Namaku Rendra. Dan seumur hidupku, aku selalu punya seseorang yang menemaniku — bahkan ketika aku sudah lupa caranya memanggil nama sendiri di tengah sunyi.
Aku pertama kali bertemu dengannya waktu umur enam tahun. Aku duduk di bawah pohon mangga di halaman belakang, menggambar awan di buku tulis. Saat itu langit seperti mau runtuh, tapi aku malah melihat seorang anak laki-laki berdiri di sisi lain halaman. Dia tersenyum, memiringkan kepala, dan berkata,
"Kenapa kamu kelihatan sedih, Ren?"
Aku mengangkat bahu. "Aku nggak punya teman main."
Dia duduk di sebelahku dan berkata pelan, "Sekarang punya."
Namanya Thomas.
Ia hadir setiap kali dunia jadi terlalu besar buat aku pahami. Waktu aku jatuh dari sepeda, dia menertawakanku dulu baru menolong. Waktu aku menangis karena Ayah pergi kerja jauh, dia bilang, "Gak apa-apa, aku di sini."
Aku percaya padanya seperti aku percaya bahwa pagi akan datang.
Lalu, seperti semua masa kanak-kanak yang terbang tanpa pamit, Thomas perlahan menghilang.
SMP, SMA, kuliah, cinta pertama, pekerjaan pertama, pernikahan — semuanya datang dan pergi dalam parade waktu. Aku punya teman, rekan, anak, lalu cucu. Aku punya rumah dengan taman kecil dan suara ketawa setiap sore.
Hidupku penuh, tapi tak pernah benar-benar utuh. Selalu ada ruang kecil di dada, seperti kursi kosong di ruang tamu, menunggu seseorang yang tak kunjung kembali.
Waktu berlalu. Teman-teman lama mulai berpamitan satu per satu.
Pagi jadi lebih panjang, malam jadi lebih berat.
Dan ketika Lila, istriku, pergi dalam tidurnya — aku merasa seluruh dunia berubah jadi gema. Rumah kami terlalu besar, bahkan untuk napasku sendiri.
Suatu malam, listrik mati. Aku duduk di ruang tamu, hanya ditemani cahaya lilin yang redup. Angin meniup tirai seperti napas pelan dari dunia lain. Aku sempat berpikir, mungkin aku hanya menunggu giliran.
Lalu aku mendengar suara itu.
Lembut. Akurat. Seperti gema masa kecil yang menembus waktu.
"Rendra..."
Aku menoleh. Dan di sana, di sisi meja, berdiri seseorang. Wajahnya samar diterangi cahaya lilin, tapi aku tahu. Aku tahu bahkan sebelum ia tersenyum.
"Thomas."
Dia masih sama. Tidak menua, tidak berubah. Rambutnya tetap berantakan, matanya tetap hangat. Ia duduk di kursi seberangku, mengangkat alis seolah tak ada tahun yang memisahkan kami.
"Kamu tumbuh jadi tua sekali," katanya sambil tertawa kecil.
Aku tersenyum miris. "Dan kamu tetap sama."
"Aku kan cuma muncul kalau kamu butuh."
Aku menatapnya lama. "Jadi kamu nyata?"
Dia berpikir sebentar, lalu menjawab, "Tergantung, Ren. Apa yang lebih nyata — sesuatu yang kamu sentuh, atau sesuatu yang kamu percaya sepenuhnya?"
Kami mengobrol lama malam itu. Tentang hidup, kehilangan, tentang semua hal yang dulu terasa besar tapi kini hanya serpihan waktu. Thomas mendengarkan tanpa banyak bicara, seperti dulu. Kadang aku merasa dia menatapku dengan mata yang tahu segalanya — seolah dia selalu ada di setiap momen yang aku lupa.
Ketika lilin hampir padam, aku berkata, "Kau tahu, Thomas, mungkin kamu cuma bagian dari pikiranku. Sisa imajinasi bocah kesepian."
Dia tersenyum samar. "Kalau begitu, kamu berhasil menciptakan teman yang sangat setia."
Dan sebelum aku sempat menjawab, angin masuk dari jendela yang setengah terbuka. Api lilin padam.
Gelap.
Tapi di dalam gelap itu, aku merasa hangat. Seperti seseorang menepuk bahuku perlahan, lalu berbisik, "Aku di sini."
Pagi datang dengan sinar matahari yang lembut.
Dua cangkir teh di meja, satu di antaranya masih berasap.
Aku tidak ingat apakah aku menuang dua cangkir. Tapi di permukaan teh itu, ada riak kecil yang bergerak... seperti seseorang baru saja meniupnya.
Aku menatap cangkir itu lama, lalu tersenyum.
Mungkin dunia tak pernah benar-benar meninggalkan kita.
Mungkin yang kita sebut teman khayalan hanyalah bentuk lain dari jiwa — yang menolak membiarkan kita berakhir sendirian.
Dan di antara cahaya pagi yang menembus jendela, aku mendengar suaranya lagi.
Jauh.
Lembut.
"Selamat pagi, Ren."
Aku tersenyum. "Selamat pagi, Tom."
***
Aku tidak tahu kapan terakhir kali aku benar-benar tidur.
Atau mungkin — aku belum bangun.
Udara di sekitar terasa lembut. Tidak dingin, tidak panas. Aku duduk di kursi kayu di taman yang samar-samar kukenal. Pohon mangga di belakang rumahku dulu berdiri di sana, tapi daunnya kini berkilau seolah terbuat dari cahaya pagi yang beku.
Ada jalan setapak yang menuju ke arah kabut putih. Aku tahu ke mana jalan itu mengarah, tapi aku belum siap melangkah.
Lalu kudengar suara langkah. Ringan, seperti anak kecil berlari di pasir.
"Tungguin aku dong," katanya.
Aku menoleh, dan di sana Thomas berdiri — sama seperti dulu. Kaus lusuh, senyum malas, mata yang seolah tahu rahasia dunia tapi pura-pura nggak peduli.
Dia duduk di sebelahku, menatap langit yang terlalu biru untuk nyata.
"Capek ya?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Capek... tapi bukan capek tubuh. Lebih kayak... capek nunggu sesuatu yang aku sendiri nggak tahu apa."
Thomas mengangguk pelan. "Semua orang nunggu sesuatu, Ren. Bedanya, cuma ada dua jenis penunggu: yang masih berharap... dan yang udah selesai berharap."
"Dan aku yang mana?"
Dia menatapku lama, lalu tersenyum kecil. "Kamu udah mulai selesai."
Kami diam lama. Angin membawa aroma teh dan tanah basah. Aku memejamkan mata, mendengar detak halus — entah dari jantungku, atau dari dunia ini.
"Aku pengin nanya," kataku akhirnya. "Kamu itu siapa sebenarnya?"
Thomas tertawa kecil. "Kamu selalu suka pertanyaan susah."
"Aku serius."
Dia menatap tangannya, lalu ke arahku. "Mungkin aku bagian dari kamu yang nggak mau mati. Bagian kecil yang masih pengin main, pengin tertawa, pengin percaya."
Aku menelan ludah. "Jadi kamu cuma ilusi?"
Dia menggeleng. "Ilusi itu bukan berarti tidak nyata. Hanya berarti kamu belum punya bahasa untuk menjelaskannya."
Angin berhenti. Dunia terasa hening seperti sebelum seseorang menutup buku.
"Thomas," kataku pelan, "Kalau aku pergi... kamu bakal tetap di sini?"
Dia tersenyum, matanya basah tapi damai. "Aku bukan di sini, Ren. Aku adalah tempat ini. Di mana pun kamu berada, aku bagian dari tempat itu."
Aku mengangguk. "Dan kalau aku hilang?"
"Kalau kamu hilang, aku yang akan menemukanmu."
Seketika aku sadar — taman ini mulai larut dalam cahaya.
Rumahku, pepohonan, bahkan tubuhku sendiri perlahan menjadi transparan.
Aku tidak merasa takut. Tidak merasa sedih. Hanya ada rasa ringan — seperti akhirnya menurunkan beban yang sudah lama kugendong.
Thomas berdiri, mengulurkan tangannya. "Ayo, Ren."
Aku menatap tangannya yang bercahaya samar. "Ke mana?"
Dia tersenyum. "Ke tempat di mana tidak ada yang pergi, dan tidak ada yang datang. Hanya ada... yang ada."
Aku berdiri. Saat jemariku menyentuh tangannya, dunia runtuh dalam keheningan yang indah.
Bukan gelap. Bukan terang. Hanya... tenang.
Dan sebelum segalanya hilang, aku mendengar suaranya berbisik, sangat lembut:
"Kamu nggak pernah sendirian, Ren. Bahkan waktu kamu pikir begitu."
Lalu semuanya jadi cahaya.
***
Epilog: Di Taman Belakang
Namaku Dara.
Orang bilang aku mirip Kakek waktu muda — sama-sama suka bengong liat langit. Bedanya, kalau Kakek dulu pakai rokok di tangannya, aku cuma bawa segelas teh dingin dan earphone setengah nyala.
Sudah dua minggu sejak Kakek meninggal. Rumahnya masih sama: tembok kusam, jendela besar, dan taman kecil yang seolah hidup di dunia sendiri.
Kami belum berani membongkar apa pun di sana. Ibu bilang, biarkan dulu rumahnya tenang, biarkan arwahnya beres-beres sendiri.
Aku tahu itu cuma cara halus untuk bilang "kita belum siap."
Sore itu, aku duduk di taman belakang. Kursi kayu tua masih ada di tempatnya. Catnya mengelupas, tapi tetap kokoh. Di atas meja, dua cangkir teh — sudah kering, tapi meninggalkan noda bundar di taplak.
Aneh, karena katanya Kakek tinggal sendirian.
Aku menatap cangkir itu lama, lalu tiba-tiba teringat sesuatu: waktu kecil, aku sering main ke sini. Kadang aku lihat Kakek duduk sendirian di taman, ngobrol pelan seolah ada orang di depannya.
Waktu aku tanya siapa, dia cuma bilang,
"Teman lama, Ra. Kamu nggak kenal. Tapi dia kenal kamu."
Dulu aku pikir itu lelucon orang tua yang kesepian. Sekarang... entah kenapa, aku nggak se-yakin itu.
Aku menutup mata. Angin sore berhembus lembut, membawa aroma daun mangga dan sesuatu yang aneh — seperti wangi teh manis yang baru diseduh. Lalu aku dengar suara kursi kayu berderit, padahal aku tidak bergerak.
"Aku kangen dia," kataku lirih, entah ke siapa.
Sebuah suara, halus tapi jelas, datang dari arah meja.
"Dia nggak pernah benar-benar pergi."
Ada bayangan samar duduk di kursi seberang. Seorang pria muda, dengan rambut berantakan dan senyum yang entah kenapa terasa... familiar.
Ia menatapku, lalu berkata pelan, "Dara, ya? Kamu mirip dia waktu kecil."
Jantungku berdetak keras.
"Siapa kamu?" tanyaku, hampir berbisik.
Dia menatap teh di depannya, meniup permukaannya, lalu tersenyum kecil.
"Teman lamanya Rendra."
Aku tak tahu harus berkata apa. Angin berhenti. Cahaya senja membuat segalanya seperti lukisan.
Dia berdiri, menatapku dengan mata hangat yang entah kenapa bikin dadaku sesak.
"Jaga taman ini, ya," katanya. "Dia suka tempat ini karena di sinilah dua dunia bisa saling dengar."
"Dua dunia?"
Dia tidak menjawab. Hanya melangkah menjauh, melewati cahaya sore yang makin redup.
Langkahnya tidak bersuara. Dan ketika aku menoleh lagi — dia sudah tidak ada.
Tapi di meja, salah satu cangkir teh kini berasap tipis.
Segar. Hangat. Seolah baru diseduh.
Aku memegang cangkir itu dengan tangan gemetar. Rasanya manis, persis seperti buatan Kakek.
Dan di dasar cangkir, daun tehnya membentuk pola kecil — dua sosok berdiri berdampingan.
Aku menatapnya lama, lalu tersenyum.
Mungkin, pikirku, ada tempat di antara hidup dan kenangan... di mana mereka yang saling mencintai bisa tetap berjumpa.
Dan taman belakang ini — mungkin, hanya mungkin — adalah pintu kecil menuju tempat itu.
No comments:
Post a Comment