Wednesday, August 13, 2025

“Marilag” Japanese Lyric Video - Cover by Yukan


Attouteki,
Sono sonzai kachi ni,
Me o ubaware
Yosoku fukanou,
Karada kara nijimidaru ase
Kimi ni sasageru, kore wa renka..

Totsuzen no koi, kimi wa sugu
Boku o ichigeki de otosu.

Kimi dake tokubetsu na no wa,
Nanika imi ga arun janai?

Ari no mama de ii yo.
Dantotsu ichii rido o kiru,
Sono sonzai wa shinwa sono mono mou sorera ijou na no kamo.

Kimi wa..
marude kiseki no yo na da..
Sono hitomi ni utsuri konda, 
Sou boku wa..
Sukuwareteta'n da..

Sono shinjirarenai hodo, kirei na "melody" o kitta toki,
boku wa iki o namikonde ta,
Kimi bakari wa ai ga afure mou kakushi kirenai,
Kono mama...
Jikan o tomeratara, 
Sono kagayaki kimi no me ni wa mou nai?,
kore mo koi no butai na no.

Ari no mama de ii yo.
Dantotsu ichii  rido o kiru,
Sono sonzai shinwa sono mono mou sorera ijou na no kamo.

Kimi wa..
marude kiseki no yo nanda..
Sono hitomi ni utsurikonda, 
sou boku wa..
Sukuwareteta'n da..

Attouteki
Sono sonzai kachi ni
Me o ubaware
Yosoku fukanou
Karada kara nijimidaru ase,
Kimi ni sasageru, kore wa renka..

***

Saturday, August 9, 2025

Senja di Ujung Jendela


Namaku Lydia. Sudah hampir setahun aku menjadi pelanggan setia Twilight Cafe — tempat yang hanya buka setiap sore mulai pukul setengah lima. Dari luar, cafe ini tak terlalu mencolok. Tapi begitu masuk, rasanya seperti melangkah ke ruang waktu yang berbeda. Lampu kuning hangat, furnitur kayu tua yang terawat, dan aroma kopi bercampur roti panggang selalu menyambutku. Yang paling kusukai adalah cara cahaya senja menyelinap lewat jendela besar di sisi barat, membentuk garis-garis lembut di meja kayu.

Di dekat jendela itulah aku biasanya duduk. Meja yang sama, kursi yang sama. Dan entah sejak kapan, ada seorang pria yang juga memilih tempat itu. Kalau aku sudah datang duluan, dia akan duduk di meja lain—begitu pula sebaliknya.


Kami tak pernah bicara. Tak pernah saling menyapa. Hanya sekilas saling melihat saat sama-sama menatap cahaya senja. Kadang aku berpikir, mungkin kami sama-sama tipe orang yang merasa nyaman dalam diam.


Sampai sore itu.

Pria itu duduk seperti biasa, sibuk mengetik di laptopnya. Aku asyik membaca buku, sesekali mengangkat pandangan ke luar jendela. Senja hari itu agak berbeda — lebih keemasan, seperti menyimpan rahasia. Ketika aku ke kasir untuk membayar, dia sudah beranjak pergi. Meja tempatnya duduk kosong. Tapi di sana, di samping cangkir kopinya yang sudah dingin, ada secarik kertas terlipat.


Refleks, aku mengambilnya. Aku pikir itu nota, atau catatan penting yang tertinggal. Tapi saat kubuka, huruf-huruf tangan yang rapi menyambutku.

***

Lydia, Aku tak yakin ini akan sampai padamu. Tapi jika tak kucoba, mungkin kita akan tetap menjadi dua orang asing selamanya.

Aku Marcus.

Kau mungkin tak mengenaliku sekarang—dan aku tak menyalahkanmu. Dulu kita sering bermain bersama di gang kecil dekat rumahmu, sebelum aku pindah ke luar kota. Aku banyak berubah. Kau juga. Tapi ada satu hal yang tetap sama — cara kau menatap senja.

Besok, aku akan kembali ke sini. Kalau kau mau, kita bisa bicara. Kalau tidak, aku mengerti.

– M.

***

Aku terpaku. Nama itu. Marcus.

Kenangan berloncatan: suara tawa di sore hari, sepeda kecil berwarna biru, dan permainan petak umpet di halaman rumah nenekku. Marcus yang dulu lebih pendek dariku, selalu membawa permen di saku celana, dan sering bilang ingin jadi "penjelajah dunia".


Sekarang aku mengerti kenapa aku tak mengenalnya. Ia benar-benar berubah — lebih tinggi, lebih kurus tapi tegap, wajahnya lebih dewasa, tatapannya dalam. Tak ada lagi sisa anak laki-laki berambut acak-acakan yang kutahu dulu. Dan mungkin itulah kenapa ia ragu menyapaku.

Besok, aku akan kembali ke Twilight Cafe. Bukan hanya untuk melihat senja — tapi untuk bertemu Marcus. Untuk menutup jarak belasan tahun yang tercipta di antara kami...

Walking a Misty Road


When the road is misty and it’s hard to see far ahead, take shorter steps. Make sure your next step won’t cause you to fall into a pit.

Balas Budi

Hujan baru saja reda ketika pesan itu masuk ke ponselku.
“Ingat ya, kamu masih punya utang budi sama aku. Jangan pura-pura lupa.”

Aku menatap layar cukup lama. Kata-kata itu membuat perutku terasa diremas.
Bukan karena aku merasa bersalah, tapi karena aku tahu persis ke mana arah kalimat ini akan berujung.

Aku pernah ada di posisi ini sebelumnya.
Bertahun-tahun lalu, ada orang yang pernah membantuku di masa sulit.
Bantuan itu awalnya kurasa tulus—sampai suatu hari dia memakainya sebagai senjata.
Setiap kali aku menolak permintaannya yang aneh-aneh, dia akan menatap tajam dan mengeluarkan kata yang sama: balas budi.
Kalau aku tetap menolak, hujatan pun keluar: nggak tahu budi, nggak tahu terima kasih, dan kata-kata lain yang seakan menempelkan label buruk di dahiku untuk selamanya.

Ironisnya, ketika aku mencoba menolong orang lain, balasannya justru pengkhianatan.
Bukan hanya ditinggalkan—ada yang malah secara aktif menjatuhkanku demi keuntungan pribadi mereka.
Lama-lama aku mulai percaya satu hal: People are shits.

Sejak itu, aku takut meminta bantuan.
Bahkan di restoran, sekadar bilang, “Tolong ambilin sendok” ke teman, rasanya seperti mempertaruhkan harga diri.
Aku juga menghindari membantu orang lain, takut kebaikanku lagi-lagi dipelintir jadi bumerang.

Suatu pagi, saat aku sedang jogging, mataku menangkap sosok kecil meringkuk di bawah bangku taman.
Seekor kucing liar. Bulunya kusut, matanya sayu.

Entah kenapa, aku berhenti.
Di tasku ada sisa roti—bekal dari rumah. Aku letakkan di dekatnya.
Kucing itu menatapku sebentar, lalu makan pelan-pelan.
Tak ada terima kasih, tak ada janji untuk membalas. Ia hanya makan, lalu kembali meringkuk.

Keesokan harinya, aku kembali lewat taman itu, kali ini dengan catfood.
Lalu besoknya lagi.
Tanpa sadar, aku mulai menyetok catfood di rumah.


Memberi pada makhluk yang tak akan pernah menagih atau memanipulasi terasa aman.
Kucing-kucing itu tak akan memanggilku tidak tahu terima kasih. Mereka hanya menerima, lalu pergi.
Dan anehnya, itu cukup membuatku merasa lega.

Beberapa bulan kemudian, aku mencoba hal baru: menerima bantuan kecil dari orang.
Awalnya sulit. Kalau ada yang menawarkan membawakan kantong belanjaanku, refleksku menolak.
Tapi aku mulai belajar membiarkan mereka membantu.
Menerima pintu yang dibukakan, menerima gelas air yang disodorkan, menerima hadiah kecil.

Rasanya seperti terapi mikro untuk otakku yang terlalu lama hidup dalam mode bertahan.
Aku mulai bisa membedakan mana yang tulus, mana yang bersyarat.

Pagi itu, aku kembali ke taman, membawa kantong kecil berisi catfood.
Di bawah bangku yang sama, seekor kucing baru menunggu.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa tidak takut lagi memberi.

Wednesday, August 6, 2025

CBT Journaling


CBT journaling (jurnal dengan pendekatan Cognitive Behavioral Therapy) powerful banget buat bantu kita mengenali pola pikir negatif, ngecek apakah pikiran kita realistis, dan ngeganti pikiran yang gak helpful jadi lebih sehat dan konstruktif. Cocok buat yang lagi dalam proses self-healing.

Gue akan bantu dengan tutorial journaling CBT step-by-step, lengkap dengan contoh.

Framework Dasar CBT:
  • CBT bekerja dengan 3 komponen utama:
  • Situasi → Pikiran → Perasaan → Perilaku

Kita coba jurnaling dengan menggali keempat aspek ini secara sadar.

Tutorial CBT Journaling: 6 Langkah Mudah

1. Situasi (What happened?)

Tulis kejadian yang bikin lo kepikiran, stress, cemas, atau sedih. Fokus ke fakta, bukan interpretasi.

Contoh:
Hari ini gue dapat notifikasi penolakan dari perusahaan yang gue apply.

2. Pikiran Otomatis (Automatic Thoughts)

Tulis pikiran pertama yang muncul di kepala lo. Gak usah disaring. Biasanya bentuknya pesimis, mutlak, atau menyalahkan diri sendiri.

Contoh:
  • “Aku memang gak cukup bagus.”
  • “Pasti gue akan gagal terus.”
  • “Gue beban buat keluarga.”

3. Perasaan (Emotions)

Identifikasi perasaan yang muncul. Bisa lebih dari satu. Skor intensitasnya 0–100 supaya bisa dilacak progresnya.

Contoh:
  • Sedih (80)
  • Malu (60)
  • Takut (70)

4. Distorsi Kognitif (Cognitive Distortion)

Lihat apakah pikiran lo mengandung bias berpikir yang umum dalam CBT. Ini beberapa jenisnya:
  • All-or-Nothing Thinking – semuanya hitam putih
  • Overgeneralization – sekali gagal, akan gagal terus
  • Mind Reading – yakin orang lain mikir negatif tentang lo
  • Catastrophizing – membayangkan skenario terburuk

Contoh (dari pikiran tadi):
  • “Gue gak cukup bagus” → Labeling / All-or-Nothing
  • “Pasti gagal terus” → Overgeneralization

5. Tantang Pikiran (Challenge the Thoughts)

Tanyakan:
  • Apa bukti bahwa ini benar?
  • Apa bukti sebaliknya?
  • Apa yang bisa gue katakan ke sahabat kalau dia yang merasa begini?
  • Adakah cara melihat situasi ini secara lebih seimbang?

Contoh:
  • Gue pernah diterima kerja sebelumnya → berarti gue mungkin cukup bagus.
  • Banyak faktor dalam rekrutmen, bukan hanya soal kemampuan.
  • Penolakan bukan berarti gue gagal selamanya.

6. Ganti dengan Pikiran Sehat (Alternative Thought)

Setelah lo tantang pikiran tadi, bikin versi yang lebih realistis dan suportif.

Contoh:
“Aku sedang dalam proses berkembang. Ditolak itu menyakitkan, tapi bukan berarti gue gak layak. Gue bisa terus belajar dan coba lagi.”

Lalu lo bisa re-rate emosinya setelah refleksi. Misalnya:
  • Sedih (dari 80 jadi 50)
  • Takut (dari 70 jadi 40)

Tips Tambahan:

Gunakan bahasa sehari-hari, jangan merasa harus “rapi”. CBT journaling itu buat lo sendiri.
Lakuin pas lo lagi overthinking atau sebelum tidur.
Setelah beberapa minggu, lo bisa lihat pola pikiran negatif yang sering muncul — ini bisa jadi insight besar buat healing dan pengembangan diri.