Wednesday, September 24, 2025

The Same Demon

It is both blessing and curse, that we share the same demon…


Kita ketemu pertama kali di sudut paling suram sebuah kafe pinggiran. Gue ingat jelas: lo duduk di meja kecil, ngetik di laptop tua dengan wajah setengah hancur, seolah-olah dunia habis ngunyah lo mentah-mentah. Gue nggak lebih baik—muka gue juga kusut, kopi di tangan cuma alasan biar nggak kelihatan kosong.

Sejak malam itu, kita kayak nemuin cermin yang bisa bicara. Sama-sama insomnia, sama-sama dihantui kegelisahan, sama-sama punya kepala yang nggak pernah berhenti ribut. Apapun yang menghantui kita nggak perlu dijelasin—cukup sekali tatap, kita ngerti.

Awalnya terasa kayak anugerah. Ada yang bisa ngerti tanpa harus buka mulut panjang lebar. Malam-malam panjang jadi lebih ringan karena ada lo di sebelah, ngetawain absurditas hidup. Kita kayak dua prajurit yang tahu medan perang sama, sama-sama berdarah, sama-sama pincang, tapi masih maju bareng.

Tapi makin lama, gue sadar: bayang-bayang itu juga kutukan. Kita jadi saling membakar satu sama lain. Waktu gue mau berhenti, lo masih dorong gas. Waktu lo mau diam, gue malah ngegali lebih dalam. Bukannya saling menyelamatkan, kadang kita malah jadi jangkar yang narik lebih dalam ke bawah.

Meski begitu, gue nggak bisa bilang gue nyesel. Tanpa lo, mungkin gue udah tenggelam sendirian. Dengan lo, setidaknya kita belajar satu hal: beban yang sama bisa bikin kita runtuh, tapi juga bisa jadi alasan kita bertahan.

Dan mungkin… justru di situ letak keindahannya. Kita nggak pernah benar-benar menang. Tapi kita juga nggak pernah kalah sendirian.


No comments: