Tuesday, May 20, 2025

Masa Orientasi Brutal

Masa orientasi model "brutal" tuh bukan "pendidikan", tapi lebih ke bentuk penyiksaan yang dibungkus idealisme kosong. Dalihnya sih biar kuat, biar mandiri, biar ngerti hierarki — tapi kenyataannya banyak kakak kelas cuma numpang pelampiasan frustrasi dan ego doang. Toxic legacy yang diturunin terus dari generasi ke generasi tanpa dipertanyakan.

Disclaimer sekali lagi yah, ini hanya untuk mengkritisi ritual orientasi yang brutal saja, dimana TIDAK semua masa orientasi seperti itu.

Nih gw bedah satu-satu case nya:

1. Baju compang-camping, rambut dikuncir 12, nggak boleh keramas

Katanya sih buat ngajarin kesetaraan. Padahal? Yang terjadi justru perendahan martabat. Kalau lo mau ngajarin kesetaraan, kenapa nggak bikin semua orang — termasuk panitia — pakai atribut yang sama? Bukannya malah ngejajah yang baru masuk. Itu bukan kesetaraan, itu pamer kuasa.

2. Dibentak-bentak tiap hari, dicari-cari kesalahan, bahkan digebukin sebagai bentuk hukuman

Alasannya biar siap di dunia kerja. Bro, dunia kerja emang keras, tapi bukan berarti lo harus belajar lewat kekerasan. Ada perbedaan antara disiplin dan teror mental. Kalau lo mau ngajarin mental tangguh, ya kasih tantangan nyata yang relevan — bukan nyuruh orang bawa batu bata 3 biji kemana-mana sambil nyanyi Mars sekolah. Nggak nyambung.

3. Nggak boleh nyalahin kakak kelas

Dalihnya biar ngerti hormat sama yang lebih tua. Masalahnya, ini malah ngajarin bahwa senioritas lebih penting daripada kebenaran. Itu bibit dari budaya feodal dan anti-kritik. Lo tanam itu dari orientasi, nanti tumbuhnya jadi atasan yang nggak bisa dikoreksi.

Gw ngerti niat di baliknya mungkin awalnya mulia.

Tapi niat tanpa logika dan empati, ujungnya jadi toxic ritual. Masa orientasi harusnya jadi ajang perkenalan, adaptasi, dan mulai belajar budaya institusi. Bukan gladiator mental. Kita nggak butuh generasi kuat secara palsu karena terbiasa ditekan — kita butuh generasi yang ngerti empati, bisa kerja tim, dan tahu kapan harus speak up.

Jadi solusinya apa?

Kalau lo pengen bantu junior adaptasi:
  • Kasih simulasi problem solving bareng, bukan marah-marah random.
  • Bikin games kolaboratif, bukan kompetisi capek yang nggak masuk akal.
  • Ajak mereka kenalan sama budaya kampus/sekolah lewat diskusi, bukan intimidasi.

Masa orientasi tuh momen sakral awal masuk dunia baru. Jangan dirusak sama kultur "karena gue dulu digituin, lo juga harus ngerasain".

Jadilah generasi yang mutusin rantai kebodohan ini.

Kalau lo jadi panitia orientasi someday, hajar balik sistem toxic itu. Ganti sama pendekatan yang masuk akal dan bermanfaat.

Di Antara Yang Hilang

Aku pernah kehilangan.
Kadang datangnya seperti badai—tiba-tiba, menghantam tanpa aba-aba. Kadang perlahan, seperti pasir yang hilang dari sela-sela jemari, sampai akhirnya aku hanya sadar bahwa yang dulu ada, kini tak lagi bisa kugenggam.

Cerita ini lahir dari situ.
Bukan sekadar kumpulan cerita fiksi, tapi potongan refleksi. Masing-masing kisah adalah bayangan dari apa yang pernah aku rasakan, atau yang ingin aku mengerti. Beberapa adalah penggalan kenyataan yang kubungkus dengan imajinasi, yang lain mungkin sepenuhnya fiktif tapi tetap terinspirasi oleh sesuatu yang nyata—kehilangan, kerinduan, atau momen yang tak bisa kembali.

Aku tidak menulis karena aku tahu semuanya. Aku menulis karena aku ingin mengerti.
Kenapa beberapa orang pergi tanpa pamit? Kenapa ada yang masih tinggal meski tak lagi benar-benar ada? Dan kenapa, bahkan setelah waktu bergulir, kita masih memeluk rindu seperti teman lama yang tak pernah benar-benar pergi?

Setiap cerita di sini adalah cara aku berdamai.
Dengan masa lalu. Dengan diri sendiri. Dengan kehilangan yang mengajarkanku lebih banyak tentang arti mencintai daripada cinta itu sendiri.

Jadi, kalau kamu sedang membaca ini, mungkin kamu juga pernah merasa kehilangan.
Dan kalau iya, semoga kamu menemukan sesuatu di halaman-halaman selanjutnya—entah itu jawaban, atau setidaknya, rasa bahwa kamu tidak sendiri.

***
  1. https://magister9.blogspot.com/2025/05/the-boy-who-grew-up-too-fast.html
  2. https://magister9.blogspot.com/2025/05/the-boy-who-stayed-boy.html
  3. https://magister9.blogspot.com/2025/05/through-salazars-eyes-raise-of-serpent.html
  4. https://magister9.blogspot.com/2025/05/aku-masih-rindu.html
  5. https://magister9.blogspot.com/2025/05/the-origin-of-cruciatus-curse.html
  6. https://magister9.blogspot.com/2025/05/legacy.html
  7. https://magister9.blogspot.com/2025/05/kursi-kosong-di-pojok-kelas.html
  8. https://magister9.blogspot.com/2025/05/kisah-kita-berempat.html
  9. https://magister9.blogspot.com/2025/05/kisah-kita-berempat-8-tahun-kemudian.html
  10. https://magister9.blogspot.com/2025/05/nggak-selalu-kandang-macan.html
  11. https://magister9.blogspot.com/2025/05/asing-di-tengah-rumah-sendiri.html
  12. https://magister9.blogspot.com/2025/05/rumah-tanpa-nama.html

***

Setelah semua cerita ini kutulis, aku berharap ada semacam kelegaan.
Bahwa dengan merangkai kata, aku bisa membungkus luka. Menaruhnya di rak kenangan, lalu berjalan pergi tanpa menoleh lagi. Tapi ternyata tidak.

Tidak semua sakit sembuh hanya karena diceritakan.
Beberapa tetap tinggal. Mengendap di sudut hati, muncul sewaktu-waktu—di malam sepi, di lagu yang familiar, di tawa yang mengingatkan pada seseorang yang pernah ada. Tapi menulis membantuku berdamai. Bukan untuk melupakan, tapi untuk mengerti.

Aku tidak bisa menjanjikan akhir yang bahagia. Aku bahkan tidak tahu apa arti “bahagia” itu sekarang. Tapi yang kupelajari adalah: melanjutkan hidup bukan berarti kita mengkhianati kenangan.
Kita hanya belajar menaruhnya di tempat yang lebih damai—dalam tulisan, dalam doa, dalam jeda yang hening tapi hangat.

Setiap cerita di buku ini adalah pijakan kecil.
Kadang goyah, kadang mantap. Tapi tetap membawaku maju. Dan mungkin itu cukup.

Jadi kalau kamu sampai di bagian ini, terima kasih.
Bukan karena kamu mengerti rasa sakitku, tapi karena kamu bersedia berjalan bersamaku—meski hanya lewat cerita.
Dan kalau kamu juga masih terluka, semoga kamu tahu: nggak apa-apa belum sembuh.
Yang penting, masih mau melangkah.

Rumah Tanpa Nama

Aku anak perempuan satu-satunya dari seorang duda. Hidup kami tenang, sederhana, dan cukup hangat. Tak pernah ada yang benar-benar kurang, walau hanya kami berdua. Ayah selalu bilang, "Kita cukup karena kita saling punya." Dan aku percaya.

Sampai suatu hari, ayah bilang dia ingin mengenalkan seseorang padaku. Seorang perempuan. Wajahnya ramah, suaranya lembut, senyumnya sopan. Aku tidak merasa terancam. Aku tahu ayah butuh teman, dan kupikir aku sudah cukup dewasa untuk tidak egois.

Tak lama, mereka menikah. Lalu datanglah satu lagi—anak perempuan dari istri baru ayah. Usianya sedikit lebih muda dariku. Kami saling menyapa dengan baik, makan bersama, bahkan sempat tertawa bersama.

Tapi waktu berjalan, dan segalanya mulai miring. Perlahan, peran-peran dalam rumah itu berubah. Saat adik tiriku minta kamar yang kupakai, ayah menyuruhku pindah ke kamar belakang. Katanya, dia perlu ruang lebih untuk "berkembang." Oke, aku terima.

Kemudian baju-bajuku—yang kubeli dari uang jajan sisa dan tabungan kecil—berpindah ke lemarinya. Tanpa aku tahu. Saat kutanya, katanya aku terlalu sensitif. "Namanya juga adik sendiri," kata ayah.

Aku mulai diam. Aku belajar untuk tidak banyak bicara, karena setiap kalimatku terasa ditolak oleh rumah yang dulu kupikir tempatku pulang.

Dan lalu—aku bahkan malas mengingatnya—dia merebut pacarku. Bukan hanya diam-diam. Terang-terangan. Dan saat kusampaikan pada ayah, dia bilang, "Mungkin mereka memang lebih cocok."

Itu kalimat paling menyakitkan yang pernah kudengar.

Waktu itu aku tidak teriak. Tidak banting pintu. Tidak lari. Aku hanya menarik napas dalam-dalam, lalu aku belajar. Aku habiskan waktuku di meja belajar seperti hidupku bergantung pada nilai-nilai itu. Dan memang benar. Nilai-nilai itu menyelamatkanku. Aku dapat beasiswa penuh. Universitas impian. Tiket keluar dari rumah yang bukan lagi rumah.

Aku bilang pada ayah aku akan pergi. Dia hanya mengangguk "Oke". Tidak ada pelukan. Tidak ada "jaga diri." Tidak ada upaya untuk menahanku. Sejak hari itu, tidak satu pun dari mereka menghubungiku. Tidak di ulang tahunku. Tidak di saat aku sakit. Tidak saat aku nyaris gagal di semester ketiga.

Dan besok... besok aku akan wisuda. Aku akan berdiri di atas panggung, mengambil ijazah dengan namaku—bukan nama keluarga mereka. Sendirian. Tapi bukan berarti aku sendiri.

Aku membawa diriku sendiri sejauh ini. Aku yang belajar. Aku yang bertahan. Aku yang bangkit. Dan besok, aku akan merayakannya. Untukku. Hanya untukku.

Kalau mereka datang? Entahlah. Kalau tidak? Tidak mengapa. Aku sudah terbiasa hidup tanpa tepuk tangan mereka.

* Terinspirasi dari sebuah film pendek lama, jika pembaca ada yg tahu judulnya, bisa diinfokan untuk credits

Monday, May 19, 2025

Asing di Tengah Rumah Sendiri

Dulu, kami berlima seperti satelit yang mengelilingi planet yang sama. Satu lingkaran, satu frekuensi. Gue, Fajar, Irfan, Elsa, sama Kartika — satu geng dari awal kuliah. Beda jurusan, beda minat, tapi entah kenapa klop aja. Dari nongkrong di warung kopi deket kampus sampai ngerencanain trip mendadak ke Jogja cuma gara-gara lihat tiket kereta promo, semua kita lakonin bareng. Kami hidup dari impulsif ke impulsif, dan gue pikir, itu bakal selamanya.

Tapi lalu dia datang — Cindy.

Gue pacaran. Awalnya geng gue dukung banget. Mereka suka becandain, "Wih, si Jefri akhirnya taken juga,” tapi seiring waktu, frekuensi gue ketemu mereka menurun drastis. Awalnya cuma sekali-dua kali gue nggak nongkrong karena "lagi quality time" Lama-lama, gue jadi ghosting mereka. Nggak ikut nongkrong. Nggak ikut nonton. Grup chat cuma gue baca doang, udah kayak silent reader.

Gue pikir, geng gue bakal ngerti. Gue pikir, ini cuma fase. Tapi ternyata enggak sesimpel itu.

Tiga tahun gue pacaran, dan selama itu, gue kayak hidup di dunia paralel. Dunia yang isinya cuma Cindy dan rencana-rencana berdua. Dan ketika dunia itu akhirnya runtuh — saat gue dan Cindy putus — gue balik nyari tempat yang dulu gue anggap rumah.

Tapi rumah itu udah berubah.

Gue datang ke tongkrongan lama, tempat kita biasa kumpul, dan rasanya kayak duduk bareng orang asing yang kebetulan pake wajah yang familiar. Candaan mereka udah beda. Bahasa mereka punya inside joke yang nggak gue ngerti lagi. Mereka ngomongin pengalaman yang nggak gue alami, cerita yang nggak gue punya.

Gue nyoba nyelip di tengah-tengah, tapi rasanya kayak jadi tamu tak diundang di pesta mantan. Mereka nggak jahat, nggak mengusir, tapi juga nggak bisa menyembunyikan jarak yang udah keburu tumbuh.

Dan waktu itu gue sadar: lo bisa kehilangan orang bukan karena pertengkaran besar, tapi karena lo pelan-pelan berhenti hadir dalam hidup mereka.

Nggak Selalu Kandang Macan

Sebelum aku mulai kerja pertama kali, ada satu hal yang paling sering aku denger dari orang-orang:

"Dunia kerja itu keras."
"Jangan gampang percaya sama siapa pun."
"Orang kantor cuma keliatannya baik, tapi sebenernya saling sikut."

Nasihat-nasihat itu datang dari segala arah—keluarga, teman, bahkan grup-grup internet. Dan, entah kenapa, kata-kata itu nempel di kepala aku lebih kuat dari semua motivasi yang pernah aku denger.

Jadilah aku masuk ke tempat kerja pertama aku dengan perisai setebal baja. Aku siap buat jungkir balik kerja, tapi nggak siap buat deket sama siapa pun. Buat aku waktu itu, bersosialisasi cuma buang-buang energi dan risiko. Risiko dibohongi, dimanfaatin, dikhianati.

Awalnya semua orang di kantor ramah. Ada yang ngajak ngobrol di pantry, ada yang ngebantuin aku waktu aku masih adaptasi sama sistem, bahkan ada yang ngajakin ngopi sepulang kerja. Tapi aku... pasang mode dingin. Senyum, iya. Tapi cuma sekadar sopan. Obrolan nggak aku lanjutkan. Ajakan nongkrong selalu aku tolak dengan alasan klasik: "Lagi banyak kerjaan," "Ada urusan," atau kadang ya... aku pura-pura sibuk aja.

Aku pikir, dengan jaga jarak, aku bisa lebih fokus dan lebih aman. Nggak ada yang bisa nusuk lo dari belakang kalau nggak ada yang cukup deket buat berdiri di belakang, kan?

Tapi yang aku gak sadar waktu itu: hubungan itu tumbuh dari hal-hal kecil. Dari makan siang bareng. Dari ngobrol soal drama Korea yang nggak aku ngerti. Dari bantuin geser meja buat rapat. Dari ketawa bareng pas nonton video absurd di HP.

Dan karena aku selalu memilih diam, semua itu lewat begitu aja. Bukan karena mereka gak mau deket, tapi karena aku sendiri yang nutup pintu.

Lambat laun, mereka berhenti ngajak. Bukan karena mereka berubah, tapi karena mereka ngerti: mungkin aku gak tertarik. Mereka tetap baik, tetap sopan, tapi jaraknya makin jelas. Dan aku? Aku tetap di pojok itu—jadi orang yang selalu "sibuk," tapi makin kesepian.

Sampai satu hari, Dita—anak finance yang paling duluan ngajak aku ngobrol waktu awal masuk—resign. Tiba-tiba aja, sebulan setelah aku akhirnya mulai berani ikut makan bareng.

Di farewell-nya, suasananya haru. Semua orang kayak punya cerita personal tentang dia. Ada yang ngasih surat tulisan tangan, ada yang bawa kue buatan sendiri. Bahkan bos kami, yang biasanya kaku, peluk dia sambil bilang terima kasih.

Dan aku? Aku berdiri di pojok ruangan, senyum datar, ngerasa kayak tamu di rumah orang. Aku nggak tau harus bilang apa. Nggak punya cerita spesial, nggak punya momen yang bisa aku kenang bareng dia. Aku cuma... telat.

Itu momen yang bikin dada aku sesak.
Karena di situ aku sadar—kesempatan buat jadi bagian dari mereka udah hilang. Bukan karena mereka jahat. Tapi karena aku terlalu sibuk percaya dunia ini kejam, sampai lupa bahwa beberapa tempat justru penuh kebaikan.

Aku pikir aku sedang melindungi diri. Tapi ternyata aku cuma lagi nyiksa diri pelan-pelan. Aku pikir aku kuat karena mandiri. Tapi ternyata aku cuma takut buat percaya.

Sekarang, kalau ada yang baru masuk dunia kerja dan nanya ke aku, "Tempat kerja itu beneran kandang macan ya?"

Aku bakal bilang:
Kadang iya. Tapi kadang, justru di tempat kerja lo ketemu keluarga baru. Asal lo cukup berani buat buka diri sebelum pintunya ketutup selamanya.

Sunday, May 18, 2025

Kisah Kita Berempat - 8 Tahun Kemudian


Satu sore yang nggak sengaja, gue lagi scroll IG story sambil nunggu takeaway. Timeline biasa—kopi, kata-kata bijak hasil repost, dan orang-orang pamer treadmill baru. Sampai akhirnya, satu foto nyangkut di kepala gue.

Warkop Bang Darto. Tempat dulu kita nongkrong tiap sore. Tempat semua cerita itu dimulai, berkembang, dan... perlahan bubar.

Foto itu diambil dari sudut yang familiar: meja kayu panjang yang udah keropos di ujungnya, kipas angin butut yang cuma muter ke kiri, dan tulisan "NGUTANG CUMA BUAT YANG NGAKU TEMEN" yang masih nangkring di dinding. Caption-nya cuma singkat:
"Minggu ini terakhir. Bang Darto mau pensiun. Gak ada yang nerusin."

Gue nge-reply tanpa mikir panjang:
"Masih inget tempat ini?"

Balasannya dateng lima menit kemudian, dari Sherly.
"Inget lah. Kangen juga ya..."

Dari situ, bola salju mulai ngelinding. Gak ada yang ngajak langsung, tapi tiba-tiba aja ada yang bilang, "Kalau Jumat sore sempet, gue ke sana ya." Yang lain ngangguk. Satu persatu. Gak janji, tapi mungkin dateng.

Jumat itu, langit mendung tapi gak hujan. Udara sisa-sisa gerimis tadi siang, basah tapi adem. Gue dateng duluan, kayak biasa. Motor gue parkir di pojok, di tempat yang dulu Dika selalu ngeluh karena ban-nya gampang kejeblos.

Gue masuk pelan. Warkopnya masih sama. Sedikit lebih kusam. Meja kita udah dipindah agak ke belakang, tapi masih utuh—bekas rokok dan noda kopi gak pernah benar-benar ilang.

Bang Darto masih di belakang meja kasir, nyapu pelan sambil dengerin dangdut dari radio kecil.

"Lah... ini siapa? Wah, lama banget gak liat muka lo!" katanya sambil ketawa.
Gue senyum, salaman, dan jawab, "Masih inget saya, Bang?"
Dia ngangguk. "Inget lah. Kalian tuh dulu paling ribut. Kalau saya tutup, kayaknya tempat ini gak bakal seru lagi."

Gue cuma ketawa kecil, tapi di dalam, ada yang kesentil.

Gak lama, satu-satu mereka dateng.

Sherly. Dika. Naya.

Masing-masing dengan versi dewasa mereka. Gaya lebih rapi, mata lebih capek. Tapi pas kita duduk lagi di meja itu, seolah-olah waktu mundur delapan tahun kebelakang. Sejenak, kita bukan orang kantoran, bukan mantan pacar, bukan orang asing. Kita cuma anak-anak yang pernah ketawa terlalu keras dan cerita terlalu banyak.

Awalnya canggung. Basi-basi formal. "Kerja di mana sekarang?" "Masih di kota sini?" Tapi pelan-pelan, suara kita naik. Ngelantur lagi. Ketawa lagi. Sampai akhirnya, Naya nyeletuk sambil nyelipin tangannya ke bawah meja.

"Eh... lo masih inget gak, dulu kita nulis-nulis di sini?"
Dia gesek-gesek bagian bawah meja, dan masih ada di sana—coretan pulpen yang udah luntur tapi bisa kebaca:

"KITA BEREMPAT. 17/03/2017. GAK USAH SERIUS-SERIUS, YANG PENTING ADA KITA."

Kita semua diem sesaat. Bukan karena sedih. Tapi karena... itu nyata. Kita pernah ada. Di sini.

Malam makin gelap, tapi gak ada yang buru-buru pulang. Kita gak ngomong soal putus, gak bahas kenapa kita renggang. Gak perlu. Yang penting sekarang kita duduk bareng lagi, satu meja, di tempat terakhir yang masih nyimpen sisa-sisa kita.

Pas warkop mulai sepi, kita berdiri bareng. Gue bayar ke Bang Darto, dan dia cuma bilang,
"Terima kasih ya. Kalian bagian dari sejarah tempat ini."
Gue gak jawab. Cuma angguk pelan, karena kalau gue ngomong, suara gue bakal getar.

Di luar, sebelum bubar, kita saling lirik. Gak ada pelukan, gak ada janji. Tapi Dika bilang,
"Lain kali, ngopi lagi yuk. Gak harus di sini. Tapi... kapan-kapan."
Dan yang lain ngangguk.
Nggak pasti, tapi bisa jadi.

Sekarang, kita gak tiap hari ngobrol. Tapi kadang, chat grup lama hidup lagi. Naya kadang share meme receh. Sherly sesekali kirim lagu yang katanya "bikin inget dulu". Dika ngajak nonton bola bareng, walau sering batal.

Gak kayak dulu. Tapi cukup.
Dan kadang, cukup itu lebih dari cukup.

***

Kisah Kita Berempat

Dulu, di satu fase hidup gue yang gak terlalu jauh dari sekarang, ada bab yang selalu bikin gue berhenti sejenak tiap kali keinget. Bukan karena gue gak bisa move on, tapi karena bab itu terlalu indah buat dilupain, dan terlalu rusak buat diulang.

Kita berempat.

Gue gak akan sebut nama asli mereka, bukan karena takut, tapi karena bagian ini bukan tentang mereka. Ini tentang kita—geng kecil yang pernah bikin hidup gue lebih dari sekadar rutinitas.

Kita kenal dari tempat biasa: kampus. Klise, gue tau. Tapi cerita ini bukan soal keanehan tempat ketemu, tapi soal apa yang terjadi setelahnya. Gue, Dika, Naya, dan Sherly. Dua cowok, dua cewek. Kita cuma nyambung. Obrolan ngalor-ngidul, tertawa gak jelas, dan rasa nyaman yang gak dibuat-buat.

Setiap sore jadi ritual. Nongkrong bukan karena janjian, tapi karena kita tau: kalau sore ini gak ada yang muncul, terasa ada yang kurang. Kopi sachet, motor bebek, dan playlist Spotify acak—itu semua cukup. Dunia luar ribut, tapi dunia kita tenang.

Sampai akhirnya kita jatuh cinta. Sesuatu yang sebenarnya gak pernah kita rencanakan, tapi juga gak bisa dihindari.

Gue sama Sherly. Dika sama Naya.

Itu momen ketika dunia kecil kita mulai berubah bentuk. Dulu semua datar, setara, dan cair. Sekarang ada batasan-batasan yang gak diucap, tapi makin kerasa. Kita masih berempat, tapi udah mulai jadi dua. Dua pasang.

Waktu itu gue kira ini justru upgrade. Siapa sangka, sahabat jadi kekasih—sounds like a fairytale, kan?

Nyatanya, gak sesederhana itu.

Masa-masa itu kayak mimpi. Kita pernah road trip mendadak, jam tiga pagi, cuma karena Sherly ngidam mie Aceh di kota sebelah. Kita pernah nyasar bareng ke kampung orang, terus malah dijamu kayak tamu penting. Kita bikin video konyol di HP Dika yang sekarang entah kemana. Kita tertawa karena hal-hal bodoh, dan nangis bareng waktu Naya harus operasi kecil dan kita semua nungguin di rumah sakit. Kita ketawa, kita berantem, kita baikan. Tapi perlahan, intensitas itu berubah jadi tekanan.

Gue dan Sherly mulai kehabisan bahan obrolan. Hal-hal kecil kayak dia telat bales chat mulai jadi masalah. Dika dan Naya juga makin sering diem. Ketegangan gak meledak, tapi menggantung di udara kayak listrik statis. Kita saling senyum, tapi kosong. Kita duduk bareng, tapi sendirian.

Akhirnya, satu-satu kita mundur.

Gue putus sama Sherly. Gak dramatis, tapi ngenes. Diam-diam. Kayak dua orang yang tau ini udah gak bisa dipaksain tapi gak punya tenaga buat marah. Dika dan Naya juga selesai—mereka bahkan gak cerita. Tiba-tiba grup chat kita sepi. Lalu hilang. Lalu mati.

Dan itu momen ketika gue sadar: kadang yang rusak itu bukan cuma hubungan cinta. Tapi rumah kecil yang pernah kita bangun bareng-bareng.

Lo tau rasanya hidup belakangan ini? Nggak buruk. Tapi datar. Stabil. Rapi. Dan... kosong. Seolah-olah, warna-warna yang dulu ngejreng itu sekarang pudar. Rutinitas mengambil alih. Tawa diganti scroll TikTok. Petualangan berubah jadi jam kerja. Dan dunia kecil kita—yang dulu kayak rumah—sekarang cuma reruntuhan dalam ingatan.

Sekarang, gue ngopi sendirian. Kadang nongkrong sama teman kantor, kadang duduk di tempat yang dulu sering kita datengin. Tapi bangku yang biasanya buat kita berempat, sekarang cuma terisi dua, kadang satu. Sisanya kosong. Diam.

Kadang, di tengah malam, gue scroll galeri lama. Ada foto kita duduk di pinggir jalan, makan gorengan sambil ngetawain hal gak penting. Bukan karena pengen balikan. Tapi karena gue sadar, kita pernah punya sesuatu yang gak semua orang punya—dan kita ngelepasinnya gitu aja.

Kadang gue juga mikir, salahnya di mana? Apakah kita terlalu naif mikir bisa jadi sahabat dan pasangan tanpa konsekuensi? Atau kita terlalu egois buat nyelamatin yang tersisa?

Gue gak tau.

Yang gue tau, masa itu pernah ada. Dan sekarang udah gak ada. Tapi bukan berarti gak berharga.

Mungkin, kita emang gak ditakdirin selamanya. Tapi kadang gue mikir... kalau aja waktu itu kita duduk bareng satu kali lagi, ngomong jujur, dan gak egois—mungkin ceritanya beda.

Tapi ya... semua udah terjadi.

Mungkin emang gitu caranya hidup ngajarin kita. Bahwa beberapa orang masuk ke hidup lo bukan buat selamanya—tapi buat ngasih lo satu babak yang gak bisa lo dapetin dari siapa pun lagi.

Dan gue bersyukur pernah punya mereka. Walau sekarang, tinggal cerita. Yang bikin sedih, bukan karena semua yang kita alami itu nggak real. Tapi karena kita gak pernah bilang, "Kalau kita retak, jangan sampai hancur."

***