Wednesday, December 31, 2025

The Lost Child

Setiap malam, jam di ruang tamu selalu berdetak sedikit lebih keras dari biasanya.

Jarumnya hampir selalu berhenti di angka tujuh ketika dia mendengar suara ketukan kecil dari luar pagar.


“Tok… tok… tok…”

Anak perempuan itu—sebut saja namanya Rani—sedang duduk lesehan sambil menggambar. Mamanya di dapur, radionya menyala pelan, bau minyak goreng dan bawang putih mengambang di udara.

“Ran, jangan ke mana-mana ya,” suara mama dari dapur.
“Iya, Ma,” jawabnya otomatis.

Ketukan itu datang lagi.

Rani berdiri, mengintip lewat jendela. Di luar, ada anak-anak. Banyak. Usia mereka kira-kira sama dengannya—SD semua. Ada yang kurus, ada yang gemuk, ada yang rambutnya dikepang rapi, ada yang kusut seperti baru bangun tidur.


Seorang anak laki-laki melambai. Senyumnya lebar.

“Main, yuk,” ajak mereka.

Rani ragu sebentar. Tapi kaki kecilnya sudah melangkah keluar sebelum pikirannya sempat menyusul.

Sejak malam itu, mereka selalu datang.

Selalu antara jam tujuh sampai jam sembilan. Tidak pernah lewat, tidak pernah lebih awal.

Mereka main petak umpet di lapangan kosong, lompat-lompatan di dekat kali kecil, duduk berjejer di batu sambil cerita hal-hal aneh yang rasanya seperti mimpi tapi terlalu nyata untuk disebut mimpi.



“Nama geng kita apa?” tanya Rani suatu malam.

Anak perempuan berambut pendek menoleh. Matanya tenang, dewasa dengan cara yang aneh.
“Kami nggak punya nama,” katanya.

Rani berpikir sebentar, lalu tersenyum.
“Kalau gitu… aku namain kalian The Lost Child.”

Anak-anak itu saling pandang. Tidak ada yang tertawa, tapi tidak ada yang menolak.

“Boleh,” kata anak laki-laki yang pertama melambai tadi.

Rani tidak pernah cerita ke orang tuanya. Entah kenapa, rasanya tidak perlu. Seperti rahasia kecil yang hanya miliknya.

Suatu malam, mereka bermain di pinggir kali. Airnya keruh, mengalir pelan tapi dalam. Bulan menggantung rendah, cahayanya memantul di permukaan air seperti pecahan kaca.

“Jangan terlalu dekat,” kata Rani.

Anak paling kecil tertawa.
“Tenang aja.”

Tawa itu berhenti terlalu cepat.

Kakinya terpeleset.

“Eh—!”

Tubuh kecil itu jatuh ke air. Sekejap saja. Lalu arus menariknya pergi.

“Pegang tanganku!” teriak Rani sambil berlutut di pinggir kali.


Air beriak liar. Tidak ada tangan yang teraih.

Anak-anak lain berdiri kaku. Tidak ada yang berteriak. Tidak ada yang menangis.

Hanya suara air.

Lalu semuanya gelap.

Rani terbangun di ranjangnya.

Selimutnya rapi. Lampu kamar menyala. Jam dinding menunjukkan pukul enam pagi.

“Mimpi ya…?” gumamnya.

Hari itu berjalan normal. Sekolah, PR, makan malam. Tapi setiap jam tujuh, Rani menoleh ke pagar.

Tidak ada ketukan.

Malam-malam berikutnya juga sama.

The Lost Child tidak pernah datang lagi.

Bertahun-tahun kemudian, Rani sudah remaja. Suatu sore, mamanya membongkar lemari tua, mencari album foto lama.

“Ran, sini deh,” panggil mama.

Rani duduk di sampingnya. Album itu bau kertas tua dan debu. Halaman demi halaman dibuka.

Lalu Rani membeku.

Di salah satu foto hitam-putih, ada segerombolan anak SD berdiri berjajar di pinggir lapangan tanah. Wajah-wajah yang sangat ia kenal.


“Itu…” napasnya tercekat. “Itu mereka.”

Mama tersenyum kecil.
“Itu teman-teman SD mama dulu.”

Jari Rani menunjuk satu per satu.
“Yang ini… yang rambutnya pendek… yang ini yang sering senyum…”

Lalu jarinya berhenti di satu anak perempuan di tengah foto.

“Ma,” suaranya bergetar. “Itu aku.”

Mama tertawa pelan.
“Ngaco kamu. Mana mungkin. Mama waktu itu masih SD.”

“Tapi itu aku,” Rani bersikeras. “Aku kenal mereka. Aku main sama mereka.”

Mama menghela napas, nadanya berubah hati-hati.
“Ran… salah satu dari anak-anak itu meninggal. Tenggelam di kali dekat sekolah.”

Rani menelan ludah.

“Itu… kejadian malam hari?”
Mama mengangguk pelan.

Rani menatap foto itu lagi. Wajah-wajah yang tersenyum tenang. Tidak menakutkan. Tidak jahat.

“Hmm...,” kata mama sambil menutup album, “Tapi dipikir-pikir anak ini memang sedikit mirip kamu yah. Tapi mama juga lupa ini siapa...”

Rani tidak menjawab.

Malam itu, sebelum tidur, ia menatap jam dinding. Pukul tujuh tepat.

Tidak ada ketukan.

Tapi entah kenapa, ia merasa—di luar pagar, di balik gelap—ada segerombolan anak yang akhirnya bisa pulang.

No comments: