Saturday, August 9, 2025

Balas Budi

Hujan baru saja reda ketika pesan itu masuk ke ponselku.
“Ingat ya, kamu masih punya utang budi sama aku. Jangan pura-pura lupa.”

Aku menatap layar cukup lama. Kata-kata itu membuat perutku terasa diremas.
Bukan karena aku merasa bersalah, tapi karena aku tahu persis ke mana arah kalimat ini akan berujung.

Aku pernah ada di posisi ini sebelumnya.
Bertahun-tahun lalu, ada orang yang pernah membantuku di masa sulit.
Bantuan itu awalnya kurasa tulus—sampai suatu hari dia memakainya sebagai senjata.
Setiap kali aku menolak permintaannya yang aneh-aneh, dia akan menatap tajam dan mengeluarkan kata yang sama: balas budi.
Kalau aku tetap menolak, hujatan pun keluar: nggak tahu budi, nggak tahu terima kasih, dan kata-kata lain yang seakan menempelkan label buruk di dahiku untuk selamanya.

Ironisnya, ketika aku mencoba menolong orang lain, balasannya justru pengkhianatan.
Bukan hanya ditinggalkan—ada yang malah secara aktif menjatuhkanku demi keuntungan pribadi mereka.
Lama-lama aku mulai percaya satu hal: People are shits.

Sejak itu, aku takut meminta bantuan.
Bahkan di restoran, sekadar bilang, “Tolong ambilin sendok” ke teman, rasanya seperti mempertaruhkan harga diri.
Aku juga menghindari membantu orang lain, takut kebaikanku lagi-lagi dipelintir jadi bumerang.

Suatu pagi, saat aku sedang jogging, mataku menangkap sosok kecil meringkuk di bawah bangku taman.
Seekor kucing liar. Bulunya kusut, matanya sayu.

Entah kenapa, aku berhenti.
Di tasku ada sisa roti—bekal dari rumah. Aku letakkan di dekatnya.
Kucing itu menatapku sebentar, lalu makan pelan-pelan.
Tak ada terima kasih, tak ada janji untuk membalas. Ia hanya makan, lalu kembali meringkuk.

Keesokan harinya, aku kembali lewat taman itu, kali ini dengan catfood.
Lalu besoknya lagi.
Tanpa sadar, aku mulai menyetok catfood di rumah.


Memberi pada makhluk yang tak akan pernah menagih atau memanipulasi terasa aman.
Kucing-kucing itu tak akan memanggilku tidak tahu terima kasih. Mereka hanya menerima, lalu pergi.
Dan anehnya, itu cukup membuatku merasa lega.

Beberapa bulan kemudian, aku mencoba hal baru: menerima bantuan kecil dari orang.
Awalnya sulit. Kalau ada yang menawarkan membawakan kantong belanjaanku, refleksku menolak.
Tapi aku mulai belajar membiarkan mereka membantu.
Menerima pintu yang dibukakan, menerima gelas air yang disodorkan, menerima hadiah kecil.

Rasanya seperti terapi mikro untuk otakku yang terlalu lama hidup dalam mode bertahan.
Aku mulai bisa membedakan mana yang tulus, mana yang bersyarat.

Pagi itu, aku kembali ke taman, membawa kantong kecil berisi catfood.
Di bawah bangku yang sama, seekor kucing baru menunggu.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa tidak takut lagi memberi.

No comments: