Namaku Lydia. Sudah hampir setahun aku menjadi pelanggan setia Twilight Cafe — tempat yang hanya buka setiap sore mulai pukul setengah lima. Dari luar, cafe ini tak terlalu mencolok. Tapi begitu masuk, rasanya seperti melangkah ke ruang waktu yang berbeda. Lampu kuning hangat, furnitur kayu tua yang terawat, dan aroma kopi bercampur roti panggang selalu menyambutku. Yang paling kusukai adalah cara cahaya senja menyelinap lewat jendela besar di sisi barat, membentuk garis-garis lembut di meja kayu.
Di dekat jendela itulah aku biasanya duduk. Meja yang sama, kursi yang sama. Dan entah sejak kapan, ada seorang pria yang juga memilih tempat itu. Kalau aku sudah datang duluan, dia akan duduk di meja lain—begitu pula sebaliknya.
Kami tak pernah bicara. Tak pernah saling menyapa. Hanya sekilas saling melihat saat sama-sama menatap cahaya senja. Kadang aku berpikir, mungkin kami sama-sama tipe orang yang merasa nyaman dalam diam.
Sampai sore itu.
Pria itu duduk seperti biasa, sibuk mengetik di laptopnya. Aku asyik membaca buku, sesekali mengangkat pandangan ke luar jendela. Senja hari itu agak berbeda — lebih keemasan, seperti menyimpan rahasia. Ketika aku ke kasir untuk membayar, dia sudah beranjak pergi. Meja tempatnya duduk kosong. Tapi di sana, di samping cangkir kopinya yang sudah dingin, ada secarik kertas terlipat.
Refleks, aku mengambilnya. Aku pikir itu nota, atau catatan penting yang tertinggal. Tapi saat kubuka, huruf-huruf tangan yang rapi menyambutku.
***
Lydia, Aku tak yakin ini akan sampai padamu. Tapi jika tak kucoba, mungkin kita akan tetap menjadi dua orang asing selamanya.
Aku Marcus.
Kau mungkin tak mengenaliku sekarang—dan aku tak menyalahkanmu. Dulu kita sering bermain bersama di gang kecil dekat rumahmu, sebelum aku pindah ke luar kota. Aku banyak berubah. Kau juga. Tapi ada satu hal yang tetap sama — cara kau menatap senja.
Besok, aku akan kembali ke sini. Kalau kau mau, kita bisa bicara. Kalau tidak, aku mengerti.
– M.
***
Aku terpaku. Nama itu. Marcus.
Kenangan berloncatan: suara tawa di sore hari, sepeda kecil berwarna biru, dan permainan petak umpet di halaman rumah nenekku. Marcus yang dulu lebih pendek dariku, selalu membawa permen di saku celana, dan sering bilang ingin jadi "penjelajah dunia".
Sekarang aku mengerti kenapa aku tak mengenalnya. Ia benar-benar berubah — lebih tinggi, lebih kurus tapi tegap, wajahnya lebih dewasa, tatapannya dalam. Tak ada lagi sisa anak laki-laki berambut acak-acakan yang kutahu dulu. Dan mungkin itulah kenapa ia ragu menyapaku.
Besok, aku akan kembali ke Twilight Cafe. Bukan hanya untuk melihat senja — tapi untuk bertemu Marcus. Untuk menutup jarak belasan tahun yang tercipta di antara kami...
No comments:
Post a Comment