Wednesday, August 13, 2025

“Marilag” Japanese Lyric Video - Cover by Yukan


Attouteki,
Sono sonzai kachi ni,
Me o ubaware
Yosoku fukanou,
Karada kara nijimidaru ase
Kimi ni sasageru, kore wa renka..

Totsuzen no koi, kimi wa sugu
Boku o ichigeki de otosu.

Kimi dake tokubetsu na no wa,
Nanika imi ga arun janai?

Ari no mama de ii yo.
Dantotsu ichii rido o kiru,
Sono sonzai wa shinwa sono mono mou sorera ijou na no kamo.

Kimi wa..
marude kiseki no yo na da..
Sono hitomi ni utsuri konda, 
Sou boku wa..
Sukuwareteta'n da..

Sono shinjirarenai hodo, kirei na "melody" o kitta toki,
boku wa iki o namikonde ta,
Kimi bakari wa ai ga afure mou kakushi kirenai,
Kono mama...
Jikan o tomeratara, 
Sono kagayaki kimi no me ni wa mou nai?,
kore mo koi no butai na no.

Ari no mama de ii yo.
Dantotsu ichii  rido o kiru,
Sono sonzai shinwa sono mono mou sorera ijou na no kamo.

Kimi wa..
marude kiseki no yo nanda..
Sono hitomi ni utsurikonda, 
sou boku wa..
Sukuwareteta'n da..

Attouteki
Sono sonzai kachi ni
Me o ubaware
Yosoku fukanou
Karada kara nijimidaru ase,
Kimi ni sasageru, kore wa renka..

***

Saturday, August 9, 2025

Senja di Ujung Jendela


Namaku Lydia. Sudah hampir setahun aku menjadi pelanggan setia Twilight Cafe — tempat yang hanya buka setiap sore mulai pukul setengah lima. Dari luar, cafe ini tak terlalu mencolok. Tapi begitu masuk, rasanya seperti melangkah ke ruang waktu yang berbeda. Lampu kuning hangat, furnitur kayu tua yang terawat, dan aroma kopi bercampur roti panggang selalu menyambutku. Yang paling kusukai adalah cara cahaya senja menyelinap lewat jendela besar di sisi barat, membentuk garis-garis lembut di meja kayu.

Di dekat jendela itulah aku biasanya duduk. Meja yang sama, kursi yang sama. Dan entah sejak kapan, ada seorang pria yang juga memilih tempat itu. Kalau aku sudah datang duluan, dia akan duduk di meja lain—begitu pula sebaliknya.


Kami tak pernah bicara. Tak pernah saling menyapa. Hanya sekilas saling melihat saat sama-sama menatap cahaya senja. Kadang aku berpikir, mungkin kami sama-sama tipe orang yang merasa nyaman dalam diam.


Sampai sore itu.

Pria itu duduk seperti biasa, sibuk mengetik di laptopnya. Aku asyik membaca buku, sesekali mengangkat pandangan ke luar jendela. Senja hari itu agak berbeda — lebih keemasan, seperti menyimpan rahasia. Ketika aku ke kasir untuk membayar, dia sudah beranjak pergi. Meja tempatnya duduk kosong. Tapi di sana, di samping cangkir kopinya yang sudah dingin, ada secarik kertas terlipat.


Refleks, aku mengambilnya. Aku pikir itu nota, atau catatan penting yang tertinggal. Tapi saat kubuka, huruf-huruf tangan yang rapi menyambutku.

***

Lydia, Aku tak yakin ini akan sampai padamu. Tapi jika tak kucoba, mungkin kita akan tetap menjadi dua orang asing selamanya.

Aku Marcus.

Kau mungkin tak mengenaliku sekarang—dan aku tak menyalahkanmu. Dulu kita sering bermain bersama di gang kecil dekat rumahmu, sebelum aku pindah ke luar kota. Aku banyak berubah. Kau juga. Tapi ada satu hal yang tetap sama — cara kau menatap senja.

Besok, aku akan kembali ke sini. Kalau kau mau, kita bisa bicara. Kalau tidak, aku mengerti.

– M.

***

Aku terpaku. Nama itu. Marcus.

Kenangan berloncatan: suara tawa di sore hari, sepeda kecil berwarna biru, dan permainan petak umpet di halaman rumah nenekku. Marcus yang dulu lebih pendek dariku, selalu membawa permen di saku celana, dan sering bilang ingin jadi "penjelajah dunia".


Sekarang aku mengerti kenapa aku tak mengenalnya. Ia benar-benar berubah — lebih tinggi, lebih kurus tapi tegap, wajahnya lebih dewasa, tatapannya dalam. Tak ada lagi sisa anak laki-laki berambut acak-acakan yang kutahu dulu. Dan mungkin itulah kenapa ia ragu menyapaku.

Besok, aku akan kembali ke Twilight Cafe. Bukan hanya untuk melihat senja — tapi untuk bertemu Marcus. Untuk menutup jarak belasan tahun yang tercipta di antara kami...

Walking a Misty Road


When the road is misty and it’s hard to see far ahead, take shorter steps. Make sure your next step won’t cause you to fall into a pit.

Balas Budi

Hujan baru saja reda ketika pesan itu masuk ke ponselku.
“Ingat ya, kamu masih punya utang budi sama aku. Jangan pura-pura lupa.”

Aku menatap layar cukup lama. Kata-kata itu membuat perutku terasa diremas.
Bukan karena aku merasa bersalah, tapi karena aku tahu persis ke mana arah kalimat ini akan berujung.

Aku pernah ada di posisi ini sebelumnya.
Bertahun-tahun lalu, ada orang yang pernah membantuku di masa sulit.
Bantuan itu awalnya kurasa tulus—sampai suatu hari dia memakainya sebagai senjata.
Setiap kali aku menolak permintaannya yang aneh-aneh, dia akan menatap tajam dan mengeluarkan kata yang sama: balas budi.
Kalau aku tetap menolak, hujatan pun keluar: nggak tahu budi, nggak tahu terima kasih, dan kata-kata lain yang seakan menempelkan label buruk di dahiku untuk selamanya.

Ironisnya, ketika aku mencoba menolong orang lain, balasannya justru pengkhianatan.
Bukan hanya ditinggalkan—ada yang malah secara aktif menjatuhkanku demi keuntungan pribadi mereka.
Lama-lama aku mulai percaya satu hal: People are shits.

Sejak itu, aku takut meminta bantuan.
Bahkan di restoran, sekadar bilang, “Tolong ambilin sendok” ke teman, rasanya seperti mempertaruhkan harga diri.
Aku juga menghindari membantu orang lain, takut kebaikanku lagi-lagi dipelintir jadi bumerang.

Suatu pagi, saat aku sedang jogging, mataku menangkap sosok kecil meringkuk di bawah bangku taman.
Seekor kucing liar. Bulunya kusut, matanya sayu.

Entah kenapa, aku berhenti.
Di tasku ada sisa roti—bekal dari rumah. Aku letakkan di dekatnya.
Kucing itu menatapku sebentar, lalu makan pelan-pelan.
Tak ada terima kasih, tak ada janji untuk membalas. Ia hanya makan, lalu kembali meringkuk.

Keesokan harinya, aku kembali lewat taman itu, kali ini dengan catfood.
Lalu besoknya lagi.
Tanpa sadar, aku mulai menyetok catfood di rumah.


Memberi pada makhluk yang tak akan pernah menagih atau memanipulasi terasa aman.
Kucing-kucing itu tak akan memanggilku tidak tahu terima kasih. Mereka hanya menerima, lalu pergi.
Dan anehnya, itu cukup membuatku merasa lega.

Beberapa bulan kemudian, aku mencoba hal baru: menerima bantuan kecil dari orang.
Awalnya sulit. Kalau ada yang menawarkan membawakan kantong belanjaanku, refleksku menolak.
Tapi aku mulai belajar membiarkan mereka membantu.
Menerima pintu yang dibukakan, menerima gelas air yang disodorkan, menerima hadiah kecil.

Rasanya seperti terapi mikro untuk otakku yang terlalu lama hidup dalam mode bertahan.
Aku mulai bisa membedakan mana yang tulus, mana yang bersyarat.

Pagi itu, aku kembali ke taman, membawa kantong kecil berisi catfood.
Di bawah bangku yang sama, seekor kucing baru menunggu.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa tidak takut lagi memberi.

Wednesday, August 6, 2025

CBT Journaling


CBT journaling (jurnal dengan pendekatan Cognitive Behavioral Therapy) powerful banget buat bantu kita mengenali pola pikir negatif, ngecek apakah pikiran kita realistis, dan ngeganti pikiran yang gak helpful jadi lebih sehat dan konstruktif. Cocok buat yang lagi dalam proses self-healing.

Gue akan bantu dengan tutorial journaling CBT step-by-step, lengkap dengan contoh.

Framework Dasar CBT:
  • CBT bekerja dengan 3 komponen utama:
  • Situasi → Pikiran → Perasaan → Perilaku

Kita coba jurnaling dengan menggali keempat aspek ini secara sadar.

Tutorial CBT Journaling: 6 Langkah Mudah

1. Situasi (What happened?)

Tulis kejadian yang bikin lo kepikiran, stress, cemas, atau sedih. Fokus ke fakta, bukan interpretasi.

Contoh:
Hari ini gue dapat notifikasi penolakan dari perusahaan yang gue apply.

2. Pikiran Otomatis (Automatic Thoughts)

Tulis pikiran pertama yang muncul di kepala lo. Gak usah disaring. Biasanya bentuknya pesimis, mutlak, atau menyalahkan diri sendiri.

Contoh:
  • “Aku memang gak cukup bagus.”
  • “Pasti gue akan gagal terus.”
  • “Gue beban buat keluarga.”

3. Perasaan (Emotions)

Identifikasi perasaan yang muncul. Bisa lebih dari satu. Skor intensitasnya 0–100 supaya bisa dilacak progresnya.

Contoh:
  • Sedih (80)
  • Malu (60)
  • Takut (70)

4. Distorsi Kognitif (Cognitive Distortion)

Lihat apakah pikiran lo mengandung bias berpikir yang umum dalam CBT. Ini beberapa jenisnya:
  • All-or-Nothing Thinking – semuanya hitam putih
  • Overgeneralization – sekali gagal, akan gagal terus
  • Mind Reading – yakin orang lain mikir negatif tentang lo
  • Catastrophizing – membayangkan skenario terburuk

Contoh (dari pikiran tadi):
  • “Gue gak cukup bagus” → Labeling / All-or-Nothing
  • “Pasti gagal terus” → Overgeneralization

5. Tantang Pikiran (Challenge the Thoughts)

Tanyakan:
  • Apa bukti bahwa ini benar?
  • Apa bukti sebaliknya?
  • Apa yang bisa gue katakan ke sahabat kalau dia yang merasa begini?
  • Adakah cara melihat situasi ini secara lebih seimbang?

Contoh:
  • Gue pernah diterima kerja sebelumnya → berarti gue mungkin cukup bagus.
  • Banyak faktor dalam rekrutmen, bukan hanya soal kemampuan.
  • Penolakan bukan berarti gue gagal selamanya.

6. Ganti dengan Pikiran Sehat (Alternative Thought)

Setelah lo tantang pikiran tadi, bikin versi yang lebih realistis dan suportif.

Contoh:
“Aku sedang dalam proses berkembang. Ditolak itu menyakitkan, tapi bukan berarti gue gak layak. Gue bisa terus belajar dan coba lagi.”

Lalu lo bisa re-rate emosinya setelah refleksi. Misalnya:
  • Sedih (dari 80 jadi 50)
  • Takut (dari 70 jadi 40)

Tips Tambahan:

Gunakan bahasa sehari-hari, jangan merasa harus “rapi”. CBT journaling itu buat lo sendiri.
Lakuin pas lo lagi overthinking atau sebelum tidur.
Setelah beberapa minggu, lo bisa lihat pola pikiran negatif yang sering muncul — ini bisa jadi insight besar buat healing dan pengembangan diri.


Tuesday, July 22, 2025

Framework Shu Ha Ri: Belajar Cepat dan Adaptif untuk Profesional

Yuk ngobrolin soal framework "Shu Ha Ri"—sebuah framework dari Jepang yang sering dipakai dalam pembelajaran dan pengembangan keahlian, terutama dalam seni bela diri, tapi sekarang juga banyak dipakai dalam dunia kerja, agile, manajemen produk, bahkan leadership!

Apa Itu Shu Ha Ri?

"Shu Ha Ri" (守破離) adalah sebuah kerangka berpikir bertahap dalam proses pembelajaran dan penguasaan keterampilan. Maknanya bisa dijabarkan jadi tiga tahap:

1. Shu (守) – Ikuti Aturan
“Belajar dengan meniru dan mengikuti secara disiplin.”
  • Tahap awal ini fokus pada mengikuti guru atau metode yang ada dengan patuh.
  • Kamu tidak mengubah atau mempertanyakan metode, hanya berlatih secara konsisten dan disiplin.
  • Contoh dalam konteks kerja: Saat seseorang baru belajar Agile, dia akan mengikuti framework Scrum apa adanya—daily standup, sprint planning, retrospective—tanpa modifikasi.
2. Ha (破) – Rombak & Eksplorasi
“Mulai menyimpang dari aturan dan mengeksplorasi pendekatan lain.”
  • Di sini kamu sudah paham esensi dari metode yang dipelajari, jadi mulai bereksperimen.
  • Kamu bisa mulai mengadaptasi teknik dari sumber lain, mencoba gaya baru, dan mulai mengembangkan pemahaman pribadi.
  • Contoh: Setelah beberapa sprint, kamu sadar bahwa daily standup 15 menit bisa disesuaikan jadi 10 menit karena tim kecilmu lebih efisien. Nah, itu kamu sudah masuk tahap Ha!
3. Ri (離) – Inovasi & Kemandirian
“Melepaskan diri dari aturan dan menciptakan gaya sendiri.”
  • Di tahap ini kamu sudah benar-benar menguasai dasar dan bisa berkarya secara mandiri.
  • Kamu tidak terikat pada satu framework atau metode, karena kamu tahu mana yang bekerja dalam konteks tertentu dan bisa menciptakan sistem sendiri.
  • Contoh: Kamu menciptakan metode hybrid antara Scrum, Kanban, dan Lean karena tahu itu yang paling cocok untuk tim dan produkmu.

Aplikasi Shu Ha Ri di Dunia Nyata
  • Agile coaching: Banyak agile coach menggunakan Shu Ha Ri untuk menilai kematangan tim dalam menerapkan agile.
  • Leadership: Seorang pemimpin juga melalui Shu Ha Ri—dari meniru mentor (Shu), mencoba gaya kepemimpinan sendiri (Ha), hingga jadi pemimpin otentik (Ri).
  • Product Management: Saat kamu baru jadi PM, kamu mungkin ikut template PRD dan proses tim. Tapi seiring waktu, kamu adaptasi dan bahkan bisa menciptakan framework PM sendiri sesuai kebutuhan tim atau startup.
Kalau kamu lagi mentoring atau coaching tim, bisa banget loh Shu Ha Ri ini dipakai buat menyesuaikan gaya mentoring—jangan langsung kasih kebebasan saat mereka masih di tahap Shu.


Lanjut...

Ada yg bilang framework ini hanya cocok untuk level staff atau paling mentok associate. Mid dan senior, walaupun experience hire, seharusnya bisa adapt sendiri.

Pendapat bahwa Shu Ha Ri hanya cocok untuk level staff/associate memang sering muncul, terutama di lingkungan kerja yang serba cepat, high-pressure, dan demanding seperti di startup. Tapi yuk kita bahas lebih dalam dan jujur, karena perspektif ini bisa benar sebagian, tapi juga melewatkan esensi dari Shu Ha Ri itu sendiri.

Miskonsepsi: “Shu Ha Ri itu cuma buat junior!”

Ini argumen yang sering dipakai:
  • "Orang yang mid-senior apalagi experience hire, harusnya langsung ngerti konteks dan bisa adaptasi tanpa perlu 'ikutin aturan' kayak anak baru."
  • "Framework kayak gini terlalu linear dan rigid, nggak cocok buat orang yang harus bisa langsung deliver."
Tapi sebenarnya Shu Ha Ri Itu Soal Learning Model, Bukan Jabatan
Shu Ha Ri itu bukan tentang jabatan — tapi proses belajar terhadap sesuatu yang baru.

Misalnya:
  • seorang Senior PM yang pindah dari e-commerce ke fintech, atau dari startup ke BUMN, tetap harus ada fase Shu untuk memahami konteks baru: proses, budaya tim, regulasi, dsb.
  • Seorang engineering lead yang pindah ke perusahaan dengan arsitektur microservices padahal sebelumnya cuma handle monolith—masih perlu "Shu" dulu, meskipun jabatannya senior banget.
Jadi, bahkan orang yang pengalamannya segudang, bisa dan harus melalui Shu Ha Ri lagi saat konteks berubah. Bukan karena dia tidak capable, tapi karena belajar itu siklus, bukan garis lurus.

Shu Ha Ri Bisa Berulang di Tiap Konteks

Shu Ha Ri itu bukan satu kali jalan, tapi bisa terjadi berkali-kali, di bidang atau skill berbeda.

Contohnya:
  • Baru masuk tim atau startup baru -> Ya, harus pahami kultur & sistem
  • Pindah domain (misal: dari lending ke payments) -> Perlu belajar dulu sebelum eksperimen
  • Mengadopsi metode baru (contoh: design sprint, OKR, agile scaling) -> Mulai dari Shu lagi


Mindset: “Experience ≠ Skip Learning”

Kalau kita bilang mid/senior harusnya bisa langsung Ri (melewati Shu dan Ha), kita bisa terjebak dalam dua hal:
  • Overconfidence: Mengira bisa langsung adapt tanpa pahami konteks.
  • Under-learning: Nggak kasih ruang untuk adaptasi yang mendalam, akhirnya decision-nya dangkal.
Justru, orang yang matang dan senior biasanya lebih tahu kapan harus “Shu” dulu, dan tidak gengsi untuk berada di fase belajar.

Solusinya: Gunakan Shu Ha Ri Secara Kontekstual

Jadi ya, Shu Ha Ri tetap relevan untuk mid dan senior level, asal digunakan dengan bijak dan kontekstual:
  • Shu: Tidak perlu terlalu kaku atau lama, tapi penting untuk memahami “aturan main” yang berlaku.
  • Ha: Mereka bisa lebih cepat masuk fase ini karena pengalaman sebelumnya.
  • Ri: Di sinilah mereka bisa memberi dampak besar—tapi bukan berarti langsung loncat ke sini tanpa memahami dasar.
Penutup dan kesimpulan
  • Mid dan senior level bukan berarti melewati Shu Ha Ri—mereka justru bisa "berputar" lebih cepat melalui tiap tahap karena pengalaman mereka. Tapi tetap harus melalui semuanya.
  • Kalau kamu lihat ada tim atau kolega yang “senior” tapi kelihatan stuck atau salah langkah, bisa jadi mereka lompat dari Shu ke Ri terlalu cepat.

Sunday, July 13, 2025

Journalling = Pengecut?

Kalau journaling dianggap pengecut, menurut gua itu lebih karena orang belum ngerti esensinya journaling itu apa. Banyak yang nganggep journaling itu kayak “ngomongin orang di belakang”, padahal sebenernya beda jauh.

Journaling bukan soal ngeluh doang atau nyindir orang tanpa berani ngomong langsung. Itu lebih ke self-reflection—proses lo nyaring emosi, mikir ulang kejadian, dan nyoba pahamin perasaan lo sendiri sebelum lo bereaksi. Justru itu tanda kedewasaan. Gimana lo bisa ngomong langsung ke orang dengan tenang dan jelas kalo lo sendiri belum ngerti apa yang lo rasain?


Kadang kita nulis dulu karena:
  • Lagi emosi dan takut ngomongnya meledak.
  • Butuh waktu buat nyusun kata-kata biar nggak nyakitin orang.
  • Atau emang nggak semua hal harus dikonfrontasi langsung. Ada yang cukup lo pahami sendiri dan selesai di situ.

Gua malah mikir, journaling itu bukannya pengecut, tapi bentuk keberanian yang diem-diem aja. Lo berani ngadepin isi kepala lo sendiri, dan itu nggak semua orang bisa, bro.

Tapi ya gua ngerti juga, kalau dari luar keliatannya kayak lo “nggak berani ngomong langsung”. Tapi kan orang luar nggak tahu perjuangan internal kita. Gimana lo nahan emosi, nyari solusi, nyoba ngerti diri lo sendiri… itu nggak keliatan dari luar.

Jadi kalo ada yang bilang orang jadi pengecut gara-gara journaling? Gua akan bilang: “Lo aja belum tentu bisa duduk sendiri sama pikiran lo sendiri tanpa kabur ke distraksi.”

Saturday, July 12, 2025

Soal 3D, 4D, dan 5D Consciousness

Konsep 3D, 4D, dan 5D consciousness itu memang populer banget di spiritualitas modern dan sering banget muncul di pembahasan tentang kebangkitan kesadaran, perjalanan jiwa, atau bahkan ascension (kenaikan spiritual).

Tapi sebenarnya ini bukan dimensi dalam arti fisika seperti dalam matematika atau sains ya—ini lebih metaforis, menggambarkan tingkatan atau frekuensi kesadaran manusia.

3D Consciousness (Kesadaran 3 Dimensi)


Ini adalah tingkat kesadaran yang paling “mendasar” dan paling umum dialami kebanyakan orang.

Ciri-ciri 3D:
  • Fokus pada materialisme, status sosial, uang, kekuasaan.
  • Pandangan hidup sangat dualistik: benar vs salah, baik vs jahat, menang vs kalah.
  • Dipenuhi ego: rasa takut, cemas, merasa terpisah dari orang lain dan dari alam semesta.
  • Sering merasa jadi korban keadaan (“Kenapa ini terjadi padaku?”).
  • Segalanya dilihat dari sudut pandang logika, fisik, dan terbatas oleh waktu linear (masa lalu, sekarang, masa depan).

Contoh pola pikir:
“Aku harus kerja keras dan bersaing supaya sukses. Kalau tidak punya uang, aku gagal.”

4D Consciousness (Kesadaran 4 Dimensi)


Ini dianggap sebagai “jembatan” dari 3D ke 5D. Mulai ada kebangkitan spiritual, mulai mempertanyakan realitas, dan mencari makna lebih dalam.

Ciri-ciri 4D:
  • Mulai menyadari bahwa ada energi, frekuensi, vibrasi, dan bahwa kita bisa menciptakan realitas kita sendiri.
  • Muncul ketertarikan pada meditasi, yoga, law of attraction, astrologi, dll.
  • Mulai menyadari bahwa hidup itu lebih dari sekadar dunia fisik.
  • Ego masih ada, tapi mulai dikenali dan dikelola.
  • Lebih intuitif dan reflektif, namun kadang juga bisa "nyangkut" di spiritual ego—merasa lebih "tinggi" dari yang belum bangkit.

Contoh pola pikir:
“Ada alasan kenapa aku mengalami ini semua. Semesta sedang mengajarkanku sesuatu.”

5D Consciousness (Kesadaran 5 Dimensi)


Nah, ini yang sering dianggap sebagai kesadaran tingkat tinggi, tempat di mana kita hidup dengan cinta tanpa syarat, tanpa ego, dan merasakan kesatuan dengan semua yang ada.

Ciri-ciri 5D:
  • Tidak ada dualitas – semua dipandang sebagai satu kesatuan.
  • Hidup dari hati, bukan pikiran. Segalanya dilakukan dengan cinta.
  • Waktu tidak lagi linear – hidup lebih mengalir dan sinkronisitas sering terjadi.
  • Tidak lagi merasa takut, karena sadar bahwa kita adalah bagian dari sumber yang lebih besar (semesta, Tuhan, Source, dll.).
  • Penuh kedamaian, welas asih, dan kehadiran penuh (presence).

Contoh pola pikir:
“Kita semua saling terhubung. Aku tidak terpisah dari orang lain, dari alam, atau dari semesta.”

Jadi, apakah ini beneran “naik dimensi” kayak di film sci-fi?

Bukan. Ini lebih ke perjalanan batin, perubahan cara pandang, dan peningkatan frekuensi energi pribadi. Orang yang berada di 5D tetap hidup di dunia fisik, tapi cara mereka melihat dan merespon hidup itu jauh lebih sadar dan penuh kasih.

Masalahnya banyak orang juga ngerasa istilah kayak "gue udah di 5D", "lo masih 3D sih, makanya belum ngerti", itu malah jadi alat untuk ngerasa superior. Ironis banget ya, padahal kalau beneran udah di 5D, ya seharusnya rendah hati dan penuh welas asih, bukan nyinyir apalagi main gaslight orang pake spiritualitas.

Fenomena “Spiritual Ego” — Palsu Tapi Merasa Tinggi

Yang seperti itu sebenarnya masuk ke fenomena yang banyak dibahas juga di dunia spiritualitas modern: spiritual ego.


Spiritual ego itu apa?

Itu ketika seseorang menggunakan pengetahuan atau pengalaman spiritual untuk membangun identitas diri baru yang “lebih tinggi”, tapi sebenarnya mereka cuma mindahin egonya ke bentuk baru.

Contohnya:
  • “Aku udah vibrasi tinggi, jadi wajar kalau aku nggak mau bergaul sama orang toxic kayak kamu.”
  • “Kamu masih terjebak di dualitas. Aku udah melampaui itu.” → Tapi ngucapinnya sambil nyindir

Padahal, 5D itu bukan status sosial baru, tapi state of being. Dan state-nya itu seharusnya mencerminkan:
  • Empati
  • Kesadaran tanpa penghakiman
  • Kasih tanpa syarat
  • Kedamaian batin

Jadi kalau ada orang ngaku 5D tapi mulutnya pedas dan hatinya judgemental? Hmm… ya mungkin dia masih di 3D tapi lagi numpang Wi-Fi ke 5D bentar pas meditasi

Apakah 4D/5D berarti harus ninggalin logika?


Nah ini penting banget dan sering disalahpahami juga.

Intuisi dan logika itu bukan musuh bebuyutan.

Di level kesadaran lebih tinggi (4D/5D), yang terjadi adalah: logika dan intuisi jadi selaras. Bukan dibuang.
  • 3D: dominan logika, tapi sering dikendalikan oleh ego dan rasa takut.
  • 4D: mulai terbuka ke intuisi, tapi masih naik-turun, suka galau karena logika lama mulai digeser.
  • 5D: logika dan intuisi bekerja bersama, tapi dengan dasar cinta dan kehadiran.

Jadi bukan berarti lo harus percaya semua firasat mentah-mentah terus abaikan nalar sehat. Justru semakin tinggi kesadaran, semakin hati-hati juga menyaring input dan makin dalam pemahamannya.

Contoh:
  • Orang 5D bisa percaya pada intuisi, tapi juga mau mendengar perspektif lain, berdiskusi terbuka, dan tidak langsung judge orang yang berpikir beda.

Jadi bagaimana sebaiknya kita menyikapi istilah-istilah ini?

Kalau boleh usul, jadikan istilah ini sebagai cermin, bukan label.


Misalnya:
  • “Apakah aku sedang bereaksi dari ego atau dari kesadaran?”
  • “Apakah aku melihat dunia dengan cinta atau ketakutan?”

Dan kalau ada orang yang pakai spiritualitas buat menyombong, menyindir, atau membungkam orang lain? Lo punya hak penuh buat mempertanyakan dan bahkan menjauh kalau itu nggak sehat. Kebijaksanaan spiritual yang sejati nggak pernah manipulatif.

Thursday, July 10, 2025

Whispers Beneath the Full Moon

Beneath the moon, so round and bright,
The forest hums in silver light.
Each leaf aglow with lunar grace,
A shimmer soft on nature’s face.

The owls begin their nightly song,
Their echoes weaving all night long.
Crickets chime in rhythmic tune,
Serenading the quiet moon.

The river sparkles, calm and wide,
A mirror where the stars confide.
It speaks in murmurs, low and deep,
A lullaby that lulls to sleep.

The pines, like giants, still and tall,
Stand sentry to the midnight call.
Their needles whisper with the breeze—
A language learned from ancient trees.


Foxes glide through meadow mist,
Their paws on earth, like shadows kissed.
And fireflies, in swirling flight,
Dance like dreams born out of light.

No human voice, no engine’s hum,
Just silence where the wild things come.
A sacred hush, a world renewed,
As nature breathes in silver mood.

O moon, pale watcher in the skies,
You draw the tides and stir the cries
Of wolves that sing to stars above—
Their song a longing, fierce with love.

So let me walk this quiet land,
With moonlight soft in open hand.
For in your glow, the world feels right—
A poem written in silver night.

Friday, July 4, 2025

Taking The First Step

"I don't wanna reach out to people who don't reach out to me."

Yeah, I get it. It can feel lopsided. Like you’re always the one initiating, always the one sending that message, planning that catch-up, throwing the emotional rope across the gap.

But here's the thing:
Sometimes people don’t reach out not because they don’t care —
But because they’re tired. Distracted. Insecure. Afraid they’re not wanted either.

Someone needs to take the first step. And not because they’re the “weaker one” or the “desperate one.” No. It’s because they can.
Because they have that little extra capacity to offer a spark.
And sparks can light fires — or just give a bit of warmth in cold moments. Either way, they’re not wasted.



Relationship building takes time. And consistency. It’s messy, uneven, and imperfect.
Sometimes we do get that beautiful, instant connection — the kind where words flow and laughter feels effortless.
But even that needs tending. Even chemistry, left alone, cools off.

A small message, a memory shared, a meme, a “hey, saw this and thought of you” — these little things matter.
Even if they don’t blossom into daily chats or deep friendship right away.
Because, sometimes, the fruit doesn’t ripen now.
It ripens later.
When they’re sitting alone, thinking, and your name flickers through their mind.
And they remember how you made them feel.

And maybe — just maybe — that’s when they reach out.
And everything might begins from there.

Friday, June 20, 2025

Complaint Without Solution Proposal

"Kalo orang complaint, apakah mereka harus selalu propose solutions? Minimal possible solutions yg mereka bisa pikirkan? Atau boleh orang sekedar complaint aja?"

Jawaban gue agak nyampur antara yes, no, dan depends.

1. Boleh banget orang cuma komplain doang

Kadang, orang tuh butuh didengerin aja dulu. Gak semua orang dalam kondisi mental atau emosional yang stabil buat langsung mikirin solusi. Misalnya:
  • Dia lagi frustrasi banget.
  • Dia merasa powerless.
  • Dia gak ngerti sistemnya kayak gimana, jadi gak tahu harus usul apa.

Jadi, dalam konteks itu, komplain itu valid sebagai ekspresi ketidaknyamanan atau rasa sakit. Dan itu udah cukup buat jadi sinyal awal bahwa "Eh, ada yang gak beres nih."

Contoh: Seorang customer bilang, “Aplikasi lo lemot banget! Nyebelin!”
Bisa jadi dia gak ngerti kenapa lemot, tapi tetep penting buat lo tau bahwa ada pain point di sana.


2. Tapi, kalo mau impactful, solusi (atau minimal arah solusi) itu powerful banget

Nah, kalau tujuannya bukan cuma didengerin tapi juga pengen perubahan, maka ngasih ide solusi — meski mentah — itu nilai plus banget.

Kenapa?
  • Itu nunjukin bahwa dia invested — bukan cuma pengen marah, tapi pengen ada perbaikan.
  • Itu bisa bantu pihak yang nerima komplain buat ngerti kebutuhan di balik keluhan lebih jelas.

Contoh: “Aplikasi lo lemot banget. Mungkin bisa kasih opsi buat matiin animasi biar lebih ringan?”
Nah, ini udah masuk ke territory konstruktif, lebih gampang direspon dan ditindaklanjuti.

3. Gak semua orang bisa mikirin solusi, tapi... bisa bantu kalau ditanya

Kadang, lo (atau siapapun yang nerima komplain) bisa bantu orang itu buat explore solusi dengan nanya kayak:
“Gue ngerti lo kesel, dan itu valid. Menurut lo, idealnya kayak gimana sih?”
Pertanyaan ini bisa unlock insight baru, dan ngajak mereka jadi bagian dari problem-solving tanpa maksa mereka langsung harus punya jawabannya.

Jadi kesimpulannya?
  • Komplain doang? Boleh. Valid. Gak harus selalu punya solusi.
  • Tapi ngasih solusi (atau minimal arah) bikin impact-nya lebih gede.
  • Kalau lo nerima komplain, bantu gali arah solusinya dengan empati dan pertanyaan terbuka.

Wednesday, June 18, 2025

Private Journaling di Negara Terbelakang

Gw keingetan 1 kasus. Di suatu negara yg kolot dan controlling, pernah ada kejadian. Anak sekolah, karena terinspirasi suatu film, dia jadi nulis jurnal. Tentang komplain dia terhadap kelakuan guru sekolahnya. Guess what? Jurnal dia kepergok, dan insiden itu sampai jadi berita nasional. Sampai film inspirasi anak itu dikata katain sebagai perusak moral. Salah kah anak ini nulis begitu? Walaupun mungkin tulisan nya agak kasar?

Jujur, sedih sih denger cerita kayak gitu. Menurut gue: nggak, anak itu gak salah. Bahkan dia justru nunjukin sesuatu yang sehat — meskipun akhirnya jadi korban dari sistem yang gak siap nerima suara jujur.

Mari kita bedah pelan-pelan.

1. Anak itu nulis di jurnal pribadi — bukan publik.

Artinya, dia tidak berniat menyebarkan tulisannya. Dia cuma lagi butuh tempat buat meluapkan perasaan. Apapun bentuk ekspresi emosinya — mau marah, kesel, bahkan kata-katanya agak kasar — selama itu ditujukan buat dirinya sendiri, itu hak dia.

Masa iya orang nggak boleh marah di dalam pikirannya sendiri? Di negara yang sehat, privasi kayak gitu tuh sakral. Bahkan kalau lo tulis di buku harian, dan isinya lo misuh-misuh, itu masih valid. Dan yang bobrok adalah sistem yang nyusupin mata-mata sampai ke isi hati orang.

2. Dia terinspirasi dari film — artinya dia lagi tumbuh.

Anak itu gak jadi marah-marah karena filmnya nyuruh, tapi karena film itu buka pintu pikirannya tentang apa yang gak adil di sekitarnya. Itu artinya film itu berfungsi. Karena seni yang baik memang menggugah perasaan dan kesadaran.

Tapi ya... negara atau lingkungan yang otoriter suka takut sama rakyat yang mulai mikir dan merasa. Jadi mereka buru-buru nyalahin pemicu, bukan ngeliat akar masalahnya.


3. Kasarnya tulisan? Wajar lah. Emosi.

Lo bayangin deh: anak itu belum belajar 100% cara ngelola emosi. Tapi mereka nulis. Mereka tidak memukul guru, mereka tidak bikin kekerasan, mereka cuma nulis.

Kalaupun bahasanya kasar, ya tinggal dijadikan momen edukatif, bukan dijadikan alasan buat mempermalukan atau menghukum. Itu bisa banget dijadiin awal percakapan: “Kenapa kamu bisa marah kayak gitu? Apa yang kamu alami?” Tapi kalo malah dibungkam, itu yang bikin anak-anak tumbuh jadi apatis, atau trauma.

4. Yang lebih salah adalah sistem yang gagal dengerin.

Instead of introspeksi, mereka malah main serang: “Ini karena film ini! Ini anak kurang ajar!” Padahal bisa jadi anak itu lagi teriak minta didengar, dan film itu cuma alat bantu biar dia bisa ngomong.

Serem gak sih, bro? Teriakan jujur seorang anak malah ditanggapi kayak kriminal. Bukannya guru-guru atau kepala sekolah nanya, “Lho, ada yang salah ya sama cara kita ngajar?” Malah sibuk nyari kambing hitam.

Jadi... Nope, dia gak salah. Yang salah adalah:
  • Orang yang baca jurnal pribadinya tanpa izin.
  • Lingkungan yang lebih milih membungkam daripada mendengarkan.
  • Sistem yang takut dikritik sampai gak bisa bedain antara “curhat” dan “pemberontakan.”

Dan lo tau bro? Banyak banget perubahan besar dalam sejarah yang dimulai dari orang biasa yang berani jujur. Termasuk dari anak muda yang berani nulis. Diary-nya Anne Frank contohnya. Kalau zaman sekarang masih ada yang mau “membakar” suara-suara jujur kayak gitu, ya kita belum belajar apa-apa.

Sunday, June 15, 2025

Batu Pertama, Batu Terakhir

Usia saya sudah 75 tahun sekarang. Mungkin tak lama lagi saya akan berpulang. Tidak ada lagi yang perlu saya kejar, tidak ada pula yang ingin saya perjuangkan. Tapi sebelum saya pergi, ada satu hal yang tak pernah saya bicarakan dengan siapa pun. Penyesalan yang menggerogoti saya seumur hidup. Bahkan menceritakannya pun, saya yakin, tidak akan membuat luka ini sembuh. Tapi barangkali... setidaknya luka ini bisa bernapas sedikit, sebelum saya membawanya ke liang lahat.

Saya dibesarkan di sebuah desa kecil yang sunyi, tapi penuh aturan. Di situ, agama adalah segalanya. Semua yang dianggap “dosa” langsung dibalas dengan hukuman yang nyata, keras, dan sering kali meninggalkan bekas seumur hidup. Anak-anak tumbuh dengan rasa takut, dan orang dewasa hidup dalam pengawasan yang sangat ketat. Tapi, anehnya, di balik semua itu, keluarga saya hangat. Bapak keras, tapi adil. Ibu penyayang, lembut, dan selalu tahu kapan harus memeluk, kapan harus menegur.

Saya pikir kami adalah keluarga yang utuh.

Sampai suatu sore, ketika saya pulang lebih awal dari rumah ibadah, saya melihatnya. Ibu. Bersama pria lain. Di ruang tamu rumah kami. Wajahnya tak menunjukkan rasa bersalah, hanya panik. Saya tak tahu harus berbuat apa. Dunia saya tiba-tiba runtuh, tapi juga terdiam. Saya tidak ingin kehilangan ibu. Tidak ingin kehilangan kehangatan itu.

Saya simpan semuanya sendiri. Hari-hari saya jadi sunyi. Tapi tidak ada yang berubah di rumah. Ibu masih memeluk saya seperti biasa. Masak seperti biasa. Bapak, seperti biasa, terlalu sibuk dengan tugas ke luar kota. Dalam hati, saya bergulat—ini salah. Tapi juga… ini ibu saya.

Hingga suatu malam, dalam kajian agama yang saya ikuti setiap pekan, pemuka agama setempat menyampaikan sesuatu yang membekas seperti paku di dada saya:
"Barang siapa menyembunyikan dosa orang lain, ia menjadi bagian dari dosa itu. Dan siapa yang menjadi bagian dari dosa, ia sudah pasti akan mencicipi neraka."

Saya pulang dengan tangan dingin. Malam itu saya tak bisa tidur. Saya bayangkan neraka. Saya bayangkan tubuh saya terbakar. Saya bayangkan ibu… dan bau surga yang tak akan pernah saya cium.

Besoknya, saya ceritakan semuanya pada bapak. Dengan suara gemetar. Dengan hati hancur.

Saya pikir saya sedang menyelamatkan ibu.

Bapak tidak menangis. Ia hanya terdiam lama, lalu mengangguk. Beberapa hari kemudian, kepala desa datang. Mereka menyusun rencana, lengkap dengan saksi-saksi dan cara "penangkapan." Saya, yang masih kecil waktu itu, hanya duduk di pojok ruang tamu, memeluk lutut dan menggigit bibir sampai berdarah.

Hari itu datang. Mereka memergoki ibu bersama pria itu. Tangis ibu memecah malam, tapi tak ada yang mendengarkan. Desa kami punya aturan, dan aturan itu suci. Ibu dihukum mati malam itu juga. Dirajam—dilempari batu hingga tubuhnya tak bergerak lagi. Disaksikan semua keluarga. Termasuk saya.

Saya ingat batu pertama saya—batu yang kecil. Saya ingat juga batu terakhir, yang tidak saya lemparkan, karena saya sudah tak sanggup berdiri. Dunia saya berhenti sejak saat itu.

Hidup berjalan seperti biasa. Bapak tidak pernah sekalipun membahas ibu. Tidak juga orang-orang desa. Seakan ibu tidak pernah ada dari awal. Rumah kami pun tak pernah hangat lagi. Saya tumbuh jadi pria dewasa, menikah, punya anak, dan bahkan cucu sekarang. Tapi tak ada satu haripun yang lewat tanpa wajah ibu dalam benak saya.

Saya bukan ingin diampuni. Mungkin saya memang pantas terbakar di neraka itu. Tapi saya ingin dunia tahu: saya melakukan semua ini karena saya takut. Takut akan ajaran, takut akan neraka, takut akan kutukan. Tapi ketakutan saya membunuh orang yang paling saya cintai.

Kalau saya bisa bicara pada diri saya yang dulu, saya ingin bilang: “Jangan. Peluk ibu. Lindungi dia. Dosanya bukan milikmu.”

Tapi suara saya tak akan sampai ke masa lalu.

Dan kini, saya hanya bisa menunggu. Mungkin di neraka nanti, saya bisa melihat ibu sekali lagi. Walaupun hanya untuk minta maaf.

Friday, June 13, 2025

Kemampuan Cut Off Seseorang = Trauma?

“Kemampuan buat cut off seseorang dengan gampang” itu lahir dari trauma, dan ga seharusnya dibanggain. Apa itu bener? Dan kalau bener, kenapa bisa gitu?

“Kemampuan buat nge-cut off orang dengan gampang” — ini sering dibungkus dengan label kayak boundaries, self-respect, atau bahkan mental clarity, kan? Tapi, kalau kita kulik lebih dalem… iya, bisa banget itu sebenarnya mekanisme pertahanan diri yang lahir dari trauma masa lalu.

Kenapa bisa dibilang itu hasil dari trauma?

Orang yang tumbuh dengan pengalaman negatif—kayak sering dikecewakan, dikhianati, diabaikan, atau bahkan disakiti—kadang belajar buat “nyelametin diri sendiri” secepat mungkin. Otaknya jadi kebiasa ngira:

"Begitu ada tanda-tanda bahaya, langsung putus aja. Jangan kasih kesempatan kedua. Lebih baik gue ninggalin daripada ditinggalin lagi."

Itu bentuk self-protection — dan jujur, kadang emang perlu. Tapi masalahnya, kalau ini jadi kebiasaan tanpa disadari, bisa jadi kita:
  • Sulit membangun hubungan jangka panjang
  • Gampang salah paham niat orang lain
  • Kehilangan kesempatan untuk menyelesaikan konflik secara sehat

Jadi, itu ga boleh dong?

Bukan berarti ga boleh, bro. Ada waktu dan tempat buat nge-cut orang. Misalnya, kalau mereka jelas-jelas toxic, manipulatif, abusive, atau ngerusak hidup lo — ya tentu aja, cut off mereka itu sehat. Tapi yang jadi masalah adalah:
  • Kalau lo ngelakuin itu terus-terusan bahkan buat hal kecil
  • Kalau lo belum coba komunikasi dulu, langsung putus hubungan
  • Kalau itu bikin lo ngerasa “kuat”, padahal lo cuma takut sakit lagi

Kenapa ga seharusnya dibanggain?

Karena seringnya, itu bukan cerminan healing, tapi wound in disguise. Kita ngerasa “kuat” karena bisa detach dengan cepat, padahal itu bisa jadi tanda kita belum belajar regulate emosi dan hadapin konflik dengan sehat.

Jadi bisa dibilang:
Bukan cut-off-nya yang salah, tapi niat dan konteks di baliknya yang penting banget.

Kalau lo penasaran lebih dalam, bro, ada satu pertanyaan reflektif yang bisa lo pikirin:
"Gue ngejaga jarak ini karena self-love atau karena trauma yang belum sembuh?"
Kalau lo jawabnya jujur, itu udah setengah jalan menuju penyembuhan.

Dulu Kita Dekat : Epilog - Di Balik Pintu


Malam itu, satu ketukan pelan di pintu kamar.
Gue sempat bengong. Jantung gue naik satu tingkat.
Karena suara itu... udah lama nggak kedengeran.

Gue buka pintunya.
Dan dia berdiri di sana.

Mukanya pucat. Pandangannya sedikit tertunduk, kayak anak kecil yang takut dihukum. Bahunya gemetar dikit, entah karena dingin atau karena dia lagi nahan sesuatu yang berat.
Dia diem cukup lama. Gue juga nggak tahu harus ngapain. Tapi sebelum gue keburu mikir lebih jauh, dia pelan-pelan buka mulut:

"Bang..."

Cuma satu kata. Tapi cukup buat narik semua kenangan masa kecil gue. Suara kecil yang familiar, yang pernah manja, pernah cerewet, pernah teriak-teriak waktu naik sepeda, sekarang terdengar rapuh banget.

Gue ajak dia masuk.

Nggak banyak tanya. Gue tahu kadang, orang yang lagi galau itu bukan butuh interogasi. Tapi butuh kehadiran. Gue suruh dia duduk, lalu gue ke belakang—bikinin dia susu panas. Hal kecil, tapi gue inget itu minuman yang dia suka dari dulu.
Waktu gue balik, dia masih duduk di tempat yang sama. Tangannya dingin waktu nyentuh gelas.
Dia minum pelan-pelan, tapi gue bisa liat... kata-kata masih susah keluar dari mulutnya.

Gue nggak paksa. Gue ambil selimut, gue selimutin pelan-pelan punggungnya.
Gue tahu, kalau gue peluk langsung, dia bisa merasa canggung. Tapi lewat selimut itu, gue mau kasih tau: "Lo aman. Lo diterima. Lo nggak sendiri."

"Nggak apa-apa," gue bilang. Suara gue pelan, nyaris seperti bisikan.
"Kalau lo belum siap cerita, ya nggak usah. Kapan pun mau mampir, tinggal ketok aja. Nggak ada bahan ngobrol pun, kita bisa diem bareng. Me-time bareng juga oke kok."


Dia cuma ngangguk. Tapi senyum kecil itu muncul—senyum lega, kayak beban yang berat akhirnya diturunin sedikit.

Sejak malam itu, dia mulai sering mampir ke kamar gue lagi.

Kadang bawa laptop buat ngerjain tugas. Kadang bawa komik, kadang ngajak nonton film yang dulu sering kita tonton. Kadang nggak ngomong apa-apa, cuma duduk, rebahan, atau sekadar scrolling hape sambil kaki nyelonjor ke pinggir kasur.

Dia pelan-pelan balik. Bukan dengan cerita panjang atau pelukan dramatis. Tapi lewat kehadiran kecil yang konsisten. Dan itu cukup.

Kadang dia nginep di kamar gue. Tidur di lantai, pakai bantal sendiri. Gue tahu, itu malam-malam di mana dia capek banget, atau mungkin lagi ada sesuatu yang mengganjal. Gue nggak tanya. Tapi gue juga nggak pergi.

Gue selalu ada.

Karena buat gue, jadi abang bukan soal usia. Tapi soal kesediaan. Kesediaan buat tetap berdiri, meskipun orang yang lo jaga lagi jatuh. Kesediaan buat tetap buka pintu, bahkan setelah sekian lama nggak ada yang ngetok...

Dulu Kita Dekat : Trough the Lil Bro's Eyes


Gue punya abang. Usianya empat tahun di atas gue. Dari kecil, dia selalu jadi sosok yang "ada". Selalu. Nggak peduli gue lagi seneng, sedih, takut, atau cuma mau pamer hal remeh kayak gigi copot—dia dengerin. Kadang ketawa, kadang cengin, kadang malah ikut takut juga. Tapi dia selalu ada.

Kami ngelewatin masa kecil barengan, seperti punya dunia sendiri. Dunia itu isinya cuma sepeda, es teh manis, hujan sore-sore, dan kasur empuk tempat gue suka ketiduran di atas perutnya. Gue nggak mikir aneh-aneh dulu. Buat gue, abang itu tempat aman. Orang pertama yang gue cari kalau gue kesandung atau dapet nilai jelek. Orang pertama yang tau kalau gue naksir temen sekelas. Temen bolos paling loyal.


Tapi seiring waktu, gue mulai merasa... aneh. Gue mulai ngerasa kayak gue harus bisa sendiri. Gue pengen punya ruang sendiri, keputusan sendiri, cerita yang nggak harus dibagi terus. Bukan karena gue nggak sayang abang. Justru karena gue sayang, gue nggak mau terus jadi bayangannya. Gue pengen jadi "gue" sendiri.

Awalnya pelan. Gue mulai nolak diajak jalan, ngurung diri di kamar, sibuk sama temen-temen baru, kegiatan sekolah, kadang alasan kosong juga. Tapi dari semua hal itu, yang paling berat adalah ngelihat ekspresi dia waktu gue mulai ngejauh. Kayak dia lagi nahan tanya, tapi juga nahan buat maksa.

Gue tau dia nyadar. Dia pernah nanya, "Lo kesel sama gue? Gue pernah bikin lo marah?"
Gue bilang enggak. Karena emang nggak. Tapi gue juga nggak bisa jelasin kenapa gue berubah.

Dan mungkin itu yang bikin hubungan kita kayak sekarang—aneh. Kita masih tinggal serumah, kadang ketemu di dapur, kadang duduk bareng di ruang tamu. Tapi rasanya... kayak ngobrol sama orang yang pernah jadi bagian penting dalam hidup lo, tapi sekarang udah di ruangan lain.

Tapi walaupun gue kayak menjauh, tiap kali gue ngelewatin kamarnya dan ngeliat dia lagi duduk sendiri, gue ngerasa bersalah. Rasanya pengen bilang, "Bang, gue kangen juga kok..." Tapi kadang rasa malu, gengsi, dan waktu yang udah terlalu lama bikin mulut gue nggak bisa ngomong apa-apa.

Sampai suatu hari gue nemu gambar lama—coretan kita waktu kecil. Dua orang naik sepeda. Di bawahnya gue tulis: "Abang dan aku." Gue cuma bisa senyum miris. Gambar jelek banget. Tapi artinya dalam.

Malam itu gue lihat dia duduk di kamarnya. Lampu remang-remang, dan dia lagi megang gambar itu. Gue cuma bisa berhenti di depan pintu, nahan napas sebentar.


"Eh... lo masih simpen gambar kita yang dulu ya?"
Dia angguk. "Iya."
"Lucu ya kita dulu."
"Iya."

Gue pengen masuk. Duduk. Ngobrol lagi kayak dulu. Tapi kaki gue nggak gerak. Mulut gue diem. Jadi gue cuma senyum, dan lanjut jalan.
Tapi di dalam hati, gue bilang: Bang, gue nggak kemana-mana. Gue cuma lagi nyari cara buat balik. Gue cuma butuh waktu. Tapi... gue masih di sini. Gue berusaha mencerna perasaan gue dulu... Sampai gue selesai sama diri gue sendiri, sabar yah bang...

Thursday, June 12, 2025

Dulu Kita Dekat

Gw punya adik cowok. Usianya empat tahun di bawah gw. Dari kecil, kita tuh duo yang nggak bisa dipisahin. Padahal sama-sama cowok, dan banyak yang bilang saudara cowok biasanya suka berantem. Tapi nggak tau kenapa, kita jarang banget ribut.

Mungkin karena jarak usia yang lumayan juga ya, jadi posisi gw lebih ke kakak yang ngemong daripada berebut mainan. Kita ngapa-ngapain bareng. Makan bareng, main bareng, nonton kartun bareng, bahkan tidur siang pun bareng. Kadang dia suka ketiduran di perut gw. Gw geli sendiri inget itu sekarang. Di momen-momen yang hangat itu, rumah terasa rame cuma karena ada dia.


Dulu, apa-apa dia cerita ke gw. Tentang temennya yang nyebelin, tentang cewek yang dia suka tapi malu ngajak ngomong, bahkan tentang nilai ulangan dia yang jeblok karena ketiduran pas belajar. Kita juga pernah bandel bareng. Bolos sekolah bareng - ngumpet di warung mie ayam sampe jam sekolah selesai, naik sepeda ngebut ke warnet. Gw bonceng dia, dia duduk di belakang sambil nyanyi-nyanyi nggak jelas. Ketawa-tawa, bebas, tanpa mikirin apa-apa.


Tapi semua itu perlahan berubah.

Gw mulai nyadar, dia makin sering nolak diajak ngapa-ngapain. Dulu, kalau gw ajak main atau sekadar jalan keliling komplek, dia langsung semangat. Sekarang, alasannya banyak. "Lagi sibuk", "Ada kerjaan kelompok", "Capek", atau kadang cuma "Nggak mood". Awalnya gw pikir biasa lah, namanya juga makin gede. Tapi lama-lama terasa beda.

Dia juga udah jarang cerita. Bahkan buat hal-hal kecil pun, dia pilih simpen sendiri. Gw tanya, “Lo kenapa sih akhir-akhir ini? Ada yang gangguin? Gue bikin salah ya?”

Dia cuma geleng. Senyum kecil, dan bilang, “Nggak kok, lo nggak salah apa-apa. Gue lagi sering sibuk sama nggak mood aja.”

Tapi lo tau kan, kadang diam itu lebih nyakitin daripada marah. Gw nggak tau harus gimana. Mau maksa, takut makin ngejauh. Mau cuek, rasanya nggak tega. Gw kakaknya, harusnya bisa ngerti. Mungkin ini bagian dari proses tumbuh dewasa. Orang berubah. Dunia mereka makin luas, dan perlahan mereka menjauh dari tempat awal mereka tumbuh.

Tapi tetap aja, hati gw sepi. Dia ada di depan gw, tapi berasa jauh. Kita bisa duduk satu ruangan, tapi rasanya kayak ada dinding tak kasat mata di antara kita. Dulu kita deket banget, sekarang kadang bahkan ngobrol pun cuma seperlunya.

Entah nanti kita bisa balik deket kayak dulu atau enggak. Kadang gw mikir, mungkin ini emang jalannya. Tapi selama gw masih bisa lihat dia sehat, ketawa, dan tahu dia masih ada di dunia yang sama sama gw... gw bakal terus berusaha ngertiin.

Karena meskipun dia bukan lagi bocah kecil yang ketiduran di perut gw, dia tetap adik gw.

Dan gw... tetap kakaknya.

Tuesday, June 10, 2025

Bonus : Deskripsi Tokoh Trilogi "Kisah Kita Berempat"

Original stories :

***

1. “Gue” (Narator)

Vibes: Anak kampus tipikal, tapi bukan yang hedon. Lebih ke mellow realistis. Ada sisi artsy-nya, tapi nggak nyolot. Orang yang lebih suka jadi pengamat daripada pusat perhatian.

Penampilan:
  • Fisik: Kulit sawo matang, rambut agak gondrong dikit, cepak natural tapi jarang disisir. Kesan “gue gak peduli style, asal nyaman”.
  • Style: Kaos polos yang udah mulai molor, jaket denim belel, celana jeans yang mulai pudar warnanya, dan sepatu sneakers tua—bukan karena mau keren, tapi emang itu aja yang dia punya dari kuliah.
  • Ciri khas: Bawa tote bag isinya buku, headset model lama, dan aroma mild dari rokok yang cuma diisep pas galau.

Versi 8 tahun kemudian:
  • Masih ada sisa-sisa “gue yang dulu”, tapi udah lebih rapi. Kemeja flanel, celana chino. Mata sedikit lebih berat karena hidup. Tapi sorotnya masih punya nostalgia.

2. Sherly

Vibes: Cewek yang gak berisik tapi juga gak diem. Punya energi lembut yang bikin orang betah. Aura “cewek yang pernah bikin lo mikir ‘kalau dia nikah sama orang lain, gue bakal diem-diem nangis’”.

Penampilan:
  • Fisik: Kulit terang, rambut lurus medium-length, poni samping yang selalu ditata rapi tapi gak menor.
  • Style: Kemeja oversized dengan celana high waist, sneakers putih yang selalu bersih. Gaya effortless tapi tetap kece. Sedikit scent floral kayak body mist Murah tapi nge-ena.
  • Ciri khas: Selalu bawa tumblr air minum, kuku bersih, dan suara tawa yang khas—cepat tapi nggak cempreng.

Versi 8 tahun kemudian:
  • Rambut lebih pendek, makeup natural. Pake jam tangan klasik. Dandanannya kayak HRD kantor startup. Tetap manis, tapi matanya nyimpan banyak "dulu".

3. Dika

Vibes: Bro sejuta umat. Punya jokes andalan, agak selengekan, tapi sebenernya peka. Orang yang kelihatannya santai, tapi punya lapisan emosional lebih dalem dari yang lo sangka.

Penampilan:
  • Fisik: Badan atletis tapi gak ngegym banget. Kulit agak gelap, brewokan dikit-dikit. Rambut disisir ke belakang pake pomade murah.
  • Style: Hoodie atau t-shirt band, celana jeans robek sedikit di lutut, dan sepatu kets model lama. Sering pake gelang tali atau jam digital Casio.
  • Ciri khas: Selalu bawa charger-an, ngedengerin musik di speaker kecil, dan bisa tidur di mana aja.

Versi 8 tahun kemudian:
  • Badan sedikit mengembang. Pake kemeja rapi tapi tetap pake sneakers. Masih bisa bikin orang ketawa, tapi sekarang lebih banyak diem sebelum ngomong.

4. Naya

Vibes: Cewek yang awalnya lo kira cuek atau galak, tapi ternyata kocak dan tulus. Smart, agak sarkas, dan selalu punya komentar tajam yang bikin lo mikir.

Penampilan:
  • Fisik: Rambut diikat ke belakang atau cepol acak-acakan. Kulit medium, ekspresi wajahnya tajam tapi mata hangat.
  • Style: Sweater kebesaran, legging hitam, dan sneakers model Converse. Tas ransel penuh stiker dan gantungan kunci random.
  • Ciri khas: Bawa notes kecil, suka nyoret-nyoret sesuatu, dan punya tawa yang ngakak lepas—tanpa malu.

Versi 8 tahun kemudian:
  • Rambut lebih pendek atau di-layer rapi. Pakai tote bag polos, masih suka nyoret-nyoret tapi di iPad. Gaya lebih clean, tapi masih ada nyeleneh khas dia—mungkin lewat pin di tas atau pilihan lagu yang dia share.

Bonus: Bang Darto (Karakter tambahan yang nyimpen jiwa mereka)

Dia tipikal bapak-bapak yang gak pernah berubah. Tetap pake kaos oblong, celana pendek, sandal swallow. Dan punya memori tentang masa muda lo lebih banyak daripada lo sendiri.

Gue bisa ngebayangin mereka kayak karakter film indie coming-of-age: raw, relatable, dan penuh luka yang gak selalu harus dijahit.

Kisah Kita Berempat - Di Ujung Waktu


Umur gue delapan puluh tiga sekarang.

Lutut udah gak kuat jongkok lama, tangan mulai gemeter kalau nulis, dan tiap pagi rasanya kayak nego sama tubuh sendiri buat bisa bangun dari kasur. Tapi sejauh ini, gue masih bisa bikin kopi sendiri. Masih bisa duduk di teras sambil dengerin lagu lama. Masih bisa buka album foto, pelan-pelan, satu lembar satu lembar.

Dan kadang, kalau lagi duduk sendirian gitu... gue suka kepikiran soal kita berempat.

Udah lama banget sejak warkop Bang Darto tutup. Tempat itu sekarang jadi ruko baru—dipoles, bersih, terang. Tapi tiap kali gue lewat sana, hati gue tetap narik rem. Masih suka nengok, nyari-nyari bangku kayu yang dulu udah keropos, kipas angin butut yang cuma muter ke kiri, dan tulisan "NGUTANG CUMA BUAT YANG NGAKU TEMEN". Tapi gak ada. Semua udah hilang. Kecuali satu hal yang masih nempel: kenangan.

Kita semua pernah ketemu lagi di sana waktu itu. Sekali. Sore terakhir sebelum Bang Darto pensiun.

Setelah itu, hidup berjalan lagi. Pelan-pelan. Sendiri-sendiri.

Ada sih momen-momen dimana kita tetep bisa kumpul. Kadang lengkap kita berempat. Kadang cuma bertiga. Kadang juga cuma berdua. Misalnya pas salah satu dari kita ada yang ulang tahun. Atau masih sempat lah kita liburan bareng nengokin Sherly.

Sherly pindah ke Bandung. Nikah sama duda satu anak, kerja bantuin suaminya di toko buku kecil. Kita sempet mampir dua kali, waktu dia masih sehat. Duduk di rak sastra, ngobrol ngalor-ngidul. Dia masih suka pakai scarf dan ketawa pelan sambil nutup mulut—kebiasaan lama yang gak ilang.

Dia meninggal duluan. Kanker rahim. Nggak terlalu lama. Cuma tiba-tiba di group kita, ada yang update pakai nomer nya Sherly, katanya: "Sherly udah ga ada." Kira bertiga yang tersisa kaget setengah mati saat itu. Gue nyalain lagu lama yang dia suka—“To Be With You”—dan duduk diam.

Naya masih sempet aktif sampe umur 70-an. Terakhir dia jadi guru les privat anak-anak difabel, dan kayaknya dia nemuin kedamaian di situ. Dia gak nikah. Gak nyari juga. Katanya waktu itu, “Hidup itu bukan cuma soal punya pasangan. Tapi soal punya makna.”

Dia meninggal pas tidur. Tenang. Gue sempet dateng ke rumahnya waktu itu. Di mejanya ada foto kecil kita berempat, udah pudar. Di belakangnya, ada tulisan tangan dia: “Kalau hidup itu panggung, maka kalian bagian paling serunya.”

Dika paling terakhir.

Dia sempet stroke ringan, lalu makin sering bolak-balik rumah sakit. Tapi dia masih semangat. Masih sempet ngajakin gue nonton bola. Dan karena dia udah gak bisa jalan jauh, gue yang sampein ke rumahnya. Kita ngetawain wasit, ngeledek pemain, dan akhirnya diem... cuma liatin layar sambil dengerin napas satu sama lain.

Waktu dia meninggal, anaknya yang ngabarin. “Papa suka cerita tentang om terus,” katanya. Gue gak tau harus jawab apa.

Sekarang gue sendirian.

Enggak sepenuhnya sendiri—anak gue kadang mampir. Cucu gue suka kirim voice note iseng. Tapi... mereka gak tau gue yang dulu. Gak tau cerita kita berempat. Dan kadang, itu yang bikin rasa sepi makin kental.

Sering gue buka kotak kayu kecil. Isinya cuma empat benda: foto usang kita di pinggir jalan, tiket bioskop sobek tahun 2016, pembatas buku dari Sherly, dan tisu bekas coretan tangan Naya yang bunyinya: “Jangan terlalu serius. Yang penting ada kita.”

Itu sisa-sisa dari hidup yang dulu rame. Hidup yang sekarang cuma tinggal gema.

Tapi lo tau, bro?

Gue gak sedih. Beneran. Kita semua masing-masing sudah melewati hidup dengan penuh dan tanpa penyesalan.

Kalau gue tutup mata sekarang, yang muncul bukan kamar ini. Tapi suara tawa kita. Goyangan kipas angin warung. Kopi sachet dan mie rebus yang terlalu asin. Motor yang mogok tengah jalan. Obrolan gak penting yang selalu jadi penting.

Gue inget semuanya.

Dan itu cukup buat gue.

Tadi pagi, gue jalan pelan-pelan ke taman deket rumah. Duduk di bangku batu yang agak kasar. Sambil nulis di buku kecil yang sekarang jadi semacam buku harian. Di halaman terakhir, gue tulis:

"Gue pernah hidup. Dan gue gak sendiri. Kita dulu berempat. Sekarang cuma gue. Tapi itu cukup. Karena selama gue inget, kita gak pernah benar-benar hilang."

Kalau nanti giliran gue dateng, gue harap mereka nungguin.

Mungkin duduk di meja panjang, pesen kopi, dan udah mulai ngobrol duluan. Sherly nyender ke kursi sambil senyum kecil. Naya nyambungin cerita setengah jadi. Dika lempar candaan yang masih garing. Dan gue bakal dateng, telat kayak biasa.

Tapi mereka gak marah.

Mereka bakal cuma bilang,
“Eh, akhirnya dateng juga. Duduk sini.”

Dan kita mulai lagi.

Gak usah terlalu serius. Yang penting... ada kita.

***

Sunday, June 8, 2025

Burn the Bridge Or Let It Unused?

"Apakah jembatan yg kita sudah reluctant untuk lewati lagi, sebaiknya dibakar atau dibiarkan unused saja?"

Soal "dibakar atau dibiarkan unused", jawabannya bisa beda tergantung konteks dan situasi emosional lo.

Kalau Dibakar

Kadang kita emang perlu membakar jembatan, terutama kalau jembatan itu ngelewatin ke tempat yang bikin kita terus sakit, trauma, atau stuck. Misalnya:
  • Hubungan toksik.
  • Lingkungan kerja yang ngerusak kesehatan mental.
  • Pola pikir lama yang udah nggak relevan buat versi lo yang sekarang.

Dengan "dibakar", maksudnya lo bikin keputusan yang tegas dan nggak bisa dibalikin. Itu bisa terasa menakutkan, tapi juga sangat melegakan dan membebaskan. Kayak bilang, “Gue udah selesai sama bagian hidup itu, dan gue nggak akan balik lagi ke sana.”

Tapi... penting juga untuk ngebakar dengan kesadaran, bukan karena emosi sesaat. Kalau enggak, nanti bisa jadi penyesalan.

Kalau Dibiarkan Unused

Kadang lebih bijak buat membiarkan jembatan tetap berdiri, walau lo udah nggak mau atau nggak perlu menyeberanginya lagi.
  • Bisa jadi suatu hari lo ingin melihat kembali ke masa itu, dengan perspektif baru.
  • Bisa juga jembatan itu nyambung ke seseorang atau situasi yang mungkin lo perlukan nanti, tapi belum waktunya sekarang.
  • Atau mungkin lo belum sepenuhnya selesai dengan perjalanannya, dan lo cuma butuh waktu buat menjauh dulu.

Intinya, membiarkan jembatan unused bisa jadi bentuk respek ke masa lalu lo, walau lo udah nggak hidup di sana lagi.

Jadi, Pilih yang Mana?

Gue sih percaya:
“Kalau jembatan itu membawa lebih banyak luka daripada pelajaran, mungkin udah waktunya dibakar. Tapi kalau masih ada makna dan lo bisa berdamai, cukup biarkan dia berdiri — sebagai bagian dari lanskap hidup lo.”

Perjuangan dan Harapan

Jangan karena kita merasa bahwa kita adalah orang paling menderita di dunia ini, lantas kita berhak atas segala bantuan yg ada dari siapapun. Berdiri di atas kaki sendiri! Walaupun berat, walaupun pahit, walaupun seumur hidup tidak akan pernah merasakan manis! Dimana ada kehidupan, disitu ada harapan. Sekalipun harapan itu tidak pernah terwujud, "pernah berusaha" menyimpan rasa manisnya tersendiri, walaupun sangat halus!

Thursday, June 5, 2025

Feelings Validity

All feelings are valid.

But not all thoughts, conclusions, and actions are.

This world doesn’t revolve solely around feelings.

There’s a reality to check, and it's not bent by intention alone.

Saturday, May 31, 2025

Recruitment dan Background Checking Mandiri

Background:
  • Dalam proses recruitment di hampir semua perusahaan, ada reference check
  • Dan umumnya reference check ini dari kontak yg diberikan oleh si candidat sendiri
Case:
  • Ada beberapa HR recruitment yg kemudian melakukan background checking tambahan secara mandiri - Meng-contact orang2 diluar yg direkomendasikan kandidat
Expected from GPT:
  • Menurut Anda, bagaimana Anda menilai tindakan dari HR yang melakukan hal diatas?

***

Tindakan HR yang melakukan background check di luar referensi yang diberikan kandidat itu bisa dibilang etis, tapi juga berpotensi bermasalah, tergantung pada bagaimana dan untuk apa mereka melakukannya.

Kenapa HR Melakukannya?

Dari sudut pandang HR, alasan melakukan pengecekan tambahan cukup masuk akal:
  • Mereka ingin validasi objektif, bukan sekadar mendengar hal-hal bagus dari orang yang pasti “pro-kandidat”.
  • Mereka ingin cari red flags yang mungkin sengaja dikubur oleh kandidat.
  • Mereka merasa ini bagian dari due diligence, terutama untuk posisi strategis atau sensitif.

Tapi… Ini Bisa Jadi Bumerang
  • Melanggar Privasi / Etika Profesional
    • Kalau HR kontak mantan rekan kerja tanpa seizin kandidat, bisa aja:
      • Si kandidat belum resign secara formal.
      • Lingkungan kerja sekarang jadi tahu kandidat lagi cari kerja.
      • Ini bisa sabotage career si kandidat.
  • Bias & Informasi Tidak Terverifikasi
    • Orang yang mereka kontak bisa punya conflict of interest, atau bahkan dendam pribadi.
    • Informasi bisa gossip, bukan fakta. Tapi sudah terlanjur memengaruhi keputusan.
  • Trust Issue
    • HR minta kandidat jujur dan transparan, tapi mereka sendiri “nyelundup” cari info di luar jalur resmi.
    • Ini ngerusak kepercayaan kandidat pada perusahaan dan proses rekrutmen.

Gimana Seharusnya?

Pendekatan paling profesional:
  • Kalau HR ingin info tambahan, mereka harus minta izin dulu:
    • “Apakah kami boleh bicara dengan orang di luar daftar referensi Anda, misalnya mantan rekan kerja?”
  • Atau, HR bisa eksplor lebih jauh lewat behavioral interviews yang dirancang dengan cerdas, tanpa harus kontak orang luar.

Kesimpulan:
  • Kalau HR main belakang tanpa transparansi, itu kurang etis. Niatnya boleh bagus, tapi caranya bisa nginjak privasi dan reputasi orang.
  • Kalau perusahaan memang butuh info lebih dalam, ya minta izin secara terbuka. Jangan jadi stalker profesional.

Kalau kamu sedang dalam posisi kandidat, penting juga buat kamu kasih daftar referensi yang bisa kasih gambaran seimbang—nggak cuma fans club kamu doang. Dan kalau kamu HR? Mainlah fair. Jangan bikin proses yang terasa kayak investigasi kriminal.

***

Bagaimana seandainya kandidat keberatan?

Argumen kandidat:
  • Kandidat tidak tahu siapa yang akan di contact oleh HR
  • Merupakan suatu fakta, bahwa "kita tidak mungkin disukai semua orang" - Termasuk si HR sendiri, dan bahkan kandidat juga mengatakan kalau dia tanya semua orang yg pernah kerja dengan HR tersebut, apakah semuanya akan kasih testimony bagus?
  • Tetapi kandidat mengaku bahwa dia bisa tunjuk > 10 orang yg happy dengan pekerjaan dia, dan semuanya adalah orang yg pernah bekerja dekat dengan nya

Bagaimana menurut pendapat dan penilaian Anda?

***

Kandidat ini punya poin yang sangat valid, dan justru menunjukkan kecerdasan, integritas, dan kesadaran profesional yang tinggi.

Mari kita bongkar logikanya satu per satu.

Argumen Kandidat: Solid & Masuk Akal
  • "Saya tidak tahu siapa yang dihubungi"
    • Ini penting. Kalau HR randomly menghubungi orang tanpa konteks, itu bisa sangat bias dan misleading.
    • Apalagi kalau yang dihubungi itu:
      • Punya konflik personal.
      • Nggak pernah kerja langsung bareng.
      • Malah punya agenda sendiri.
    • Kandidat berhak tahu siapa yang “bicara di belakangnya”. Ini bukan gosip kantor, ini menyangkut masa depan karier.
  • "Tidak semua orang akan suka saya"
    • Ini bukan defensif. Ini realistis.
    • Setiap orang profesional pasti pernah konflik dalam tim, atau ambil keputusan sulit yang bikin beberapa pihak nggak happy.
    • HR juga seharusnya paham bahwa satu komentar negatif dari orang yang nggak kompeten atau penuh dendam, nggak bisa dijadikan dasar keputusan.
  • "Saya bisa tunjuk 10+ orang yang puas kerja bareng saya"
    • Ini bukti konkret.
    • Dia bilang: “Kalau lo mau info valid, ini orang-orangnya. Mereka pernah kerja langsung, tahu performa saya sehari-hari.”
    • Lebih kredibel daripada ngacak kontak siapa pun di LinkedIn dan tanya, “Eh, dia gimana ya?”

Kalau HR Tetap Ngotot?

Kalau HR tetap bersikeras melakukan pengecekan tanpa transparansi, maka:
  • Mereka bukan cari truth, tapi cari alasan buat tidak merekrut.
  • Ini mengarah ke praktik seleksi yang subjektif, manipulatif, dan riskan.
  • Bisa jadi mereka gak yakin sama proses interview dan referensi yang ada, jadi mereka terpaksa “nyari celah”.

Penilaian Jujur

Kandidat ini menunjukkan:
  • Kesadaran diri (dia tahu dia bukan orang sempurna).
  • Transparansi (dia kasih banyak referensi yang kredibel).
  • Keberanian untuk speak up, bukan cuma nurut pasif.
HR yang bener harus menghargai orang yang berpikir kritis, bukan hanya orang yang nurut aja.

Flip the Script: Bayangkan HR-nya yang dicek balik

Gimana kalau si kandidat bilang:
  • “Saya juga pengen cek reputasi tim HR ini. Boleh saya kontak beberapa kandidat yang pernah direkrut sebelumnya dan tanya pengalaman mereka? Saya nggak akan kasih tahu HR siapa aja yang saya hubungi.”
Pasti HR-nya sewot.

Bottom Line

Kalau kandidat keberatan HR kontak orang luar tanpa persetujuan, dia sepenuhnya berhak. Dan itu bukan tanda “menyembunyikan sesuatu”, tapi justru tanda dia menghargai proses yang fair dan berbasis fakta.

HR yang bijak akan:
  • Menghargai referensi yang disediakan.
  • Minta izin sebelum menyelidik lebih jauh.
  • Fokus pada data, bukan drama.

Kalau HR malah sinis atau curiga karena si kandidat “protes”? Mungkin bukan kandidatnya yang jadi masalah — tapi sistem rekrutmennya yang toxic.