips and tricks for tackling burnout.

Rather than lean in to busyness, look for opportunities to lean in to your humanness.

Humanness looks different for different people. Here are a few ideas:
  • Plan a date night with your partner or friend where you agree not to talk about work.
  • Get outside or do something active.
  • Listen to a favorite song with your eyes closed.
Your humanness is present when you take pleasure in existing rather than accomplishing, when you remember that you’re a human being, not a human doing.

When we connect with our humanness, we stop struggling toward the light at the end of the tunnel and start learning how to see in the dark. We squint our eyes, notice the specific emotions that burnout has provoked in us, and use them as signposts that point us toward our values.

Boredom is a reminder that your need for intellectual challenge is going unmet.
Loneliness suggests that you need more personal connection in your life.
Exhaustion is urging you to lean against the tunnel wall and take a rest.
It’s easy to look forward to some indefinite point in the future when work will slow down and your burnout will fade. But that approach assumes that you won’t collapse along the way.

Instead, it’s more sustainable to use your feelings as data to guide your decisions in the present. Whether that means rethinking how you relate to your work, adjusting your role within your organization, or even laying the groundwork for a career change, you’ll be reframing your burnout as an opportunity to identify the first steps toward change.

In kindness and compassion,

Susan David

Monday, November 3, 2025

Uselessness of Words

It is useless to tell the fool,
they will never understand.
It is useless to tell the wise,
they'd already understand.


It is the best to keep your words for yourself.

Thursday, October 23, 2025

Wednesday, October 22, 2025

Mitos Efisiensi: Kenapa Project Tanpa Buffer Selalu Berujung Chaos

Di dunia manajemen proyek, “efisiensi” sering jadi mantra sakral. Semua orang ingin cepat, lean-resourced, dan produktif. Tapi ada garis tipis antara efisiensi dan nekat. Dan garis itu biasanya terlihat jelas setelah semuanya berantakan.


Ketika project planning disusun dengan resource yang terlalu mepet; Di atas kertas, semuanya kelihatan ideal—timeline ketat tapi “masih masuk”, headcount pas-pasan tapi “bisa lah kalau kompak”.


Lalu realita datang: satu orang sakit. Satu stakeholder terlambat kasih approval. Dan tiba-tiba, seluruh progress berhenti total.


Proyek yang tadinya kelihatan seperti mesin presisi, mendadak macet gara-gara satu baut longgar.

Masalahnya bukan di siapa yang sakit atau siapa yang telat, tapi di mindset saat planning. Kita sering lupa bahwa di dunia nyata, variabel manusia itu unpredictable. Ada faktor kesehatan, burnout, dependency antar tim, atau sekadar Murphy’s Law klasik: “Anything that can go wrong, will go wrong.”


Orang sering bilang, “Kita harus efisien, jangan buang-buang resource!”
Tapi kenyataannya, resource buffer bukanlah pemborosan — itu asuransi terhadap chaos.

Gue suka pakai analogi sederhana: project planning tanpa buffer itu kayak naik motor tanpa helm.
Memang, 90% waktu lo bakal baik-baik aja tanpa helm. Lo bisa ngerasain angin, lebih ringan, bahkan terlihat “efisien”. Tapi ketika kecelakaan kecil terjadi—batu kecil, jalan licin, atau pengendara lain yang ngawur—yang nyelamatin hidup lo bukan kecepatan, tapi helm yang standby itu.


Buffer juga begitu. Mungkin kelihatannya “nggak kepake”, tapi begitu hal-hal tak terduga muncul, di situlah nyawa proyek diselamatkan.

Di perusahaan yang dikejar efisiensi berlebihan, sering muncul fantasi optimisme:
Semua orang sehat, semua dependency on time, semua approval instan.
Padahal, real world selalu punya gesekan. Dan justru di situlah manajer proyek sejati diuji—bukan dengan menekan tim sampai meledak, tapi dengan merancang sistem yang tetap bisa jalan meskipun satu-dua roda copot.

Kalau lo mau ngebut, pastikan tim punya helm yang layak.
Kalau lo mau hemat, hematlah di tempat yang benar—bukan di margin of error yang bikin semuanya rentan.

Efisiensi sejati bukan tentang meniadakan ruang, tapi tentang memanfaatkan ruang dengan bijak. Karena dalam jangka panjang, proyek yang punya buffer justru lebih cepat selesai, karena nggak perlu berhenti setiap kali tabrakan kecil terjadi.


Jangan terjebak dalam mitos efisiensi semu. Rencanakan ruang bernapas. Buat buffer bukan karena lo pesimis, tapi karena lo cukup realistis untuk tahu — masa depan nggak pernah sepenuhnya bisa ditebak.

Karena pada akhirnya, yang bikin lo selamat di jalan proyek bukan seberapa cepat lo ngebut, tapi seberapa siap lo ketika jalanan berubah arah.


Wednesday, October 8, 2025

Bringing Your Whole Self to Work: Why Authenticity Drives Wellbeing and Performance

(Copied from email newsletter from Susan David - https://www.susandavid.com/)

Hi All,

Many of us make a sharp distinction between our “work self” and our “real self.” Perhaps that work self is "all business"—stoic, efficient, and focused on the bottom line. Our so-called real self, by contrast, contains all the parts of us that can’t easily be measured or cataloged—our values, our dreams, and our emotions. The reality, though, is that when people feel able to bring their whole selves to work, it’s healthier for them as individuals as well as for the organizations they create.

Since the Industrial Revolution, there has been an unspoken cultural expectation that employees should operate like machines. Steam engines, of course, never feel overlooked by the boss or resent having to work weekends, and neither should a “good” worker—or so the logic goes.

But people are decidedly not machines, and expecting them to act like they are is a recipe for a number of ailments, such as:
  • disengagement
  • high turnover rates
  • low wellbeing
  • an increase in stress and burnout
As humans, we are driven by our values, so when your daily tasks are disconnected from those values, it takes a toll. Simply going through the motions and pretending that you feel differently than you actually do is called surface acting, and it can only go on for so long before it begins to impact your wellbeing and the quality of your work.


Compare this mindset to a workplace that encourages a more integrated approach, where individuals are invited to show up to work feeling however they feel. This can be as simple as acknowledging and articulating our emotional truths without trying to change or fix them.

When individuals don't feel like they have to check important parts of themselves at the door, it creates a better environment for all. People who are wholehearted in their work aren’t just happier—they’re more engaged, more committed, and less likely to experience alienation or burnout. The office climate improves, which increases retention. Clients and customers notice the care that employees bring to their work, which promotes brand loyalty. It’s a situation that everyone can benefit from.

Of course, bringing one’s whole self to work doesn’t give you license to openly berate an annoying coworker or snidely dismiss an idea you disagree with. Authenticity doesn’t mean we abandon appropriate behavior and respect for others. Our feelings are data that carry important messages, not directives to act on impulse. They’re also not an aspect of your personality than you can choose to turn off. Our emotions are part of us, and responsibly making space for them isn’t unprofessional—it’s indispensable.

With courage, curiosity, and compassion,

Susan David

Saturday, October 4, 2025

Kisah yang Tenggelam di Perjalanan


"We were young, wild, and free — until the day we realized the world is ruled by money, that even love can be sold for its price."

Sepuluh tahun setelah kelulusan, kita reuni kecil. Tempatnya mirip masa SMA dulu—kursi kayu, lampu temaram, aroma sate yang samar. Tapi suasananya sudah berubah. Obrolan bukan lagi soal mimpi, tapi soal cicilan rumah, target KPI, dan harga sekolah anak.

Rangga tiba-tiba nyeletuk:
“Eh, inget nggak dulu kita pernah janji kalau udah kerja, kita patungan bikin studio band? Sekarang sih duitnya ada. Tapi kapan terakhir kita nyanyi bareng?”

Hening. Kita saling pandang, ngetawain dengan getir.

Sinta bilang pelan:
“Kita dulu muda, liar, bebas. Sekarang, welcome to the real life...”

Perasaan gue jadi aneh: antara hangat karena ketemu mereka lagi, tapi juga sedih karena sadar kita semua kalah oleh sistem.


Di masa SMA dulu, hidup terasa sederhana. Sabtu sore berarti nongkrong di warung kopi pojokan sekolah, gitar butut bergilir di tangan, dan lagu-lagu Iwan Fals atau Sheila on 7 jadi soundtrack. Kita—gue, Rangga, Dimas, dan Sinta—ngerasa dunia cuma sejauh lapangan basket, kantin, dan mimpi-mimpi besar yang waktu itu rasanya nggak mustahil.

“Bro, someday kita bikin band beneran. Main di pensi bukan cuma jadi opener, tapi jadi bintang tamu!” seru Rangga, vokalis dengan suara serak-serak romantis. Kita ngakak, tapi dalam hati percaya.

Dulu, hidup nggak pernah ribet. Kita pacaran dengan polos, putus pun sambil makan mie instan rame-rame. Punya 20 ribu di kantong udah cukup buat beli rokok, bensin, sama gorengan.


Lalu kita lulus.

Dan semua mulai berubah.

Sinta, cewek paling idealis di geng, kuliah hukum. Dia pernah bersumpah: “Gue bakal jadi pengacara buat orang kecil. Gue benci liat orang miskin diinjak.” Tapi pas gue ketemu lagi lima tahun kemudian, dia udah jadi corporate lawyer dengan gaji puluhan juta. “Nanti aja deh gue bantu orang kecil, kalau tabungan udah aman,” katanya sambil menyeruput latte di kafe elit. Ada lelah di matanya, tapi ada juga kilau perhiasan di tangannya.


Rangga, si vokalis, kerja di agensi iklan. Katanya seni itu ekspresi, tapi klien maunya bikin iklan mie instan dengan slogan bodoh. Lama-lama dia kompromi. “Namanya juga hidup, bro. Passion itu hobi, duit itu kewajiban.” Suaranya masih serak, tapi nyanyiannya sekarang cuma jadi hiburan kantor pas karaoke.


Tapi yang paling tragis, Dimas. Dia anak paling jago hitung-hitungan, masuk ke dunia perbankan. Awalnya semangat, tapi godaan besar bikin dia terjerat kasus suap kecil-kecilan. “Cuma 20 juta, siapa juga yang tahu,” begitu pikirnya. Sampai suatu hari, berita tentang “pegawai bank ditangkap KPK” muncul, dan wajahnya terpampang di TV.


Dan gue? Gue juga nggak lebih baik. Dulu pengen jadi penulis. Tapi realita bikin gue kerja kantoran, nulis laporan proyek yang nggak pernah ada orang baca. Malam-malam gue buka draft novel lama, tapi jari-jari nggak pernah sanggup ngetik lagi.

Meski begitu, ada satu hal kecil yang masih bikin gue percaya kita nggak sepenuhnya hilang. Malam itu, Rangga tiba-tiba keluarin gitar butut yang masih dia simpan. Kita nyanyi bareng, suara fals bercampur tawa. Untuk sesaat, waktu mundur ke masa SMA.


Besoknya kita kembali ke dunia nyata. Tapi di hati, gue tahu: seberapa pun dunia menelan, selalu ada secuil kenangan—secuil idealisme—yang nggak bisa dirampas uang.


Between the laughter and the fatigue, we realized — the world hadn’t changed, only we had, too tired to remain who we were.