Background:
- Dalam proses recruitment di hampir semua perusahaan, ada reference check
- Dan umumnya reference check ini dari kontak yg diberikan oleh si candidat sendiri
Case:
- Ada beberapa HR recruitment yg kemudian melakukan background checking tambahan secara mandiri - Meng-contact orang2 diluar yg direkomendasikan kandidat
Expected from GPT:
- Menurut Anda, bagaimana Anda menilai tindakan dari HR yang melakukan hal diatas?
***
Tindakan HR yang melakukan background check di luar referensi yang diberikan kandidat itu bisa dibilang etis, tapi juga berpotensi bermasalah, tergantung pada bagaimana dan untuk apa mereka melakukannya.
Kenapa HR Melakukannya?
Dari sudut pandang HR, alasan melakukan pengecekan tambahan cukup masuk akal:
- Mereka ingin validasi objektif, bukan sekadar mendengar hal-hal bagus dari orang yang pasti “pro-kandidat”.
- Mereka ingin cari red flags yang mungkin sengaja dikubur oleh kandidat.
- Mereka merasa ini bagian dari due diligence, terutama untuk posisi strategis atau sensitif.
Tapi… Ini Bisa Jadi Bumerang
- Melanggar Privasi / Etika Profesional
- Kalau HR kontak mantan rekan kerja tanpa seizin kandidat, bisa aja:
- Si kandidat belum resign secara formal.
- Lingkungan kerja sekarang jadi tahu kandidat lagi cari kerja.
- Ini bisa sabotage career si kandidat.
- Bias & Informasi Tidak Terverifikasi
- Orang yang mereka kontak bisa punya conflict of interest, atau bahkan dendam pribadi.
- Informasi bisa gossip, bukan fakta. Tapi sudah terlanjur memengaruhi keputusan.
- Trust Issue
- HR minta kandidat jujur dan transparan, tapi mereka sendiri “nyelundup” cari info di luar jalur resmi.
- Ini ngerusak kepercayaan kandidat pada perusahaan dan proses rekrutmen.
Gimana Seharusnya?
Pendekatan paling profesional:
- Kalau HR ingin info tambahan, mereka harus minta izin dulu:
- “Apakah kami boleh bicara dengan orang di luar daftar referensi Anda, misalnya mantan rekan kerja?”
- Atau, HR bisa eksplor lebih jauh lewat behavioral interviews yang dirancang dengan cerdas, tanpa harus kontak orang luar.
Kesimpulan:
- Kalau HR main belakang tanpa transparansi, itu kurang etis. Niatnya boleh bagus, tapi caranya bisa nginjak privasi dan reputasi orang.
- Kalau perusahaan memang butuh info lebih dalam, ya minta izin secara terbuka. Jangan jadi stalker profesional.
Kalau kamu sedang dalam posisi kandidat, penting juga buat kamu kasih daftar referensi yang bisa kasih gambaran seimbang—nggak cuma fans club kamu doang. Dan kalau kamu HR? Mainlah fair. Jangan bikin proses yang terasa kayak investigasi kriminal.
***
Bagaimana seandainya kandidat keberatan?
Argumen kandidat:
- Kandidat tidak tahu siapa yang akan di contact oleh HR
- Merupakan suatu fakta, bahwa "kita tidak mungkin disukai semua orang" - Termasuk si HR sendiri, dan bahkan kandidat juga mengatakan kalau dia tanya semua orang yg pernah kerja dengan HR tersebut, apakah semuanya akan kasih testimony bagus?
- Tetapi kandidat mengaku bahwa dia bisa tunjuk > 10 orang yg happy dengan pekerjaan dia, dan semuanya adalah orang yg pernah bekerja dekat dengan nya
Bagaimana menurut pendapat dan penilaian Anda?
***
Kandidat ini punya poin yang sangat valid, dan justru menunjukkan kecerdasan, integritas, dan kesadaran profesional yang tinggi.
Mari kita bongkar logikanya satu per satu.
Argumen Kandidat: Solid & Masuk Akal
- "Saya tidak tahu siapa yang dihubungi"
- Ini penting. Kalau HR randomly menghubungi orang tanpa konteks, itu bisa sangat bias dan misleading.
- Apalagi kalau yang dihubungi itu:
- Punya konflik personal.
- Nggak pernah kerja langsung bareng.
- Malah punya agenda sendiri.
- Kandidat berhak tahu siapa yang “bicara di belakangnya”. Ini bukan gosip kantor, ini menyangkut masa depan karier.
- "Tidak semua orang akan suka saya"
- Ini bukan defensif. Ini realistis.
- Setiap orang profesional pasti pernah konflik dalam tim, atau ambil keputusan sulit yang bikin beberapa pihak nggak happy.
- HR juga seharusnya paham bahwa satu komentar negatif dari orang yang nggak kompeten atau penuh dendam, nggak bisa dijadikan dasar keputusan.
- "Saya bisa tunjuk 10+ orang yang puas kerja bareng saya"
- Ini bukti konkret.
- Dia bilang: “Kalau lo mau info valid, ini orang-orangnya. Mereka pernah kerja langsung, tahu performa saya sehari-hari.”
- Lebih kredibel daripada ngacak kontak siapa pun di LinkedIn dan tanya, “Eh, dia gimana ya?”
Kalau HR Tetap Ngotot?
Kalau HR tetap bersikeras melakukan pengecekan tanpa transparansi, maka:
- Mereka bukan cari truth, tapi cari alasan buat tidak merekrut.
- Ini mengarah ke praktik seleksi yang subjektif, manipulatif, dan riskan.
- Bisa jadi mereka gak yakin sama proses interview dan referensi yang ada, jadi mereka terpaksa “nyari celah”.
Penilaian Jujur
Kandidat ini menunjukkan:
- Kesadaran diri (dia tahu dia bukan orang sempurna).
- Transparansi (dia kasih banyak referensi yang kredibel).
- Keberanian untuk speak up, bukan cuma nurut pasif.
Flip the Script: Bayangkan HR-nya yang dicek balik
Gimana kalau si kandidat bilang:
- “Saya juga pengen cek reputasi tim HR ini. Boleh saya kontak beberapa kandidat yang pernah direkrut sebelumnya dan tanya pengalaman mereka? Saya nggak akan kasih tahu HR siapa aja yang saya hubungi.”
Pasti HR-nya sewot.
Bottom Line
Kalau kandidat keberatan HR kontak orang luar tanpa persetujuan, dia sepenuhnya berhak. Dan itu bukan tanda “menyembunyikan sesuatu”, tapi justru tanda dia menghargai proses yang fair dan berbasis fakta.
HR yang bijak akan:
- Menghargai referensi yang disediakan.
- Minta izin sebelum menyelidik lebih jauh.
- Fokus pada data, bukan drama.
Kalau HR malah sinis atau curiga karena si kandidat “protes”? Mungkin bukan kandidatnya yang jadi masalah — tapi sistem rekrutmennya yang toxic.