Wednesday, December 3, 2025

Teman di Ujung Senja

Namaku Rendra. Dan seumur hidupku, aku selalu punya seseorang yang menemaniku — bahkan ketika aku sudah lupa caranya memanggil nama sendiri di tengah sunyi.

Aku pertama kali bertemu dengannya waktu umur enam tahun. Aku duduk di bawah pohon mangga di halaman belakang, menggambar awan di buku tulis. Saat itu langit seperti mau runtuh, tapi aku malah melihat seorang anak laki-laki berdiri di sisi lain halaman. Dia tersenyum, memiringkan kepala, dan berkata,
"Kenapa kamu kelihatan sedih, Ren?"
Aku mengangkat bahu. "Aku nggak punya teman main."
Dia duduk di sebelahku dan berkata pelan, "Sekarang punya."


Namanya Thomas.

Ia hadir setiap kali dunia jadi terlalu besar buat aku pahami. Waktu aku jatuh dari sepeda, dia menertawakanku dulu baru menolong. Waktu aku menangis karena Ayah pergi kerja jauh, dia bilang, "Gak apa-apa, aku di sini."
Aku percaya padanya seperti aku percaya bahwa pagi akan datang.

Lalu, seperti semua masa kanak-kanak yang terbang tanpa pamit, Thomas perlahan menghilang.
SMP, SMA, kuliah, cinta pertama, pekerjaan pertama, pernikahan — semuanya datang dan pergi dalam parade waktu. Aku punya teman, rekan, anak, lalu cucu. Aku punya rumah dengan taman kecil dan suara ketawa setiap sore.
Hidupku penuh, tapi tak pernah benar-benar utuh. Selalu ada ruang kecil di dada, seperti kursi kosong di ruang tamu, menunggu seseorang yang tak kunjung kembali.

Waktu berlalu. Teman-teman lama mulai berpamitan satu per satu.
Pagi jadi lebih panjang, malam jadi lebih berat.
Dan ketika Lila, istriku, pergi dalam tidurnya — aku merasa seluruh dunia berubah jadi gema. Rumah kami terlalu besar, bahkan untuk napasku sendiri.

Suatu malam, listrik mati. Aku duduk di ruang tamu, hanya ditemani cahaya lilin yang redup. Angin meniup tirai seperti napas pelan dari dunia lain. Aku sempat berpikir, mungkin aku hanya menunggu giliran.


Lalu aku mendengar suara itu.
Lembut. Akurat. Seperti gema masa kecil yang menembus waktu.

"Rendra..."

Aku menoleh. Dan di sana, di sisi meja, berdiri seseorang. Wajahnya samar diterangi cahaya lilin, tapi aku tahu. Aku tahu bahkan sebelum ia tersenyum.
"Thomas."


Dia masih sama. Tidak menua, tidak berubah. Rambutnya tetap berantakan, matanya tetap hangat. Ia duduk di kursi seberangku, mengangkat alis seolah tak ada tahun yang memisahkan kami.
"Kamu tumbuh jadi tua sekali," katanya sambil tertawa kecil.
Aku tersenyum miris. "Dan kamu tetap sama."
"Aku kan cuma muncul kalau kamu butuh."
Aku menatapnya lama. "Jadi kamu nyata?"
Dia berpikir sebentar, lalu menjawab, "Tergantung, Ren. Apa yang lebih nyata — sesuatu yang kamu sentuh, atau sesuatu yang kamu percaya sepenuhnya?"

Kami mengobrol lama malam itu. Tentang hidup, kehilangan, tentang semua hal yang dulu terasa besar tapi kini hanya serpihan waktu. Thomas mendengarkan tanpa banyak bicara, seperti dulu. Kadang aku merasa dia menatapku dengan mata yang tahu segalanya — seolah dia selalu ada di setiap momen yang aku lupa.

Ketika lilin hampir padam, aku berkata, "Kau tahu, Thomas, mungkin kamu cuma bagian dari pikiranku. Sisa imajinasi bocah kesepian."
Dia tersenyum samar. "Kalau begitu, kamu berhasil menciptakan teman yang sangat setia."

Dan sebelum aku sempat menjawab, angin masuk dari jendela yang setengah terbuka. Api lilin padam.
Gelap.
Tapi di dalam gelap itu, aku merasa hangat. Seperti seseorang menepuk bahuku perlahan, lalu berbisik, "Aku di sini."

Pagi datang dengan sinar matahari yang lembut.
Dua cangkir teh di meja, satu di antaranya masih berasap.


Aku tidak ingat apakah aku menuang dua cangkir. Tapi di permukaan teh itu, ada riak kecil yang bergerak... seperti seseorang baru saja meniupnya.

Aku menatap cangkir itu lama, lalu tersenyum.
Mungkin dunia tak pernah benar-benar meninggalkan kita.
Mungkin yang kita sebut teman khayalan hanyalah bentuk lain dari jiwa — yang menolak membiarkan kita berakhir sendirian.

Dan di antara cahaya pagi yang menembus jendela, aku mendengar suaranya lagi.
Jauh.
Lembut.
"Selamat pagi, Ren."

Aku tersenyum. "Selamat pagi, Tom."

***

Aku tidak tahu kapan terakhir kali aku benar-benar tidur.
Atau mungkin — aku belum bangun.

Udara di sekitar terasa lembut. Tidak dingin, tidak panas. Aku duduk di kursi kayu di taman yang samar-samar kukenal. Pohon mangga di belakang rumahku dulu berdiri di sana, tapi daunnya kini berkilau seolah terbuat dari cahaya pagi yang beku.
Ada jalan setapak yang menuju ke arah kabut putih. Aku tahu ke mana jalan itu mengarah, tapi aku belum siap melangkah.


Lalu kudengar suara langkah. Ringan, seperti anak kecil berlari di pasir.
"Tungguin aku dong," katanya.

Aku menoleh, dan di sana Thomas berdiri — sama seperti dulu. Kaus lusuh, senyum malas, mata yang seolah tahu rahasia dunia tapi pura-pura nggak peduli.
Dia duduk di sebelahku, menatap langit yang terlalu biru untuk nyata.
"Capek ya?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Capek... tapi bukan capek tubuh. Lebih kayak... capek nunggu sesuatu yang aku sendiri nggak tahu apa."

Thomas mengangguk pelan. "Semua orang nunggu sesuatu, Ren. Bedanya, cuma ada dua jenis penunggu: yang masih berharap... dan yang udah selesai berharap."
"Dan aku yang mana?"
Dia menatapku lama, lalu tersenyum kecil. "Kamu udah mulai selesai."

Kami diam lama. Angin membawa aroma teh dan tanah basah. Aku memejamkan mata, mendengar detak halus — entah dari jantungku, atau dari dunia ini.

"Aku pengin nanya," kataku akhirnya. "Kamu itu siapa sebenarnya?"
Thomas tertawa kecil. "Kamu selalu suka pertanyaan susah."
"Aku serius."
Dia menatap tangannya, lalu ke arahku. "Mungkin aku bagian dari kamu yang nggak mau mati. Bagian kecil yang masih pengin main, pengin tertawa, pengin percaya."
Aku menelan ludah. "Jadi kamu cuma ilusi?"
Dia menggeleng. "Ilusi itu bukan berarti tidak nyata. Hanya berarti kamu belum punya bahasa untuk menjelaskannya."

Angin berhenti. Dunia terasa hening seperti sebelum seseorang menutup buku.

"Thomas," kataku pelan, "Kalau aku pergi... kamu bakal tetap di sini?"
Dia tersenyum, matanya basah tapi damai. "Aku bukan di sini, Ren. Aku adalah tempat ini. Di mana pun kamu berada, aku bagian dari tempat itu."
Aku mengangguk. "Dan kalau aku hilang?"
"Kalau kamu hilang, aku yang akan menemukanmu."

Seketika aku sadar — taman ini mulai larut dalam cahaya.
Rumahku, pepohonan, bahkan tubuhku sendiri perlahan menjadi transparan.
Aku tidak merasa takut. Tidak merasa sedih. Hanya ada rasa ringan — seperti akhirnya menurunkan beban yang sudah lama kugendong.

Thomas berdiri, mengulurkan tangannya. "Ayo, Ren."
Aku menatap tangannya yang bercahaya samar. "Ke mana?"
Dia tersenyum. "Ke tempat di mana tidak ada yang pergi, dan tidak ada yang datang. Hanya ada... yang ada."


Aku berdiri. Saat jemariku menyentuh tangannya, dunia runtuh dalam keheningan yang indah.
Bukan gelap. Bukan terang. Hanya... tenang.

Dan sebelum segalanya hilang, aku mendengar suaranya berbisik, sangat lembut:
"Kamu nggak pernah sendirian, Ren. Bahkan waktu kamu pikir begitu."

Lalu semuanya jadi cahaya.

***

Epilog: Di Taman Belakang

Namaku Dara.
Orang bilang aku mirip Kakek waktu muda — sama-sama suka bengong liat langit. Bedanya, kalau Kakek dulu pakai rokok di tangannya, aku cuma bawa segelas teh dingin dan earphone setengah nyala.

Sudah dua minggu sejak Kakek meninggal. Rumahnya masih sama: tembok kusam, jendela besar, dan taman kecil yang seolah hidup di dunia sendiri.
Kami belum berani membongkar apa pun di sana. Ibu bilang, biarkan dulu rumahnya tenang, biarkan arwahnya beres-beres sendiri.

Aku tahu itu cuma cara halus untuk bilang "kita belum siap."

Sore itu, aku duduk di taman belakang. Kursi kayu tua masih ada di tempatnya. Catnya mengelupas, tapi tetap kokoh. Di atas meja, dua cangkir teh — sudah kering, tapi meninggalkan noda bundar di taplak.


Aneh, karena katanya Kakek tinggal sendirian.

Aku menatap cangkir itu lama, lalu tiba-tiba teringat sesuatu: waktu kecil, aku sering main ke sini. Kadang aku lihat Kakek duduk sendirian di taman, ngobrol pelan seolah ada orang di depannya.
Waktu aku tanya siapa, dia cuma bilang,
"Teman lama, Ra. Kamu nggak kenal. Tapi dia kenal kamu."

Dulu aku pikir itu lelucon orang tua yang kesepian. Sekarang... entah kenapa, aku nggak se-yakin itu.

Aku menutup mata. Angin sore berhembus lembut, membawa aroma daun mangga dan sesuatu yang aneh — seperti wangi teh manis yang baru diseduh. Lalu aku dengar suara kursi kayu berderit, padahal aku tidak bergerak.

"Aku kangen dia," kataku lirih, entah ke siapa.

Sebuah suara, halus tapi jelas, datang dari arah meja.
"Dia nggak pernah benar-benar pergi."


Aku membuka mata.
Ada bayangan samar duduk di kursi seberang. Seorang pria muda, dengan rambut berantakan dan senyum yang entah kenapa terasa... familiar.
Ia menatapku, lalu berkata pelan, "Dara, ya? Kamu mirip dia waktu kecil."

Jantungku berdetak keras.
"Siapa kamu?" tanyaku, hampir berbisik.

Dia menatap teh di depannya, meniup permukaannya, lalu tersenyum kecil.
"Teman lamanya Rendra."

Aku tak tahu harus berkata apa. Angin berhenti. Cahaya senja membuat segalanya seperti lukisan.
Dia berdiri, menatapku dengan mata hangat yang entah kenapa bikin dadaku sesak.

"Jaga taman ini, ya," katanya. "Dia suka tempat ini karena di sinilah dua dunia bisa saling dengar."
"Dua dunia?"
Dia tidak menjawab. Hanya melangkah menjauh, melewati cahaya sore yang makin redup.
Langkahnya tidak bersuara. Dan ketika aku menoleh lagi — dia sudah tidak ada.

Tapi di meja, salah satu cangkir teh kini berasap tipis.
Segar. Hangat. Seolah baru diseduh.

Aku memegang cangkir itu dengan tangan gemetar. Rasanya manis, persis seperti buatan Kakek.
Dan di dasar cangkir, daun tehnya membentuk pola kecil — dua sosok berdiri berdampingan.

Aku menatapnya lama, lalu tersenyum.
Mungkin, pikirku, ada tempat di antara hidup dan kenangan... di mana mereka yang saling mencintai bisa tetap berjumpa.
Dan taman belakang ini — mungkin, hanya mungkin — adalah pintu kecil menuju tempat itu.

Saturday, November 8, 2025

Battling burnout

(Copied from email newsletter from Susan David - https://www.susandavid.com/)

Hi All,

In the context of our “rise-and-grind” culture, it’s very likely that you (or someone you care about) is either coping with burnout now or has dealt with it in the past.

I’ve been there myself. It feels like your work is demanding more of you than you have to give. It takes you an hour to complete a task that you could have previously done in twenty minutes. You used to look forward to your job. Now you dread it.

One of the key signs of burnout is working less efficiently and falling behind. We often try to remedy this by working more than before. This creates an unhealthy cycle: the deeper your sense of burnout, the more you work, and the more you work, the greater the burnout. The sense of depletion follows you home from the office and you have less energy for your personal life. You feel like you’re in a dark tunnel crawling toward a light that never seems to get any closer.

If this sounds familiar, read on for some tips and tricks for tackling burnout.

Rather than lean in to busyness, look for opportunities to lean in to your humanness.

Humanness looks different for different people. Here are a few ideas:
  • Plan a date night with your partner or friend where you agree not to talk about work.
  • Get outside or do something active.
  • Listen to a favorite song with your eyes closed.
Your humanness is present when you take pleasure in existing rather than accomplishing, when you remember that you’re a human being, not a human doing.

When we connect with our humanness, we stop struggling toward the light at the end of the tunnel and start learning how to see in the dark. We squint our eyes, notice the specific emotions that burnout has provoked in us, and use them as signposts that point us toward our values.

Boredom is a reminder that your need for intellectual challenge is going unmet.
Loneliness suggests that you need more personal connection in your life.
Exhaustion is urging you to lean against the tunnel wall and take a rest.
It’s easy to look forward to some indefinite point in the future when work will slow down and your burnout will fade. But that approach assumes that you won’t collapse along the way.

Instead, it’s more sustainable to use your feelings as data to guide your decisions in the present. Whether that means rethinking how you relate to your work, adjusting your role within your organization, or even laying the groundwork for a career change, you’ll be reframing your burnout as an opportunity to identify the first steps toward change.

In kindness and compassion,

Susan David

Monday, November 3, 2025

Uselessness of Words

It is useless to tell the fool,
they will never understand.
It is useless to tell the wise,
they'd already understand.


It is the best to keep your words for yourself.

Thursday, October 23, 2025

Wednesday, October 22, 2025

Mitos Efisiensi: Kenapa Project Tanpa Buffer Selalu Berujung Chaos

Di dunia manajemen proyek, “efisiensi” sering jadi mantra sakral. Semua orang ingin cepat, lean-resourced, dan produktif. Tapi ada garis tipis antara efisiensi dan nekat. Dan garis itu biasanya terlihat jelas setelah semuanya berantakan.


Ketika project planning disusun dengan resource yang terlalu mepet; Di atas kertas, semuanya kelihatan ideal—timeline ketat tapi “masih masuk”, headcount pas-pasan tapi “bisa lah kalau kompak”.


Lalu realita datang: satu orang sakit. Satu stakeholder terlambat kasih approval. Dan tiba-tiba, seluruh progress berhenti total.


Proyek yang tadinya kelihatan seperti mesin presisi, mendadak macet gara-gara satu baut longgar.

Masalahnya bukan di siapa yang sakit atau siapa yang telat, tapi di mindset saat planning. Kita sering lupa bahwa di dunia nyata, variabel manusia itu unpredictable. Ada faktor kesehatan, burnout, dependency antar tim, atau sekadar Murphy’s Law klasik: “Anything that can go wrong, will go wrong.”


Orang sering bilang, “Kita harus efisien, jangan buang-buang resource!”
Tapi kenyataannya, resource buffer bukanlah pemborosan — itu asuransi terhadap chaos.

Gue suka pakai analogi sederhana: project planning tanpa buffer itu kayak naik motor tanpa helm.
Memang, 90% waktu lo bakal baik-baik aja tanpa helm. Lo bisa ngerasain angin, lebih ringan, bahkan terlihat “efisien”. Tapi ketika kecelakaan kecil terjadi—batu kecil, jalan licin, atau pengendara lain yang ngawur—yang nyelamatin hidup lo bukan kecepatan, tapi helm yang standby itu.


Buffer juga begitu. Mungkin kelihatannya “nggak kepake”, tapi begitu hal-hal tak terduga muncul, di situlah nyawa proyek diselamatkan.

Di perusahaan yang dikejar efisiensi berlebihan, sering muncul fantasi optimisme:
Semua orang sehat, semua dependency on time, semua approval instan.
Padahal, real world selalu punya gesekan. Dan justru di situlah manajer proyek sejati diuji—bukan dengan menekan tim sampai meledak, tapi dengan merancang sistem yang tetap bisa jalan meskipun satu-dua roda copot.

Kalau lo mau ngebut, pastikan tim punya helm yang layak.
Kalau lo mau hemat, hematlah di tempat yang benar—bukan di margin of error yang bikin semuanya rentan.

Efisiensi sejati bukan tentang meniadakan ruang, tapi tentang memanfaatkan ruang dengan bijak. Karena dalam jangka panjang, proyek yang punya buffer justru lebih cepat selesai, karena nggak perlu berhenti setiap kali tabrakan kecil terjadi.


Jangan terjebak dalam mitos efisiensi semu. Rencanakan ruang bernapas. Buat buffer bukan karena lo pesimis, tapi karena lo cukup realistis untuk tahu — masa depan nggak pernah sepenuhnya bisa ditebak.

Karena pada akhirnya, yang bikin lo selamat di jalan proyek bukan seberapa cepat lo ngebut, tapi seberapa siap lo ketika jalanan berubah arah.


Wednesday, October 8, 2025

Bringing Your Whole Self to Work: Why Authenticity Drives Wellbeing and Performance

(Copied from email newsletter from Susan David - https://www.susandavid.com/)

Hi All,

Many of us make a sharp distinction between our “work self” and our “real self.” Perhaps that work self is "all business"—stoic, efficient, and focused on the bottom line. Our so-called real self, by contrast, contains all the parts of us that can’t easily be measured or cataloged—our values, our dreams, and our emotions. The reality, though, is that when people feel able to bring their whole selves to work, it’s healthier for them as individuals as well as for the organizations they create.

Since the Industrial Revolution, there has been an unspoken cultural expectation that employees should operate like machines. Steam engines, of course, never feel overlooked by the boss or resent having to work weekends, and neither should a “good” worker—or so the logic goes.

But people are decidedly not machines, and expecting them to act like they are is a recipe for a number of ailments, such as:
  • disengagement
  • high turnover rates
  • low wellbeing
  • an increase in stress and burnout
As humans, we are driven by our values, so when your daily tasks are disconnected from those values, it takes a toll. Simply going through the motions and pretending that you feel differently than you actually do is called surface acting, and it can only go on for so long before it begins to impact your wellbeing and the quality of your work.


Compare this mindset to a workplace that encourages a more integrated approach, where individuals are invited to show up to work feeling however they feel. This can be as simple as acknowledging and articulating our emotional truths without trying to change or fix them.

When individuals don't feel like they have to check important parts of themselves at the door, it creates a better environment for all. People who are wholehearted in their work aren’t just happier—they’re more engaged, more committed, and less likely to experience alienation or burnout. The office climate improves, which increases retention. Clients and customers notice the care that employees bring to their work, which promotes brand loyalty. It’s a situation that everyone can benefit from.

Of course, bringing one’s whole self to work doesn’t give you license to openly berate an annoying coworker or snidely dismiss an idea you disagree with. Authenticity doesn’t mean we abandon appropriate behavior and respect for others. Our feelings are data that carry important messages, not directives to act on impulse. They’re also not an aspect of your personality than you can choose to turn off. Our emotions are part of us, and responsibly making space for them isn’t unprofessional—it’s indispensable.

With courage, curiosity, and compassion,

Susan David

Saturday, October 4, 2025

Kisah yang Tenggelam di Perjalanan


"We were young, wild, and free — until the day we realized the world is ruled by money, that even love can be sold for its price."

Sepuluh tahun setelah kelulusan, kita reuni kecil. Tempatnya mirip masa SMA dulu—kursi kayu, lampu temaram, aroma sate yang samar. Tapi suasananya sudah berubah. Obrolan bukan lagi soal mimpi, tapi soal cicilan rumah, target KPI, dan harga sekolah anak.

Rangga tiba-tiba nyeletuk:
“Eh, inget nggak dulu kita pernah janji kalau udah kerja, kita patungan bikin studio band? Sekarang sih duitnya ada. Tapi kapan terakhir kita nyanyi bareng?”

Hening. Kita saling pandang, ngetawain dengan getir.

Sinta bilang pelan:
“Kita dulu muda, liar, bebas. Sekarang, welcome to the real life...”

Perasaan gue jadi aneh: antara hangat karena ketemu mereka lagi, tapi juga sedih karena sadar kita semua kalah oleh sistem.


Di masa SMA dulu, hidup terasa sederhana. Sabtu sore berarti nongkrong di warung kopi pojokan sekolah, gitar butut bergilir di tangan, dan lagu-lagu Iwan Fals atau Sheila on 7 jadi soundtrack. Kita—gue, Rangga, Dimas, dan Sinta—ngerasa dunia cuma sejauh lapangan basket, kantin, dan mimpi-mimpi besar yang waktu itu rasanya nggak mustahil.

“Bro, someday kita bikin band beneran. Main di pensi bukan cuma jadi opener, tapi jadi bintang tamu!” seru Rangga, vokalis dengan suara serak-serak romantis. Kita ngakak, tapi dalam hati percaya.

Dulu, hidup nggak pernah ribet. Kita pacaran dengan polos, putus pun sambil makan mie instan rame-rame. Punya 20 ribu di kantong udah cukup buat beli rokok, bensin, sama gorengan.


Lalu kita lulus.

Dan semua mulai berubah.

Sinta, cewek paling idealis di geng, kuliah hukum. Dia pernah bersumpah: “Gue bakal jadi pengacara buat orang kecil. Gue benci liat orang miskin diinjak.” Tapi pas gue ketemu lagi lima tahun kemudian, dia udah jadi corporate lawyer dengan gaji puluhan juta. “Nanti aja deh gue bantu orang kecil, kalau tabungan udah aman,” katanya sambil menyeruput latte di kafe elit. Ada lelah di matanya, tapi ada juga kilau perhiasan di tangannya.


Rangga, si vokalis, kerja di agensi iklan. Katanya seni itu ekspresi, tapi klien maunya bikin iklan mie instan dengan slogan bodoh. Lama-lama dia kompromi. “Namanya juga hidup, bro. Passion itu hobi, duit itu kewajiban.” Suaranya masih serak, tapi nyanyiannya sekarang cuma jadi hiburan kantor pas karaoke.


Tapi yang paling tragis, Dimas. Dia anak paling jago hitung-hitungan, masuk ke dunia perbankan. Awalnya semangat, tapi godaan besar bikin dia terjerat kasus suap kecil-kecilan. “Cuma 20 juta, siapa juga yang tahu,” begitu pikirnya. Sampai suatu hari, berita tentang “pegawai bank ditangkap KPK” muncul, dan wajahnya terpampang di TV.


Dan gue? Gue juga nggak lebih baik. Dulu pengen jadi penulis. Tapi realita bikin gue kerja kantoran, nulis laporan proyek yang nggak pernah ada orang baca. Malam-malam gue buka draft novel lama, tapi jari-jari nggak pernah sanggup ngetik lagi.

Meski begitu, ada satu hal kecil yang masih bikin gue percaya kita nggak sepenuhnya hilang. Malam itu, Rangga tiba-tiba keluarin gitar butut yang masih dia simpan. Kita nyanyi bareng, suara fals bercampur tawa. Untuk sesaat, waktu mundur ke masa SMA.


Besoknya kita kembali ke dunia nyata. Tapi di hati, gue tahu: seberapa pun dunia menelan, selalu ada secuil kenangan—secuil idealisme—yang nggak bisa dirampas uang.


Between the laughter and the fatigue, we realized — the world hadn’t changed, only we had, too tired to remain who we were.

Sunday, September 28, 2025

A Beautiful World


“With all its sham, drudgery and broken dreams, it is still a beautiful world...”
Gue inget kutipan itu dari puisi "Desiserata", karangan Max Ehrmann. Gue nggak pernah mikir kalimat kayak gitu punya makna, sampai gue ketemu Pak Arman.


Gue kenal beliau waktu SMA. Gue anak yang males, tukang bolos, sering ngerasa dunia ini nggak adil. Bokap-nyokap sibuk berantem, rumah kayak kapal pecah. Sekolah cuma tempat gue numpang tidur.

Suatu hari, gue ketahuan tidur di perpustakaan. Harusnya gue langsung diusir, tapi ada satu guru tua duduk di depan gue. Pakai kemeja putih lusuh, kacamatanya agak tebal, rambutnya udah banyak uban. Dia ngeliatin gue lama banget, sampai gue risih.

“Nak, tidur boleh, tapi jangan lupa mimpi. Orang yang nggak punya mimpi cuma kayak bangkai yang bisa jalan,” katanya.

Gue langsung manyun. “Pak, saya capek aja. Emang nggak boleh tidur?”

Dia nyengir, matanya bercahaya kayak abis nemu hal lucu.
“Tidur boleh. Tapi coba sekali-sekali bangun buat ngeliat dunia. Siapa tahu nggak seburuk yang kamu pikir.”

Itu pertama kali gue ngerasa ada guru yang nggak nyalahin gue mentah-mentah. Anehnya, tatapan dia bikin gue ngerasa dilihat. Bukan sebagai murid bermasalah, tapi sebagai manusia.

Dari situ, gue makin sering ngobrol sama dia. Namanya Pak Arman. Dia ngajar sejarah, tapi cara dia cerita nggak pernah kayak text book. Kalau ngomong soal perang dunia, dia selalu nyelipin kisah kecil: prajurit yang kangen rumah, surat cinta yang nggak pernah sampai.


“Orang suka mikir sejarah itu angka dan tahun. Padahal isinya manusia. Dan manusia itu rapuh, tapi juga kuat,” katanya suatu kali.

Gue suka bengong tiap denger dia ngomong. Ada sesuatu di matanya—tenang, teduh, tapi dalam. Seakan-akan dia bisa liat sisi baik semua orang, bahkan di anak sebandel gue.

Pernah gue nanya, “Pak, kok bapak nggak pernah marah sama saya? Padahal jelas-jelas saya bego.”

Dia ngakak, suara ketawanya serak.
“Kamu nggak bego nak. Kamu cuma nyimpen energi buat hal yang lebih penting. Tugas bapak adalah bikin kamu inget kalau hidup nggak harus di bawa sendirian. Dunia ini bisa dilihat dengan cara lain. Coba kamu lihat dunia ini seperti bapak melihatnya...”


Itu kalimat gokil banget buat anak SMA kayak gue. Dari situ, setiap gue bingung atau putus asa, gue inget cara pandang dia.

Waktu berlalu, gue lulus. Kuliah, kerja. Sesekali gue masih sempet balik ke sekolah cuma buat nyapa. Pak Arman makin tua, tapi senyumnya nggak pernah berubah. Sampai satu hari, gue dapet kabar: beliau sakit keras.

Gue langsung ke rumah sakit. Di ranjang, tubuhnya udah kurus, tapi matanya masih sama. Tenang, seperti langit malam.

“Kamu udah jadi orang besar sekarang, ya?” katanya pelan.


Gue duduk di sampingnya, berusaha nyembunyiin air mata. “Nggak ada yang besar, Pak. Saya masih suka nyasar. Masih suka ngerasa sendirian.”

Dia narik napas panjang, lalu bilang:
“Kalau kamu nyasar, inget, lihatlah dunia seperti bapak melihatnya... Dunia ini kejam, iya, tapi jangan lupa dia juga baik. Orang baik banyak, kamu juga bisa jadi salah satunya. Jangan biarkan hidup bikin kamu lupa caranya jadi manusia...”

Itu obrolan terakhir kami. Seminggu kemudian, beliau meninggal.

Sekarang, tiap kali gue harus bikin keputusan besar—entah di kerjaan, entah dalam hubungan, bahkan hal sepele kayak cara gue ngomong ke orang lain—gue selalu inget Pak Arman.

Misalnya, pas gue mau marah ke bawahan gue karena proyek kacau, tiba-tiba gue inget tatapannya Pak Arman dulu. Gue tarik napas, terus ganti nada. Gue bilang, “Santai, kita cari cara bareng.” Gue tau, itu bukan gue yang asli. Itu warisan dari beliau.


Malam-malam tertentu, gue suka duduk sendiri sambil ngeliat langit. Gue inget lagi obrolan pertama kami di perpustakaan: “Tidur boleh, tapi jangan lupa mimpi.”

Dan gue sadar, walaupun beliau udah nggak ada, gue masih bisa pinjem matanya kapan pun gue butuh. Tatapan itu nggak pernah hilang, cuma pindah rumah—sekarang tinggal di hati gue. Kehilangan fisiknya emang sakit, tapi warisannya bikin gue tetep bisa jalan.

“With all its sham, drudgery and broken dreams, it is still a beautiful world...”
Dan sampai hari ini, dunia masih keliatan lebih baik karena gue pernah liat dunia lewat mata Pak Arman.


This world is not beautiful, therefore... it is...
Kino ~ Kino no Tabi

Saturday, September 27, 2025

Kupu-Kupu Cacat

Aku masih ingat hari ketika rambut kita jatuh bersamaan di lantai salon kecil dekat sekolah. Kamu tertawa waktu aku bilang bentuk poniku jadi kayak cermin yang retak. Entah kenapa, momen itu menempel di kepalaku seperti aroma hujan yang susah hilang.


Sejak hari itu, hujan seperti tidak pernah berhenti mengikutiku. Di lorong sekolah, suara sepatu bergaung—kadang milikku, kadang milikmu. Kadang aku pikir itu gema dari sesuatu yang sudah lewat, tapi semakin aku berjalan, semakin jelas: ada bayangan kita berdua, terus menempel di belakang.


Aku tidak pernah tahu kenapa kupu-kupu yang terbang terbalik itu terus datang dalam mimpiku. Sayapnya berkilau, tapi arahnya aneh, selalu menantang cahaya dari sisi lain. Mungkin itu aku. Mungkin itu kamu. Atau mungkin kita berdua yang tidak pernah belajar terbang lurus, hanya tahu melawan arah angin.

Pesan singkat kita waktu itu sederhana. “Udah makan?” “Jangan lupa bawa payung.” Tidak ada yang puitis, tidak ada yang besar. Tapi entah kenapa, di antara kalimat-kalimat tanpa makna itu, aku menemukan sesuatu yang mengikat. Seperti melodi tanpa lirik yang tiba-tiba membuatku menangis tanpa alasan jelas.


Hari ini hujan lagi. Sama seperti hari itu, sama seperti ratusan hari setelahnya. Aku berdiri di balik jendela, menatap langit kelabu, sambil berharap bisa menyambungkan sesuatu—antara dulu dan sekarang, antara aku dan kamu.


Kamu yang memberi hidup pada serpihan diriku yang hampir hilang di tengah kegilaan ini. Kamu yang membuatku percaya kalau tiap orang membawa bentuknya sendiri-sendiri: cahaya, suara, luka, dan janji.

Aku sering bertanya-tanya, bisakah kenangan kita bertahan? Bisakah satu perasaan sederhana, yang pernah menyelamatkan kita di lorong sekolah basah itu, tetap utuh meski waktu menelannya perlahan?

Ada hal-hal yang tidak bisa dijangkau tangan manusia, tempat-tempat di dalam hati yang bahkan kata-kata pun takut mendekat. Aku tahu itu. Tapi aku juga tahu—aku menyukai bagian-bagian bisu itu, karena justru di sana kita paling jujur.


Kupu-kupu dengan sayap cacat berputar di langit abu-abu. Aku tidak tahu apakah dia akhirnya akan menemukan cahaya, atau hancur di tengah badai. Tapi setiap kali aku melihatnya, aku teringat: pernah ada seseorang yang membuatku percaya bahwa dalam segala kegilaan ini, ada bentuk kecil yang pantas dijaga.

Kamu.

Dan mungkin itu cukup.


All or Nothing


When I love, I love with all of my heart.
When I hate, I hate to the blood and bones.
When I nurture, I nurture with all of my life.
When I destroy, I destroy completely up to the root...

Aku tidak pernah tahu cara yang setengah-setengah.

Kalau aku mencintai, jantungku sendiri jadi persembahan. Aku beri semuanya—waktu, tenaga, hidupku sendiri kalau perlu. Orang-orang bilang hangatku membuat mereka bertahan, seolah aku matahari kecil yang muncul hanya untuk mereka. Dan aku percaya itu, karena saat cinta tumbuh, aku rela mati untuk menjaganya.

Tapi kalau aku membenci, darahku mendidih. Aku tidak sekadar menolak atau menjauh. Aku merobek, aku cabut sampai ke sumsum tulang. Aku ingin luka itu hilang, akar busuk itu musnah, sampai tak tersisa. Orang mungkin takut, mungkin benci balik padaku. Tapi di kepalaku hanya ada satu suara: “Kalau harus dihancurkan, maka hancurkan sampai habis.”

Kadang aku benci diriku sendiri karenanya. Aku berdiri di depan cermin, melihat dua wajah. Satu bercahaya, menatap penuh kasih. Satu lagi hitam, retak, berapi-api. Dua wajah itu sama-sama milikku.

Aku ingat suatu malam aku duduk di bawah pohon tua. Separuh batangnya hijau rimbun, separuhnya hangus disambar petir. Aku mengusap akarnya yang terbuka, dan aku tertawa pahit. “Beginilah aku,” kataku. Setengah menumbuhkan, setengah menghancurkan.

Dan setiap hari aku harus memilih: tangan mana yang akan kuangkat lebih dulu—tangan yang memberi kehidupan, atau tangan yang meratakan segalanya sampai debu.

Wednesday, September 24, 2025

The World Through Your Eyes

(In honor to those who have shone light on the path of others)

Kadang gue mikir, dunia ini ribet banget. Orang bisa jahat, hidup bisa nyakitin, dan hati gue sering penuh sama kata-kata sedih yang nggak pernah sempet gue keluarin. Tapi tiap kali gue liat mata lu... entah kenapa kayak ada kaca-filter di situ. Kayak gue ngeliat dunia lagi, tapi versi yang lebih ringan.

Mata lu nggak pernah nge-judge. Biarpun gue lagi kacau, lagi nyebelin, atau lagi tenggelam sama pikiran aneh-aneh, tatapan lu tetap sama. Ada kebaikan yang nggak pernah hilang. Itu yang bikin gue betah nongkrong sama lu, walau kadang kita nggak ngomong banyak.

Gue nggak tau apa hidup bakal terus begini. Mungkin suatu hari kita bakal sibuk sendiri, jarang ketemu, atau bahkan kehilangan momen kayak gini. Tapi sebelum itu terjadi, gue cuma mau bilang: selama hati gue penuh sama cerita sedih, gue masih bisa tahan karena hal simpel — lu, dan cara lu memandang dunia.

Jadi kalo nanti malem-malem gue bengong, staring at the stars, sebenernya gue lagi inget momen ini. Lu pernah jadi cahaya kecil yang bikin gue nggak lupa kalau dunia ini nggak cuma tentang luka, tapi juga tentang teman yang ada dalam diam, tapi bikin hati tenang.

The Same Demon

It is both blessing and curse, that we share the same demon…


Kita ketemu pertama kali di sudut paling suram sebuah kafe pinggiran. Gue ingat jelas: lo duduk di meja kecil, ngetik di laptop tua dengan wajah setengah hancur, seolah-olah dunia habis ngunyah lo mentah-mentah. Gue nggak lebih baik—muka gue juga kusut, kopi di tangan cuma alasan biar nggak kelihatan kosong.

Sejak malam itu, kita kayak nemuin cermin yang bisa bicara. Sama-sama insomnia, sama-sama dihantui kegelisahan, sama-sama punya kepala yang nggak pernah berhenti ribut. Apapun yang menghantui kita nggak perlu dijelasin—cukup sekali tatap, kita ngerti.

Awalnya terasa kayak anugerah. Ada yang bisa ngerti tanpa harus buka mulut panjang lebar. Malam-malam panjang jadi lebih ringan karena ada lo di sebelah, ngetawain absurditas hidup. Kita kayak dua prajurit yang tahu medan perang sama, sama-sama berdarah, sama-sama pincang, tapi masih maju bareng.

Tapi makin lama, gue sadar: bayang-bayang itu juga kutukan. Kita jadi saling membakar satu sama lain. Waktu gue mau berhenti, lo masih dorong gas. Waktu lo mau diam, gue malah ngegali lebih dalam. Bukannya saling menyelamatkan, kadang kita malah jadi jangkar yang narik lebih dalam ke bawah.

Meski begitu, gue nggak bisa bilang gue nyesel. Tanpa lo, mungkin gue udah tenggelam sendirian. Dengan lo, setidaknya kita belajar satu hal: beban yang sama bisa bikin kita runtuh, tapi juga bisa jadi alasan kita bertahan.

Dan mungkin… justru di situ letak keindahannya. Kita nggak pernah benar-benar menang. Tapi kita juga nggak pernah kalah sendirian.


Wednesday, September 17, 2025

I Will Stare at the Stars


Your eyes are a mirror in which I can see the world’s reflection
without ever forgetting your kindness
even if my heart is full of sad words
I will stare long and hard at the stars…

~ Kino, Kino no Tabi, Ep.04 - The Joy of Work


Sunday, August 31, 2025

Authentic, Munafik, Jaga Perasaan: Sebuah Batasan


Belakangan ini, kata “authentic” sering banget dipake orang. Banyak yang bangga bilang, “Gue tuh orangnya authentic, ngomong apa adanya, gak bisa munafik.” Biasanya ujung-ujungnya mereka jadi tipe orang yang mulutnya gak ada filter—semua yang dipikir langsung keluar.

Pertanyaannya: emang gitu ya cara jadi authentic? Dan kalau kita milih buat gak ngomong semua isi hati, otomatis kita jadi munafik?

Authentic Itu Apa Sih?


Authentic itu intinya lo hidup selaras sama apa yang lo rasain, lo pikir, dan lo lakuin. Gak pura-pura jadi orang lain, gak bohong sama diri sendiri.

Tapi authentic itu bukan berarti semua isi hati harus dilontarin mentah-mentah. Kalau lo bete terus langsung marah-marah tanpa mikirin efeknya ke orang lain, itu bukan “authentic”—itu ga ada filter.

Authentic itu tentang jujur, tapi juga sadar konteks sosial. Lo tetap jadi diri sendiri, tapi lo pilih cara nyampeinnya biar lebih relate ke orang lain.

Munafik Bukan Cuma Soal Menyembunyikan Perasaan


Banyak orang suka salah kaprah. Katanya kalau kita nahan omongan berarti kita munafik. Padahal, munafik itu lebih ke lo ngomong atau ngelakuin sesuatu yang bertentangan total sama isi hati lo. Biasanya demi keuntungan pribadi atau sekadar pencitraan.

Contoh gampang: lo kesel banget sama bos lo, tapi depan dia lo muji-muji kayak fangirl. Itu baru munafik.

Kalau lo cuma nyaring cara ngomong biar gak nyakitin orang lain, itu bukan munafik. Itu namanya kedewasaan dalam komunikasi.

Menjaga Perasaan Itu Skill


Menjaga perasaan orang bukan berarti lo palsu. Justru itu skill sosial yang penting. Lo sadar orang lain juga punya emosi, jadi lo atur cara ngomong biar pesannya nyampe tanpa bikin luka yang gak perlu.

Analoginya kayak nyuapin anak kecil. Lo gak mungkin kasih dia cabe rawit bulat-bulat, kan? Lo pilih makanan yang bisa dia cerna. Sama juga pas ngomong—lo tetap jujur, tapi dikemas biar orang lain bisa nerima.

Contoh Real: Temen yang Sering Telat
  • Blak-blakan mentah: “Lo ngeselin banget sih, telat mulu. Gue ilfil sama lo.” → Authentic, tapi nyakitin.
  • Pura-pura santai: “Santai aja kok, gue seneng nungguin lo,” padahal lo gondok. → Nah ini baru munafik.
  • Balance: “Bro, gue agak keganggu kalau sering nungguin. Bisa coba lebih on time gak next time?” → Authentic, considerate, gak munafik.

Authentic + Considerate = Kedewasaan

Jadi intinya lo bisa banget kok jadi authentic, considerate, dan gak munafik di saat yang sama. Lo tetap jujur sama diri sendiri, tapi lo juga mikir cara terbaik buat nyampein ke orang lain.

Ini yang namanya kedewasaan emosional. Lo bukan cuma ngomong “gue jujur apa adanya,” tapi juga “gue jujur dengan cara yang orang lain bisa terima.”

Penutup

Nyaring omongan itu bukan berarti lo palsu. Jaga perasaan juga bukan tanda lo munafik. Malah, di situlah seni hidup bareng orang lain—nemuin titik tengah antara jujur sama diri sendiri, empati sama orang lain, dan konsistensi sama prinsip.

Authentic itu ibarat kopi hitam asli. Tapi cara nyajiinnya bisa beda-beda: panas, dingin, pakai gula, atau gak. Selama rasanya tetap kopi, lo masih authentic.