Saturday, November 5, 2011

Budayakan Berpikir Kritis Sejak Dini

Kenapa? Kenapa? Dan kenapa?

Seringkali pertanyaan itu muncul, kebanyakan dari seorang anak-anak. Banyak hal yang masih belum dimengerti oleh anak kecil, sehingga mereka banyak bertanya kenapa. Berpikir analitis adalah tanda orang yang cerdas karena mereka tidak menelan segala sesuatu mentah-mentah. Tapi saya heran, banyak sekali anak-anak, terutama di daerah Asia yang tidak diperbolehkan bertanya kenapa oleh orang tua mereka. Sebagian besar orang tua atau orang yang dianggap tua beranggapan jika anak bertanya kenapa berarti melawan, atau tidak sopan.

Saya bagi sedikit pengalaman saya ketika masih kecil. Waktu itu saya melihat ada kerabat yang sedang merokok. Saya tanya, “Kenapa merokok? Bukankah itu tidak baik?” Coba tebak jawaban apa yang saya dapat? “Kamu anak kecil tahu apa?” Yah, saya akui, anak kecil memang tidak tahu apa-apa, mereka hanya menilai hitam dan putih, belum mengenal wilayah abu-abu. Tapi itulah yang menyebabkan mereka dikatakan murni. Tidak seperti kebanyakan orang dewasa yang mulai berkompromi akan banyak hal, dan lama-lama batasan antara baik dan buruk pun menjadi tidak jelas. Seharusnya kalau anak bertanya ‘kenapa?’ orang yang dianggap lebih tahu itu berusaha menjelaskan sebaik-baiknya menggunakan bahasa yang bisa dimengerti anak-anak, atau seandainya mereka tidah tahu pun, tidak ada salahnya untuk berkata “saya tidak tahu” lalu di lain kesempatan berusaha mencari jawaban yang sesuai, bukan hanya berkata tidak tahu kemudian lepas tangan.

Saya menyadari satu hal, kenapa orang barat bisa lebih maju dibanding kita. Karena mereka diajarkan berpikir kritis sejak kecil! Pertanyaan kenapa tidak akan mendapatkan dampratan, sehingga pola pikir ini terbawa sampai dewasa. Ketika kita memarahi anak yang bertanya kenapa, seakan memang anak itu tidak tahu apa-apa, tanpa sadar kita sudah membuat mereka menjadi bodoh dan nantinya bakal mudah dipengaruhi, karena mereka sudah tidak mampu lagi bertanya “kenapa?”! Memang anak kecil tidak tahu apa-apa, tapi karena itulah harus diisi sesuatu yang positif. Kalau kita sudah terbiasa ‘memerintah’ secara mutlak dan tidak boleh ditanya, akhirnya sampai tua anak itu cenderung suka diperintah, dan tidak punya inisiatif. Dari segi emosi pun, anak seringkali menjadi gondok karena meskipun mereka marah, tak bisa melampiaskan ke orang tuanya. Lain halnya jika kita memerintahkan anak-anak, disertai alasan yang jelas. Mereka akan mengikuti karena mengerti manfaat dan bahayanya, bukan karena takut semata.

Saya masih beruntung hanya sekedar dimarahi ketika bertanya ‘kenapa?’ saat masih kecil. Banyak teman-teman saya yang dimaki-maki, ditampar, dan dihukum ketika mereka bertanya kenapa kepada orang tua mereka setiap kali satu perintah keluar. Di satu sisi orang tua mengejarkan anak untuk tidak merokok. Di sisi lain orang tua merokok di depan si anak. Apa yang mereka lihat dan apa yang mereka dengar berbeda jauh. Mulai sekarang marilah kita berusaha untuk bertindak tidak jauh berbeda dengan apa yang kita katakan. Marilah kita membiasakan diri dengan pertanyaan ‘kenapa?’, karena pertanyaan itu merupakan benih masa depan yang lebih baik.

No comments: