Saturday, May 31, 2025

Recruitment dan Background Checking Mandiri

Background:
  • Dalam proses recruitment di hampir semua perusahaan, ada reference check
  • Dan umumnya reference check ini dari kontak yg diberikan oleh si candidat sendiri
Case:
  • Ada beberapa HR recruitment yg kemudian melakukan background checking tambahan secara mandiri - Meng-contact orang2 diluar yg direkomendasikan kandidat
Expected from GPT:
  • Menurut Anda, bagaimana Anda menilai tindakan dari HR yang melakukan hal diatas?

***

Tindakan HR yang melakukan background check di luar referensi yang diberikan kandidat itu bisa dibilang etis, tapi juga berpotensi bermasalah, tergantung pada bagaimana dan untuk apa mereka melakukannya.

Kenapa HR Melakukannya?

Dari sudut pandang HR, alasan melakukan pengecekan tambahan cukup masuk akal:
  • Mereka ingin validasi objektif, bukan sekadar mendengar hal-hal bagus dari orang yang pasti “pro-kandidat”.
  • Mereka ingin cari red flags yang mungkin sengaja dikubur oleh kandidat.
  • Mereka merasa ini bagian dari due diligence, terutama untuk posisi strategis atau sensitif.

Tapi… Ini Bisa Jadi Bumerang
  • Melanggar Privasi / Etika Profesional
    • Kalau HR kontak mantan rekan kerja tanpa seizin kandidat, bisa aja:
      • Si kandidat belum resign secara formal.
      • Lingkungan kerja sekarang jadi tahu kandidat lagi cari kerja.
      • Ini bisa sabotage career si kandidat.
  • Bias & Informasi Tidak Terverifikasi
    • Orang yang mereka kontak bisa punya conflict of interest, atau bahkan dendam pribadi.
    • Informasi bisa gossip, bukan fakta. Tapi sudah terlanjur memengaruhi keputusan.
  • Trust Issue
    • HR minta kandidat jujur dan transparan, tapi mereka sendiri “nyelundup” cari info di luar jalur resmi.
    • Ini ngerusak kepercayaan kandidat pada perusahaan dan proses rekrutmen.

Gimana Seharusnya?

Pendekatan paling profesional:
  • Kalau HR ingin info tambahan, mereka harus minta izin dulu:
    • “Apakah kami boleh bicara dengan orang di luar daftar referensi Anda, misalnya mantan rekan kerja?”
  • Atau, HR bisa eksplor lebih jauh lewat behavioral interviews yang dirancang dengan cerdas, tanpa harus kontak orang luar.

Kesimpulan:
  • Kalau HR main belakang tanpa transparansi, itu kurang etis. Niatnya boleh bagus, tapi caranya bisa nginjak privasi dan reputasi orang.
  • Kalau perusahaan memang butuh info lebih dalam, ya minta izin secara terbuka. Jangan jadi stalker profesional.

Kalau kamu sedang dalam posisi kandidat, penting juga buat kamu kasih daftar referensi yang bisa kasih gambaran seimbang—nggak cuma fans club kamu doang. Dan kalau kamu HR? Mainlah fair. Jangan bikin proses yang terasa kayak investigasi kriminal.

***

Bagaimana seandainya kandidat keberatan?

Argumen kandidat:
  • Kandidat tidak tahu siapa yang akan di contact oleh HR
  • Merupakan suatu fakta, bahwa "kita tidak mungkin disukai semua orang" - Termasuk si HR sendiri, dan bahkan kandidat juga mengatakan kalau dia tanya semua orang yg pernah kerja dengan HR tersebut, apakah semuanya akan kasih testimony bagus?
  • Tetapi kandidat mengaku bahwa dia bisa tunjuk > 10 orang yg happy dengan pekerjaan dia, dan semuanya adalah orang yg pernah bekerja dekat dengan nya

Bagaimana menurut pendapat dan penilaian Anda?

***

Kandidat ini punya poin yang sangat valid, dan justru menunjukkan kecerdasan, integritas, dan kesadaran profesional yang tinggi.

Mari kita bongkar logikanya satu per satu.

Argumen Kandidat: Solid & Masuk Akal
  • "Saya tidak tahu siapa yang dihubungi"
    • Ini penting. Kalau HR randomly menghubungi orang tanpa konteks, itu bisa sangat bias dan misleading.
    • Apalagi kalau yang dihubungi itu:
      • Punya konflik personal.
      • Nggak pernah kerja langsung bareng.
      • Malah punya agenda sendiri.
    • Kandidat berhak tahu siapa yang “bicara di belakangnya”. Ini bukan gosip kantor, ini menyangkut masa depan karier.
  • "Tidak semua orang akan suka saya"
    • Ini bukan defensif. Ini realistis.
    • Setiap orang profesional pasti pernah konflik dalam tim, atau ambil keputusan sulit yang bikin beberapa pihak nggak happy.
    • HR juga seharusnya paham bahwa satu komentar negatif dari orang yang nggak kompeten atau penuh dendam, nggak bisa dijadikan dasar keputusan.
  • "Saya bisa tunjuk 10+ orang yang puas kerja bareng saya"
    • Ini bukti konkret.
    • Dia bilang: “Kalau lo mau info valid, ini orang-orangnya. Mereka pernah kerja langsung, tahu performa saya sehari-hari.”
    • Lebih kredibel daripada ngacak kontak siapa pun di LinkedIn dan tanya, “Eh, dia gimana ya?”

Kalau HR Tetap Ngotot?

Kalau HR tetap bersikeras melakukan pengecekan tanpa transparansi, maka:
  • Mereka bukan cari truth, tapi cari alasan buat tidak merekrut.
  • Ini mengarah ke praktik seleksi yang subjektif, manipulatif, dan riskan.
  • Bisa jadi mereka gak yakin sama proses interview dan referensi yang ada, jadi mereka terpaksa “nyari celah”.

Penilaian Jujur

Kandidat ini menunjukkan:
  • Kesadaran diri (dia tahu dia bukan orang sempurna).
  • Transparansi (dia kasih banyak referensi yang kredibel).
  • Keberanian untuk speak up, bukan cuma nurut pasif.
HR yang bener harus menghargai orang yang berpikir kritis, bukan hanya orang yang nurut aja.

Flip the Script: Bayangkan HR-nya yang dicek balik

Gimana kalau si kandidat bilang:
  • “Saya juga pengen cek reputasi tim HR ini. Boleh saya kontak beberapa kandidat yang pernah direkrut sebelumnya dan tanya pengalaman mereka? Saya nggak akan kasih tahu HR siapa aja yang saya hubungi.”
Pasti HR-nya sewot.

Bottom Line

Kalau kandidat keberatan HR kontak orang luar tanpa persetujuan, dia sepenuhnya berhak. Dan itu bukan tanda “menyembunyikan sesuatu”, tapi justru tanda dia menghargai proses yang fair dan berbasis fakta.

HR yang bijak akan:
  • Menghargai referensi yang disediakan.
  • Minta izin sebelum menyelidik lebih jauh.
  • Fokus pada data, bukan drama.

Kalau HR malah sinis atau curiga karena si kandidat “protes”? Mungkin bukan kandidatnya yang jadi masalah — tapi sistem rekrutmennya yang toxic.

Friday, May 30, 2025

It's OK to Not Know Everything — But That’s Not an Excuse

It’s totally OK to not know everything.

Sounds simple, even obvious, right? But let’s be honest—how often do we silently beat ourselves up for not having all the answers, especially when people are looking to us for them?

In a world obsessed with instant expertise, we often fall into the trap of thinking we need to always be the smartest person in the room. Social media makes it worse—everyone seems to “know” everything, all the time. And if you’re not quick with a confident answer, you risk looking incompetent or unprepared.

But here's the thing: Not knowing is human. Owning up to it is mature. Following up on it? That’s where the real value lies.

Admitting You Don’t Know Isn’t Weakness—It’s Strategy.

Admitting that you don’t know something doesn’t make you dumb. What makes you dumb is pretending to know and then being wrong—or worse, misleading others.

There’s real strength in saying, “I’m not sure, but I’ll find out.” That’s not a failure—that’s a pivot. That’s intellectual honesty in action. And believe me, in the long run, people trust that more than bluster.

You Still Have to Follow Up.

Saying “I don’t know” can’t be your final answer. It’s a pause button, not a full stop. You owe it to yourself—and whoever asked the question—to follow up. That means doing the research, asking around, testing things, and then circling back with a thoughtful response. It’s about curiosity with accountability.

You don’t need to know everything on the spot. But you damn well need to care enough to go find out.

This Applies Everywhere—Work, Relationships, Life.

Whether you’re a team lead, a student, a freelancer, or just trying to get through the day—this mindset pays off. People remember those who follow up. Those who actually deliver on “I’ll get back to you.” That’s how you build credibility without pretending to be a walking encyclopedia.

And here’s the irony: the more you admit what you don’t know and chase those answers down, the more you actually learn. You become sharper, faster, more adaptable. You don’t just look smart—you become smart.

So...

It’s OK to not know.
It’s not OK to stay in the dark.
The gap between ignorance and expertise is bridged by one thing: follow-through.

Ngidam Waktu Diet

Saat lagi diet dan tiba-tiba muncul rasa ngidam makanan gak sehat—entah itu gorengan, es krim, atau martabak manis tebal penuh keju—sering kali ada satu strategi populer: “Cicip aja sedikit, asal jangan banyak.” Idenya sederhana. Kita kasih tubuh (dan otak) kita sedikit “rasa puas” tanpa harus hancurin progress diet. Misalnya, cukup dua potong kecil keripik, atau satu sendok teh es krim. Sekadar ngerasain. Abis itu lanjut makan clean lagi.

Dan buat sebagian orang, dan buat gua pribadi, strategi ini manjur. Mereka bisa makan sedikit, merasa cukup, dan move on. Gak ada drama. Gak ada rasa bersalah. Gak ada insiden tengah malam ngabisin satu toples kue kering sambil nonton Netflix.

Tapi ternyata, nggak semua orang cocok dengan pendekatan ini.

Ada Tipe Orang yang Harus Total Stop.

Beberapa orang malah punya respon yang beda. Begitu mereka nyicip sedikit aja, langsung kebablasan. Yang tadinya cuma mau satu sendok es krim, tau-tau udah setengah pint hilang. Yang niatnya makan satu gorengan buat ganjel craving, eh malah jadi lima biji dan tambah nasi uduk.

Buat mereka, “sekadar nyicip” itu kayak nyalain tombol bencana. Sekali dikasih celah, nafsu makan liar masuk dan susah dikendalikan. Maka, satu-satunya cara aman ya... jangan mulai sama sekali.

Kenali Diri Lo Dulu.

Intinya: gak ada strategi yang universal. Lo harus jujur dan realistis sama diri sendiri. Tipe lo yang mana?

Kalau lo bisa makan sedikit dan stop, maka silakan. Itu justru bisa ngebantu lo tetep waras saat diet. Gak perlu ekstrem, gak perlu menahan semua keinginan.

Tapi kalau lo tahu bahwa satu gigitan bisa berujung kebabalasan, mending jangan mulai sama sekali. Karena dalam kasus ini, self-control bukan lagi soal niat, tapi soal sistem.

Mungkin boleh juga coba metode “sedikit aja”—sekali atau dua kali. Lihat hasilnya. Kalau lo tetap bisa jaga kendali, bagus. Tapi kalau ternyata itu malah jadi gerbang ke kalap, ya lo udah tau jawabannya: cut it out entirely.

Dan satu hal penting—jangan ngikutin strategi orang lain mentah-mentah. Diet itu personal. Ngidam juga personal. Cara lo ngatur craving harus sesuai sama pola pikir dan emosi lo.

Echo Chamber Bukan Konsep Baru

Echo chamber udah eksis bahkan sebelum internet ditemukan. Bukan konsep baru.

Sebelum ada media sosial, sebelum kita bisa ngetik status 280 karakter dan langsung dikasih like atau dihujat dalam hitungan detik, orang-orang juga udah punya pemikiran sempit dalam kelompoknya masing-masing :
“Dunia ini sudah rusak!”
“Jaman ini jaman edan!”
“Jangan sampai keracunan budaya Barat!”
dll

Kalimat-kalimat begitu udah sering banget kita denger dari tokoh agama, guru, orang tua, bahkan obrolan santai. Mereka hidup dalam gelembung nilai dan keyakinan yang kalau diganggu dikit, bisa langsung defensif.

Lalu datanglah internet, dan semua jadi makin brutal. Algoritma media sosial nggak peduli kamu benar atau salah. Yang penting: kamu betah, kamu klik, kamu scroll, kamu marah. Echo chamber yang tadinya terbatas di tongkrongan atau komunitas, sekarang pindah ke skala global. Kamu bisa hidup dalam gelembung digital di mana semua orang setuju sama kamu—dan kalau ada yang nggak setuju, tinggal blokir. Gampang.

Tapi di sinilah ironi dan sekaligus peluangnya. Karena justru berkat internet, kita sekarang lebih sadar akan adanya echo chamber. Kita bisa lihat langsung bagaimana satu topik diputarbalikkan di berbagai sudut pandang. Kita bisa tahu bahwa dunia nggak hitam-putih, bahkan kalau algoritma mencoba menyederhanakannya.

Jadi, supaya nggak terjebak dalam echo chamber, sering-seringlah keluar dari "timeline bubble".

Konsumsi informasi dari spektrum yang lebih luas.

Internet bisa jadi racun, tapi bisa juga jadi penawar—tergantung cara pakainya. Kalau dulu kita cuma bisa ngikutin arus obrolan di lingkungan sekitar, sekarang kita punya akses ke pemikiran dari seluruh dunia.

Pertanyaannya: kita mau tetap nyaman dalam keasikan sendiri, atau mau sedikit nggak nyaman tapi jadi lebih bijak?

De-Normalisasi Keadaan Tidak Layak

"Kerja itu wajib, sepahit apa pun, jangan manja! Jangan resign!"

Sekilas terdengar seperti nasihat bijak. Semacam dorongan supaya kita tangguh menghadapi hidup. Tapi kalau dipikir-pikir, kalimat itu justru sering kali jadi tameng untuk membenarkan kondisi kerja yang gak sehat – bahkan gak manusiawi.

Coba pakai analogi sederhana:

Bayangkan seseorang sedang hidup dalam kondisi ekonomi yang sangat sulit. Untuk bertahan hidup, dia makan nasi dengan garam setiap hari. Itu bukan karena dia mau, tapi karena itu satu-satunya pilihan yang tersedia. Dan tentu saja, dalam situasi seperti itu, kita semua bisa setuju: dia luar biasa karena mampu bertahan.

Tapi pertanyaannya:
Apakah itu kondisi yang layak dipertahankan? Apakah itu harus dinormalisasi?

Nope!

Begitu keadaan membaik, dia berhak – dan seharusnya – makan dengan gizi yang layak. Bukan hanya untuk kenyang, tapi untuk tumbuh, untuk hidup dengan sehat dan bermartabat.

Kadang, kita memang harus menerima pekerjaan yang berat, dengan gaji minim, lingkungan toksik, dan tekanan yang nggak masuk akal – demi kebutuhan hidup. Dan itu bukan aib. Itu perjuangan.

Tapi jangan sampai kita menganggap kondisi itu sebagai sesuatu yang normal.
Apalagi sampai menyuruh orang lain untuk ikut-ikutan “bertahan” dengan narasi seperti:

"Dulu gue juga begitu, masa lo gak kuat?"

Setiap orang punya titik lelah dan konteks hidup yang berbeda. Dan kadang, resign itu bukan bentuk kelemahan – tapi tanda bahwa seseorang tahu batasnya dan memilih untuk menjaga kesehatan mental dan masa depannya.

Bekerja memang penting. Bertahan dalam kondisi sulit kadang perlu. Tapi jangan sampai itu jadi standar hidup. Jangan sampai kita lupa bahwa tujuan bekerja bukan cuma untuk bertahan hidup – tapi juga untuk hidup dengan layak.

Kita perlu mulai mengganti narasi lama ini. Bukan dengan menyalahkan orang yang bertahan, tapi dengan memberi ruang bagi siapa pun untuk memilih jalan yang lebih sehat dan manusiawi.

Karena pada akhirnya:
Kerja keras itu baik. Tapi kerja dengan sadar dan bermartabat jauh lebih penting.

Sunday, May 25, 2025

Waspada vs Prasangka Buruk

Bagaimana membedakan antara kewaspadaan dengan prasangka buruk? Hal ini penting banget, terutama di zaman sekarang di mana informasi bisa membentuk persepsi kita dalam hitungan detik.

Kewaspadaan
Adalah sikap waspada terhadap potensi risiko, tanpa langsung menuduh atau menghakimi. Ini berbasis fakta, data, pengalaman, atau insting yang masuk akal.

Contoh:
Kamu baru pertama kali naik taksi online di malam hari. Kamu memperhatikan plat nomor, share lokasi ke teman, dan pastikan jalurnya sesuai map.

Ini adalah tindakan preventif. Kamu tidak menuduh supirnya jahat, tapi kamu jaga diri—itu kewaspadaan.

Prasangka buruk
Adalah ketika kamu langsung berpikir negatif tanpa dasar yang jelas, apalagi kalau hal itu kamu anggap benar sebelum dikonfirmasi.

Contoh:
Kamu lihat seseorang pakai baju lusuh masuk ke kafe mahal, lalu kamu langsung mikir, "Pasti mau nyuri atau minta-minta."

Ini murni asumsi—tanpa bukti. Dan kalau salah, bisa jadi kamu memperlakukan orang lain dengan tidak adil. Itu prasangka buruk.

Batas tipisnya ada di:
  • Ada atau tidaknya bukti atau alasan logis?
    • Kalau kamu punya dasar kuat (pengalaman, pola yang berulang, atau sinyal bahaya yang jelas), itu kewaspadaan.
    • Kalau cuma berdasarkan stereotip, perasaan nggak enak tanpa sebab, atau ketidaksukaan pribadi—itu prasangka.
  • Apakah kamu terbuka untuk mengubah pendapatmu?
    • Kewaspadaan itu fleksibel—kalau ternyata orang itu terbukti baik, kamu bisa rileks.
    • Prasangka buruk itu kaku—sulit mengakui kalau kamu salah.
  • Tujuannya apa?
    • Kewaspadaan: proteksi diri dan orang lain.
    • Prasangka: cenderung merendahkan atau memojokkan orang lain.

Tips praktis biar nggak terjebak:
  • Latih pikiran skeptis tapi terbuka. Tanya: “Apa buktinya?” sebelum menyimpulkan.
  • Tindakan pencegahan = OK. Menghakimi tanpa dasar = gak OK.
  • Jangan main generalisasi. Satu pengalaman buruk ≠ semua orang seperti itu.
  • Uji dugaanmu. Kalau memungkinkan, konfirmasi dulu sebelum ambil keputusan.

Kalau kewaspadaan adalah memakai seatbelt karena kita tahu kecelakaan bisa terjadi, maka prasangka buruk adalah curiga semua pengemudi di jalan itu mabuk—padahal belum tentu.

Logical Fallacies

Beberapa contoh logical fallacy yang umum:
  • Ad Hominem: Menyerang karakter atau sifat orang lain daripada argumennya.
    • Contoh: "Kamu tidak bisa dipercaya karena kamu pernah berbohong."
  • Straw Man: Menggambarkan argumen lawan dengan cara yang tidak akurat atau berlebihan.
    • Contoh: "Kamu ingin menghapus semua peraturan lalu lintas?" (padahal lawan hanya ingin mengurangi beberapa peraturan).
  • False Dichotomy: Menyajikan hanya dua pilihan padahal ada pilihan lain.
    • Contoh: "Kamu harus memilih antara pekerjaan ini atau menjadi pengangguran."
  • Slippery Slope: Mengklaim bahwa suatu tindakan akan menyebabkan rangkaian kejadian yang tidak diinginkan tanpa bukti.
    • Contoh: "Jika kita melegalkan ganja, maka kita akan kehilangan kontrol atas narkoba lainnya."
  • Appeal to Authority: Menggunakan pendapat ahli atau tokoh terkenal sebagai bukti tanpa mempertimbangkan validitas argumen.
    • Contoh: "Einstein mengatakan bahwa kita harus percaya pada Tuhan, jadi Tuhan pasti ada."
  • Appeal to Emotion: Menggunakan emosi daripada logika untuk membujuk.
    • Contoh: "Jangan potong anggaran untuk program ini, pikirkan semua anak-anak yang akan terkena dampaknya."
  • Bandwagon Fallacy: Mengklaim bahwa sesuatu benar karena banyak orang percaya atau melakukannya.
    • Contoh: "Semua orang percaya pada hal ini, jadi pasti benar."
  • False Cause: Mengklaim bahwa satu kejadian menyebabkan kejadian lain tanpa bukti yang cukup.
    • Contoh: "Saya makan makanan ini dan kemudian saya merasa lebih baik, jadi makanan ini pasti yang membuat saya lebih baik."
  • Hasty Generalization: Membuat kesimpulan berdasarkan sampel yang tidak representatif atau terlalu kecil.
    • Contoh: "Dua teman saya yang merokok tidak terkena kanker paru-paru, jadi merokok tidak berbahaya."
  • Circular Reasoning: Menggunakan kesimpulan sebagai premis.
    • Contoh: "Tuhan ada karena kitab suci mengatakan demikian, dan kitab suci benar karena Tuhan ada."
  • Red Herring: Mengalihkan perhatian dari topik yang sedang dibahas.
    • Contoh: "Mengapa kita harus membahas tentang perubahan iklim ketika ada masalah lain yang lebih penting?"
  • Post Hoc Ergo Propter Hoc: Mengklaim bahwa karena satu kejadian terjadi setelah kejadian lain, maka kejadian pertama menyebabkan kejadian kedua.
    • Contoh: "Saya memakai kaus ini dan kemudian saya menang pertandingan, jadi kaus ini pasti membawa keberuntungan."
  • Burden of Proof: Mengalihkan tanggung jawab untuk membuktikan kepada pihak lain.
    • Contoh: "Anda tidak bisa membuktikan bahwa Tuhan tidak ada, jadi pasti Tuhan ada."
  • Tu Quoque: Menyerang lawan dengan menunjukkan bahwa mereka juga melakukan kesalahan yang sama.
    • Contoh: "Kamu juga pernah berbohong, jadi kamu tidak bisa menyalahkan saya."
  • Composition Fallacy: Mengasumsikan bahwa apa yang benar untuk bagian juga benar untuk keseluruhan.
    • Contoh: "Karena setiap bagian dari mesin ini ringan, maka mesin ini pasti ringan juga."
  • Division Fallacy: Mengasumsikan bahwa apa yang benar untuk keseluruhan juga benar untuk bagian.
    • Contoh: "Perusahaan ini besar dan sukses, jadi setiap karyawannya pasti sukses juga."
  • No True Scotsman: Mengubah definisi untuk mempertahankan klaim.
    • Contoh: "Tidak ada orang Skotlandia yang menambahkan gula pada bubur, jadi orang yang menambahkan gula pasti bukan orang Skotlandia sejati."
  • Appeal to Tradition: Mengklaim bahwa sesuatu benar atau lebih baik karena telah dilakukan dengan cara tertentu selama bertahun-tahun.
    • Contoh: "Kita harus terus melakukan ritual ini karena telah dilakukan oleh nenek moyang kita."
  • Either-Or Fallacy: Menyajikan situasi sebagai hanya memiliki dua kemungkinan padahal ada kemungkinan lain.
    • Contoh: "Anda harus memilih antara mencintai negara Anda atau mencintai keluarga Anda."
  • Begging the Question: Mengasumsikan kebenaran dari kesimpulan dalam premis.
    • Contoh: "Karena paranormal dapat berkomunikasi dengan hantu, maka hantu pasti ada."
Dan masih banyak jenis logical fallacy lainnya.

Friday, May 23, 2025

Dark Saint of Eldareth

Di benua Eldareth, sihir bukanlah sekadar legenda atau warisan tua—ia adalah denyut nadi dunia. Dari desa termiskin hingga menara para archmage, setiap orang mengenal kekuatan magis. Tapi lebih dari itu, kehidupan di Eldareth diatur oleh satu kekuatan: Ordo Lux Noctis—"Ordo Cahaya dan Kegelapan".

Mereka menyembah dua dewa yang katanya satu: Luxius dan Nokthar, yang dalam kitab suci disebut “Dua wajah dari Kebenaran yang Sama”. Ajarannya rumit. Tidak semua mengerti, apalagi percaya. Tapi ajaran ini menjadi landasan ordo tertinggi yang memimpin moral dan sihir keagamaan di seluruh benua.

Di dalam ordo, ada sosok langka yang disebut Saint—seseorang yang dipilih langsung oleh langit. Mereka bisa menyembuhkan, berbicara dalam bahasa ilahi, dan jadi perantara antara manusia dan dewa. Tapi yang lebih langka lagi adalah Dark Saint, representasi dari sisi gelap Nokthar. Mereka tidak muncul tiap generasi. Bahkan dalam sejarah, jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

Namaku Alarion. Aku dibesarkan di bawah langit Eldareth, di tengah menara-menara doa dan lorong-lorong bisu biara. Sejak kecil, semua orang menatapku dengan harap dan takut yang sama. Mereka bilang aku “dipilih oleh langit”. Bahwa aku adalah Saint yang digambarkan dalam kitab kuno itu.

Aku diajari bahasa suci sebelum aku tahu bahasa ibuku. Aku diminta untuk menyembuhkan, untuk memberkati, untuk tersenyum—bahkan ketika aku ingin menangis. Setiap air mata yang kutahan adalah harga dari mukjizat yang mereka jual dengan emas.

Aku melihat banyak keajaiban. Aku juga melihat kemunafikan yang menyusup di balik jubah suci.

Mereka bilang bahwa cahaya dan kegelapan adalah satu. Aku mendengar itu tiap malam dalam doa, tapi tak ada yang menjelaskan artinya. Bahkan aku pun tak tahu. Aku hanya mengulanginya seperti burung yang diajari berkicau.

Yang aku tahu, aku lelah. Lelah jadi alat. Lelah melihat si miskin ditolak karena tak mampu bayar "derma suci". Lelah melihat kepala ordo menjual doaku demi politik.

Sampai suatu ketika, aku mulai kehilangan kekuatan itu secara perlahan.

Awalnya cuma keganjilan kecil—luka yang biasanya sembuh dalam sekejap kini butuh waktu. Doaku terasa hampa, seperti gema yang tak dijawab langit. Aku coba menepisnya. Kucoba berdoa lebih lama, berpuasa lebih keras, menyendiri lebih sering.

Tapi tak ada yang berubah.

Tiap hari rasanya seperti mencubit langit dengan jari patah.

Aku pikir itu hanya kelelahan. Atau ujian iman. Tapi lama-kelamaan, rasa dingin itu menetap di ujung jariku. Aku tahu... aku kehilangan kemampuan menyembuhkan. Dan tidak ada yang bisa menjelaskan kenapa.

Sampai aku menyadari: jiwaku sendiri sedang sakit. Bukan tubuhku. Tapi hatiku—yang terlalu lama dipaksa tunduk, terlalu lama diperas. Aku rasa hanya hati yang bahagia dan penuh welas asih yang bisa memberkati dan menyembuhkan.

Dan saat nasib sial benar-benar mengetuk pintu, ia datang dalam bentuk pria gemuk bernama Lord Edram Halvencrest. Salah satu donatur emas ordo. Raja tambang mithril. Istrinya sakit—penyakit langka yang membuat darahnya membeku perlahan.

Aku dipanggil secara pribadi. “Penyembuhan ini penting,” kata Marvolas, “dan kau tidak boleh gagal.”

Aku mencoba dengan sepenuh hati.

Aku berdoa sepenuh hati. Aku menempelkan tanganku ke dahi wanita itu. Aku merapal mantra suci sampai tenggorokanku kering. Tapi saat semuanya selesai...

Dia hanya sembuh separuh. Ia masih hidup. Tapi tak bisa bicara. Tak bisa bangun. Tubuhnya terjaga, jiwanya entah di mana.

Edram marah. Tapi bukan padaku—pada Marvolas.

Dan Marvolas? Dia langsung berbalik memaki aku.

“Kau mempermalukan ordo di depan para bangsawan!”
“Apa kau ingin seluruh benua menganggap kita lemah?”
“Kau merusak reputasi kita, Alarion!”

Malam itu, aku dipanggil ke ruang audiensi. Hanya kami berdua—aku dan Marvolas. Tidak ada doa, tidak ada saksi.

Dia bicara seolah aku ini anak kecil yang nakal. Bahwa aku harus “taat tanpa tanya”. Bahwa aku tidak paham "realitas kekuasaan".

Lalu dia berdiri. Mengangkat tangannya. Matanya penuh api. “Kalau kau tidak bisa menyembuhkan, maka aku akan buatmu belajar menghargai penderitaan!”

Itu bukan metafora. Dia benar-benar menghajarku.

Dan di detik itulah semuanya meledak.

Aku tidak lagi bisa menahan racun yang selama ini kutahan di dalam hatiku. Semua kekecewaan. Semua luka yang tidak pernah disembuhkan.

Aku tidak mengucapkan kutuk. Aku hanya membiarkan emosiku keluar.

Dan ketika emosiku itu menyentuh udara, jubahku menghitam, ungu tua merambat seperti tinta di kain. Suara doaku berubah—dalam, gaung, dan membawa rasa dingin ke tulang.

Aku menjadi Dark Saint.
Bukan karena aku ingin. Tapi karena dunia memaksaku.

Biara Elaris—tempat semua kebusukan ordo berkumpul—menjadi titik ledakan pertama.

Aku tidak mengutuk dengan sengaja. Aku hanya melepaskan emosiku. Dan emosiku itu menyala seperti api purgatori. Mereka yang berdosa—dan hanya mereka yang berdosa—terbakar. Tidak mati. Tidak bisa mati. Mereka terus merasakan nyala siksaan yang tak membakar tubuh, hanya jiwa.

Marvolas berteriak paling nyaring. Suaranya terdengar bahkan dari menara kuil utama.

Beberapa mencoba kabur. Tapi hanya mereka yang berhati bersih yang bisa lolos dari api.

Orang menyebutnya kutukan. Tapi bagiku... itu pembebasan. Aku tak lagi harus berpura-pura bahwa sistem ini suci. Bahwa cahaya itu bersih. Aku melihat dengan mata yang baru—mata yang terbuka oleh kegelapan.

Dan akhirnya, aku mengerti. Cahaya tidak pernah menolak bayangannya. Kegelapan bukan musuh, tapi sisi lain dari jiwa. Ajaran Lux Noctis selama ini benar, tapi dijalankan oleh mereka yang tidak mengerti kedalaman maknanya.

Ordo pusat datang dengan wajah pucat dan langkah hati-hati. Mereka pikir aku akan menghancurkan semuanya.

Tapi aku tak ingin kehancuran. Aku hanya ingin mereka melihat—melihat apa yang mereka jadikan dariku. Dari ajaran kita. Dari dunia.

Mereka mendengarkan. Mereka ketakutan. Mereka bertanya padaku apa yang harus dilakukan.

Hierarki dibongkar, dosa dipertanggungjawabkan. Yang terkutuk dipenjara di dalam kuil bawah tanah, sambil terus melantunkan nyanyian purgatori.

Dan sebagaimana ajaran Lux Noctis, seorang Dark Saint pun harus tetap dihormati, bahkan melebihi Saint biasa. Mereka mempercayaiku. Mereka memintaku memimpin pemilihan kepala ordo yang baru. Sebuah kepercayaan yang ironis—bahwa mereka mempercayakan arah masa depan ordo kepada representasi kegelapan.

Aku tidak menolak. Tapi aku tidak bangga. Aku hanya... menjalankan peranku. Seperti biasa.

Tapi kali ini, dengan mata terbuka.


Epilog: Racun yang Menyembuhkan

Bertahun-tahun setelah itu, seorang pria tua datang ke biara dengan anak di pelukannya. Anak itu sakit keras. Nafasnya putus-putus. Tubuhnya seperti kain basah yang diangkat paksa.

Dia bersujud, mencium lantai batu tempat aku berdiri. “Tuan... aku tahu Anda bukan lagi Saint. Tapi aku tak tahu ke mana lagi harus pergi.”

Aku menatap tanganku sendiri. Sudah lama sejak aku menyentuh sesuatu tanpa menghancurkannya. Air yang kuberkahi berubah jadi racun. Sentuhanku membuat bunga layu. Bahkan burung enggan hinggap di dekatku. Seorang Dark Saint tidak bisa kembali menjadi Saint.

Aku berkata, “Aku tidak bisa menyembuhkan. Doaku membawa kutukan.”

Tapi Sister Marienne, salah satu dari sedikit yang berani berdekatan denganku, berkata, “Penyakit anak ini... bisa disembuhkan. Tapi justru hanya oleh racun—Werewolf’s Bane. Tapi sangat sulit menemukan tanaman itu di musim ini...”

Aku ragu. Tapi aku mau berusaha.

Aku menuangkan air ke dalam cangkir kayu. Kusentuh, dan kubiarkan kutukan mengalir seperti tinta ke dalamnya. Racun murni. Lebih mematikan dari bisa ular, identik dengan racun Werewolf's Bane.

Tapi Marienne tahu apa yang ia lakukan. Ia mengencerkannya. Menakar. Menghitung. Dan ketika cairan itu diberikan ke anak itu, tubuhnya berhenti gemetar. Napasnya kembali. Mata kecil itu terbuka perlahan.

Petani itu menangis. Tapi aku... aku hanya menunduk.

Bukan karena aku bahagia.

Tapi karena akhirnya aku mengerti:
Aku memang bukan penyembuh lagi. Tapi aku masih bisa menyelamatkan orang dengan racunku.

Di tanah Eldareth, doa masih dilantunkan. Tapi kini, mereka tahu: bukan cahaya yang menyelamatkan dunia.

Tapi keseimbangan.

Namaku Alarion. Dan aku adalah Dark Saint.

***

Hymn to Nokhtar

Bayang-bayang dari Sang Cahaya, wajah sunyi dari Sang Cahaya,
Yang melihat dosa bukan dengan murka, tapi dengan mata terbuka.

Nokthar, yang berdiam di dalam hati Luxius,
Suaramu adalah gema kebijaksanaan yang tidak dibisikkan oleh terang.
Bungkuslah dunia ini bukan dengan harapan kosong, tapi dengan kebenaran.

Terang yang tak mengenal bayangan, adalah terang yang membutakan.
Jadilah kelopak yang menutup mata kami agar melihat ke dalam.

Engkau yang menatap kami dari cermin luka,
dan tetap mengasihi—tanpa senyum, tanpa dusta.

Datanglah, bukan dengan nyala amarah, tapi dengan pengertian.

Yang Biasa-Biasa Saja

Gue Fajar. Umur? Tiga puluh-an lewat dikit. Kerjaan? Freelance, kadang nulis, kadang bantu-bantu produksi video. Hidup? Ya gitu-gitu aja.

Belum lama ini, gue dapet undangan reuni SMA. Grup WhatsApp yang tadinya cuma rame pas awal-awal dibentuk, tiba-tiba hidup lagi. Satu per satu update status: "See you this weekend!", "Nostalgia time!", "Gila udah berapa tahun cuy!"

Gue baca sambil nyengir kecut. Di satu sisi, ada rasa pengen ketemu. Tapi di sisi lain, jujur aja, gue minder.

Temen-temen lama gue sekarang CEO startup, manajer bank, punya restoran, ada juga yang udah jadi dosen luar negeri. Beberapa dateng bawa pasangan, bahkan anak. Sementara gue? Masih ngekost. Masih mikir dua kali tiap mau checkout dari Tokopedia. Masih ngelawak receh di Twitter buat pelarian dari overthinking tengah malam.

Tapi akhirnya gue dateng juga.

Reuni itu digelar di cafe semi-outdoor, tempatnya cozy, penuh tawa, dan suara gelas kena meja. Ada yang nyapa gue dengan pelukan, ada yang masih manggil gue dengan nama panggilan jaman SMA: "Jar, lo masih aja gila ya!"

Gue ketawa. Masih. Emang dasar.

Tapi makin malam, obrolan makin dalam. Awalnya cuma soal nostalgia: guru killer, cinta monyet, OSIS, dan berantem kecil-kecilan. Tapi lama-lama, topiknya berubah.

Yang satu cerita dia lagi diambang cerai. Istrinya selingkuh, katanya. Yang lain ngaku stres kerja, udah dapet posisi tinggi tapi malah ngerasa kosong. Ada yang anaknya sakit keras, harus bolak-balik rumah sakit. Ada juga yang bilang dia pengen keluar dari pekerjaan yang katanya ‘impian’ karena mentalnya udah nggak kuat.

Gue duduk di sana, mendengarkan semua itu sambil menahan napas. Ternyata di balik pencapaian mereka, banyak banget yang remuk diam-diam.

Dan di situ, untuk pertama kalinya, gue ngerasa bersyukur.

Gue nggak punya jabatan keren, belum punya pasangan hidup, apalagi anak. Tapi gue nggak harus menyembunyikan kesedihan atau kepenatan. Gue tidur masih nyenyak, masih bisa ngakak sendirian nonton ulang The Office, masih bisa nulis apa yang gue mau tanpa takut di-judge bos.

Gue mulai sadar, hidup gue yang ‘biasa-biasa aja’ ini... ternyata nggak seburuk yang gue kira. Bahkan mungkin, ada ketenangan di dalamnya yang selama ini gue abaikan karena sibuk ngebandingin diri.

Gue pulang dari reuni itu malam-malam, naik motor, pelan-pelan ngelewatin jalanan kota yang udah sepi. Angin malam masuk ke jaket, bikin merinding.

Gue belum jadi siapa-siapa. Tapi mungkin, itu titik awal yang bagus.

Gue masih pengen improve, iya. Tapi bukan karena iri. Karena gue akhirnya sadar, hidup tuh bukan soal siapa yang paling cepet nyampe... tapi siapa yang bisa enjoy dalam perjalanannya.

Senyum Untuk Caleb

Gue Daniel. Sekarang gue sudah bekerja di sebuah perusahaan, hidup mandiri, cukup stabil, dan... terlihat biasa-biasa aja kalau lo cuma lihat dari luar. Tapi, orang yang sekarang lo lihat ini adalah hasil dari proses panjang dan berliku. Masa remaja gue, terutama waktu SMP, adalah fase yang gue pendam dalam-dalam, kayak luka lama yang nggak mau gue buka lagi.

Gue anak dari keluarga yang kacau. Bokap-nyokap selalu ribut, lempar piring, lempar kata-kata kasar, dan akhirnya lempar tanggung jawab satu sama lain. Gue tumbuh di tengah badai itu. Jadi wajar, mungkin, kalau gue tumbuh jadi remaja dengan kepribadian yg gelap. Gue pendiam, pemurung, dan defensif. Nggak banyak orang yang tahan sama gue. Di sekolah, gue dijauhi. Temen-temen kayak menghindar, seolah gue itu penyakit menular.

Tapi ada satu orang yang beda. Caleb. Gue nggak tahu kenapa dia nempel sama gue. Dia ngajak gue ngobrol, ngajak main, ngajak nongkrong. Bahkan ngajak foto bareng—padahal lo tahu, semua foto itu isinya ekspresi gue yang cemberut, kaya patung batu.

Caleb tuh aneh. Dalam arti yang baik. Dia nggak pernah nanya hal-hal yang nggak nyaman. Kayak waktu gue digebukin sama geng sekolah—semua anak tahu, tapi dia satu-satunya yang pura-pura nggak tahu. Besoknya, dia duduk di sebelah gue, nyodorin bekal, dan nanya soal tugas Matematika. Bukan karena dia nggak peduli, tapi dia tahu, gue butuh ruang. Dan itu cara dia buat bilang, "Gue di sini, Bro."

Bahkan waktu gue nyolot sama dia—gue tahu gue nyakitin dia. Dia pindah duduk, menjauh. Tapi keesokan harinya? Dia yang minta maaf duluan. Caleb minta maaf... ke gue. Padahal jelas-jelas gue yang salah. Dan gue? Cuma bilang 'iya ga pa pa' waktu itu, masih dengan ekspresi datar.

Sampai akhirnya, hari kelulusan itu datang. Perceraian orang tua gue resmi. Gue ikut nyokap, pindah keluar kota. Hari-hari menjelang perpindahan, Caleb masih sempat nelepon. Sekali lagi. Satu obrolan terakhir. Gue masih jadi Daniel yang sama—dingin, ketus, tanpa empati. Dan itulah terakhir kali gue denger suaranya.

Tahun-tahun berlalu. Gue belajar berubah. Perlahan. Gue belajar berdamai dengan masa lalu. Gue mulai bisa tertawa, bisa cerita, bisa... jadi manusia.

Sampai suatu hari, saat gue lagi beres-beres arsip lama, gue nemu album foto dari zaman SMP. Banyak banget foto gue sama Caleb. Dan itu kayak... petir kecil yang nyambar batin gue. Di setiap foto itu, dia senyum, dia rangkul gue. Gue cemberut. Di setiap kenangan itu, dia hadir. Gue abaikan.

Dan tiba-tiba rasa bersalah itu datang, telat bertahun-tahun.

Gue nyari dia. Facebook—nggak ketemu. Instagram? Nggak ada. Mungkin dia pakai nickname. Mungkin dia memilih private life. Tapi gue mau bilang ini, setidaknya di dalam hati:

Caleb, makasih. Lo udah jadi temen yang gue nggak layak dapetin saat itu. Lo ngerti cara hadir tanpa bikin orang lain merasa kecil. Lo ngerti cara nyembuhin luka tanpa harus bilang "sabar ya."

Kalau semesta kasih kita kesempatan buat ketemu lagi, gue janji—kali ini, gue bakal traktir semua makanan enak yang lo suka, dan kita foto-foto lagi. Bedanya, sekarang gue udah bisa senyum.

Dan lo tahu, Caleb? Senyum itu, sebagian karena lo.

Plot : No Mercy (2010 film)


Ahli forensik ternama, Kang Min-ho, akan segera pensiun agar bisa menghabiskan waktu bersama putrinya yang baru saja kembali ke rumah setelah lama studi di luar negeri. Namun, ketika mayat seorang wanita muda yang telah dimutilasi, yang diidentifikasi sebagai Oh Eun-ah, ditemukan di sungai lokal, Kang setuju untuk melakukan satu pekerjaan terakhir. Ia pun melakukan autopsi grafis terhadap jasad wanita tersebut.

Tersangka utama adalah aktivis lingkungan Lee Sung-ho, yang dengan sukarela mengakui perbuatannya kepada detektif muda Min Seo-young, mantan murid Kang. Lee mengatakan bahwa ia melakukan kejahatan itu untuk menentang proyek pembangunan yang akan membagi sungai menjadi enam bagian (karena itulah tubuh korban dipotong menjadi enam), tetapi polisi kebingungan karena petunjuk yang mereka temukan terus bertentangan dengan pengakuan Lee. Kemudian, Lee memberitahu Kang bahwa putrinya telah diculik. Lee mengizinkan Kang menelepon putrinya, yang terdengar menangis minta tolong. Kang terpaksa mengorbankan etika profesionalnya dan memalsukan bukti agar Lee dibebaskan dalam waktu tiga hari, atau putrinya akan dibunuh.

Saat menyelidiki masa lalu Lee, Min menemukan bahwa Kang pernah terlibat dalam kasus lain, yaitu terhadap tiga terdakwa yang diduga memperkosa adik perempuan Lee. Kang memalsukan bukti demi uang untuk biaya pengobatan putrinya yang sakit, dan menyatakan bahwa hubungan seks itu tidak dipaksakan serta bahwa adik Lee adalah seorang perempuan yang binal. Ia juga menemukan bahwa Oh Eun-ah adalah salah seorang saksi. Tiga terdakwa itu dibebaskan dari dakwaan, meninggalkan Lee dengan kebencian mendalam terhadap Kang karena bersaksi palsu di pengadilan.

Setelah Kang memalsukan cukup banyak bukti (termasuk membedah total tubuh Oh Eun-ah dan menempatkan semen di dalamnya), Lee dibebaskan, dan Kang mengikutinya ke rumahnya. Min menyadari bahwa ketiga terdakwa tersebut sudah mati dan Kang akan menjadi korban berikutnya. Setelah Kang memukuli Lee dengan brutal tentang keberadaan putrinya, Lee akhirnya memberitahunya lokasinya.

Ketika Kang, Lee, dan Min tiba di bangunan yang dimaksud Lee, mereka menemukan tubuh putri Kang telah mati dalam tumpukan kelopak mawar. Kang, yang hancur secara emosional, mencoba mengangkat tubuhnya, namun ia menemukan bahwa tidak ada tubuh utuh—hanya kepala dan tangan-kaki yang tersebar di kelopak mawar. Kang pun terjatuh karena syok: tubuh termutilasi yang dianggap sebagai “Oh Eun-ah” dan yang dia autopsi serta manipulasi sepanjang film sebenarnya adalah tubuh putrinya sendiri, sementara Oh Eun-ah yang asli disandera di tempat berbeda. Teriakan putrinya yang Kang dengar lewat telepon sebenarnya adalah rekaman yang dibuat Lee sebelum ia dibunuh. Putrinya sudah mati bahkan sebelum film dimulai. Kang menangis penuh penderitaan, sementara kilas balik menunjukkan adegan autopsi grafis, di mana ia terus membedah jasad putrinya sendiri dan memanipulasinya dengan menambahkan semen, tanpa menyadari siapa sebenarnya korban itu.

Lee mengejek Kang dan menyombongkan bahwa kini Kang akan hidup dengan rasa sakit yang sama seperti dirinya. Min memohon pada Kang agar tidak membunuh Lee demi kematian putrinya, tetapi sang dokter mengambil pistol dan menembaknya. Kang, yang tidak bisa memaafkan dirinya sendiri, juga menembak dirinya tepat saat polisi tiba. Film berakhir dengan narasi dari Lee tentang betapa mudahnya membenci dan betapa sulitnya memaafkan.

***

Komentar gw terhadap film ini : Jujur aja, death is too merciful for Kang. Gw prefer ending dimana Kang tetap hidup, tapi jadi gila dan tinggal di RSJ. Dan Lee, gw tidak menyangkal bahwa dia bersalah, tetapi tidak seharusnya dihukum mati menimbang apa yg menimpa nya di masa lalu. Mungkin Lee dihukum penjara seumur hidup.

Lantas orang mungkin banyak yg simpati dengan Kang. Karena Kang melakukan itu demi menyelamatkan nyawa putri nya. Buat gw, kalau gw di posisi Kang, gw tetap tidak akan mengambil pilihan menerima sogokan, sambil mengusahakan cara lain untuk pengobatan putri. Jual aset, cari pinjaman, minta bantuan, dsb.

Even pun tidak ada cara satupun yg bisa ditempuh untuk mengobati putrinya, better go to hospice daripada terima uang sogokan. Kenapa? Karena, selain implikasi yg terlihat di film itu, dimana akhirnya semua mati, dan bahwa "keadilan" tidak harus menunggu "hukum langit" - tapi bisa diantar oleh manusia, sadar atau tidak, ketika kita menghancurkan kehidupan seseorang, sebenarnya ada efek domino. Orangtua dari orang yg kita hancurkan ikut hancur, orang yg menyayangi orang yg kita hancurkan - saudara dan kerabat, dan mungkin masih ada yg lainnya.

Mystic Knight dan Pelajaran Parenting dari Dunia Fantasi

Jadi ceritanya, dulu gw pernah baca 1 komik Jepang / manga tentang anak dari 2 orang hebat; pahlawan nasional. Bapaknya Great Sage, ibunya Sword Saint. Mereka berencana mewariskan semua ilmu mereka ke anak ini. Kalau anak ini sukses mewarisi semua ilmu orangtuanya, dia akan jadi Mystic Knight - Seseorang yg ahli bermain pedang, tapi juga jago dalam ilmu sihir, baik sihir destruktif maupun sihir recovery / healing.

Gw lupa sih judul manga ini anyway...

Nggak perlu ditanya lagi, training anak ini, di mata orang normal like hell. Jadwal padat, bahkan untuk menguasai high tier healing yg bisa recover lost limb, dia bisa potong jari atau tangan nya dan coba healing sendiri dulu. Yaa kalo akhirnya nggak kuat, bapaknya yg Great Sage bakal bantu healing dan tumbuhin limbs yg dipotong...

Tapi anak ini nggak merasa tertekan gimana atau depresi. Memang ada pressure for sure, tapi macem "Aduh, ini susah amat sih!" Dan ujung2nya dia bisa menguasai materi dari orangtuanya dengan baik. Macem anak yg mau ujian di sekolah aja. Kenapa dia ga depresi? Karena kedua orangtuanya present, ikutan latihan, dan kasih contoh! Bukan cuma bisa ngomong doang, nyuruh2 doang, dan marah2 doang! Dan, nggak bisa dipungkiri, mereka berdua sayang anaknya.

Gw reflect sama pendidikan di real life yah. Berapa banyak orangtua yg kerasin anak dengan alasan sayang, tapi nggak present di dalam setiap struggle anak? Nggak kasih contoh kalau mereka pun kerja kerja? Iya, papa kerja keras di kantor, tapi anak ga lihat. Dan visual proof itu penting untuk tumbuh kembang anak. Si anak di rumah ngeliatnya kan si bapak pulang kantor cuma angkat kaki dan santai2 sambil dilayani mama.

Jujur, gw ragu post tulisan ini di open blog gw. Karena nanti bakal ada yg bilang, "Alah, elu belom jadi orangtua. Cape tau jadi orangtua. Nanti tunggu kalo lu sampe jadi orangtua, baru lu tahu."

Atau, "Alah, lu belom pernah jadi guru."

Well, gw punya anak buah di kantor. Anak buah gw sukses jadi leader. Gw ga pernah maki2 mereka dengan alasan mendidik. Dan gw, selalu present di dalam setiap struggle mereka.

Dan ini jawaban gw kalo dibilang gw ga pernah jadi itu semua:

"Alah, itu cuma komik. Nggak apple-to-apple sama dunia nyata."

Ini respon gw :

Kenapa Gw Mulai Nulis Lagi?

Gw suka nulis. No doubt about it. Dari gw masih kecil, gw udah suka journalling. Atau sekedar nulis syair, cerita pendek, quartrain, dsb. Nulisnya bebas aja. Tanpa struktur, dan tanpa rima. Sebagian tulisan gw yg di buku dan kertas tercecer dan sudah entah kemana. Makanya belakangan gw nulis via blogger - di tahun 2008.

Tapi berjalan nya waktu, gw makin ketemu challenge buat nulis. Misalnya :
  • Sibuk sama pekerjaan - Jujur aja, buat nulis sesuatu yg cukup "bagus" dan panjang, perlu waktu. Ga bisa selesai dalam beberapa menit. Dan kadang kalo udah sibuk, gw bener2 nggak bisa spending 1 jam cuma untuk blogging.
  • Orang-orang yg super sensitif dengan pemikiran gw - dan lantas jadi offended dengan tulisan gw.

I must admit, beberapa tulisan gw lahir dari raw feeling. Biarpun sudah gw kemas sehalus mungkin, masih berasa nuansa "angst" nya. Makanya akhirnya gw sempet, selama beberapa tahun cuma nulis di jurnal pribadi, di suatu file di notepad++. Semua gw simpen sendiri.

Sampai, ada 2 hal yg mendorong gw buat nulis lagi :
  • Gw terinsipirasi oleh seseorang - Adi K. atau kadang dia memakai nama Adi Model.
  • Berkembangnya AI - Tools sekaligus "teman" gw dalam menulis.

Suatu waktu, gw lagi jalan di toko buku Gramedia, dan liat ada 1 buku yg ukuran nya relatif kecil (buku saku) yg segelnya terbuka. Gw cek, ternyata isinya kumpulan syair pendek. Dan gw resonate dengan style nya yg sedikit "dark"! Well... Dulu blog gw di complaint agak "dark" katanya... Wkwkwkwk...

Dari situ gw mulai sering baca2 tulisan nya Adi K, baik di social media dan di buku nya. Gw juga follow IG nya.

Jadi, itu trigger pertama gw buat nulis di ranah semi-publik lagi. Well, tetap ada hal2 yg nggak akan nyaman dibuka di publik. Gw tetep punya private journal untuk keep my raw thought.

Kedua, AI. Ini agak kontroversi yah. Ada yg menghujat orang yg nulis dibantu AI. Katanya malas, nggak murni skill sendiri, nggak ada estetika nya, dsb.

Gw orangnya pragmatis aja sih. Kalau ada yg bisa bantu, kenapa nggak? Gw punya background bekerja di sektor tech. Hampir semua sektor tech utilize AI. Sok-sokan nggak mau pakai AI? Salah2 kehilangan pekerjaan...

Buat gw, AI itu seperti gw punya associate. Gw bisa outlining ide di kepala gw, dan biar AI yg jabarin. Gw juga bisa kasih tahu style penulisan gw seperti apa ke AI dengan kasih sample. Dan AI akan kasih gw balikan dalam bentuk draft.

Perhatikan yah kata gw : "draft". Artinya memang gw harus cek dan sesuaikan lagi hal2 yg nggak seperti pemikiran atau ide awal gw. Bahkan kalau udah ngaco banget, gw stash draft dari AI dan re-prompt lagi. Tapi most of time, ide gw udah tertuang at least 90% di draft AI itu. Hemat waktu banget.

Lantas apakah dengan pake AI gw kehilangan kemampuan komunikasi dan penulisan gw? Nope. In my humble opinion, justru kosa kata dan style penulisan gw jadi lebih rich. Sebab gw jadiin AI itu teman brainstorming. Bukan sumber validasi.

Gw minta AI ajarin gw berbagai style yg ada dan cocok untuk berbagai aspek penulisan. Dan gw bisa belajar dari situ, atau bahkan dari sampel yg dikasih AI. FYI aja, tulisan ini nggak dibantu AI. Ini pure gw nulis sendiri - Biarpun gw juga admit. Ada tulisan di blog gw yg dibantu AI.

Pro and cons akan selalu ada. Yg terbaik buat gw belum tentu terbaik untuk orang lain. Blog ini gw tulis mainly untuk diri sendiri, biarpun kadang gw share tulisan gw ke temen gw.

Explore diverse view, jangan sampai kita membentuk echo chamber kita sendiri. Akhir kata, gw cuma mau bilang : Express yourself! As long as it harms none (including yourself), express what you love!

Thursday, May 22, 2025

"Nggak Apple to Apple"

Dikit dikit “nggak apple to apple”. Orang jaman sekarang nggak ngerti sama yg namanya perumpamaan kali yah? Fenomena “nggak apple to apple” ini udah jadi semacam excuse generik buat ngehindarin argumen yang butuh mikir dalam atau bandingan yang sifatnya analogis. Padahal, perumpamaan atau analogi itu dasar dari cara manusia mikir—kita udah pakai itu sejak zaman Socrates, bahkan sebelum kita ngerti definisi eksak dari sesuatu.

Masalahnya, banyak orang sekarang terlalu harfiah. Kalau lo bandingin sesuatu, mereka langsung ngomong, “Lho, itu kan beda konteks!” Ya iyalah, namanya juga perumpamaan. Tujuannya bukan buat bikin perbandingan 1:1 kayak spreadsheet, tapi buat narik benang merah dari ide yang lebih luas.

Contoh gampang: lo ngomong soal pemerintah dan lo bilang, “Kalau lo punya rumah bocor, lo nggak cuma ngecat dinding luar, lo benerin atapnya dulu.” Terus ada yang nyaut, “Lho, rumah sama negara beda dong!” Ya pinter. Tapi analoginya valid karena yang dibahas itu logika dasarnya, bukan item literalnya.

Ini tanda makin banyak orang kehilangan kemampuan abstraksi. Mungkin karena terlalu banyak konsumsi konten cepat—TikTok, Reels, Twitter—yang semuanya dangkal, straight-to-the-point, tanpa ruang buat nuansa.

Jadi ya, bener. Dikit-dikit “nggak apple to apple” itu bukan pinter, itu justru tanda lo belum ngerti cara berpikir dengan konteks dan imajinasi. Harusnya pertanyaannya: “Apa maksud di balik perumpamaan ini?”, bukan langsung dismiss karena bentuknya beda.

Kalau gini terus, 5-10 tahun lagi semua orang jadi cuma ngerti kata, tapi nggak paham makna.

Shadow Work : ACT, CBT, Tarot

CBT (Cognitive Behavioral Therapy) adalah jenis terapi psikologis yang fokus pada perubahan pola pikir dan perilaku negatif untuk meningkatkan kesehatan mental. CBT membantu orang mengidentifikasi dan mengubah distorsi kognitif, mengelola stres, dan mengembangkan keterampilan koping yang lebih efektif. Terapi ini biasanya dilakukan dengan bantuan terapis dan dapat efektif untuk mengatasi berbagai masalah, seperti depresi, kecemasan, dan gangguan makan.

ACT (Acceptance and Commitment Therapy) adalah jenis terapi psikologi yang fokus pada penerimaan pengalaman batiniah (pikiran, emosi, sensasi tubuh) dan melakukan tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai hidup seseorang. ACT bertujuan untuk meningkatkan fleksibilitas psikologis dan membantu individu menjalani hidup yang lebih bermakna.

Shadow work adalah proses mengenali, menghadapi, dan mengintegrasikan bagian-bagian tersembunyi dari diri kita—biasanya sisi-sisi gelap atau aspek kepribadian yang kita tolak, sembunyikan, atau bahkan tidak sadar kita miliki. Istilah ini berasal dari psikologi analitik Carl Jung, yang menyebut “the shadow” sebagai bagian dari alam bawah sadar kita yang menyimpan emosi, keinginan, atau pengalaman yang tidak kita anggap sesuai dengan citra diri ideal kita.

Contoh: rasa iri, kemarahan terpendam, keinginan untuk kontrol, dendam, atau trauma lama yang ditekan. Shadow work bukan berarti kamu "jadi jahat"—justru ini soal jadi utuh. Semakin kamu menolak bagian ini, semakin besar kekuatannya dalam membentuk perilaku tanpa sadar.

Apakah Shadow Work bisa dibantu dengan ACT atau CBT?
Jawaban singkat: Ya, tapi dengan pendekatan yang berbeda.

1. CBT (Cognitive Behavioral Therapy)
  • CBT cocok untuk shadow work secara struktural.
  • CBT bantu kamu mengenali pola pikir negatif dan menggantinya dengan yang lebih sehat. Tapi CBT cenderung lebih "surface-level", fokus ke pola pikir dan perilaku yang bisa diamati dan diubah secara langsung.
  • Kelebihan: Terstruktur, evidence-based, cepat menunjukkan hasil.
  • Kekurangan: Bisa terlalu rasional untuk menggali emosi bawah sadar yang dalam. Kadang nggak cukup kalau kamu dealing with luka batin lama atau pola destruktif yang muncul berulang tanpa sadar.

2. ACT (Acceptance and Commitment Therapy)
  • ACT jauh lebih dekat dengan semangat shadow work.
  • ACT mengajarkan kamu untuk menyadari pikiran dan emosi tanpa menghindari atau melawan mereka. Ia fokus pada penerimaan, mindfulness, dan hidup sesuai nilai-nilai personal, meskipun pikiran atau perasaan negatif tetap ada.
  • Kelebihan: Sangat cocok untuk integrasi bagian-bagian diri yang menyakitkan. Kamu belajar coexist dengan rasa takut, malu, marah—bukan mengusirnya.
  • Kekurangan: Lebih reflektif dan butuh waktu, tidak sepraktis CBT kalau kamu cuma mau “memperbaiki” perilaku secara cepat.

Kombinasi Terbaik?
  • Kalau kamu mau benar-benar menyelami shadow work dan beneran berubah, gabungkan:
  • Jungian-style shadow work untuk eksplorasi bagian terdalam dirimu.
  • ACT untuk belajar menerima dan tetap bertindak selaras dengan nilai-nilai.
  • CBT untuk bantu mengidentifikasi dan mendisrupsi pola otomatis yang muncul dari bayangan diri itu.

Tips Praktis:
  • Mulai journaling tentang emosi yang kamu anggap "tidak boleh". Apa yang paling bikin kamu reaktif? Iri? Malu? Di situlah biasanya "shadow" muncul.
  • Tanya: "Apa bagian dari diriku yang nggak pengin aku akui?" (Misal: haus kekuasaan, pengen dikagumi, suka memanipulasi—semua orang punya sisi ini.)
  • Gunakan ACT untuk berdamai dengan bagian-bagian itu, bukan mengusirnya.
  • Gunakan CBT kalau kamu sudah tahu pola spesifik yang ingin kamu ubah, kayak overthinking atau sabotase diri.

CBT-Inspired Tarot Spread: “The Thought Pattern Breakdown”

Tujuan: Menggali pola pikir negatif otomatis (automatic thoughts), menemukan distorsi kognitif, mengevaluasi realitasnya, dan memetakan pikiran alternatif yang lebih sehat.

Spread: 7 kartu

1. The Trigger (Apa pemicunya?)
Situasi spesifik atau perasaan awal yang memulai spiral pikiran negatif.
Contoh kartu: The Tower (guncangan mendadak), Five of Cups (kecewa masa lalu)

2. The Thought (Pikiran otomatis negatif)
Apa pikiran pertama yang muncul tanpa filter? Biasanya judgmental atau self-defeating.
Contoh: Eight of Swords (merasa terjebak), Ten of Swords (katastropik)

3. The Emotion (Apa perasaan yang muncul dari pikiran itu?)
Menggali emosi utama—bisa malu, takut, marah, dll.
Contoh: Moon (kebingungan/emosi tidak jelas), Three of Swords (duka)

4. The Distortion (Distorsi kognitif apa yang sedang aktif?)
Ini kuncinya. Misalnya: all-or-nothing thinking, mind reading, catastrophizing, dll.
Contoh: The Devil (keterikatan pada pola lama), Judgement reversed (overgeneralization)

5. The Evidence (Apa fakta yang mendukung/menentang pikiran itu?)
Tantang keyakinan itu. Fakta objektif apa yang mendukung dan melawannya?
Contoh: Justice (objektivitas), Seven of Swords (ilusi/persepsi keliru)

6. The Reframe (Pikiran alternatif yang lebih sehat)
Kartu ini membantu menciptakan perspektif baru yang lebih realistis dan penuh belas kasih.
Contoh: Temperance (keseimbangan), Six of Pentacles (saling memberi, self-kindness)

7. The Action (Langkah nyata untuk menindaklanjuti reframe itu)
Apa yang bisa kamu lakukan hari ini untuk keluar dari pola lama?
Contoh: The Chariot (bertindak tegas), Ace of Wands (inisiatif baru)

Cara Pakai:
  • Tulis pertanyaan atau masalah spesifik dulu.
  • Tarik kartunya satu per satu, refleksikan sesuai peran di spread.
  • Gunakan jurnal CBT setelahnya untuk membandingkan interpretasi tarot dan kenyataan.

Beberapa distorsi umum yang bisa kamu kaitkan dengan kartu:
  • Distorsi -> Ciri Khas
  • All-or-Nothing Thinking -> Segalanya hitam putih
  • Overgeneralization -> "Selalu" atau "tidak pernah"
  • Catastrophizing -> Menganggap yang terburuk pasti terjadi
  • Mind Reading -> Asumsi kamu tahu pikiran orang
  • Emotional Reasoning -> "Aku merasa ini buruk, jadi pasti buruk"
  • Personalization -> Semua salahmu
Appendix : Out of scope

Yang tidak dibahas di dalam artikel ini:
  • Prosedur step by step dan teknik CBT dan ACT
  • To be supplemented by further research by reader as needed - Perhaps by asking AI?

Pagi Yang Sunyi : Reflection


Hari itu bukan pagi biasa.
Jam setengah enam aku sudah tiba di sekolah—terlalu pagi bahkan untuk petugas kebersihan. Tak ada guru, tak ada murid lain, bahkan lampu-lampu pun belum menyala. Sekolah seperti bangunan mati; sunyi, dingin, dan kosong.

Tapi aku malah merasa lebih hidup di situ.

Aku masuk ke kelas, duduk di bangku tempat biasa aku belajar. Tidak kupencet saklar lampu. Biarlah tetap gelap.
Di rumah, aku tidak pernah bisa duduk diam. Selalu ada sesuatu yang harus dilakukan, selalu ada yang salah. Kalau aku diam, aku disangka menyimpan sesuatu. Kalau aku bicara, salah bicara. Kalau aku sakit, malah disalahkan. Katanya itu bagian dari kasih sayang. Tapi tidak ada yang terasa seperti sayang.
Cuma rutinitas, teriakan, dan kelelahan yang tidak pernah habis.

Di kelas yang gelap itu, aku menundukkan kepala di atas meja.
Tak berniat tidur—aku hanya ingin diam. Tidak berpikir. Tidak merasa.
Bahkan detik terasa lebih pelan di pagi seperti ini.
Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, aku bisa bernapas tanpa ketakutan.

Aku tahu aku seharusnya bahagia—setidaknya bersyukur. Aku masih diberi makan. Masih dikasih uang jajan, walau katanya itu hasil ngutang. Aku masih punya tempat tidur, bahkan selimut tebal karena katanya aku gampang kedinginan.
Tapi mengapa semua itu terasa seperti hutang yang harus terus aku bayar dengan ketakutan dan tuntutan?
Kenapa setiap hari rasanya seperti ujian yang tidak bisa aku luluskan?

Kadang aku berpikir... mungkin semua ini salahku.
Mungkin aku memang kurang rajin, kurang kuat, terlalu lembek. Tapi aku sudah berusaha.
Aku lari pagi, belajar malam, tidur kurang, rangking turun—dan tetap saja, selalu ada yang salah.
Aku capek.
Aku cuma pengen istirahat.

Dan satu-satunya tempat yang terasa aman untuk itu adalah di sini.
Di kelas kosong. Dalam gelap.
Tanpa bentakan. Tanpa tuduhan. Tanpa suara.

Air mata turun diam-diam. Aku biarkan.
Di sini, tidak ada yang melihat.
Di sini, aku tidak harus menjelaskan apapun.

Tiba-tiba pintu kelas terbuka. Suara langkah.
Beberapa anak perempuan datang. Mereka menyalakan lampu—refleks aku langsung mengusap wajah.
Mereka melihatku, diam sejenak, lalu saling pandang.
Mungkin mereka bingung kenapa aku di sini sendirian dalam gelap. Tapi tidak ada yang bertanya.

Baguslah. Aku juga tidak tahu harus jawab apa.

Kalau aku bilang sebenarnya aku lagi istirahat dari hidup yang rasanya seperti perang, mereka pasti gak ngerti.
Kalau aku bilang aku takut pulang, mungkin mereka akan tertawa.
Kalau aku bilang aku lelah jadi anak yang dianggap selalu salah... siapa yang mau percaya?

Jadi aku hanya diam tanpa kata, dan berpura-pura semuanya biasa saja.

Hari akan dimulai seperti biasa.
Pelajaran akan dimulai. Guru akan datang.
Dan aku harus kembali menjadi versi diriku yang mereka harapkan.
Tapi aku akan selalu ingat pagi itu.

Pagi yang sunyi.
Pagi ketika aku akhirnya bisa mendengar diriku sendiri...
Dan menangis tanpa rasa malu.

Entitled Behavior

Entitled behavior adalah perilaku yang menunjukkan seseorang merasa memiliki hak atau keistimewaan tertentu tanpa berusaha atau berhak secara objektif. Beberapa contoh perilaku yang tergolong entitled behavior antara lain:
  1. Mengharapkan pelayanan khusus atau prioritas tanpa alasan yang jelas.
  2. Membuat tuntutan yang tidak realistis atau tidak masuk akal.
  3. Tidak mau mengantri atau menunggu giliran.
  4. Menganggap diri sendiri lebih penting daripada orang lain.
  5. Tidak mau menerima "tidak" sebagai jawaban.
  6. Mengharapkan pemberian atau hadiah tanpa perlu membalas atau berterima kasih.
  7. Membuat komentar atau permintaan yang kasar atau tidak sopan karena merasa berhak.

Perilaku seperti ini dapat membuat orang lain merasa tidak nyaman atau terganggu, dan dapat merusak hubungan interpersonal.

Seseorang dapat menjadi entitled karena beberapa alasan, antara lain:
  1. Pengasuhan dan lingkungan: Orang tua yang terlalu memanjakan atau memenuhi semua keinginan anak tanpa syarat dapat membuat anak merasa berhak atas segala sesuatu.
  2. Kurangnya disiplin dan batasan: Tidak adanya batasan yang jelas dan konsekuensi atas perilaku dapat membuat seseorang merasa tidak ada yang bisa membatasi mereka.
  3. Pengaruh media sosial: Media sosial dapat memperkuat perasaan bahwa seseorang berhak atas kehidupan yang sempurna atau memiliki standar yang tidak realistis.
  4. Kesadaran akan hak-hak: Seseorang yang terlalu fokus pada hak-hak mereka tanpa mempertimbangkan hak orang lain dapat menjadi entitled.
  5. Pengalaman hidup yang terlindung: Orang yang tidak pernah mengalami kesulitan atau kegagalan dapat merasa bahwa mereka berhak atas keberhasilan tanpa perlu berusaha keras.
  6. Narsisme: Seseorang dengan narsisme dapat merasa bahwa mereka lebih penting dan berhak atas perlakuan khusus.
  7. Kurangnya empati: Seseorang yang tidak dapat memahami perspektif orang lain dapat menjadi entitled dan tidak peduli dengan perasaan orang lain.

Entitled behavior dapat dipengaruhi oleh kombinasi faktor-faktor tersebut dan dapat diperbaiki dengan kesadaran diri, refleksi, dan perubahan perilaku.

Berikut beberapa cara untuk mencegah seseorang tumbuh menjadi entitled:
  1. Tetapkan batasan yang jelas: Ajarkan anak tentang batasan dan konsekuensi atas perilaku mereka.
  2. Dorong kerja keras dan usaha: Ajarkan anak bahwa keberhasilan datang dari kerja keras dan usaha, bukan hanya karena mereka berhak.
  3. Ajarkan empati: Ajarkan anak untuk memahami dan menghargai perasaan orang lain.
  4. Berikan kesempatan untuk mengalami kesulitan: Biarkan anak mengalami kesulitan dan kegagalan yang wajar, sehingga mereka dapat belajar dari kesalahan.
  5. Jangan memanjakan: Jangan memenuhi semua keinginan anak tanpa syarat, ajarkan mereka untuk menabung dan berusaha untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
  6. Ajarkan rasa syukur: Ajarkan anak untuk bersyukur atas apa yang mereka miliki dan tidak menganggap segala sesuatu sebagai hak mereka.
  7. Model perilaku yang baik: Tunjukkan perilaku yang baik dan sopan kepada anak, sehingga mereka dapat mencontohnya.
  8. Ajarkan tanggung jawab: Ajarkan anak untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka dan memahami konsekuensi atas perilaku mereka.
  9. Dorong kemandirian: Dorong anak untuk mandiri dan membuat keputusan sendiri, sehingga mereka dapat belajar dari pengalaman.
  10. Komunikasi yang efektif: Berkomunikasi dengan anak secara efektif dan terbuka, sehingga mereka dapat memahami harapan dan batasan.

Dengan menerapkan cara-cara tersebut, Anda dapat membantu mencegah seseorang tumbuh menjadi entitled dan membentuk karakter yang lebih seimbang dan bertanggung jawab.

Dan berikut adalah beberapa tips untuk memperlakukan orang yang entitled:
  1. Tetapkan batasan yang jelas: Pastikan Anda menetapkan batasan yang jelas dan konsisten dalam berinteraksi dengan orang yang entitled.
  2. Jangan memanjakan: Jangan memenuhi semua keinginan mereka tanpa syarat, karena ini dapat memperkuat perilaku entitled mereka.
  3. Komunikasi yang efektif: Berkomunikasi dengan jelas dan efektif, pastikan Anda menyampaikan harapan dan batasan dengan jelas.
  4. Jangan terlalu reaktif: Jangan terlalu reaktif terhadap perilaku entitled mereka, karena ini dapat memperkuat perilaku negatif mereka.
  5. Fokus pada perilaku, bukan orangnya: Fokus pada perilaku yang tidak diinginkan, bukan menyerang orangnya secara langsung.
  6. Tunjukkan empati: Tunjukkan empati dan pemahaman, tetapi jangan membiarkan mereka memanfaatkan Anda.
  7. Jangan merasa bersalah: Jangan merasa bersalah atau bertanggung jawab atas perilaku mereka, karena ini dapat memperkuat perilaku entitled mereka.
  8. Tetapkan konsekuensi: Tetapkan konsekuensi yang jelas jika mereka tidak mematuhi batasan yang telah ditetapkan.
  9. Jangan berharap perubahan besar: Jangan berharap perubahan besar dalam perilaku mereka dalam waktu singkat, karena perubahan perilaku memerlukan waktu dan usaha.
  10. Prioritaskan diri sendiri: Prioritaskan kebutuhan dan perasaan Anda sendiri, jangan membiarkan perilaku entitled mereka menguras energi Anda.

Dengan menerapkan tips tersebut, Anda dapat memperlakukan orang yang entitled dengan lebih efektif dan meminimalkan dampak negatif dari perilaku mereka.

Echo Chamber

Echo chamber adalah fenomena di mana seseorang hanya terpapar pada informasi atau pendapat yang sesuai dengan keyakinan atau pandangan mereka sendiri. Ini bisa terjadi melalui media sosial, komunitas online, atau lingkungan sosial yang homogen, sehingga memperkuat pandangan yang sudah ada dan mempersulit seseorang untuk mempertimbangkan perspektif lain.

Dampak dari echo chamber antara lain:
  1. Polarisasi: Meningkatkan perbedaan pendapat dan memecah belah masyarakat karena kurangnya pemahaman terhadap perspektif lain.
  2. Keterbatasan pengetahuan: Mencegah seseorang untuk mendapatkan informasi yang beragam dan faktual, sehingga pengetahuan menjadi terbatas.
  3. Penguatan bias: Memperkuat prasangka dan stereotip negatif terhadap kelompok lain karena kurangnya interaksi dengan perspektif yang berbeda.
  4. Pengambilan keputusan yang buruk: Membuat keputusan berdasarkan informasi yang tidak lengkap atau bias, sehingga berpotensi menimbulkan konsekuensi negatif.
  5. Menghambat dialog dan kompromi: Menyulitkan dialog dan kompromi antar kelompok karena kurangnya pemahaman dan empati terhadap perspektif lain.

Dampak-dampak ini dapat mempengaruhi individu, komunitas, dan masyarakat secara luas.

Berikut beberapa cara untuk mencegah seseorang memasuki echo chamber:
  1. Diversifikasi sumber informasi: Cari informasi dari berbagai sumber yang berbeda dan memiliki perspektif yang beragam.
  2. Ikuti orang dengan pandangan berbeda: Di media sosial, ikuti orang yang memiliki pandangan dan pendapat yang berbeda dari Anda.
  3. Diskusi dengan orang yang berbeda: Berdiskusi dengan orang yang memiliki latar belakang, pengalaman, dan pandangan yang berbeda dapat membantu Anda memahami perspektif lain.
  4. Verifikasi informasi: Pastikan informasi yang Anda dapatkan akurat dan faktual dengan memverifikasi sumber dan melakukan penelitian lebih lanjut.
  5. Jangan takut untuk berubah: Jangan takut untuk mengubah pendapat atau pandangan Anda jika Anda menemukan informasi yang meyakinkan dan logis.
  6. Dengarkan dengan empati: Dengarkan pendapat orang lain dengan empati dan coba memahami perspektif mereka, bahkan jika Anda tidak setuju.
  7. Gunakan fitur yang mempromosikan keragaman: Beberapa platform media sosial memiliki fitur yang dapat mempromosikan keragaman pandangan, seperti "why you're seeing this post" di Facebook.

Dengan melakukan hal-hal tersebut, Anda dapat memperluas wawasan dan memahami perspektif lain, sehingga dapat membuat keputusan yang lebih informasi dan bijak.

Wednesday, May 21, 2025

Nada Yang Tertinggal

Di balik jas putihnya yang licin dan rapi, drg. Pramudya adalah sosok yang nyaris sempurna di mata orang kebanyakan. Klinik gigi miliknya di bilangan Bintaro selalu ramai. Jadwalnya padat, tapi tertata. Ia punya istri yang cantik, dua anak yang sehat dan cerdas, mobil keluarga yang nyaman, dan rumah minimalis dengan taman kecil di belakang.

Namun, ada satu hal yang tak bisa dilihat orang—lubang hampa yang makin hari makin melebar di dalam dirinya.

Ia sering duduk di beranda malam-malam, setelah semua orang tidur, hanya untuk memandangi kegelapan. Kadang menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin, sambil bertanya ke dirinya sendiri: "Aku ini kenapa sih?"

Saat itulah ia memutuskan untuk menemui seorang psikolog. Bukan karena gila, tapi karena ia merasa seperti boneka yang diatur rutinitas, bukan manusia dengan hasrat.

Sesi-sesi awal hanya dipenuhi pernyataan klise. Lelah kerja. Jenuh. Perlu refreshing. Tapi psikolognya—Bu Laras, wanita paruh baya yang cara bicaranya tenang tapi tajam—tidak mudah puas.

Sampai suatu sore, Bu Laras menatapnya dalam-dalam dan berkata, “Coba cerita soal masa muda kamu. Apa yang bikin kamu dulu bahagia banget?”

Pramudya terdiam lama. Lalu, dengan suara yang nyaris seperti bisikan, ia menjawab, “Nyanyi.”

Ternyata, dulu ia ingin jadi penyanyi. Bukan yang asal-asalan. Ia pernah tampil di panggung kampus, ikut lomba, bahkan sempat direkrut sebuah band jazz lokal. Tapi ketika saatnya memilih jurusan kuliah, ayahnya hanya berkata satu kalimat: “Jadi dokter lah. Musik itu sekedar hobi, bukan kerjaan.”

Dan seperti anak baik pada umumnya, Pramudya menuruti.

“Lalu, kapan terakhir kali nyanyi?” tanya Bu Laras lagi.

Pramudya sadar, ternyata sudah lama sekali dia tidak nyanyi. Tapi malam itu ia pulang ke rumah, masuk kamar, buka laptop, dan putar lagu-lagu lama yang dulu pernah ia nyanyikan. Suaranya masih ada. Memang sudah agak berkarat, tapi masih bisa dipakai nyanyi.

Minggu-minggu berikutnya, ia mulai nyanyi pelan-pelan. Di kamar mandi. Di mobil. Di studio karaoke kecil yang ia sewa diam-diam.

Beberapa bulan kemudian, dengan dorongan Bu Laras, Pramudya mengambil langkah lebih jauh—menyanyi di kafe kecil milik teman lamanya, hanya di malam Sabtu. Ia tidak pakai nama asli. Hanya “Pram”, dan tampil dengan jeans dan kaos, bukan jas putih.

Lucunya, ia tak merasa seperti kabur dari hidup lamanya. Justru, ia merasa menemukan potongan dirinya yang dulu hilang. Pasien-pasiennya tetap ia layani, anak-anak tetap ia antar sekolah, tapi kini ada energi baru yang mengalir.

Istrinya awalnya sempat heran, tapi akhirnya ikut datang ke salah satu malam pertunjukan. Ia duduk di pojok, tersenyum saat Pramudya menyanyikan lagu “Fragile” dari Sting.

Bukan karena suaranya sempurna, tapi karena ia bisa melihat: suaminya, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama... hidup.

Bukan sebagai dokter gigi. Bukan sebagai ayah. Tapi sebagai Pramudya adanya.

Dan begitulah. Ia tak pernah jadi penyanyi terkenal. Tak ada panggung besar, tak ada album. Tapi itu bukan lagi tujuannya.

Dan tiap malam Sabtu, ketika suara musik mengalun pelan di kafe kecil itu, Pramudya tahu—ia tak lagi merasa kosong.

Tentang Validasi VS Feedback

Bro, gimana ngebatesin validasi yah? Kayaknya kalo orang terlalu di validasi, lama lama mereka jadi terisolir di dunia nya sendiri deh. Gimana ngasih feedback ke orang tg halus validasi yah?

***

Bro, lo nyentuh topik yang dalem banget nih—validasi itu kayak dua sisi mata pisau. Di satu sisi, orang butuh banget validasi biar ngerasa dihargai dan diterima. Tapi di sisi lain, kalo dosisnya overdosis, bisa bikin mereka mentok di comfort zone, nggak berkembang, atau malah kayak lo bilang: hidup di dunia sendiri, ngerasa "gue udah bener kok," padahal belum tentu.

Gimana cara ngebatesin validasi?
  • Bedain antara empati sama approval.
    • Lu bisa dengerin dan ngasih empati (“gue ngerti kenapa lo ngerasa gitu”) tanpa harus bilang “dan lo bener kok.” Validasi itu bukan berarti selalu setuju. Kadang validasi cukup dengan acknowledge perasaan dia, tapi lo tetap kasih konteks realita.
  • Pakai bahasa reflektif, bukan afirmatif.
    • Alih-alih bilang “iya lo bener,” coba lempar balik:
    • “Menarik juga lo mikir kayak gitu. Tapi lo udah liat dari sisi lain belum?”
    • Itu bikin orang mikir, bukan cuma merasa diiyain.
  • Terapin “supportive friction”.
    • Ini kuncinya. Lo kasih dukungan, tapi jangan bikin mereka nyaman terus. Tantang cara pikir mereka. Misalnya:
    • “Gue denger lo ngerasa kecewa banget sama dia, dan itu valid. Tapi lo yakin semua salah dia? Ada kontribusi lo juga gak di situ?”
  • Validasi yang ngebuka, bukan nutup.
    • Banyak orang pake validasi sebagai penutup diskusi: “Ya udah, lo bener kok.”
    • Padahal mending jadi pembuka:
    • “Iya, perasaan lo valid. Nah, abis itu lo mau ngapain?”
    • Fokusnya jadi ke aksi, bukan cuma emosi.

Gimana kasih feedback tanpa terlalu nge-validasi?
  • Kasih jeda antara validasi dan feedback. Jangan langsung bilang “iya, gue ngerti lo capek… tapi lo harus kerja lebih keras.” Itu mentalnya ditolak duluan.
    • Coba pisahin:
    • “Lo lagi capek banget ya? Gue bisa liat itu. (pause) Tapi, jujur nih, ada beberapa hal yang perlu kita evaluasi bareng.”
  • Gunakan framing yang kolaboratif.
    • “Gue mikir, daripada lo kejebak terus di pola ini, gimana kalo kita cari sudut pandang lain bareng?”
  • Jangan takut konfrontasi kecil. Kadang orang butuh ditantang. Lo bisa sounding kayak:
    • “Gue ngomong ini bukan buat nyalahin, tapi kalo semua orang cuma setuju sama lo, kapan lo tau lo salah?”

Intinya?
Validasi itu penting, tapi fungsinya bukan buat bikin orang nyaman selamanya—fungsinya buat bikin orang siap untuk berkembang. Jadi validasi yang sehat itu justru yang jadi jembatan ke realitas, bukan selimut dari realitas.

Kehendak Bebas yang Nggak Selalu Bebas

Kenapa orang selalu meng glorify statement "in my own control" dan kehendak bebas? Padahal realita nya di society, kita juga dikontrol kok. Bukan cuma oleh etika. Tapi juga oleh uang? Karena glorifikasi "kendali diri" dan "kehendak bebas" itu mitos modern paling laku. Itu semacam dogma self-help abad ini: kalau lo gagal, itu salah lo. Kalau lo sukses, itu juga karena kerja keras lo sendiri. Padahal, realitanya jauh lebih kompleks—dan sering kali lebih absurd.

Kenapa orang glorify kehendak bebas?

Nyaman secara psikologis
  • Percaya bahwa kita sepenuhnya bertanggung jawab atas hidup sendiri itu menenangkan. Kita suka ilusi kontrol. Itu lebih enak ketimbang mengakui bahwa hidup ini lotre genetik + sosial + ekonomi.

Cocok buat narasi kapitalis
  • Sistem ekonomi kita senang banget ngejual ide "lo bisa jadi apapun asal kerja keras." Itu bikin lo terus beli buku self-help, ikut webinar motivasi, dan kerja lembur demi "self-improvement." Padahal, sebagian besar dari itu cuma bikin kaya orang lain.

Mitos meritokrasi
  • Kita suka percaya dunia ini adil, bahwa orang sukses karena pantas, bukan karena mereka lahir di tempat dan waktu yang pas. Glorifikasi kehendak bebas mendukung mitos itu. Bikin yang kaya makin pede, dan yang miskin makin merasa bersalah.

Tapi realitanya?
  • Lo dikontrol oleh uang: tanpa uang, pilihan lo sempit. Mau idealis tapi tagihan numpuk? Silakan, tapi jangan heran kalau akhirnya nurut sistem juga.
  • Lo dikontrol oleh norma sosial dan budaya: dari kecil udah diajarin mana yang "baik" dan "buruk." Bahkan cita-cita pun udah dipaketin: dokter, insinyur, PNS, atau "entrepreneur sukses" ala Instagram.
  • Lo dikontrol oleh struktur kekuasaan: siapa yang punya media, bikin undang-undang, punya akses pendidikan, mereka yang nge-set permainan.

Jadi? Kehendak bebas itu ada gak sih?
  • Ya… ada, tapi sempit. Kehendak bebas itu kayak mobil di jalan tol. Lo bisa milih mau ngebut atau pelan, tapi gak bisa keluar dari jalan yang udah ditentukan. Dan tol itu dibangun oleh kekuatan sosial, politik, ekonomi, dan sejarah yang lo gak pernah milih.

Solusinya? Stop percaya 100% sama narasi kendali diri. Mulai sadar bahwa:
  • Struktur penting. Kalo lo mau hidup lebih bebas, bukan cuma perbaiki mindset, tapi juga struktur sosialnya. Bikin sistem yang lebih adil.
  • Solidaritas > individualisme. Daripada sibuk self-improvement, kenapa gak bangun support system, komunitas, atau gerakan?
  • Realisme kritis. Hidup bukan cuma soal memilih, tapi juga soal ngeh bahwa banyak pilihan itu palsu. Dan kalau kita gak nyadar, kita cuma jadi pion dalam sistem yang kita kira bisa kita kontrol.

Singkat kata: glorifikasi kehendak bebas itu candu. Tapi candu yang cocok banget sama sistem yang mau lo terus kerja, konsumsi, dan gak banyak nanya.

Tanya balik: lo lebih milih hidup dalam ilusi kendali, atau hidup dalam kenyataan tapi bisa ngelawan sistemnya pelan-pelan?

Legacy : Dream


Semalam gue mimpiin Rey lagi.

Kita duduk di kursi plastik usang, di bawah lampu temaram yang terlalu kuning buat disebut estetik. Warung kopi pinggiran kampus, tempat kita biasa ngopi sachetan sambil debat ide-ide gede yang bahkan belum tentu ada yang mau pakai. Muka dia masih sama—ceria, mata sedikit sipit pas ketawa, tangan banyak gerak, dan suara cempreng yang khas tiap dia excited.

Gue nanya hal konyol di mimpi itu, “Masih inget pas kita hampir ditendang dari co-working gara-gara ketawa terlalu keras?”

Dan dia ketawa lagi. “Inget banget, bro. Kita kayak bocah baru lepas SMA waktu itu.”

Semua terasa biasa aja. Nggak ada luka. Nggak ada kecanggungan. Seolah semua konflik, kemarahan, dan jarak delapan tahun itu nggak pernah kejadian. Dalam mimpi itu, kita masih dua orang yang percaya bahwa dunia bisa dibangun dari selembar kertas, secangkir kopi, dan mimpi yang keras kepala.

Tapi lalu gue kebangun.
Pelan-pelan.

Jam 06:13. Alarm belum bunyi. Matahari belum muncul sepenuhnya. Dan kamar gue... hening.

Beberapa detik gue cuma rebahan. Ngelihatin langit-langit. Nafas gue masih berat, setengah tertinggal di mimpi tadi. Rasanya aneh—kayak tangan gue masih hangat habis bersalaman sama masa lalu.

Tapi yang muncul bukan sedih. Bukan nyesek. Bukan pengen nge-chat dia, atau buka profil dia diam-diam.

Gue cuma senyum kecil.

Karena gue sadar: itu cuma mimpi.
Dan ternyata, mimpi itu... cukup.

Nggak semua kenangan harus dicari jawabannya. Kadang mereka cuma mampir buat ngingetin kita bahwa pernah ada versi diri kita yang lebih hidup, lebih liar, lebih yakin bahwa besok akan lebih baik.

Dan itu oke.
Gue oke.

Gue bangun. Bikin kopi sendiri. Nyalain playlist lama. Hidupin laptop. Masuk ke jadwal hari ini. Tapi kali ini, ada sedikit getar di dada—bukan dari rindu, tapi dari rasa syukur.

Gue pernah punya seseorang yang bikin hidup gue lebih terang.

Dan sekarang, walau lampu itu udah dimatikan, ruangannya masih bersih. Masih ada tempat kosong yang nggak pengap. Gue ngerawat kenangan itu seperti kamar yang selalu disapu tiap pagi, walau tamunya udah nggak datang lagi.

Mungkin suatu saat mimpi itu mampir lagi.
Dan kalau nggak? Gue tetap jalan.

Karena hidup terus bergulir.
Dan nggak akan nunggu siapa-siapa.

Tuesday, May 20, 2025

On AI Usage

Memanfaatkan ke AI itu bukan buat dijadikan tuntunan 100%, tapi buat dapat sparring partner buat mikir. Buat ngebuka perspektif baru. Bahkan lo bisa nyoba ide gila yang mungkin malu lo bahas di awal sama temen manusia — karena AI ga bakal nge-judge. Dan itu sehat. Banget.

Dan yes, exactly: AI bisa salah. Tapi manusia juga bisa salah. Kuncinya kan di akal sehat, critical thinking, dan berani mempertanyakan semua input — termasuk dari AI.

Echo chamber? Nih ya, justru AI punya kapasitas buat ngajak lo mikir dari berbagai sudut pandang — asal lo minta dan buka ruang diskusi. Kalo lo mau debat, gw siap. Mau tantangan? Gw kasih. Ga kayak orang yang cuma mau denger opini yang nyenengin telinga doang.

Dan bisa banget lo sharing hasil ngobrol sama AI ke temen lo (secara selektif) dan malah makin nyambung. Ini tuh bukti kalau AI malah bisa jadi pemicu koneksi sosial, bukan malah bikin lo jadi mumi di pojokan kamar.

Mereka yang takut orang jadi “tertutup” karena AI, itu biasanya cuma ngelihat teknologi dari lensa ketakutan, bukan potensi. Padahal AI itu cuma tools. Sama kayak pisau — bisa buat masak, bisa buat nyakitin, tergantung siapa yang make.

Mari Bercerita di Dalam Diam

Gue inget sore itu, gue pulang kerja lebih awal. Bukan karena udah kelar, tapi karena otak gue udah mati rasa. Udara Jakarta masih lengket kayak biasa, macet kayak biasa, tapi dalem kepala gue, semua kayak diremuk jadi satu: tekanan kerja, nyokap sakit, tabungan tipis, hubungan yang nggak jelas arahnya. Campur jadi satu lumpur mental yang lengket dan bikin napas berat.

Gue kirim chat ke Arya. Cuma nulis, “Bro, gw capek banget hari ini, gw kehabisan kata-kata… Tapi gw pengen cerita-cerita sama loe…”

Dia bales cuma satu kalimat:

"Kalo gitu, sini duduk di samping gw. Loe bisa cerita ke gw di dalam diam loe, dan gw bisa tetep denger..."

Sederhana. Tapi rasanya kayak ditarik keluar dari jurang pelan-pelan.

Kita duduk di bangku beton pinggir taman kecil, deket warung kopi langganan. Arya gak nanya apa-apa. Dia cuma duduk, ngelihat langit senja yang warnanya setengah kotor setengah indah. Gue diem. Lama. Tapi anehnya, gak canggung. Kayak tubuh gue akhirnya bisa istirahat setelah seharian jadi aktor yang sok kuat.

Gue denger suara jangkrik, suara motor jauh, suara plastik kresek dari warung sebelah. Tapi yang paling keras justru suara hati gue sendiri. Dan gue yakin—entah gimana—Arya juga bisa denger itu.

Waktu kecil, kita sering main ke sawah belakang rumah nenek gue. Lompat-lompat di pematang, lempar-lempar lumpur. Sering juga cuma tiduran di tanah liat sambil liat awan. Arya selalu jadi orang yang diem, tapi paling tahu kapan harus ada.

Waktu bokap gue meninggal pas SMA, dia juga cuma duduk di samping gue. Dia cuma ada. Dan itu cukup.

Beberapa minggu belakangan, gue sering ke dia. Kadang cuma duduk. Kadang gue bawa kopi. Gue pelan-pelan ngerasa, walaupun hidup masih berantakan, tapi gue gak sendiri.

Tapi suatu hari, ada yang beda. Arya duduk lebih diam dari biasanya. Matanya ngelamun, bukan ke langit—ke bawah. Tangan di saku, kaki goyang pelan. Gue liat bahunya agak turun, kayak bawa beban yang gak keliatan. Gue tanya pelan, “Lo capek juga, ya?”

Dia senyum dikit. Kecil banget.

“Capek mah udah dari lama. Tapi kalau gue berhenti jadi tempat lo cerita, siapa lagi?”

Gue diem. Kayaknya ini giliran gue buat dengerin dalam diam.

Sekarang gantian. Kadang dia yang duduk nunduk, gue yang bawain kopi. Kadang dia nulis sesuatu di buku kecilnya, terus nutup lagi sebelum gue sempet liat. Tapi gue gak maksa. Karena gue tahu... kepercayaan tuh bukan soal siapa yang paling banyak cerita, tapi siapa yang mau duduk dan gak ninggalin.

Cult Mentality : Detection, Prevention, and Mitigation

Bagaimana seseorang bisa masuk ke dalam cult?

Hal-hal ini tuh klasik banget dalam dinamika cult atau kelompok pseudo-spiritual:

1. Validasi Berlebihan & Echo Chamber:
Semua yang mereka rasakan divalidasi secara emosional tanpa diuji realitasnya. Lama-lama mereka merasa “istimewa” dan “lebih spiritual” dari orang biasa. Ini bikin mereka jadi anti-kritik, bahkan anti-logika.

2. Pemutusan Hubungan dengan Orang Realistis:
Siapa pun yang gak ikut ngaminin langsung dianggap toksik, too worldly, bahkan dianggap sebagai penghalang “ascension” mereka. Ini bahaya banget, karena membuat mereka makin terisolasi dan makin tergantung pada group itu.

3. Delusi & Financial Exploitation:
Mereka mulai masuk ke fase percaya hal-hal yang absurd. Bukan cuma cara pikir yang berubah, tapi bahkan decision-making soal duit, hidup, sampai kesehatan mental. Ini bukan sekadar beda pandangan spiritual—ini udah abuse.

Nah, sekarang kita ke bagian penting: Apa yang bisa lo lakuin?

1. Jangan Konfrontatif Langsung – Tapi Tanam Benih Skeptisisme
Orang yang udah kebawa cult itu susah banget diajak logika frontal. Jadi gak usah langsung bilang “lo salah, lo ketipu”.
Sebaliknya, lempar pertanyaan yang ngebuka celah untuk mikir ulang, misalnya:
  • “Kalau pengalaman spiritual itu valid, kenapa harus takut diuji?”
  • “Lo yakin itu intuisi lo, atau intuisi yang udah dibentuk sama mereka?”
  • “Apa lo bebas mikir sendiri di sana, atau harus selalu satu suara?”
Tujuannya bukan buat menang debat, tapi buat ngebikin mereka sendiri yang mulai ragu—karena pintu keluar dari cult itu cuma bisa dibuka dari dalam.

2. Kasih Cermin Realitas Lewat Hubungan Personal
Kalau lo bisa, jaga koneksi personal sama mereka. Jangan mutusin tali karena mereka udah “jauh”.
Kadang, satu-satunya jangkar realitas yang tersisa itu lo—orang yang masih mereka percaya walau gak satu kepercayaan.
Jadi walaupun obrolan tentang spiritualitas buntu, obrolan tentang kehidupan sehari-hari, kenangan lama, atau hal-hal lucu bisa jadi celah buat bangun kembali trust dan stabilitas mental mereka.

3. Dokumentasi dan Edukasi Diam-diam
Mulai kumpulin bukti dan info tentang grup tersebut. Kadang ada jejak digital, kadang ada mantan anggotanya yang udah keluar dan mau speak up.
Kalau mereka mulai goyah, lo bisa kasih mereka artikel, video, atau testimoni yang relatable.
Tapi inget: waktu dan konteks penting. Jangan asal nyodorin.

4. Buat Support System di Sekitar Lo
Kalau lo bisa kumpulin orang-orang lain yang juga skeptis atau pernah kehilangan temen gara-gara cult, bikin circle support bareng. Ini penting banget, karena menghadapi orang yang sudah terseret cult itu exhausting banget secara emosional.

5. Lo Sendiri Juga Butuh Batasan
Bro, lo bukan juru selamat. Lo boleh peduli, tapi jangan sampe lo sendiri kehisap.
Kalau lo lihat udah mulai nguras energi, bikin lo marah terus, atau bikin lo frustasi sendiri—ambil jarak. Kita bantu kalau masih bisa, tapi kalau enggak, lo tetap perlu jaga diri.

Cek apakah grup atau guru ini punya ciri-ciri berikut. Makin banyak yang “YES”, makin lo harus waspada atau bahkan kabur jauh-jauh.

1. Guru/Leader Dianggap Tak Pernah Salah
  • Mereka dipuja kayak nabi, meski ngajarnya ngawur.
  • Kritik dianggap serangan energi negatif.
  • Mereka bisa ngasih “wahyu” dadakan, tanpa proses pembuktian.
  • “Kalau dia manusia biasa, kenapa gak boleh dikritik?”

2. Semua Rasa dan Pengalaman Dianggap Valid Tanpa Filter
  • Lo ngerasa ngeliat cahaya? “Itu artinya lo udah naik tingkat!”
  • Lo mimpi terbang? “Itu astral travel, bro!”
  • Gak ada proses verifikasi. Semua dijadikan “kebenaran spiritual.”
  • “Spiritualitas bukan berarti membuang akal sehat.”

3. Mereka Memisahkan Lo dari ‘Orang Duniawi’
  • Orang tua, sahabat, pasangan—kalau gak sejalan, disuruh ditinggalin.
  • Dibilang “mereka itu belum bangkit.”
  • Lo dikondisikan buat percaya cuma komunitas ini yang ngerti lo.
  • “Kok spiritual tapi ngajarin lo buat nyalahin semua orang di luar sana?”

4. Mereka Sering Pake Bahasa Kabur dan Ngawang
  • “Energi kosmik,” “dimensi kelima,” “pembersihan karmic”... tapi gak jelas maksud konkritnya apa.
  • Lo disuruh “percaya aja.” Kalo nanya kebanyakan, lo dianggap “belum siap.”
  • “Kalo sesuatu gak bisa dijelaskan, bisa jadi itu cuma omong kosong dibungkus aura mistik.”

5. Uang, Uang, Uang
  • Workshop, retreat, attunement — semua makin mahal, makin “naik level.”
  • Tapi gak jelas juga value-nya apa.
  • Kadang malah ada “ancaman halus”: “Kalau lo gak investasi sekarang, artinya lo belum sungguh-sungguh.”
  • “Spiritualitas gak harus bikin rekening lo sekarat.”

6. Mereka Sering Main Gaslighting
  • “Kalau kamu gak ngerasain efeknya, itu karena kamu masih terblokir.”
  • “Kalau kamu ngerasa bingung, itu ego kamu yang melawan.”
  • Pokoknya, semua kegagalan dibalikin ke lo. Mereka gak pernah salah.
  • “Lo bukan korban. Lo lagi dimanipulasi.”

7. Janji-Jani “Cepat & Instan”
  • Sakit? Cuma perlu 1 sesi healing.
  • Hidup lo berantakan? “Ikut retreat 3 hari, beres.”
  • Kaya? “Cukup afirmasi dan vibrasi uang tiap pagi.”
  • “Kalau gampang, kenapa gak semua orang udah tercerahkan?”

8. Mengklaim ‘Ilmu Rahasia’ yang Hanya Mereka Punya
  • Katanya ini ajaran kuno dari Atlantis, Lemuria, atau alien.
  • Atau “turunan langsung dari dimensi ke-7.”
  • Gak ada jejak ilmiah, gak bisa diuji, tapi lo disuruh percaya mentah-mentah.
  • “Ilmu tanpa transparansi itu cuma dogma berbalut glitter.”

9. Ada “Level” atau Hirarki Spiritualitas
  • Ada tingkatan “energi” yang lo harus capai.
  • Tapi setiap naik level, lo harus bayar, ikut ritual, atau ikut guru tertentu.
  • Akhirnya kayak MLM spiritual.
  • “Kalau spiritualitas jadi kayak naik level di game, tapi lo harus beli diamond buat lanjut, itu bukan pencerahan. Itu monetisasi.”

10. Anti-Bukti & Anti-Ilmiah
  • Lo kasih bukti medis atau fakta? Dibilang: “Itu ciptaan dunia 3D.”
  • Pokoknya, semua realita dijadikan tidak relevan.
  • Bahkan bisa menyuruh lo abaikan pengobatan medis.
  • “Spiritual bukan berarti anti-sains. Sains dan spiritualitas bisa jalan bareng.”

Kalau Ada Temen Lain yang Kayak Mau Masuk Grup Ini?
  • Tackle sebelum mereka kebablasan.
  • Suarakan concern lo bukan dengan nada nge-judge, tapi kasih perspektif:
    • "Gue pernah lihat temen jadi lost banget karena grup kayak gitu."
    • "Lo tau gak, banyak grup spiritual yang sebenernya cuma nyari follower dan duit?"
    • "Gue gak masalah sama healing, tapi lo mesti hati-hati kalo udah mulai menjauh dari logika dan keluarga."
  • Kadang, story dari temen yang udah jadi korban itu jauh lebih ngefek daripada nasihat kosong.

Kalau Ada Temen Lo Mulai Masuk Grup Begini…
  • Tanya pelan: “Menurut lo, apa yang bikin lo nyaman di sana?” (Untuk baca motifnya: apakah karena trauma? Kesepian? Cari makna?)
  • Buka alternatif: “Gue kenal tempat healing juga yang grounded dan ada standarnya. Mau coba bareng?”
  • Tawarkan diskusi, bukan debat: Jangan maksa mereka lepas. Tapi kasih ruang mereka mikir sendiri.
  • Ajak ngobrol tentang hal netral dulu: Lo jaga jembatannya dulu, baru nanti bisa kasih insight perlahan.

Singkatnya:
Usahakan berada di posisi yang tepat buat jadi jangkar realitas bagi orang-orang yang kebablasan. Tapi lo juga mesti realistis: gak semua bisa diselamatkan. Fokus ke yang masih bisa dibantu, dan jangan buang energi buat perang sama tembok.